Share

Bab 7 Guru Han

Author: J Shara
last update Last Updated: 2025-02-25 19:34:36

Entah sudah berapa lama Jing Wu terbaring, pria itu akhirnya sadar. Saat ia membuka matanya, pandangannya agak kabur karena masih brradaptasi. Namun, perlahan penglihatannya makin jelas dan ia berada di suatu ruangan, di atas futon sederhana.

Tiba-tiba Jing Wu merasa nyeri di bagian dadanya. Ia kemudian mengingat kejadian ia diserang seorang pria bertubuh kekar di halaman kuil. Jing Wu meraba dadanya, memang masih nyeri tapi rasa sakitnya berkurang drastis, seperti ada yang telah menyalurkan tenaga dalam yang dahsyat di tubuhnya.

"Kau sudah siuman?"

Jing Wu langsung menoleh ke arah pintu dan kakek pemabuk bersuara cempreng itu berdiri di sana. Jing Wu hendak bangkit dari futon namun dadanya lebih terasa nyeri saat ia bangun.

"Hati-hati anak muda, lukamu belum sembuh betul!" kata kakek itu.

"Pria itu ...," ucap Jing Wu dengan bibir bergetar, "siapa dia?" tanyanya, "dia mencari Guru Han."

"Hadeuh ... anak itu memang keras kepala," kata sang kakek, "padahal aku sudah lama mengusirnya dari sini."

Jing Wu langsung menoleh ke arah sang kakek. "Apa anda Guru Han?" tanyanya.

"Ya ... itu adalah panggilanku," jawab sang kakek, "yah, sudahlah. Aku mau tidur."

Kakek bernama Guru Han itu berbalik dan membiarkan Jing Wu sendirian di dalam kamarnya. Sementara Jing Wu masih bertanya-tanya siapa sebenarnya kakek bernama Guru Han itu? Mengapa pria itu sepertinya sangat marah pada Guru Han?

Keesokan harinya, Jing Wu melakukan penyembuhan dirinya sendiri dengan tenaga dalamnya. Sementara Guru Han memandangnya dengan santai, diam-diam ia memperhatikan Jing Wu hingga selesai dan dia kagum dengan kemampuan tenaga dalam Jing Wu.

Guru Han lalu menguap sambil meregangkan kedua tangannya ke atas. "Ah, aku butuh tuak!" serunya.

Guru Han lalu bangkit, memakai sandalnya dan berjalan. Diam-diam, Jing Wu mengikuti Guru Han, rasanya ia penasaran seperti apa kakek bernama Guru Han.

Jing Wu memperhatikan Guru Han yang telah sampai di kota. Seperti tujuannya, kakek itu menuju kedai yang kemarin. Ia pun memesan satu kendi dan meneguk tuak itu.

Dari apa yang Jing Wu perhatikan, Guru Han tidak lebih dari si kakek pemabuk. Guru Han lalu bangkit dan meminta untuk membayar nanti minumannya setelah ia mendapat uang.

Jing Wu bergegas ketika Guru Han meninggalkan kedai dan menelusuri kota hingga ia berjalan menuju kuil. Jing Wu merasa sia-sia saja ia mengikuti Guru Han, karena ia tidak menemukan apa pun.

Tiba-tiba guru Han menghentikan langkahnya. "Keluarlah, aku tahu kau ada di sana!" teriaknya lantang.

"Ups, ketahuan ...," gumam Jing Wu. Ia bersiap untuk menampakkan dirinya sambil cengengesan namun tiba-tiba terdengar suara raungan harimau.

Mata Jing Wu membulat sempurna. Tidak salah lagi, itu adalah pria yang kemarin menggunakan tapak penghancur untuk melukai Jing Wu.

"Aku tahu kau mengikutiku dari tadi."

Jing Wu tercekat melihat ekspresi Guru Han yang sangat berbeda, tampak begitu serius dan dingin.

"Huh, kau masih saja seperti dulu, Guru Han! Masih kakek-kakek pemabuk yang dulu," umpat Pria itu.

"Walaupun aku kakek-kakek pemabuk yang kau hina ini, tapi masih bisa membunuhmu, Xiao Hai!"

"Banyak omong kau!"

Pria bertubuh besar itu langsung maju hendak menyerang guru Han, namun Guru Han menghindar dengan jurus kilat bayangannya. Jing Wu yang sempat panik karena Guru Han diserang langsung terpukau melihat Guru Han yang berpindah tempat begitu cepat hingga tak terlihat oleh mata.

"Cih! Ayo lawan aku!" teriak pria bernama Dong Hai itu.

Tiba-tiba Guru Han muncul di samping Dong Hai dan langsung menyentuhkan ujung jari telunjuknya ke bahu Dong Hai. Dong Hai pun terpental jauh dan pingsan di sana.

Jing Wu hanya bisa terkesimak memandang kehebatan guru Han. Entah jurus apa yang guru Han gunakan tapi Jing Wu yakin bahwa guru Han hanya memakai ujung jari telunjuknya.

"Keluarlah dari sana!" teriak Guru Han, "aku tahu kau mengikutiku dari tadi, anak muda!"

Jing Wu langsung keluar dari persembunyiannya. "Guru Han, aku mohon jadikan aku muridmu!"

***

"Aku tidak menerima murid!"

Jing Wu kini memandang Guru Han yang begitu lahap makan malam bersamanya. Namun, Jing Wu bingung entah ia harus membujuk guru Han bagaimana lagi agar ia mau menerimanya menjadi muridnya dan mengajari jurus tadi siang itu.

"Guru, bisakah kau mengajariku jurus yang tadi?" Lagi-lagi Jing Wu memohon.

"Sudah kubilang, kan, aku tidak menerima murid! Dan sampai kapan pun tidak!" Guru Han menekankan.

Jing Wu cemberut, selera makannya mendadak hilang.

"Makanlah!" kata guru Han, "agar lukamu cepat sembuh."

"Aku tidak bisa makan kalau sudah begini."

"Hhh ... dasar anak muda jaman sekarang!" gerutu guru Han.

Berbagai cara Jing Wu lakukan untuk meluluhkan hati guru Han. Setiap hari ia bangun pagi buta untuk membersihkan kuil dan mencuci piring dan baju guru Han, bahkan ia membersihkan halaman kuil. guru Han sendiri sebenarnya kasihan melihat usaha Jing Wu namun ia sudah membuat keputusan untuk tidak lagi menerima murid. Cukup Dong Hai menjadi murid terakhir dia yang durhaka.

Guru Han pun berupaya untuk tidak memedulikan Jing Wu, ia memilih bermalas-malasan dan membiarkan Jing Wu berusaha keras tanpa hasil.

Jing Wu pun membeli makanan untuk ia dan guru Han, setelah membeli makanan ia kembali menuju kuil. Di tengah hutan, ia tiba-tiba bertemu dengan seorang anak kecil. Jing Wu kenal anak itu, ia tinggal di dekat kuil guru Han.

"Xiao Yen, sedang apa kau di sini?"

Xiao Yen menoleh dan tampak anak itu menangis ketakutan. "Kakak, syukurlah, aku kira aku hilang!" Xiao Yen menghambur ke arah Jing Wu saat melihat pria itu. "Tadi aku main dan lari masuk ke hutan lalu aku tidak tahu jalan pulang ...."

Jing Wu menepuk lembut puncak kepala gadis cilik itu. "Tenang Xiao Yen, kita pulang sama-sama, ya!" ajak Jing Wu.

Xiao Yen mengangguk lalu mereka jalan berdua menuju rumah Xiao Yen.

"Kakak Xiao Wu, kakak tahu tidak kalau di sini ada beruang besar sekali," kata Xiao Yen.

"Masa?" sahut Jing Wu.

"Iya, Makanya aku takut sekali kalau sendirian lalu ketemu sama beruang itu."

Tiba-tiba terdengar suara raungan hewan buas yang mendekat ke arah Jing Wu dan Xiao Yen. Benar saja, di hadapan mereka muncul beruang besar sedang berjalan ke arah mereka.

"Be-beruang!" teriak Xiao Yen.

Jing Wu pun siaga melindungi Xiao Yen namun ia tidak yakin apakah ia bisa mengalahkan beruang itu sambil melindungi Xiao Yen.

Tiba-tiba beruang besar itu maju dan hendak menyerang Jing Wu dan Xiao Yen, namun Jing Wu mengangkat Xiao Yen dan menggunakan jurus gerakan angin untuk menghindari serangan beruang itu.

Tapi, tetap saja ini menyulitkan Jing Wu karena secara bersamaan ia harus melindungi Xiao Yen. Beruang itu tiba-tiba menggerakkan tangannya, hendak mencabik Jing Wu. Jing Wu memeluk Xiao Yen dan melemparkan badannya dengan cepat hingga ia berguling-guling di tanah.

"Kakak!"

Jing Wu terkejut melihat ada darah menetes, ternyata punggungnya yang terkena cabikan beruang. Terkena sedikit saja bisa membuatnya merasakan sakit yang amat. Beruang itu pun meraung dan hendak menyerang Jing Wu. Namun, tiba-tiba guru Han datang dan berdiri di depan Jing Wu dan Xiao Yen.

"Guru Han!"

Guru Han tampak santai melihat beruang yang siap mencabiknya. Beruang itu pun menggerakkan tangannya ke arah wajah guru Han. Namun, dengan cepat guru Han bergerak dan menyentuhkan ujung telunjuknya di punggung sang beruang. Akibatnya, beruang itu pun terpental jauh dan seperti hilang kesadaran.

-TBC-

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 50 - Dimensi Terlarang

    Angin malam berhembus kencang di lembah pertempuran itu. Cahaya rembulan tersembunyi di balik kabut pekat. Hanya suara desir dedaunan dan gelegar petir di kejauhan yang menjadi saksi pertarungan maut para pendekar malam ini. Pria berwajah pucat itu terpental jauh ke belakang, menghantam bebatuan keras setelah terkena jurus Tangan Iblis milik Jing Wu. Debu berhamburan. Jing Wu berdiri tegak dengan kedua tangan mengepal, napasnya memburu. Di balik sorot matanya yang tajam, menyala amarah. Li Shuwang yang sedang bertarung di sisi lain menoleh cepat dan terbelalak. “Tangan besar yang mengerikan... itu jurus apa?” batin Li Shuwang tak percaya. Di atas batu tinggi, seorang pria berjubah hitam dengan tubuh kekar menyilangkan tangan di dada, memperhatikan pertarungan itu dengan senyum tipis di wajahnya. “Huh... sepertinya anak Jing Huei itu lumayan juga,” gumamnya pelan, suaranya berat. “Tapi sayang... lawannya juga tangguh.” Li Shuwang menyipitkan mata, tak suka dengan nada itu. “Kau b

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 49 Hadangan di Jalan Menuju Utara

    Kereta kuda kecil itu melaju perlahan di jalan berbatu, diapit pepohonan tinggi yang merunduk ke arah jalan, seakan menyembunyikan rahasia gelap di antara daun-daunnya. Jing Wu duduk bersandar di pojok, matanya menatap kosong ke luar jendela, sementara Ming Yue duduk di sampingnya, sesekali mencuri pandang ke arah wajah pemuda itu. Bao Yu duduk di seberang mereka, pelipisnya berkeringat meskipun udara cukup dingin.Li Shuwang yang duduk di depan, menggenggam gagang pedang panjang di pinggangnya, seakan merasakan sesuatu. Dan tiba-tiba…“Li Shuwang,” suara berat Jing Wu memecah keheningan. “Sepertinya kau tahu banyak tentang dunia persilatan.”Li Shuwang menoleh pelan. “Mengapa kau bertanya begitu?”Jing Wu menarik napas panjang. “Beberapa waktu lalu, aku mengikuti turnamen yang diadakan oleh Perguruan Teratai Putih… entah apa yang terjadi, tapi aku merasa ada sesuatu yang janggal. Aku bertemu dengan orang-orang yang menyebut dirinya… dari Dongfang.”Begitu nama itu disebut, Li Shuwang

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 48 - Pertemuan di Desa Qi Yi

    Udara pagi di kediaman Li Shuwang terasa sejuk. Burung-burung kecil berkicau di antara pepohonan rindang, dan aroma teh hangat menguar dari ruang tengah. Jing Wu duduk bersila di serambi, menatap ke arah pegunungan jauh di utara yang samar terlihat. Ming Yue sibuk merapikan rambutnya, sementara Li Shuwang menuangkan teh ke dalam cawan tanah liat. Li Shuwang akhirnya memecah keheningan. “Sebenarnya… kalian mau ke mana?” tanyanya, sembari menyeruput teh perlahan. Ming Yue langsung mengangkat wajahnya, matanya berbinar. “Aku mau ke utara, ke Istana Peri Utara,” katanya dengan nada penuh semangat. “Aku ingin bertemu dengan nenek dan kerabatku yang lain di sana. Sudah lama sekali aku tak melihat mereka.” Li Shuwang mengangguk pelan. “Begitu ya… Istana Peri Utara. Tempat itu terkenal misterius. Tak semua orang bisa keluar masuk sesukanya.” “Aku tahu,” balas Ming Yue, tersenyum tipis. “Tapi aku punya hak sebagai keturunan di sana.” Li Shuwang kemudian menoleh ke arah Jing Wu. “Lalu,

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 47 Bara di Tengah Hutan

    Cahaya matahari sore menembus celah-celah dedaunan lebat, menciptakan pola-pola keemasan di tanah hutan yang lembap. Di sebuah gubuk kayu sederhana yang nyaris tertutup rimbunan semak, asap tipis mengepul dari tungku tanah liat. Jing Wu sedang berjongkok di depan bara api, membalik seekor ikan sungai besar yang mulai menghitam di beberapa bagian. Aromanya menggoda, meski udara sekitar masih basah oleh embun. Di sisi lain, Ming Yue duduk menyandar pada dinding kayu, memeluk kedua betisnya. Wajahnya serius, pandangannya menerawang. “Jing Wu…” “Ya?” sahut Jing Wu tanpa menoleh, matanya tetap fokus pada ikan yang hampir matang. “Sebenarnya… siapa kedua orang kemarin yang menyerang kita, ya?” Jing Wu menghela napas, lalu mengibas-ngibaskan daun lebar ke atas bara, menimbulkan semburat asap dan percikan kecil. “Entahlah,” katanya pelan. “Tapi kurasa mereka mengincarku. Dan semuanya… mungkin ada hubungannya dengan orang tuaku.” Ming Yue menoleh cepat. “Orang tuamu?” “Ya. Kata

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 46 Misteri Jasad Jing Huei

    Keluar kalian! Kedua orang berjubah hitam muncul di depan Jing Wu dan Ming Yue. Ming Yue terkejut karena ia tak pernah melihat kedua pendekar itu sebelumnya. Salah satunya memiliki kulit pucat dan tampak tak bersemangat, sementara yang satunya lagi memegang kipas kertas di tangannya. Jing Wu tampak serius, terutama karena Ming Yue berada di sampingnya dan harus ia lindungi. "Siapa kalian?" tanya Jing Wu lantang. Pria yang memegang kipas itu terkekeh. "Julukanku adalah Kipas Kematian, dan temanku ini disebut Si Mayat Hidup." Jing Wu mengernyit. Jubah yang mereka kenakan tampak familiar. Sama dengan yang dikenakan oleh Zhang Zui dan Bataar saat pertama kali ia bertemu mereka. Apakah mereka berasal dari organisasi yang sama? Tiba-tiba, Kipas Kematian mengayunkan kipasnya ke arah Jing Wu, dan seketika hembusan angin yang sangat kuat menyerang Jing Wu dan Ming Yue. Beruntung, Jing Wu gesit. Ia segera melindungi Ming Yue dan menciptakan perisai angin yang lebih kuat. "Huh, ternya

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 45 Pertemuan Tak Terduga

    Ming Yue!” teriak Jing Wu begitu melihat gadis itu duduk di ranjangnya, mengayun-ayunkan kakinya dengan santai. “Kenapa kau ada di sini?!” Ming Yue menatapnya dengan senyum penuh arti. “Ya... kenapa ya...?” sahutnya dengan nada menggoda. Jing Wu mengerutkan kening, masih belum percaya dengan pemandangan di depannya. “Kemarin bukannya seharusnya kau menikah? Lalu kenapa kau malah ada di sini?!” Wajah Ming Yue seketika cemberut. “Siapa juga yang mau menikah?” jawabnya kesal. “Tapi... bagaimana dengan calon suamimu itu? Kau meninggalkannya saat upacara pernikahan kalian. Dia pasti kecewa,” lanjut Jing Wu dengan nada lebih pelan. Ming Yue mengebaskan tangannya seolah mengusir masalah itu jauh-jauh. “Ah! Siapa yang peduli?” Jing Wu menghela napas panjang. “Apa?!” “Sudah ah, aku mau tidur dulu,” kata Ming Yue sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang, tampak tak peduli dengan kegelisahan yang ditimbulkannya. “Tunggu, itu ranjangku!” protes Jing Wu. “Sekarang sudah jadi ranjang

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 44 Pernikahan Ming Yue

    Jing Wu duduk di sebuah kursi kayu di dalam kamar Ming Yue, sementara Ming Yue duduk di tepi ranjangnya. Lampu minyak di atas meja kecil menerangi ruangan dengan cahaya temaram. Wajah Ming Yue tampak cerah saat mendengarkan kisah perjalanan Jing Wu yang telah berkelana bersama para Pertapa Shan."Jadi, kau benar-benar hidup bersama mereka di pegunungan?" tanya Ming Yue dengan mata berbinar. "Aku selalu penasaran seperti apa kehidupan mereka."Jing Wu tersenyum. "Ya, kehidupan di sana tenang, tapi tidak mudah. Setiap hari ada latihan, dan banyak peraturan yang harus ditaati. Namun, aku belajar banyak hal, termasuk teknik bertarung dan cara memahami dunia dengan lebih luas.""Lalu bagaimana dengan turnamen di Perguruan Teratai Putih? Aku mendengar berita tentang itu, tapi kedua kakakku tidak ada yang tertarik mengikutinya," ujar Ming Yue sambil menghela napas.Jing Wu mengangguk. "Turnamen itu cukup sengit. Banyak pendekar hebat yang datang dari berbagai perguruan. Aku bahkan hampir tid

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 43 Kota Qiangyan

    Jing Wu dan Yang Zhao berdiri di sudut perguruan Teratai Putih. Malam sudah larut, hanya cahaya lentera yang menggantung di beberapa sudut yang menerangi halaman luas perguruan. Jing Wu menatap tajam ke arah Yang Zhao. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, dan ia tak ingin menunda lebih lama."Paman," ucapnya dengan suara dalam. "Aku ingin bertanya sesuatu. Sebenarnya, apa yang terjadi pada mendiang ayahku dahulu?"Yang Zhao terdiam. Ia menatap wajah pemuda itu, mengingat sosok sahabat lamanya dalam dirinya. Napasnya terasa berat saat ia harus membuka luka lama yang selama ini berusaha ia kubur."Kenapa kau ingin tahu?" tanyanya pelan."Aku selalu mendengar bisik-bisik tentang ayahku, tetapi tak seorang pun mau bercerita dengan jelas. Aku ingin tahu yang sebenarnya."Yang Zhao menarik napas panjang. "Baiklah, jika kau ingin mendengar kenyataan, aku akan mengatakannya." Matanya menerawang ke masa lalu. "Jing Huei, ayahmu, dan aku dahulu adalah sahabat. Kami bertemu ketika aku bela

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 42 Jing Wu VS Yang Zi

    "Astaga! Tuan Zheng Shen!" seru seorang tabib. Salah satu murid perempuan bahkan menutup mulutnya, ngeri melihat banyaknya darah yang dimuntahkan. Namun Jing Wu tetap tidak melepaskan tangannya. Ia menggertakkan giginya, menahan sakit yang mulai terasa di tubuhnya sendiri. "Aku belum selesai!" serunya. Liang Fu hendak menghentikannya, tapi tatapan Jing Wu yang penuh tekad membuatnya mengurungkan niat. Perlahan, Jing Wu menyalurkan lebih banyak tenaga dalamnya. Cahaya biru di tangannya semakin terang, berdenyut seperti api yang menyala-nyala. Zheng Shen kembali mengerang, tapi kali ini, urat-urat hitam di lehernya mulai memudar. Racun yang tadinya menyebar di sekujur tubuhnya perlahan surut. Namun, di sisi lain, tubuh Jing Wu mulai bergetar. Keringat bercucuran di dahinya, dan napasnya mulai berat. "Jing Wu!" panggil Liang Fu, khawatir. "Kau harus berhenti! Jika tidak, kau sendiri bisa mati!" Jing Wu terdiam beberapa saat. Ia tahu batasannya, tapi jika ia berhenti sek

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status