Share

Bab 8 Jurus Satu Jari

Author: J Shara
last update Last Updated: 2025-02-25 20:14:07

Guru Han memandang prihatin dengan luka di punggung Jing Wu. Jika saja Jing Wu telat bergerak sedikit saja, mungkin punggungnya habis tercabik habis oleh beruang itu.

Guru Han terus menyalurkan tenaga dalamnya hingga luka itu terasa lebih mendingan. Tapi, sepertinya Jing Wu mulai demam.

"Xiao Wu, kau perlu istirahat malam ini!" kata guru Han, "besok kita mulai latihan jurus satu jari!"

Jing Wu yang mendengar ucapan terakhir guru Han langsung terkejut. "Besok, kita bela- aduh ...." Saking semangatnya, Jing Wu sampai lupa akan lukanya.

"Jangan terlalu banyak bergerak! Lukamu belum sembuh betul."

Jing Wu tampak amat senang. "Baik, Guru!"

Guru Han tersenyum tipis sebelum keluar dari kamar Jing Wu.

***

Pagi-pagi buta, Jing Wu bangun dan ia langsung membereskan semuanya. Ia mencuci piring dan baju kotor serta membersihkan kuil dan halamannya.

Dengan semangat ia lalu mendatangi guru Han yang tampak sedang bermeditasi di dalam kuil.

"Guru, ayo kita latihan jurus satu jari!" Jing Wu mengingatkan guru Han dengan semangat.

"Ikuti aku bermeditasi. Sekarang!" tegas guru Han.

"Guru, bukannya guru janji kalau kita latihan hari ini?"

"Bermeditasi sekarang!" Suara guru Han terdengar lantang dan mau tak mau Jing Wu mengikuti perintah guru Han.

Jing Wu mencoba sabar tapi ia terus-terusan disuruh bermeditasi. Bahkan setelah mereka makan siang, ia disuruh kembali bermeditasi oleh guru Han.

Jing Wu merasa kesal, kenapa ia malah disuruh meditasi di dalam kuil, sendirian pula?

"Jing Wu, ayo kita keluar!" ajak Guru Han tiba-tiba.

"Ke mana, Guru?"

"Ikut saja!"

Jing Wu dan guru Han pun keluar dan ternyata guru Han mengajaknya ke air terjun. Pemandangannya begitu indah namun terlalu berisik dengan suara air terjun yang amat deras.

"Guru untuk apa kita ke sini?"

Guru Han terdiam sebentar, ia tampak senyum. "Ah, merdu sekali suara burung itu!"

Jing Wu menoleh ke atas dan di langit memang ramai dengan burung-burung yang beterbangan tapi ia tak bisa mendengar suaranya karena suara air terjung yang lebih mendominasi. Jing Wu menatap aneh ke arah Guru Han.

"Ah, ada jengkrik di sana!" Guru Han berseru sambil menunjuk pohon dan benar saja di sana ada jengkrik besar tapi Jing Wu bingung dari mana guru Han langsung tahu posisi jengkrik itu?

"Guru, untuk apa kita ke sini?" tanya Jing Wu.

"Bermeditasi."

"Apa?"

"Lakukan!"

"Tapi ... sampai kapan?"

"Sampai kau bisa mendengar suara burung dan serangga di sini!" lantang guru Han lalu ia berbalik dan pergi dari sana.

Jing Wu pun mencoba bermeditasi tapi sangat sulit ia memusatkan konsentrasinya karena suara air terjun. Tapi ... apakah ini ada hubungannya dengan jurus satu jari? Jangan-jangan ada! Jing Wu kemudian kembali serius dan mencoba bermeditasi di sana, namun tetap saja susah.

Malamnya, Jing Wu kembali dan Guru Han tampak menikmati tuaknya di teras kuil.

"Guru, apa ada hubungannya meditasi di air terjun dengan jurus satu jari itu?" tanya Jing Wu, suaranya terdengar agak putus asa.

"Ya, bisa dikatakan seperti itu."

"Kupikir ... aku akan melatih jari tanganku."

"Dasar bodoh, kau pikir jurus satu jari itu seperti jurus lainnya?"

Jing Wu langsung terdiam.

"Kau pasti pernah mendengar tapak penghancur, bukan?"

"Ya, pernah."

"Sekilas kelihatannya jurus satu jari menganut jurus tapak penghancur dan memang aku menciptakan jurus satu jari karena aku tak mau menggunakan tapak penghancur lagi."

"Guru Han, menguasai tapak penghancur?"

"Tentu saja, aku bisa menggunakannya hingga level sembilan."

Jing Wu langsung serius menyimak guru Han.

"Tapi, aku tidak lagi menggunakannya ke siapa pun juga," kata guru Han, "oleh karena itu, aku mencintakan jurus satu jari yang lebih aman dan lebih bijak."

"Pantas aku merasa kedua jurus itu tampak sama," ucap Jing Wu.

"Tidak tidak ... jurus satu jari dan tapak penghancur adalah jurus yang sangat berbeda. Jika diibaratkan, jurus satu jari adalah jurus yang penuh kelembutan, ia melumpuhkan lawan tanpa mencederainya. Sedangkan jurus tapak penghancur merupakan jurus yang keras dan mematikan. Kau bisa merasakan sendiri otot hingga tulangku bisa remuk, makin tinggi levelnya makin kuat juga daya mematikannya, bahkan level sepuluh bisa membahayakan penggunanya."

"Tapak penghancur ... ada level sepuluhnya?" tanya Jing Wu hampir tak percaya, "bukannya itu hanya ada level sembilan?"

"Kebanyakan orang tahunya tapak penghancur itu sampai level sembilan tapi nyatanya, jurus itu sampai level sepuluh dan di level itu, penggunanya bisa terluka parah bahkan mati. Oleh karena itu, level sepuluh tapak penghancur adalah jurus yang membahayakan bahkan haram dipelajari!"

Jing Wu tampak tertarik menyimak penjelasan Guru Han.

"Dan satu-satunya orang yang menguasai level sepuluh tapak penghancur itu adalah Yang Zhao."

Jing Wu tercekat mendengar nama Yang Zhao. "Paman Yang ... menguasai level sepuluh tapak penghancur ...," batinnya tak menyangka.

"Mungkin kau pernah mendengar nama Yang Zhao, tapi tidak usah dipedulikan karena kita akan fokus latihan jurus satu jari. Ingat, latihan jurus satu jari lebih sulit dibanding jurus tapak penghancur karena kuncinya adalah kontrol tenaga dalam selembut mungkin di satu ujung jarimu. Untuk mencapai kontrol tenaga dalam yang diinginkan, kau harus menyatu dengan alam dengan banyak bermeditasi," terang guru Han. "Ingat, hanya satu jari."

"Baik, Guru!"

Keesokan harinya Jing Wu kembali ke air terjun. Ia semakin rajin bermeditasi di sana tapi ternyata benar-benar sulit. Ia bahkan hampir putus asa.

"Apa ... aku tidak perlu mempelajari jurus ini, ya?" gumamnya, "tidak tidak, aku harus optimis!"

***

"Bagaimana Jing Wu, apa ada perkembangan?" tanya guru Han begitu Jing Wu tiba di kuil.

"Yah ... masih sama dengan kemarin, Guru."

Guru Han terkikik. "Lupakan jurus satu jari, untuk malam ini kita makan enak!" Tiba-tiba guru Han memperlihatkan ayam bakar seekor berukuran besar nan montok untuk mereka berdua.

"Guru Han dapat ayam dari mana?" tanya Jing Wu.

"Dari mamanya Xiao Yen, dia datang berterima kasih karena kau menolong Xiao Yen."

Malam itu pun mereka makan malam sambil mendengar cerita petualangan Guru Han saat ia masih muda dulu.

***

Entah sudah berapa hari Jing Wu bermeditasi ke air terjun tapi hasilnya tetap sama, bahkan di siang hari ia mencoba bermeditasi namun suara air terjun makin berisik. Jing Wu pun kelelahan dan memutuskan untuk membaringkan tubuhnya ke atas batu besar yang berhadapan dengan air terjun.

Ia menatap langit-langit yang penuh dengan burung-burung dan perlahan-lahan matanya mulai sayu dan meredup.

Chit chit chit ....

Jing Wu tiba-tiba terbangun, ia tadi merasa mendengar suara burung yang beterbangan di langit. "Tadi suara burung, kan?" gumamnya sendiri.

Ia ingat, saat tadi mendengar suara burung ia harus serileks mungkin. Ia kemudian merilekskan tubuhnya dan ia bisa mendengar semua suara binatang di sana.

Jing Wu tampak senang sekali. Ia langsung berlari menuju kuil tapi tanpa diduga di depan ada beruang yang sedang memangsa rusa kecil, sedang melihat ke arah Jing Wu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 50 - Dimensi Terlarang

    Angin malam berhembus kencang di lembah pertempuran itu. Cahaya rembulan tersembunyi di balik kabut pekat. Hanya suara desir dedaunan dan gelegar petir di kejauhan yang menjadi saksi pertarungan maut para pendekar malam ini. Pria berwajah pucat itu terpental jauh ke belakang, menghantam bebatuan keras setelah terkena jurus Tangan Iblis milik Jing Wu. Debu berhamburan. Jing Wu berdiri tegak dengan kedua tangan mengepal, napasnya memburu. Di balik sorot matanya yang tajam, menyala amarah. Li Shuwang yang sedang bertarung di sisi lain menoleh cepat dan terbelalak. “Tangan besar yang mengerikan... itu jurus apa?” batin Li Shuwang tak percaya. Di atas batu tinggi, seorang pria berjubah hitam dengan tubuh kekar menyilangkan tangan di dada, memperhatikan pertarungan itu dengan senyum tipis di wajahnya. “Huh... sepertinya anak Jing Huei itu lumayan juga,” gumamnya pelan, suaranya berat. “Tapi sayang... lawannya juga tangguh.” Li Shuwang menyipitkan mata, tak suka dengan nada itu. “Kau b

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 49 Hadangan di Jalan Menuju Utara

    Kereta kuda kecil itu melaju perlahan di jalan berbatu, diapit pepohonan tinggi yang merunduk ke arah jalan, seakan menyembunyikan rahasia gelap di antara daun-daunnya. Jing Wu duduk bersandar di pojok, matanya menatap kosong ke luar jendela, sementara Ming Yue duduk di sampingnya, sesekali mencuri pandang ke arah wajah pemuda itu. Bao Yu duduk di seberang mereka, pelipisnya berkeringat meskipun udara cukup dingin.Li Shuwang yang duduk di depan, menggenggam gagang pedang panjang di pinggangnya, seakan merasakan sesuatu. Dan tiba-tiba…“Li Shuwang,” suara berat Jing Wu memecah keheningan. “Sepertinya kau tahu banyak tentang dunia persilatan.”Li Shuwang menoleh pelan. “Mengapa kau bertanya begitu?”Jing Wu menarik napas panjang. “Beberapa waktu lalu, aku mengikuti turnamen yang diadakan oleh Perguruan Teratai Putih… entah apa yang terjadi, tapi aku merasa ada sesuatu yang janggal. Aku bertemu dengan orang-orang yang menyebut dirinya… dari Dongfang.”Begitu nama itu disebut, Li Shuwang

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 48 - Pertemuan di Desa Qi Yi

    Udara pagi di kediaman Li Shuwang terasa sejuk. Burung-burung kecil berkicau di antara pepohonan rindang, dan aroma teh hangat menguar dari ruang tengah. Jing Wu duduk bersila di serambi, menatap ke arah pegunungan jauh di utara yang samar terlihat. Ming Yue sibuk merapikan rambutnya, sementara Li Shuwang menuangkan teh ke dalam cawan tanah liat. Li Shuwang akhirnya memecah keheningan. “Sebenarnya… kalian mau ke mana?” tanyanya, sembari menyeruput teh perlahan. Ming Yue langsung mengangkat wajahnya, matanya berbinar. “Aku mau ke utara, ke Istana Peri Utara,” katanya dengan nada penuh semangat. “Aku ingin bertemu dengan nenek dan kerabatku yang lain di sana. Sudah lama sekali aku tak melihat mereka.” Li Shuwang mengangguk pelan. “Begitu ya… Istana Peri Utara. Tempat itu terkenal misterius. Tak semua orang bisa keluar masuk sesukanya.” “Aku tahu,” balas Ming Yue, tersenyum tipis. “Tapi aku punya hak sebagai keturunan di sana.” Li Shuwang kemudian menoleh ke arah Jing Wu. “Lalu,

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 47 Bara di Tengah Hutan

    Cahaya matahari sore menembus celah-celah dedaunan lebat, menciptakan pola-pola keemasan di tanah hutan yang lembap. Di sebuah gubuk kayu sederhana yang nyaris tertutup rimbunan semak, asap tipis mengepul dari tungku tanah liat. Jing Wu sedang berjongkok di depan bara api, membalik seekor ikan sungai besar yang mulai menghitam di beberapa bagian. Aromanya menggoda, meski udara sekitar masih basah oleh embun. Di sisi lain, Ming Yue duduk menyandar pada dinding kayu, memeluk kedua betisnya. Wajahnya serius, pandangannya menerawang. “Jing Wu…” “Ya?” sahut Jing Wu tanpa menoleh, matanya tetap fokus pada ikan yang hampir matang. “Sebenarnya… siapa kedua orang kemarin yang menyerang kita, ya?” Jing Wu menghela napas, lalu mengibas-ngibaskan daun lebar ke atas bara, menimbulkan semburat asap dan percikan kecil. “Entahlah,” katanya pelan. “Tapi kurasa mereka mengincarku. Dan semuanya… mungkin ada hubungannya dengan orang tuaku.” Ming Yue menoleh cepat. “Orang tuamu?” “Ya. Kata

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 46 Misteri Jasad Jing Huei

    Keluar kalian! Kedua orang berjubah hitam muncul di depan Jing Wu dan Ming Yue. Ming Yue terkejut karena ia tak pernah melihat kedua pendekar itu sebelumnya. Salah satunya memiliki kulit pucat dan tampak tak bersemangat, sementara yang satunya lagi memegang kipas kertas di tangannya. Jing Wu tampak serius, terutama karena Ming Yue berada di sampingnya dan harus ia lindungi. "Siapa kalian?" tanya Jing Wu lantang. Pria yang memegang kipas itu terkekeh. "Julukanku adalah Kipas Kematian, dan temanku ini disebut Si Mayat Hidup." Jing Wu mengernyit. Jubah yang mereka kenakan tampak familiar. Sama dengan yang dikenakan oleh Zhang Zui dan Bataar saat pertama kali ia bertemu mereka. Apakah mereka berasal dari organisasi yang sama? Tiba-tiba, Kipas Kematian mengayunkan kipasnya ke arah Jing Wu, dan seketika hembusan angin yang sangat kuat menyerang Jing Wu dan Ming Yue. Beruntung, Jing Wu gesit. Ia segera melindungi Ming Yue dan menciptakan perisai angin yang lebih kuat. "Huh, ternya

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 45 Pertemuan Tak Terduga

    Ming Yue!” teriak Jing Wu begitu melihat gadis itu duduk di ranjangnya, mengayun-ayunkan kakinya dengan santai. “Kenapa kau ada di sini?!” Ming Yue menatapnya dengan senyum penuh arti. “Ya... kenapa ya...?” sahutnya dengan nada menggoda. Jing Wu mengerutkan kening, masih belum percaya dengan pemandangan di depannya. “Kemarin bukannya seharusnya kau menikah? Lalu kenapa kau malah ada di sini?!” Wajah Ming Yue seketika cemberut. “Siapa juga yang mau menikah?” jawabnya kesal. “Tapi... bagaimana dengan calon suamimu itu? Kau meninggalkannya saat upacara pernikahan kalian. Dia pasti kecewa,” lanjut Jing Wu dengan nada lebih pelan. Ming Yue mengebaskan tangannya seolah mengusir masalah itu jauh-jauh. “Ah! Siapa yang peduli?” Jing Wu menghela napas panjang. “Apa?!” “Sudah ah, aku mau tidur dulu,” kata Ming Yue sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang, tampak tak peduli dengan kegelisahan yang ditimbulkannya. “Tunggu, itu ranjangku!” protes Jing Wu. “Sekarang sudah jadi ranjang

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 44 Pernikahan Ming Yue

    Jing Wu duduk di sebuah kursi kayu di dalam kamar Ming Yue, sementara Ming Yue duduk di tepi ranjangnya. Lampu minyak di atas meja kecil menerangi ruangan dengan cahaya temaram. Wajah Ming Yue tampak cerah saat mendengarkan kisah perjalanan Jing Wu yang telah berkelana bersama para Pertapa Shan."Jadi, kau benar-benar hidup bersama mereka di pegunungan?" tanya Ming Yue dengan mata berbinar. "Aku selalu penasaran seperti apa kehidupan mereka."Jing Wu tersenyum. "Ya, kehidupan di sana tenang, tapi tidak mudah. Setiap hari ada latihan, dan banyak peraturan yang harus ditaati. Namun, aku belajar banyak hal, termasuk teknik bertarung dan cara memahami dunia dengan lebih luas.""Lalu bagaimana dengan turnamen di Perguruan Teratai Putih? Aku mendengar berita tentang itu, tapi kedua kakakku tidak ada yang tertarik mengikutinya," ujar Ming Yue sambil menghela napas.Jing Wu mengangguk. "Turnamen itu cukup sengit. Banyak pendekar hebat yang datang dari berbagai perguruan. Aku bahkan hampir tid

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 43 Kota Qiangyan

    Jing Wu dan Yang Zhao berdiri di sudut perguruan Teratai Putih. Malam sudah larut, hanya cahaya lentera yang menggantung di beberapa sudut yang menerangi halaman luas perguruan. Jing Wu menatap tajam ke arah Yang Zhao. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, dan ia tak ingin menunda lebih lama."Paman," ucapnya dengan suara dalam. "Aku ingin bertanya sesuatu. Sebenarnya, apa yang terjadi pada mendiang ayahku dahulu?"Yang Zhao terdiam. Ia menatap wajah pemuda itu, mengingat sosok sahabat lamanya dalam dirinya. Napasnya terasa berat saat ia harus membuka luka lama yang selama ini berusaha ia kubur."Kenapa kau ingin tahu?" tanyanya pelan."Aku selalu mendengar bisik-bisik tentang ayahku, tetapi tak seorang pun mau bercerita dengan jelas. Aku ingin tahu yang sebenarnya."Yang Zhao menarik napas panjang. "Baiklah, jika kau ingin mendengar kenyataan, aku akan mengatakannya." Matanya menerawang ke masa lalu. "Jing Huei, ayahmu, dan aku dahulu adalah sahabat. Kami bertemu ketika aku bela

  • Pendekar dari Lembah Sepuluh Iblis   Bab 42 Jing Wu VS Yang Zi

    "Astaga! Tuan Zheng Shen!" seru seorang tabib. Salah satu murid perempuan bahkan menutup mulutnya, ngeri melihat banyaknya darah yang dimuntahkan. Namun Jing Wu tetap tidak melepaskan tangannya. Ia menggertakkan giginya, menahan sakit yang mulai terasa di tubuhnya sendiri. "Aku belum selesai!" serunya. Liang Fu hendak menghentikannya, tapi tatapan Jing Wu yang penuh tekad membuatnya mengurungkan niat. Perlahan, Jing Wu menyalurkan lebih banyak tenaga dalamnya. Cahaya biru di tangannya semakin terang, berdenyut seperti api yang menyala-nyala. Zheng Shen kembali mengerang, tapi kali ini, urat-urat hitam di lehernya mulai memudar. Racun yang tadinya menyebar di sekujur tubuhnya perlahan surut. Namun, di sisi lain, tubuh Jing Wu mulai bergetar. Keringat bercucuran di dahinya, dan napasnya mulai berat. "Jing Wu!" panggil Liang Fu, khawatir. "Kau harus berhenti! Jika tidak, kau sendiri bisa mati!" Jing Wu terdiam beberapa saat. Ia tahu batasannya, tapi jika ia berhenti sek

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status