Share

4. Terima Kasih, Ustadzah!

Semilir angin menerpa wajah ayu namun menyimpan kesedihan, Aira masih bertahan setelah satu jam lebih berdiri di atas balkon. Ia bersyukur, air mata tak lagi keluar menunjukan kelemahannya, ia bisa pura-pura kuat, ia bisa pura-pura baik-baik saja. Tanpa ada yang tau isi hatinya seperti apa sebenarnya. Bayangan kejadian kemarin setelah Alan menceritakan semuanya kembali terbersit di lamunan.

"Kamu ini laki-laki, tapi sangat ceroboh sekali dalam berkata," ucap Vina tanpa sudi menatap anaknya.

"Seharusnya kamu bisa lebih baik mengontrol fikiran dan ucapanmu. Ini semua terjadi karena salahmu, dan sekarang lihat, bahkan Aira pun harus ikut menanggung kesalahan yang kau buat itu." Vina berkata dengan dingin. Auranya seakan mengibarkan bendera permusuhan pada anaknya sendiri.

"Kamu sudah gagal menjadi seorang suami, Alan," tambahnya lagi semakin menyalahkan anaknya. Alan tetap diam menunduk. Ia memang bukan anak yang suka membantah, bahkan di saat seperti ini pun ia tak berani berkata apapun untuk membela dirinya.

"Kalau begitu biarkan Aira memilih jalannya sendiri, Alan. Biarkan Aira menemukan kebahagiaannya." Alan mendongak, mata basahnya menatap Vina dengan raut tak mengerti.

"A-apa maksud Ibu?" tanyanya dengan cemas.

Vina terlihat menarik nafasnya dalam-dalam, lalu berkata dengan tegas, "Ceraikan Aira, lepaskan dia, biarkan dia mencari kebahagiaannya sendiri di luar sana."

Deg

Aira pun pun sampai terkejut mendengar ucapan Vina, sama halnya dengan Alan. Ia menggelengkan kepalanya dan menatap tak percaya pada Vina.

"Tidak, Bu. Aku tidak akan melakukannya. Aku mencintai Aira. Dia sangat berarti untukku, Bu."

"Lalu? Kau mau dia tetap bersama denganmu, sedangkan kamu sendiri malah menikahi wanita lain? Kamu jangan egois, Alan. Jangan kekang Aira dalam hidupmu. Biarkan dia pergi."

"Tidak, aku tidak bisa melepaskannya, Bu. Aku sangat mencintainya." Alan memegang tangan Vina lalu menunduk menangis. Ia menyentuhkan punggung tangan wanita paruh baya itu pada keningnya, cukup lama.

"Ibu tidak akan membiarkanmu serakah, Alan. Jbu tifak akan membiarkanku menjadi suami yang jahat. Jika kamu tetap bersikeras akan menikahi wanita itu, maka Ibu akan membantu Aira untuk lepas dari kamu. Ingat itu!" Vina langsung bangkit dan berlalu keluar dari kamar, meninggalkan Alan yang tersungkur di lantai dengan pundak bergetar. Aira menyeka air mata yang turun sekali-sekali lalu bangkit meninggalkan Alan sendiri. Dan semenjak kejadian itu, Aira dan Alan saling diam. Tak ada lagi perbincangan hangat, tak ada lagi canda tawa, tak ada lagi bergelayut manja diantara mereka. Bahkan, hingga sekarang.

Ddrrrttt ddrrrtt

Ponsel Aira bergetar dari dalam tas membuyarkan lamunannya sekaligus menarik kesadarannya ke waktu sekarang. Aira meraih ponsel dari tas pundak yang ia kenakan. Ustadzah Maulida, nama yang terpampang di layar ponsel. Segera ia menggeser tombol untuk menerima panggilan itu.

"Assalaamu'alaikum, Ustadzah?"

"Wa'alaikumsalaam, Aira, kamu di mana?"

"Aku di lantai dua, Ustadzah, meja yang terletak di balkon."

"Oh, ya sudah. Aku ke sana. Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam."

Tutt ... Panggilan terputus. Aira memasukkan kembali ponsel tersebut ke dalam tas dan segera duduk, menunggu kedatangan Ustadzah Maulida yang sudah ia tunggu dari tadi.

Begitu sosoknya terlihat, Aira melambaikan tangan. Temannya itu masih sama seperti dulu, selalu mengenakan abaya lebar disertai dengan hijab lebar dan niqob berwarna senada. Kali ini, ia menggunakan niqob bandana, yang hanya memperlihatkan kedua mata tegasnya saja. Kenapa Aira bisa tahu itu orang yang ia tunggu? Ya mungkin karena Aira sudah mengenal gerak geriknya dan ciri khasnya. Sehingga kalaupun Ustadzah Maulida berada di antara wanita berniqob lain, Aira tetap bisa menebak dirinya yang mana.

"Assalaamu'alaikum, Aira?" sapanya sambil mengulurkan tangan yang terbalut handshock.

"Wa'alaikumussalaam, Ustadzah." Aira hendak mengecup punggung tangannya, tetapi ia menolak. Ia pun mengajak Aira bercipika cipiki, membuat mereka terkesan lebih akrab.

"Duduk, Ustadzah."

"Ah, kamu, Aira. Jangan memanggilku seperti itu, kita hampir seumuran. Kau membuatku merasa sangat tua dengan sebutan itu."

"Tetap saja, Ustadzah putri dari Ustadzah Aluna, guru saya. Justru saya malu jika memanggil Ustadzah hanya nama saja."

Mereka berbincang-bincang basa basi, membicarakan apapun yang Aira tanyakan dari pesantren tempatnya menimba ilmu dulu, sekaligus rumahnya Ustadzah Maulida ini. Aira dengannya memang cukup dekat, hingga setelah Aira menikah pun mereka masih tetap berteman.

"Ustadzah, ada yang ingin aku tanyakan. Aku ingin meminta pendapat Ustadzah tentang masalah yang sedang aku hadapi," ucap Aira membuka topik utama. Ustadzah Maulida pun langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi serius. Terlihat dari sorot matanya.

"Mas Alan, dia meminta izin padaku untuk menikah lagi," ucap Aira. Walau ia merasa sudah berusaha tegar menerima kenyataan ini, tetapi ternyata hatinya masih rapuh saat mengakui permasalah yang sedang menimpa rumah tangganya. Memang, sangat sulit menghadapi masalah yang satu ini.

Ustadzah tak langsung berkomentar, ia terlihat cukup terkejut dengan apa yang Aira katakan itu. Aira kembali menangis, dan Ustadzah Maulida mengusap-usap punggung Aira, membiarkannya menumpahkan air mata yang terus mendesak keluar.

"Terus, bagaimana, Ra?" tanyanya setelah Aira cukup tenang.

"Aku bingung, Ustadzah. Ibu mertuaku menyuruh Mas Alan menceraikanku jika ia bersikeras ingin menikah lagi. Ibu mertua sangat menyayangiku hingga tak ingin membiarkanku dimadu. Tapi, aku masih bingung dan tak bisa memutuskan apapun. Entah harus bertahan atau berpisah, aku tak bisa mengambil keputusan. Jujur, aku sudah sangat mencintai Mas Alan. Entah akan seperti apa efeknya jika saja aku harus berpisah dengannya. Tapi, aku pun merasa tak sanggup jika harus membagi hati dan raga Mas Alan dengan wanita lain. Membayangkannya saja ... hatiku sudah sangat sakit, Ustadzah," ucap Aira diiringi dengan pundak bergetar. Ustadzah memegang pundak Aira, lalu ia menarik Aira ke dalam pelukannya.

"Aira, seorang suami memang diperbolehkan menikah lagi jika memang secara materi dia sudah mampu. Tetapi tetap harus dengan izin istri pertamanya. Karena apa? Karena hanya istrinya lah yang mengenal pribadi si suami lebih baik dari siapapun, bahkan dibanding dirinya sendiri. Jika kamu merasa kalau suamimu akan mampu bersikap adil, atau akan berusaha belajar adil, maka kamu bisa mengizinkannya. Tapi jika menurutmu suamimu itu orang yang egois, tak mau mendengar nasihat, dan selalu mengedepankan nafsu, maka jangan izinkan."

Ustadzah Maulida melepaskan pelukan, ia menangkup wajah Aira dengan kedua tangannya, lalu berkata, "Nah, untuk itu kamu sendiri sebagai istrinya pasti sangat mengenal suamimu itu orang yang seperti apa. Karena poligami itu memiliki nilai yang lebih dari pada rumah tangga biasa yang hanya mempunyai satu orang ratu di dalamnya. Poligami itu bisa menjadi lebih baik dari rumah tangga biasa, atau lebih buruk dari rumah tangga biasa. Lebih baik dari rumah tangga biasa karena adanya adil dari sang suami, yang bisa berlaku bijaksana sebagai penengah antara kedua istrinya."

"Dan bisa juga lebih buruk dari rumah tangga biasa karena tidak ada sifat adil dan bijaksana dalam diri suami, yang malah akan membuat pihak manapun, atau bahkan semua pihak tersakiti dan merasa dirugikan. Ia hanya akan melakukan apa yang ia inginkan, tanpa memikirkan perasaan istri-istrinya. Dan jika itu terjadi, maka suami menjadi pihak yang menanggung dosa sangat besar karena sudah dzalim kepada istri-istrinya. Aira, poligami itu memang susah dan berat, bahkan menyakitkan, tapi semua itulah yang menjadi ladang pahala untuk kita jika kita bisa sabar dan tabah menjalaninya. Tapi bukan berarti suami bisa bebas berlaku sesuka hati. Justru suami harus bersikap adil dan bijak untuk mengobati luka hati istri-istrinya."

Kata demi kata yang diucapkan Ustadzah Maulida seolah mampu menyihir jiwa yang sedang luluh lantak itu hingga membuat Aira langsung terbawa arus hidayah yang ia sampaikan. Hati dan jiwa Aira terasa begitu teduh mendengarkan untaian kata indahnya yang seakan dengan ajaib menyembuhkan luka di hati nya.

"Ra, dalam Islam ada yang disebut dengan Muhasabah Cinta. Kau tahu artinya apa? Yaitu merenungkan cinta. Cinta itu adalah nama sebuah perasaan, yang di mana kita tidak mampu menjelaskan dengan kata-kata, tetapi hatilah yang merasakannya. Yang kita akan merasa bahagia saat mendengarkan segala hal baik tentangnya, dan akan marah saat mendengar orang membicarakan hal buruk tentangnya. Cinta itu pemberian Allah, dan kita harus bisa mengarahkan cinta itu pada hal yang tepat. Dan jangan pernah mencintai sesuatu apapun lebih dari kamu mencintai-NYA. Karena hanya akan mendapatkan patah hati. Tetapi sebaliknya, saat kamu bisa mengatur hati dan lebih mencintai Tuhanmu lebih dari apapun, bahkan suamimu sendiri, maka hatimu akan terasa ringan dan bahagia. Apapun yang terjadi. Percaya deh padaku."

"Jika kamu masih bingung, kamu bisa beristikharah, meminta petunjuk Allah menjadi langkah terakhir penunjuk jalan untuk kita. Allah pasti menunjukan jalan yang terbaik untukmu, entah itu bertahan, atau melepaskan."

Aira mengangguk-anggukkan kepala berkali-kali. Ia mengerti apa yang harus ia lakukan sekarang. Ditatapnya Ustadzah Maulida dengan mata berkaca-kaca, senyum haru Aira tampilkan padanya sebagai rasa puas atas nasihatnya.

"Terima kasih, terima kasih, Ustadzah." Aira memegang erat kedua tangan temannya itu, ia cium takdzim berkali-kali. Membuat Maulida meringis karena enggan.

"Aduh, kamu jangan seperti itu, Aira. Aku jadi malu," ucapnya sambil melirik ke tamu-tamu lain.

"Hihi, maaf Ustadzah. Tapi aku sungguh bersyukur sudah meminta nasihat pada orang yang tepat. Ustadzah sudah membuka fikiranku yang awalnya begitu sempit dan rumit. I love you Ustadzah ..." ucap Aira sambil merentangkan kedua tangan hendak memeluk.

"Ih, apaan sih, Aira. Ya Allah, istighfar, Aira!" Tegurnya dengan panik. Mereka pun tertawa bersama, lalu kembali hanyut dalam kebersamaan setelah sekian bulan tak bertemu.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status