Share

3. Masih Flashback

Author: UmmiNH
last update Last Updated: 2023-06-06 21:51:58

Alan memang tak menginginkan hal buruk terjadi pada bayi tak berdosa itu. Sisi kemausiaan dan sifat penyayangnya pada anak kecil membuatnya tak bisa membiarkan bayi itu dalam bahaya walau ia tak kenal siapa ibu dan ayahnya, dan Alan pun bersedia jika harus mengurusnya. Tetapi ... untuk menikahi ibunya ... Ia rasa, Ia tak bisa. Alan menatap sejenak wanita yang sekujur badannya masih basah tersebut. Ia wanita yang cukup cantik, tetapi tidak berhijab. Rambut hitamnya tergerai bebas hingga menyentuh pinggang. Tubuhnya bergetar dengan kedua tangan saling memeluk. Ah, Ia sampai melupakan keadaan wanita itu saking paniknya memikirkan bayi tadi.

Perlahan Ia dekati wanita itu dan berkata, "Emm, tolong tunggu sebentar di sini, ya? Saya akan mencari baju ganti untukmu," ucapnya.

Wanita itu menatap Alan dengan wajah yang pucat pasi, tetapi tak mengatakan sepatah katapun.

"Jangan ke mana-mana!" Setelah mengatakan itu, Alan pun berlalu untuk mencari baju ganti untuk wanita itu. Hujan sudah mereda, Ia mendatangi toko terdekat untuk membeli satu set pakaian wanita yang sopan, lengkap dengan dalamannya. Seorang pegawai wanita datang membawa pesanannya, tentu pegawai itu sendiri yang memilihnya, bukan Alan. Satu buah terusan tanggung bermotif bunga-bunga dengan satu switer untuk menghangatkan badan. Karena wanita itu tak berhijab, maka Alan tak membelikannya. Takut ia tersinggung. Alan langsung membayarnya dan berjalan tergesa menuju rumah sakit.

"Ini, cepat ganti bajumu." Wanita tersebut dengan ragu meraih paper bag yang ia serahkan, kemudian berlalu menuju ke toilet.

Beberapa saat berlalu, Dokter keluar dan mengatakan keadaan bayi tadi baik-baik saja. "Tetapi kita tetap harus menempatkan sang bayi di ruang NICU. "

"Lakukan yang terbaik untuknya, Dok."

Dokter tersenyum dan mengangguk. "Bapak tenang saja, adiknya akan segera membaik setelah mendapat perawatan."

Dokter dan dua orang perawat pun memindahkan bayi kecil itu ke ruang NICU, sedangkan Alan menunggu wanita tadi terlebih dulu. Setelah beberapa saat wanita tersebut pun datang, Alan langsung mengajaknya untuk menyusul ke ruang NICU. Ia dan ibu dari bayi itu hanya bisa melihat dari kaca. Bayi itu terlihat begitu terlelap tidur di dalam inkubator yang dapat menghangatkan tubuh dinginnya. Ah, akhirnya Alan bisa bernafas lega.

"Emmh ... Tuan ..."

Alan terkesiap, menyadari wanita tadi menyentuh lengannya. Dengan perlahan ia menepis tangan wanita itu. Ia pun terlihat kikuk dan malu.

"Terima kasih," ucapnya tanpa menatap.

"Terima kasih sudah memberikan harapan kehidupan untukku dan Cilla." Ia mengatakannya dengan masih tak menoleh pada Alan. Ia menangis sambil menatap bayinya yang kini terlelap tenang.

"Aku, aku sadar aku sudah sangat salah. Aku sudah kehilangan akal. Tetapi, aku seperti itu karena aku sudah putus asa, aku tidak punya harapan dan pegangan. Aku tidak punya siapa-siapa, aku ...." Ia menangis semakin menjadi.

"Duduk dulu," ucap Alan sambil berjalan ke tepi, di mana ada kursi tunggu berjejer cukup panjang di sana. Mereka duduk bersampingan, Alan sudah membuka mulut hendak berbicara lebih dulu menjelaskan semuanya, tetapi wanita itu lebih dulu melanjutkan ceritanya. Membuat Alan terpaksa menutup mulutnya lagi.

"Aku sadar, apa yang kulakukan sangat salah. Aku hendak bunuh diri dan sekaligus membunuh bayi tak berdosa itu. Tetapi, saat itu aku sedang gelap mata. Aku tak bisa menemukan jalan lain. Keluargaku mengusirku setelah tau aku hamil tanpa suami. Awalnya, ayah bayi ini menerimaku walau sikapnya jadi berbeda setelah mengetahui aku hamil anaknya, kami tinggal bersama di kontrakannya, tanpa menikah. Ia juga sempat menyuruhku menggugurkan kandungan, tapi aku menolak karena takut. Selama itu keluargaku tak pernah mau mendengar kabarku. Aku bahkan sudah mereka anggap orang asing. Hingga akhirnya aku melahirkan, ayah bayi itu tak tau ada di mana saat itu. Aku berjuang sendiri melahirkannya. Sedih, sangat menyedihkan. Di saat wanita lain melahirkan di semangati oleh Ibu dan suami, aku malah sendiri. Tak ada siapapun yang menemaniku. Setelah aku pulang dari bidan, aku dibuat terkejut saat melihatnya bersama wanita lain di kontrakan," ucapnya kemudian terdiam sejenak untuk mengatur nafasnya yang tersenggal.

"Bukan hanya itu, ia juga memaki dan menghinaku di depan selingkuhannya karena sudah hamil dan melahirkan. Mengatakan kata-kata yang sangat melukai hatiku. Ia juga mengusirku karena sudah kasar pada selingkuhannya, ia juga tak peduli pada anaknya, hingga akhirnya membuatku putus asa dan kehilangan akal. Aku pun tak bisa berfikir jernih, merasa hidupku tak bisa dilanjutkan lagi. Apalagi dengan kehadiran bayi itu di kehidupanku, aku merasa tidak akan bisa melanjutkan hidupku hanya berdua dengannya, apalagi aku juga masih kurang tahu bagaimana cara mengurus bayi. Tak ada sanak saudara, tak ada keluarga, tak ada suami. Hingga kemudian anda datang menyelamatkan kami, sungguh aku sangat berterima kasih karena anda sudah bersedia menerimaku dan Cilla." Wanita itu menatap Alan dengan mata berbinar. Alan menelan ludah melihat sorot matanya yang menyimpan banyak harapan. Tetapi, Alan terpaksa harus menjelaskan padanya lebih dulu. Sebelum semuanya semakin terlanjur, bukan?

"D-dengar, aku tadi sangat cemas dengan bayimu. Jadi aku tak sadar mengatakannya. Tetapi sebenarnya aku tak bisa menikahimu."

Raut wajah harunya langsung berubah. Ia menatap Alan dengan penuh tanda tanya.

"Maksud Tuan?" tanyanya dengan sorot mata gelisah.

"Tenang dulu. Dengar, aku bisa membantumu, aku bisa mengurus bayimu, aku bisa mengurus dan membesarkannya kalau memang kau merasa dia beban dan pembawa sial untukmu. Aku akan menjaganya, mengurusnya, menyayanginya seperti anakku sendiri. Tapi, aku tidak bisa menikahimu."

Ia menatap Alan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Alan semakin merasa bersalah dibuatnya, bukankah ini yang ia inginkan? Kenapa dia malah terlihat sedih?

"Jadi, anda hanya menipu saya?" tanyanya membuat Alan gelagapan.

"B-bukan begitu. Saya sama sekali tidak ada niat menipu. Serius. Tadi saya sangat panik sampai-sampai mengatakan itu. Saya hanya ingin agar bayimu segera di bawa ke rumah sakit. Supaya kamu segera berhenti membuatnya kehujanan. Saya tidak sadar apa yang saya katakan."

Ia menatap Alan dengan garang, lalu berkata, "Tuan, aku memang tadi ingin bunuh diri dengannya, dan mengatakan kata-kata tak pantas untuknya. Karena mental saya sedang tak baik-baik saja. Dan kemudian anda datang layaknya seorang pahlawan, membuatku melihat ada setitik harapan untukku dan Cilla bisa hidup normal seperti orang lain. Anda sudah memberikan diriku kesempatan untuk merenung, memikirkan semua yang sudah saya perbuat. Saya sudah sadar apa yang saya lakukan salah. Jauh di lubuk hati ini, saya menyayanginya. Saya tidak bisa berpisah dengannya. Tuan, seorang laki-laki harus bisa menepati janji, seorang laki-laki sejati itu harus bisa dipegang ucapannya," ucap wanita itu membuat Alan tak bisa berkata-kata lagi. Dan beberapa detik kemudian ia pun tertawa. "Yah, seharusnya aku tidak kaget mendapat perlakuan seperti ini. Mungkin memang semua laki-laki di dunia ini sama, seperti ayah dari bayi itu! Jahat! Kalian memang jahat! Mungkin sudah menjadi kebiasaan kalian kaum lelaki untuk menyanjung wanita hingga terbang ke langit, lalu menghempaskannya sekaligus hingga ke dasar paling dalam, menghancurkan semua yang tersisa dalam dirinya hingga tak tersisa," ucap wanita itu dengan tersenyum getir.

Wanita itu menunduk, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Pundaknya bergetar seiring dengan isakan yang mulai terdengar. Rasa bersalah pun mulai menguasai Alan.

"Nikahi aku!" ucap wanita itu dengan menatap tajam.

Alan tercekat, bingung harus mengatakan apa.

"S-saya ...."

"Nikahi aku!" ulangnya.

"Tapi saya sudah menikah, saya tidak bisa."

Awalnya, wanita itu terlihat terkejut, kemudian ia tersenyum kecut dan berkata, "Aku tidak peduli."

Alan memejamkan matanya dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Pasrah, menyadari kini ia tak bisa lagi berbuat apa-apa.

Ya Allah, jika saja memang ini jalan takdirku, maka aku mohon bantuan dan tuntunanmu untuk menjalaninya dengan baik. Mampukan aku untuk melewati berbagai tantangan dan goncangan yang pastinya akan sering aku temui ke depannya.

"Baiklah, setelah mendapatkan izin istri saya, saya akan segera menikahimu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   66. Ending

    "Mbak, aku tahu kamu akan cepat menemukan surat ini." Satu garis pertama membuat Aira langsung mengerutkan kening. "Yulia?" gumamnya lalu kembali membaca bait selanjutnya dengan tak sabar. "Terima kasih untuk semua yang sudah kalian berikan untukku. Pelajaran hidup, dan ilmu-ilmu yang sebelumnya tak aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian dengan setimpal. Aamiiin.Mbak, bukan maksudku untuk merusak hari bahagiamu. Tapi aku takut, aku terlalu takut untuk terus berada di antara kalian, orang-orang yang aku sayangi. Aku merasa tak pantas berada di antara kalian dan mendapatkan cinta kalian. Mbak, aku titip Cilla, ya? Aku percaya kalian akan menyayangi dan menjaganya dengan baik. Jika suatu saat dia bertanya tentangku, kasih tahu padanya kalau aku sudah tiada. Aku merasa tidak sanggup untuk terus bersama kalian. Sejak kehadiranku kalian sudah mengalami banyak sekali masalah dan musibah. Kehidupan kalian yang damai seolah terenggut dengan kedatang

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   65. Maafkan Ibu

    "Tenang wahai ibu-ibu, jangan ikut-ikutan cemas dan takut suami akan berpoligami hanya karena ada salah satu tetangga kita yang berhasil melakukannya. Itu hak masing-masing, dan ibu-ibu sekalian juga tidak punya hak mengurusi hidup Yulia, maupun hidup Aira dan mas Alan. Coba pikirkan, apakah mereka benar-benar merugikan kalian dengan nyata? Kalau hanya suami jadi bercanda dan menggoda ibu masalah poligami itu hanya hal wajar. Tapi sisi ketakutan ibunya lah yang terlalu berlebihan. Saya contonya, saya suka melihat keluarga Mas Alan, Aira, dan Yulia hidup dengan tenang dan damai. Bisa saja saya menggoda istri saya masalah itu, tetapi bukan berarti saya memang benar-benar serius ingin menikah lagi. Saya tidak punya niatan malah, tapi bukan berarti saya tidak bisa bercanda."Ibu-ibu semua mulai diam dan memikirkan perkataan pak RT. "Tapi Pak RT bisa jamin, gak, kalau suami kita benar-benar hanya bercanda?" tanya Bu Jiya."Insya Allah. Kalau ada suami yang bersungguh-sungguh ingin berpoli

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   64. Jangan Usir Menantuku!

    Setiap hari ada saja yang membuat hari-hari Yulia begitu sibuk. Bagaikan ingin membuatnya kapok dan menyerah, Vina terus menuntut banyak hal dan marah-marah pada Yulia. Sebenarnya bukan balas dendam, hanya saja dia ingin lebih dalam mengetahui kasih sayang Yulia terhadapnya. Apakah Yulia benar-benar tulus merawatnya selama ini? Ya, walaupun hatinya sendiri sudah merasakannya, tetap saja Vina terlalu enggan dan angkuh untuk berbaik hati begitu saja pada menantu yang tak diharapkannya itu. "Ada yang Ibu inginkan lagi?" tanya Yulia dengan lembut setelah mengganti celana Vina. "Tidak ada," ucap Vina. Yulia tersenyum menatap Vina yang masih tak sudi menatap wajahnya. "Baiklah," gumamnya dengan pelan dan langsung beringsut dari tepi ranjang. Vina tak yakin, tapi dia merasa melihat setitik bening yang bercahaya di sudut mata Yulia sebelum Yulia memalingkan wajahnya dan keluar dari kamar. Vina merasa tak enak. Dia memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur. Tetapi dia malah terjatuh

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   63. Bisa Diandalkan

    "Yulia ... " Vina berkata lirih dengan wajah yang memerah kala menantunya datang menyimpan sarapan pagi. "Iya, Bu?" Yulia menghentikan langkah kakinya yang hendak keluar kamar dan kembali menoleh ke belakang. Vina tak menjawab, bahkan ia tak berani menatap kedua mata Yulia. Tangannya cukup kuat meremas seprai hingga membuat Yulia mulai cemas. "Ibu, ada apa?" tanya Yulia setelah mendekat. Vina tak menjawab, keringat mulai bermunculan memenuhi wajah rentanya. "Ibu sakit? Ibu kenapa?" "Ibu ... Ibu pup." Yulia langsung terkejut mendengar ucapan Vina yang hampir tak tertangkap indera pendengarannya itu. Namun, Yulia berusaha mengerti dan tak ingin semakin menekan mertuanya. Tanpa basa basi lagi Yulia membantu Vina untuk membersihkan diri. Wajah Vina benar-benar memerah. Tubuhnya gemetar menahan rasa malu. Bahkan, ingin sekali rasanya dia menjerit menangisi nasibnya yang sungguh lemah ini. Membuang hajat saja harus dibantu orang lain, apalagi orang yang direpotkan itu adalah Yulia,

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   62. Ibu Kecelakaan

    Esok harinya, Aira yang sudah cukup membaik pun bersiap ke luar rumah. "Mau ke mana, Ra?" tanya Vina saat Aira berjalan mendekati pintu depan. "Em, mau ke toko, Bu." "Oh, iya. Kamu sudah lama ya tidak datang ke toko. Kalau begitu Ibu mau ikut."Aira menggigit bibirnya sendiri. "Mau ikut? Tumben sekali, Bu?" "Iya. Kali saja Ibu menemukan daster yang cocok untuk Ibu."Aira tersenyum kaku. Dan ia pun akhirnya harus benar-benar pergi ke toko, walaupun tujuannya semula bukanlah tempat tersebut. Hingga siang hari Aira masih berada di toko sambil menunggu Vina puas memilih-milih barang yang dia inginkan. "Ra, kalau kebanyakan kamu nanti minta uang bayarnya sama Alan saja, ya?" Aira tersenyum kecil. "Iya, Ibu.""Ah, Ibu sudah puas rasanya. Sudah banyak yang Ibu pilih," ucap Vina dengan terkekeh. "Oh, Ibu mau pulang? Tapi Aira belum beres, Bu. Apa Ibu tidak keberatan pulang sendiri?" Vina memperhatikan Aira beberapa saat membuat menantunya tersenyum kikuk. "Memangnya kamu sedang apa?

  • Penderitaan Istri Kedua Suamiku   61. Sebaiknya Kita Bercerai.

    "Ibu sudah, Bu!" "Ibu, sudah! Kasihan Yulia!" Aira dan Alan tak menyerah. Mereka terus berusaha menjauhkan Yulia dari Vina. Tak mereka pedulikan kerumunan tetangga yang sudah memenuhi halaman rumah mereka dengan berbagai tatapan yang berbeda. "Pembawa sial! Pergi kamu dari hidup putraku!" Vina menyempatkan menendang Yulia saat Alan berhasil menariknya. Alan langsung menyembunyikan Yulia di belakang tubuhnya. Sedangkan Vina di pegangi Aira. "Bu, sudah, Bu. Aira masih lemas." Vina menoleh pada Aira dan menghembuskan nafas dengan kasar. "Awas saja kalau wanita ini masih ada di rumah ini! Pelakor sialan! Pergi kamu dari sini!" Vina menghentakkan kakinya dan kemudian meninggalkan mereka bertiga ke dalam rumah. Yulia terus menangis dengan tersedu. Aira membenarkan jilbabnya yang berantakan akibat ulah Vina. "Ayo masuk, Yul." Aira dan Alan menuntun Yulia dan menutup pintu depan, membuat semua yang menonton kejadian itu kecewa. "Ada apa sih, sebenarnya?" tanya salah satu tetangga."I

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status