"Mbak, aku tahu kamu akan cepat menemukan surat ini." Satu garis pertama membuat Aira langsung mengerutkan kening. "Yulia?" gumamnya lalu kembali membaca bait selanjutnya dengan tak sabar. "Terima kasih untuk semua yang sudah kalian berikan untukku. Pelajaran hidup, dan ilmu-ilmu yang sebelumnya tak aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian dengan setimpal. Aamiiin.Mbak, bukan maksudku untuk merusak hari bahagiamu. Tapi aku takut, aku terlalu takut untuk terus berada di antara kalian, orang-orang yang aku sayangi. Aku merasa tak pantas berada di antara kalian dan mendapatkan cinta kalian. Mbak, aku titip Cilla, ya? Aku percaya kalian akan menyayangi dan menjaganya dengan baik. Jika suatu saat dia bertanya tentangku, kasih tahu padanya kalau aku sudah tiada. Aku merasa tidak sanggup untuk terus bersama kalian. Sejak kehadiranku kalian sudah mengalami banyak sekali masalah dan musibah. Kehidupan kalian yang damai seolah terenggut dengan kedatang
"Dek, Mas mau minta izin. Mas ... akan menikah lagi," ucapnya dengan menunduk, kini ia sedang berlutut di hadapanku. Awalnya aku merasa terkejut, tetapi kemudian aku terkekeh. "Apa sih, Mas, kamu ada-ada aja." Aku hendak bangkit, namun dengan cepat ia menarik tanganku hingga aku kembali duduk. "Dek, Mas serius." Kini ia mengatakannya sambil menatapku lekat. Berusaha aku mencari kebohongan di dalam sorot matanya, tetapi aku malah menemukan kesungguhan yang membuatku terasa tertampar."Dengarkan Mas, Dek. Mas sudah berjanji padanya untuk menikahinya. Mas tidak bisa mengingkarinya. Mas harap kau bisa tabah menerima kenyataan ini."Hatiku terasa sangat hancur mendengar semua itu. Kedua tangannya menggenggam erat kedua tanganku. Sangat erat. Seolah ingin menunjukkan kalau dia sangat takut kehilanganku. Sungguh Na'if."Kau ... Bercanda, kan, Mas? Kau tidak serius, kan?" tanyaku dengan getir. Walau sudah tahu apa yang sebenarnya.Mas Alan mendongak dan menghirup udara dalam-dalam. "Mas ser
"Alan, Yulia? Ada apa ini?"Ibu mertuaku muncul di ambang pintu, membuat tatapan mata kami yang sudah siap bertarung pun teralihkan. Dengan cepat kuusap wajah yang telah basah dengan air mata ini. Walaupun tak berhasil menyingkirkan sembab dan bengkak di mataku."Ada apa Aira, kenapa kamu berteriak-teriak seperti tadi?" tanya Ibu dengan cemas.Ibu beralih ke hadapanku dan mendongakkan wajah yang berusaha ku sembunyikan. "Ya ampun, kamu menangis, Ra? Alan, jawab Ibu, Aira kenapa bisa menangis sampai seperti ini?" Mas Alan bersiap menjawab. Namun ia terlihat sedikit enggan. Ya, aku mengerti karena Ibu sangat menyayangiku. Entah apalah yang akan Ibu lakukan jika sampai mengetahui yang sebenarnya."Aku ... Aku akan menikah lagi, Bu.""Apa?" Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Mas Alan. Aku sedikit merasa puas, setidaknya apa yang Ibu lakukan itu mewakili apa yang sangat ingin kulakukan."Menikah lagi? Menikah lagi, iya? Sana menikah lagi sesuka hatimu, Alan! Sana! Tapi ingat baik-baik,
Alan memang tak menginginkan hal buruk terjadi pada bayi tak berdosa itu. Sisi kemausiaan dan sifat penyayangnya pada anak kecil membuatnya tak bisa membiarkan bayi itu dalam bahaya walau ia tak kenal siapa ibu dan ayahnya, dan Alan pun bersedia jika harus mengurusnya. Tetapi ... untuk menikahi ibunya ... Ia rasa, Ia tak bisa. Alan menatap sejenak wanita yang sekujur badannya masih basah tersebut. Ia wanita yang cukup cantik, tetapi tidak berhijab. Rambut hitamnya tergerai bebas hingga menyentuh pinggang. Tubuhnya bergetar dengan kedua tangan saling memeluk. Ah, Ia sampai melupakan keadaan wanita itu saking paniknya memikirkan bayi tadi.Perlahan Ia dekati wanita itu dan berkata, "Emm, tolong tunggu sebentar di sini, ya? Saya akan mencari baju ganti untukmu," ucapnya.Wanita itu menatap Alan dengan wajah yang pucat pasi, tetapi tak mengatakan sepatah katapun. "Jangan ke mana-mana!" Setelah mengatakan itu, Alan pun berlalu untuk mencari baju ganti untuk wanita itu. Hujan sudah mereda,
Semilir angin menerpa wajah ayu namun menyimpan kesedihan, Aira masih bertahan setelah satu jam lebih berdiri di atas balkon. Ia bersyukur, air mata tak lagi keluar menunjukan kelemahannya, ia bisa pura-pura kuat, ia bisa pura-pura baik-baik saja. Tanpa ada yang tau isi hatinya seperti apa sebenarnya. Bayangan kejadian kemarin setelah Alan menceritakan semuanya kembali terbersit di lamunan. "Kamu ini laki-laki, tapi sangat ceroboh sekali dalam berkata," ucap Vina tanpa sudi menatap anaknya. "Seharusnya kamu bisa lebih baik mengontrol fikiran dan ucapanmu. Ini semua terjadi karena salahmu, dan sekarang lihat, bahkan Aira pun harus ikut menanggung kesalahan yang kau buat itu." Vina berkata dengan dingin. Auranya seakan mengibarkan bendera permusuhan pada anaknya sendiri. "Kamu sudah gagal menjadi seorang suami, Alan," tambahnya lagi semakin menyalahkan anaknya. Alan tetap diam menunduk. Ia memang bukan anak yang suka membantah, bahkan di saat seperti ini pun ia tak berani berkata apap
Hari sudah sore saat Aira pulang dari cafe bertemu Ustadzah Maulida. Setelah beberapa hari terpuruk, kini akhirnya ia merasakan moodnya kembali membaik. Aira melihat pintu depan terbuka, tak seperti biasanya. Dengan penasaran ia pun masuk ke dalam rumah dan celingukan mencari keberadaan tuan rumah. Namun, tak ia lihat siapapun di manapun. Sepi. "Lalu kapan?" Suara teriakan dari lantai atas membuatku terkejut."Ibu? Itu suara Ibu. Kenapa lagi dengan Ibu?" Aira segera berlari menaiki tangga, merasa cemas dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. "Ibu, tolong jangan seperti ini." Alan mengiba sambil menangkupkan kedua tangannya di depan. "Kamu yang jangan seperti ini, Alan. Kamu ingat ayahmu? Dia pergi dengan wanita yang lebih muda dari Ibu. Apa kamu tau bagaimana rasanya? Sangat sakit, Alan, dan bahkan waktupun tak mampu benar-benar mengobati lukanya. Lalu kamu sekarang ingin mengikuti jejak ayahmu yang breng*ek itu? Tidak! Tidak, Alan. Ibu tidak akan membiarkan kamu mewarisi
Pagi ini, Aira melakukan kegiatannya seperti sebelum-sebelumnya. Menyiapkan sarapan, nasi goreng, telur mata sapi, serta teh hangat. Sang surya sudah mulai menyinari hamparan bumi menggantikan tugas rembulan. Aira melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 06.27. Tetapi Alan belum juga kelihatan. Segera ia naik ke lantai dua di mana kamar mereka berada. KleekPintu terbuka sedikit, Aira sedikit mengintip lebih dulu ke dalam kamar yang gelap itu, membuatnya tak bisa melihat apa-apa. Ia membuka pintu lebih lebar dan masuk ke dalamnya. Tirai tinggi ia buka hingga membuat sinar hangat mentari pagi menyinari kamar. Alan masih belum bergerak, ia masih bergelung nyaman di dalam selimut tebalnya. "Mas ... Mas bangun! Ini sudah siang, loh," ucap Aira sambil mengguncang lengan suaminya."Emmmmh ... Jam berapa?" tanyanya setelah menggeram dan menggeliat."Jam setengah tujuh." "Astaghfirullah! Mas kesiangan, Dek." Alan langsung melompat ke lantai dan masuk ke dalam kamar mandi. Aira terse
"Aku tidak akan meninggalkanmu, Mas." Alan masih tak bergeming, ia masih terus menatap Aira dengan tatapan sendu. "Aku akan tetap bersama Mas, apapun yang terjadi." Kedua matanya mulai mengkristal, tatapannya terhalang oleh genangan air mata yang sudah membuncah hingga akhirnya tumpah, luruh membasahi pipi. Dengan cepat Aira mengusap jejak air mata itu dengan jari-jari tangannya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, memberikan isyarat bahwa suaminya itu tidak boleh menangis. Secepat kilat Alan menarik Aira ke dalam pelukannya, ia tetap melakukannya walau diantara mereka ada meja yang lumayan memisahkan jarak antara keduanya. "Mas ..." ucap Aira berusaha melepaskan pelukannya. Ia merasa cukup malu menyadari dirinya dan Alan menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung restoran itu. Namun, Alan seolah tak peduli di mana kini mereka berada. "Aira ... Mas benar-benar berterima kasih. Terima kasih, Aira Sayang, terima kasih." Hanya itu kata-kata yang keluar berkali-kali dari bibir pria berj