Karena suatu kejadian tak terduga, Alan terpaksa berjanji akan menikahi seorang wanita yang bahkan baru ia temui. Alan pun harus berusaha mendapatkan izin dari istri pertamanya untuk menunaikan janjinya itu, walau tak mudah tentunya, wanita mana yang akan dengan mudah mengizinkan suami menikah lagi? Yuk, simak kisah rumah tangga mereka yang pastinya sangat berbeda dari yang lain. kisah poligami yang banyak ujian dan tantangan harus mereka lewati bersama-sama. Namun, apakah mereka mampu? atau pada akhirnya ada pihak yang harus mengaku kalah dan mundur?
View More"Dek, Mas mau minta izin. Mas ... akan menikah lagi," ucapnya dengan menunduk, kini ia sedang berlutut di hadapanku.
Awalnya aku merasa terkejut, tetapi kemudian aku terkekeh. "Apa sih, Mas, kamu ada-ada aja." Aku hendak bangkit, namun dengan cepat ia menarik tanganku hingga aku kembali duduk."Dek, Mas serius." Kini ia mengatakannya sambil menatapku lekat.Berusaha aku mencari kebohongan di dalam sorot matanya, tetapi aku malah menemukan kesungguhan yang membuatku terasa tertampar."Dengarkan Mas, Dek. Mas sudah berjanji padanya untuk menikahinya. Mas tidak bisa mengingkarinya. Mas harap kau bisa tabah menerima kenyataan ini."Hatiku terasa sangat hancur mendengar semua itu. Kedua tangannya menggenggam erat kedua tanganku. Sangat erat. Seolah ingin menunjukkan kalau dia sangat takut kehilanganku. Sungguh Na'if."Kau ... Bercanda, kan, Mas? Kau tidak serius, kan?" tanyaku dengan getir. Walau sudah tahu apa yang sebenarnya.Mas Alan mendongak dan menghirup udara dalam-dalam. "Mas serius, Ra."Deg!Runtuh sudah duniaku bersama dengan kata-kata yang terlontar dari bibirnya barusan. Darahku terasa berhenti mengalir hingga membuat sekujur tubuhku terasa membeku.Waktu terasa berhenti berputar untuk sesaat, menenggelamkanku dalam keterkejutan luar biasa dengan skenario tuhan yang tak pernah kuduga."Kenapa, Mas?" tanyaku dengan lirih."Kenapa?!" ulangku dengan suara meninggi."Kau bilang sangat mencintaiku? Kau bilang selamanya hanya aku satu-satunya di hatimu. Tapi apa yang terjadi sekarang? Kenapa kamu jahat?" tanyaku dengan meledak-ledak.Tetapi Mas Alan malah terus terdiam tak menjawab kemarahanku. Dan itu membuatku semakin merasa emosi dan kecewa.Dengan cepat aku berdiri, menatapnya yang masih berlutut di lantai dengan sorot penuh amarah, seakan aku sedang menghamkiminya. "Kau tidak bisa jawab, Mas?.Ayo jawab aku! Jawab aku!"Ku guncangkan tubuhnya yang mendadak begitu lemas bagai tak bertulang. "Jawab aku, Mas! Kenapa kamu melakukan ini padaku? Kamu jahat!"Mas Alan yang juga menangis itu mencoba menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Tetapi aku tidak bersedia, aku tidak sudi. Aku tidak ingin disentuh olehnya. Jika cintanya kini telah terbagi dengan wanita lain, maka aku tidak ingin Mas Alan menyentuhku walau seujung kukupun."Dek, tolong dengarkan Mas dulu. Mas juga tidak berdaya.""Tidak berdaya? Ha ha. Tidak berdaya karena sudah tergila-gila, seperti itu?" tanyaku dengan tertawa sumbang."Tidak, Ra. Bukan seperti itu. Sungguh, sampai detik ini pun kamu masih menjadi satu-satunya pemilik hati Mas.""Omong kosong!" bantahku dengan nyalang.Hilang sudah diriku yang sesungguhnya. Yang selalu penurut, dan tak pernah meninggikan suara pada suamiku. Rasa sakit yang teramat sangat ini mampu mengubah diriku dalam waktu singkat. Aku ... Sangat kecewa dan terluka. Tentu saja."Ra, Mas sungguh-sungguh!"Aku tak ingin terus mendengarkan pembelaannya yang malah semakin menyakiti hatiku. Aku segera mendekati lemari dan mengeluarkan koper besar. Ku kemasi baju-baju ke dalam koper dengan acak."Ra, mau ke mana? Jangan pergi, Ra." Mas Ala terus berusaha menghentikan tanganku yang sedang mengeluarkan pakaian."Minggir!"Ku dorong tubuhnya hingga Mas Alan terjatuh ke lantai. Ku lanjutkan gerakan tanganku dengan lincah mengemasi semua yang akan ku bawa."Airaa ... Dengarkan Mas dulu."Mas Alan mengikuti langkahku ke luar kamar. Namun, aku tak menghiraukannya dan terus melangkahkan kaki. Hingga kemudian saat tiba di ruang tamu, Mas Alan menghadang jalanku."Raa ... Tolong dengarkan Mas dulu.""Aku gak mau!""Aira!"Mas Alan membentak dengan tatapan melotot hebat. Dadanya kembang kempis menahan amarah, membuat nyaliku menciut.Secepat kilat Mas Alan merebut koper di tanganku dan membawanya ke kamar lagi dengan langkah lebar."Mas! Kembalikan koperku.""Mas!"Mas Alan tak menggubris. Setibanya di dalam kamar, Mas Alan membanting koper itu hingga menimbulkan suara yang keras. Aku sontak menutup kedua telinga, sangat terkejut dengan apa yang suamiku lakukan.Mas Alan berbalik menatapku dengan tajam. Lalu berkata, "Kau tidak akan ke mana-mana. Kau tidak akan pergi meninggalkan rumah ini ataupun meninggalkanku. Kau harus diam di sini, karena aku tidak mengizinkanmu pergi dari sini!"Mas Alan langsung pergi ke luar dari kamar dan terdengar bunyi kunci di putar.Sepeninggalnya aku langsung luruh ke lantai. Menangis sejadi-jadinya hingga merasa lelah.Hatiku hancur dengan apa yang Mas Alan lakukan. Kenapa? Kenapa semuanya jadi seperti ini? Mas Alan telah mengkhianatiku, tetapi dia juga melarangku pergi darinya. Lalu ... Apa yang harus aku lakukan? Padahal aku tidak bisa dimadu. Aku tidak mau, aku tidak siap.Dengan hati hancur, ku seret kaki yang terasa lemas ini ke kamar mandi. Ku siram kepalaku dengan air dingin. Berharap bisa ikut mendinginkan otak dan suasana hati.Setelah puas menumpahkan semua air mata dengan pakaian basah kuyup, aku pun melanjutkan ritual mandi ku hingga selesai. Di atas sejadah, ku tumpahkan lagi seluruh tangis yang masih tersisa."Ya Allah, aku bukan wanita kuat dan tegar seperti perempuan-perempuan yang kisahnya kau abadikan dengan indah. Aku belum sanggup menjalankan semua ini. Jika bisa, aku ingin meminta padamu, tolong berikan aku jalan yang terbaik. Aku sangat mencintai Mas Alan, dan karena itu pula aku tidak akan rela berbagi dia dengan wanita lain. Membayangkannya saja sudah membuatku sakit, Ya Allah. Kau lebih tahu kekuatanku, kau lebih tahu kemampuanku. Untuk itu, tolong hamba. Jangan biarkan hamba hancur dalam kesesatan. Tolong tunjukan jalan yang terbaik untuk hidup hamba. Aamiiin."Maju mundur kena. Itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan posisiku saat ini. Kehidupan kami baik-baik saja sebelumnya. Tak ada angin, tak ada hujan, siang ini Mas Alan pulang dengan membawa berita buruk yang langsung memporak-porandakan hati ini.Wanita mana yang rela berbagi suami yang sangat dicintainya dengan wanita lain? Apalagi aku, mendadak harus melakukannya. Syok, tentu saja.Tapi apa yang bisa ku lakukan sekarang? Aku sudah sangat mencintai suamiku yang kukira selamanya hanya akan menjadi milikku seorang.Berpisah sama sekali tak ada dalam rencanaku. Dan aku juga tak yakin, akan sanggup berpisah darinya. Lalu, apakah aku harus menerima semua ini? Menerima takdir yang datang dengan tiba-tiba bagaikan gelombang tsunami yang dengan kuat menerjang rumah tanggaku.Suara kunci di putar terdengar dari balik pintu. Aku tak ingin mempedulikannya,Mas Alan duduk di tepi ranjang, tetapi aku mengacuhkannya dan memilih merenung."Maafkan Mas, Dek."Aku tak menjawab ucapannya. Terdengar suara helaan nafas darinya. Lalu tiba-tiba saja sebuah ide muncul di kepalaku."Andai saja dulu aku menikah dengan Bang Fi, mungkin nasibku tidak akan seperti ini."Mas Alan langsung menoleh dengan tatapan tajam. Wajahnya memerah menahan amarah. "Astaghfirullah, Dek! Apa yang kamu katakan? Istighfar!"Bukannya menurut, aku malah terkekeh melihat reaksinya."Lihat, bahkan aku hanya berandai, tapi kamu sudah marah seperti itu. Lalu bagaimana denganku yang bahkan dalam kenyataan kamu akan menduakan aku dengan wanita lain?" tanyaku dengan emosi yang kembali memuncak."Mbak, aku tahu kamu akan cepat menemukan surat ini." Satu garis pertama membuat Aira langsung mengerutkan kening. "Yulia?" gumamnya lalu kembali membaca bait selanjutnya dengan tak sabar. "Terima kasih untuk semua yang sudah kalian berikan untukku. Pelajaran hidup, dan ilmu-ilmu yang sebelumnya tak aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian dengan setimpal. Aamiiin.Mbak, bukan maksudku untuk merusak hari bahagiamu. Tapi aku takut, aku terlalu takut untuk terus berada di antara kalian, orang-orang yang aku sayangi. Aku merasa tak pantas berada di antara kalian dan mendapatkan cinta kalian. Mbak, aku titip Cilla, ya? Aku percaya kalian akan menyayangi dan menjaganya dengan baik. Jika suatu saat dia bertanya tentangku, kasih tahu padanya kalau aku sudah tiada. Aku merasa tidak sanggup untuk terus bersama kalian. Sejak kehadiranku kalian sudah mengalami banyak sekali masalah dan musibah. Kehidupan kalian yang damai seolah terenggut dengan kedatang
"Tenang wahai ibu-ibu, jangan ikut-ikutan cemas dan takut suami akan berpoligami hanya karena ada salah satu tetangga kita yang berhasil melakukannya. Itu hak masing-masing, dan ibu-ibu sekalian juga tidak punya hak mengurusi hidup Yulia, maupun hidup Aira dan mas Alan. Coba pikirkan, apakah mereka benar-benar merugikan kalian dengan nyata? Kalau hanya suami jadi bercanda dan menggoda ibu masalah poligami itu hanya hal wajar. Tapi sisi ketakutan ibunya lah yang terlalu berlebihan. Saya contonya, saya suka melihat keluarga Mas Alan, Aira, dan Yulia hidup dengan tenang dan damai. Bisa saja saya menggoda istri saya masalah itu, tetapi bukan berarti saya memang benar-benar serius ingin menikah lagi. Saya tidak punya niatan malah, tapi bukan berarti saya tidak bisa bercanda."Ibu-ibu semua mulai diam dan memikirkan perkataan pak RT. "Tapi Pak RT bisa jamin, gak, kalau suami kita benar-benar hanya bercanda?" tanya Bu Jiya."Insya Allah. Kalau ada suami yang bersungguh-sungguh ingin berpoli
Setiap hari ada saja yang membuat hari-hari Yulia begitu sibuk. Bagaikan ingin membuatnya kapok dan menyerah, Vina terus menuntut banyak hal dan marah-marah pada Yulia. Sebenarnya bukan balas dendam, hanya saja dia ingin lebih dalam mengetahui kasih sayang Yulia terhadapnya. Apakah Yulia benar-benar tulus merawatnya selama ini? Ya, walaupun hatinya sendiri sudah merasakannya, tetap saja Vina terlalu enggan dan angkuh untuk berbaik hati begitu saja pada menantu yang tak diharapkannya itu. "Ada yang Ibu inginkan lagi?" tanya Yulia dengan lembut setelah mengganti celana Vina. "Tidak ada," ucap Vina. Yulia tersenyum menatap Vina yang masih tak sudi menatap wajahnya. "Baiklah," gumamnya dengan pelan dan langsung beringsut dari tepi ranjang. Vina tak yakin, tapi dia merasa melihat setitik bening yang bercahaya di sudut mata Yulia sebelum Yulia memalingkan wajahnya dan keluar dari kamar. Vina merasa tak enak. Dia memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur. Tetapi dia malah terjatuh
"Yulia ... " Vina berkata lirih dengan wajah yang memerah kala menantunya datang menyimpan sarapan pagi. "Iya, Bu?" Yulia menghentikan langkah kakinya yang hendak keluar kamar dan kembali menoleh ke belakang. Vina tak menjawab, bahkan ia tak berani menatap kedua mata Yulia. Tangannya cukup kuat meremas seprai hingga membuat Yulia mulai cemas. "Ibu, ada apa?" tanya Yulia setelah mendekat. Vina tak menjawab, keringat mulai bermunculan memenuhi wajah rentanya. "Ibu sakit? Ibu kenapa?" "Ibu ... Ibu pup." Yulia langsung terkejut mendengar ucapan Vina yang hampir tak tertangkap indera pendengarannya itu. Namun, Yulia berusaha mengerti dan tak ingin semakin menekan mertuanya. Tanpa basa basi lagi Yulia membantu Vina untuk membersihkan diri. Wajah Vina benar-benar memerah. Tubuhnya gemetar menahan rasa malu. Bahkan, ingin sekali rasanya dia menjerit menangisi nasibnya yang sungguh lemah ini. Membuang hajat saja harus dibantu orang lain, apalagi orang yang direpotkan itu adalah Yulia,
Esok harinya, Aira yang sudah cukup membaik pun bersiap ke luar rumah. "Mau ke mana, Ra?" tanya Vina saat Aira berjalan mendekati pintu depan. "Em, mau ke toko, Bu." "Oh, iya. Kamu sudah lama ya tidak datang ke toko. Kalau begitu Ibu mau ikut."Aira menggigit bibirnya sendiri. "Mau ikut? Tumben sekali, Bu?" "Iya. Kali saja Ibu menemukan daster yang cocok untuk Ibu."Aira tersenyum kaku. Dan ia pun akhirnya harus benar-benar pergi ke toko, walaupun tujuannya semula bukanlah tempat tersebut. Hingga siang hari Aira masih berada di toko sambil menunggu Vina puas memilih-milih barang yang dia inginkan. "Ra, kalau kebanyakan kamu nanti minta uang bayarnya sama Alan saja, ya?" Aira tersenyum kecil. "Iya, Ibu.""Ah, Ibu sudah puas rasanya. Sudah banyak yang Ibu pilih," ucap Vina dengan terkekeh. "Oh, Ibu mau pulang? Tapi Aira belum beres, Bu. Apa Ibu tidak keberatan pulang sendiri?" Vina memperhatikan Aira beberapa saat membuat menantunya tersenyum kikuk. "Memangnya kamu sedang apa?
"Ibu sudah, Bu!" "Ibu, sudah! Kasihan Yulia!" Aira dan Alan tak menyerah. Mereka terus berusaha menjauhkan Yulia dari Vina. Tak mereka pedulikan kerumunan tetangga yang sudah memenuhi halaman rumah mereka dengan berbagai tatapan yang berbeda. "Pembawa sial! Pergi kamu dari hidup putraku!" Vina menyempatkan menendang Yulia saat Alan berhasil menariknya. Alan langsung menyembunyikan Yulia di belakang tubuhnya. Sedangkan Vina di pegangi Aira. "Bu, sudah, Bu. Aira masih lemas." Vina menoleh pada Aira dan menghembuskan nafas dengan kasar. "Awas saja kalau wanita ini masih ada di rumah ini! Pelakor sialan! Pergi kamu dari sini!" Vina menghentakkan kakinya dan kemudian meninggalkan mereka bertiga ke dalam rumah. Yulia terus menangis dengan tersedu. Aira membenarkan jilbabnya yang berantakan akibat ulah Vina. "Ayo masuk, Yul." Aira dan Alan menuntun Yulia dan menutup pintu depan, membuat semua yang menonton kejadian itu kecewa. "Ada apa sih, sebenarnya?" tanya salah satu tetangga."I
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments