Share

5. Pasrah

Hari sudah sore saat Aira pulang dari cafe bertemu Ustadzah Maulida. Setelah beberapa hari terpuruk, kini akhirnya ia merasakan moodnya kembali membaik. Aira melihat pintu depan terbuka, tak seperti biasanya. Dengan penasaran ia pun masuk ke dalam rumah dan celingukan mencari keberadaan tuan rumah. Namun, tak ia lihat siapapun di manapun. Sepi.

"Lalu kapan?" Suara teriakan dari lantai atas membuatku terkejut.

"Ibu? Itu suara Ibu. Kenapa lagi dengan Ibu?" Aira segera berlari menaiki tangga, merasa cemas dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.

"Ibu, tolong jangan seperti ini." Alan mengiba sambil menangkupkan kedua tangannya di depan.

"Kamu yang jangan seperti ini, Alan. Kamu ingat ayahmu? Dia pergi dengan wanita yang lebih muda dari Ibu. Apa kamu tau bagaimana rasanya? Sangat sakit, Alan, dan bahkan waktupun tak mampu benar-benar mengobati lukanya. Lalu kamu sekarang ingin mengikuti jejak ayahmu yang breng*ek itu? Tidak! Tidak, Alan. Ibu tidak akan membiarkan kamu mewarisi sikap buruk ayahmu itu. Ibu tidak akan sudi mempunyai anak yang mengikuti jejak sesat ayahnya. Ibu tidak akan membiarkannya! Di mana? Di mana wanita itu? Biar ibu kasih dia pelajaran sekalian. Enak saja minta dinikahi sama suami orang." Vina semakin tak terkendali. Ia terus mengamuk dan memukul-mukul Alan dengan sapu, hingga menyisakan warna merah pada tangan kanan dan kirinya, namun Alan tetap diam sambil mengiba.

"Ibu?"

Vina langsung menghentikan aksinya, ia menoleh pada Aira yang berdiri tepi tangga.

"Ibu jangan seperti ini, Bu. Ini tidak baik untuk kesehatan Ibu. Sudah, ya, jangan marah-marah lagi," ucap Aira sambil mengusap punggung Vina, berusaha menenangkan dirinya.

"Ibu tidak habis fikir, Aira. Kenapa ada wanita yang minta dinikahi suami dari wanita lain. Ke mana hati nuraninya? Ibu tidak bisa membiarkanmu tetap bersama Alan, Nak, jika memang itu harus terjadi." Mata tuanya sudah berkaca-kaca, dengan cepat Aira memeluk tubuh mertuanya dengan segenap rasa sayang.

"Ibu, Aira sangat berterima kasih pada Ibu. Aira juga sangat bersyukur karena mempuyai mertua yang sangat menyayangi Aira. Tapi, Bu, Aira tidak kenapa-napa. Ibu tidak usah khawatir." Vina melepaskan pelukannya dan menatap Aira dengan penuh tanya. Aira melirik Alan yang juga menatapnya dengan mata sendu. Mungkin ia sangat takut kalau istrinya itu mengikuti keinginan Vina untuk berpisah dengannya.

"Apa yang kamu katakan?" tanya Vina masih tak mengerti.

Aira memperlihatkan senyuman kecil yang beberapa hari ini seolah terenggut darinya. "Bu, Aira akan memutuskan jalan hidup Aira sendiri. Aira masih butuh waktu untuk mempertimbangkannya. Dan, Aira juga akan meminta petunjuk dari Allah terlebih dulu."

"Yah, baiklah. Kamu sudah dewasa, kamu pasti bisa memilih jalan terbaik untuk hidupmu sendiri, Aira. Yang terpenting jangan terbutakan cinta sampai-sampai mengorbankan hidup dan kebahagiaanmu. Jangan jadi wanita bodoh, Aira. Dan jika saja kamu mempunyai kesulitan, jangan sungkan untuk meminta pertolongan Ibu, ya? Ibu akan selalu bersedia membantumu kalau Alan tak bersedia mendukung keputusanmu. Jangan lupa, kamu masih ada Ibu." Vina tersenyum penuh kasih, membuat Aira ikut terharu menyaksikan betapa besar cinta dan kasih sayang Vina padanya.

"Ya, Bu, Aira mengerti," jawab Aira sambil menggenggam kedua tangan tuanya.

"Aira, kalau begitu Ibu pulang dulu. Ibu tidak bisa lama-lama berada di sini sekarang, atau Ibu tidak akan bisa menahan emosi Ibu padanya," ucapnya sambil mendelikan mata ke arah Alan. Aira tersenyum kecil, baginya Vina sudah seperti anak kecil yang merajuk saja.

Sepeninggal Vina, Alan mengikuti Aira masuk ke dalam kamar.

"Dek, apa maksud dari ucapanmu tadi?" tanyanya dengan wajah cemas.

"Yang mana, Mas?" Aira balik bertanya tanpa menoleh, ia menyimpan tas lalu membuka hijab. Aira duduk di depan meja rias, lalu meraih tissue untuk mengelap keringat di kening dan wajah.

Alan terus menatap istrinya dengan penuh tanya. "Dek, apa kamu akan pergi dari Mas?" tanyanya membuat Aira menghentikan gerakan tangan yang sedang mengelap wajah.

"Menurut Mas?" Bukannya menjawab, Aira malah balik bertanya membuat Alan semakin tak karuan. Ia terlihat sangat gusar, lalu berlutut di lantai sambil menyentuhkan keningnya pada pa*a Aira.

"Dek, maafkan Mas yang tak berdaya ini. Mas tida berdaya untuk keluar dari situasi ini. Mas tidak bisa, jujur saja Mas pun sangat pusing, Mas tidak bisa kehilanganmu, tetapi Mas juga tidak berdaya untuk menolak permintaannya. Mas harus bagaimana?" tanyanya dengan frustasi.

Lama-lama Aira merasa kasihan juga dengan suaminya ini yang terus terpuruk dan bahkan dibenci ibunya sendiri. Dan Aira juga selalu menghindarinya sejak kejadian itu. Aira menghela nafas dalam-dalam untuk menepiskan rasa sesak dan kecewa di hatinya. Tangannya bergerak mengusap rambut hitam suaminya yang masih tenggelam di pangkuan. Alan langsung mendongak, menatap Aira dengan segurat kebahagiaan dalam sorot matanya.

"Aira ..." lirihnya dengan tatapan yang sungguh membuat Aira ikut merasa sakit.

"Mas, jangan seperti ini. Kamu sendiri yang sudah menciptakan keadaan ini, jangan berpura-pura lemah dan ingin aku merasa tak tega." Alan termangu, ia menatap Aira dengan bingung.

"Tidak, kamu salah, Aira."

"Aku tidak salah. Lihatlah sekarang, keadaan seolah terbalik. Kamu yang seperti pihak paling menderita, sedangkan aku terlihat seperti pelaku. Aku hanya berusaha kuat dan tegar, aku berusaha menyembunyikan rasa sakit hatiku karena ulahmu, tapi bukan berarti aku baik-baik saja. Jadi tolong, jangan bersikap seperti ini di depanku." Aira segera bangkit dan meninggalkan Alan. Hal yang bahkan tak pernah ia lakukan saat mereka sedang berbicara.

"Aira, kamu kenapa sebenarnya? Kenapa sekarang kamu berubah?" tanyanya sambil terus mengejar Aira

"Aku kenapa? Apa kamu gak salah, Mas, mempertanyakan hal yang sudah jelas? Aku yakin kamu tau aku kenapa. Sudahlah, aku tidak mau berdebat denganmu." Aira berlalu meninggalkan Alan yang masih terus memanggilnya. Aira masuk ke dalam kamar tamu dan menguncinya. Ia terus menggedor dan meminta istrinya itu untuk keluar.

"Sudahlah, Mas. Aku ingin sendiri dulu. Jangan ganggu aku," teriak Aira membuat suasana menjadi sunyi. Aira termangu, lalu kembali menangis dan luruh ke lantai. Sehebat apapun ia menutupi semuanya, tetap saja Aira tak bisa terus-terusan berpura-pura. Goncangan yang sedang menerpa rumah tangganya itu sangat menguji kesabaran dan kekuatannya. Lagi, Aira menangis untuk kesekian kalinya meratapi nasib yang tak pernah ia bayangkan. Padahal tadi Aira sudah merasa enakan, tetapi begitu bertemu Alan, luka itu seolah kembali menganga.

Hari sudah beranjak malam, Aira perlahan membuka pintu dan berjalan menuju dapur, mencari apapun yang bisa dipakai untuk mengganjal perutnya yang keroncongan. Ada sayur, bakso, dan beberapa jenis bahan masakan lainnya. Namun, Ia memilih mie instan untuk menemani malam sunyinya kali ini. Hingga makanan siap, Aira cukup heran karena tak melihat keberadaan Alan. Entah kemana dia, Aira masa bodoh. Gegas ia ambil nampan dan menyimpan mangkuk serta segelas air putih ke dalamnya. Membawanya untuk dinikmati di kamar tamu.

Setelah selesai makan, Aira beralih ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri dan mengambil wudhu.

"Ya Allah, aku memohon petunjuk darimu, sebaik-baiknya penunjuk segalanya. Aku mohon, tunjukan jalan yang terbaik untukku ke depannya. Aku bingung, aku bimbang, hanya engkaulah satu-satunya yang menjadi harapanku. Hanya padamu kuserahkan semua harapan dan angan-anganku. Aku memang memiliki keinginan, tetapi engkau lebih tau apa yang aku butuhkan, dan apa yang terbaik untukku."

Ia berdo'a dengan khusyuk di atas hamparan sejadah setelah selesai menunaikan shalat istikharah. Mencurahkan seluruh rasa gundah dan gelisah pada-Nya yang sebenarnya sudah mengetahui segalanya. Hanya pada-Nya Aira berserah, hanya padanya pula Aira menggantungkan harapan. Dan setelah itu, ia bergegas menuju tempat tidur. Berharap esok sebuah harapan kebahagiaan telah menunggunya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status