Hari sudah sore saat Aira pulang dari cafe bertemu Ustadzah Maulida. Setelah beberapa hari terpuruk, kini akhirnya ia merasakan moodnya kembali membaik. Aira melihat pintu depan terbuka, tak seperti biasanya. Dengan penasaran ia pun masuk ke dalam rumah dan celingukan mencari keberadaan tuan rumah. Namun, tak ia lihat siapapun di manapun. Sepi.
"Lalu kapan?" Suara teriakan dari lantai atas membuatku terkejut."Ibu? Itu suara Ibu. Kenapa lagi dengan Ibu?" Aira segera berlari menaiki tangga, merasa cemas dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi."Ibu, tolong jangan seperti ini." Alan mengiba sambil menangkupkan kedua tangannya di depan."Kamu yang jangan seperti ini, Alan. Kamu ingat ayahmu? Dia pergi dengan wanita yang lebih muda dari Ibu. Apa kamu tau bagaimana rasanya? Sangat sakit, Alan, dan bahkan waktupun tak mampu benar-benar mengobati lukanya. Lalu kamu sekarang ingin mengikuti jejak ayahmu yang breng*ek itu? Tidak! Tidak, Alan. Ibu tidak akan membiarkan kamu mewarisi sikap buruk ayahmu itu. Ibu tidak akan sudi mempunyai anak yang mengikuti jejak sesat ayahnya. Ibu tidak akan membiarkannya! Di mana? Di mana wanita itu? Biar ibu kasih dia pelajaran sekalian. Enak saja minta dinikahi sama suami orang." Vina semakin tak terkendali. Ia terus mengamuk dan memukul-mukul Alan dengan sapu, hingga menyisakan warna merah pada tangan kanan dan kirinya, namun Alan tetap diam sambil mengiba."Ibu?"Vina langsung menghentikan aksinya, ia menoleh pada Aira yang berdiri tepi tangga."Ibu jangan seperti ini, Bu. Ini tidak baik untuk kesehatan Ibu. Sudah, ya, jangan marah-marah lagi," ucap Aira sambil mengusap punggung Vina, berusaha menenangkan dirinya."Ibu tidak habis fikir, Aira. Kenapa ada wanita yang minta dinikahi suami dari wanita lain. Ke mana hati nuraninya? Ibu tidak bisa membiarkanmu tetap bersama Alan, Nak, jika memang itu harus terjadi." Mata tuanya sudah berkaca-kaca, dengan cepat Aira memeluk tubuh mertuanya dengan segenap rasa sayang."Ibu, Aira sangat berterima kasih pada Ibu. Aira juga sangat bersyukur karena mempuyai mertua yang sangat menyayangi Aira. Tapi, Bu, Aira tidak kenapa-napa. Ibu tidak usah khawatir." Vina melepaskan pelukannya dan menatap Aira dengan penuh tanya. Aira melirik Alan yang juga menatapnya dengan mata sendu. Mungkin ia sangat takut kalau istrinya itu mengikuti keinginan Vina untuk berpisah dengannya."Apa yang kamu katakan?" tanya Vina masih tak mengerti.Aira memperlihatkan senyuman kecil yang beberapa hari ini seolah terenggut darinya. "Bu, Aira akan memutuskan jalan hidup Aira sendiri. Aira masih butuh waktu untuk mempertimbangkannya. Dan, Aira juga akan meminta petunjuk dari Allah terlebih dulu.""Yah, baiklah. Kamu sudah dewasa, kamu pasti bisa memilih jalan terbaik untuk hidupmu sendiri, Aira. Yang terpenting jangan terbutakan cinta sampai-sampai mengorbankan hidup dan kebahagiaanmu. Jangan jadi wanita bodoh, Aira. Dan jika saja kamu mempunyai kesulitan, jangan sungkan untuk meminta pertolongan Ibu, ya? Ibu akan selalu bersedia membantumu kalau Alan tak bersedia mendukung keputusanmu. Jangan lupa, kamu masih ada Ibu." Vina tersenyum penuh kasih, membuat Aira ikut terharu menyaksikan betapa besar cinta dan kasih sayang Vina padanya."Ya, Bu, Aira mengerti," jawab Aira sambil menggenggam kedua tangan tuanya."Aira, kalau begitu Ibu pulang dulu. Ibu tidak bisa lama-lama berada di sini sekarang, atau Ibu tidak akan bisa menahan emosi Ibu padanya," ucapnya sambil mendelikan mata ke arah Alan. Aira tersenyum kecil, baginya Vina sudah seperti anak kecil yang merajuk saja.Sepeninggal Vina, Alan mengikuti Aira masuk ke dalam kamar."Dek, apa maksud dari ucapanmu tadi?" tanyanya dengan wajah cemas."Yang mana, Mas?" Aira balik bertanya tanpa menoleh, ia menyimpan tas lalu membuka hijab. Aira duduk di depan meja rias, lalu meraih tissue untuk mengelap keringat di kening dan wajah.Alan terus menatap istrinya dengan penuh tanya. "Dek, apa kamu akan pergi dari Mas?" tanyanya membuat Aira menghentikan gerakan tangan yang sedang mengelap wajah."Menurut Mas?" Bukannya menjawab, Aira malah balik bertanya membuat Alan semakin tak karuan. Ia terlihat sangat gusar, lalu berlutut di lantai sambil menyentuhkan keningnya pada pa*a Aira."Dek, maafkan Mas yang tak berdaya ini. Mas tida berdaya untuk keluar dari situasi ini. Mas tidak bisa, jujur saja Mas pun sangat pusing, Mas tidak bisa kehilanganmu, tetapi Mas juga tidak berdaya untuk menolak permintaannya. Mas harus bagaimana?" tanyanya dengan frustasi.Lama-lama Aira merasa kasihan juga dengan suaminya ini yang terus terpuruk dan bahkan dibenci ibunya sendiri. Dan Aira juga selalu menghindarinya sejak kejadian itu. Aira menghela nafas dalam-dalam untuk menepiskan rasa sesak dan kecewa di hatinya. Tangannya bergerak mengusap rambut hitam suaminya yang masih tenggelam di pangkuan. Alan langsung mendongak, menatap Aira dengan segurat kebahagiaan dalam sorot matanya."Aira ..." lirihnya dengan tatapan yang sungguh membuat Aira ikut merasa sakit."Mas, jangan seperti ini. Kamu sendiri yang sudah menciptakan keadaan ini, jangan berpura-pura lemah dan ingin aku merasa tak tega." Alan termangu, ia menatap Aira dengan bingung."Tidak, kamu salah, Aira.""Aku tidak salah. Lihatlah sekarang, keadaan seolah terbalik. Kamu yang seperti pihak paling menderita, sedangkan aku terlihat seperti pelaku. Aku hanya berusaha kuat dan tegar, aku berusaha menyembunyikan rasa sakit hatiku karena ulahmu, tapi bukan berarti aku baik-baik saja. Jadi tolong, jangan bersikap seperti ini di depanku." Aira segera bangkit dan meninggalkan Alan. Hal yang bahkan tak pernah ia lakukan saat mereka sedang berbicara."Aira, kamu kenapa sebenarnya? Kenapa sekarang kamu berubah?" tanyanya sambil terus mengejar Aira"Aku kenapa? Apa kamu gak salah, Mas, mempertanyakan hal yang sudah jelas? Aku yakin kamu tau aku kenapa. Sudahlah, aku tidak mau berdebat denganmu." Aira berlalu meninggalkan Alan yang masih terus memanggilnya. Aira masuk ke dalam kamar tamu dan menguncinya. Ia terus menggedor dan meminta istrinya itu untuk keluar."Sudahlah, Mas. Aku ingin sendiri dulu. Jangan ganggu aku," teriak Aira membuat suasana menjadi sunyi. Aira termangu, lalu kembali menangis dan luruh ke lantai. Sehebat apapun ia menutupi semuanya, tetap saja Aira tak bisa terus-terusan berpura-pura. Goncangan yang sedang menerpa rumah tangganya itu sangat menguji kesabaran dan kekuatannya. Lagi, Aira menangis untuk kesekian kalinya meratapi nasib yang tak pernah ia bayangkan. Padahal tadi Aira sudah merasa enakan, tetapi begitu bertemu Alan, luka itu seolah kembali menganga.Hari sudah beranjak malam, Aira perlahan membuka pintu dan berjalan menuju dapur, mencari apapun yang bisa dipakai untuk mengganjal perutnya yang keroncongan. Ada sayur, bakso, dan beberapa jenis bahan masakan lainnya. Namun, Ia memilih mie instan untuk menemani malam sunyinya kali ini. Hingga makanan siap, Aira cukup heran karena tak melihat keberadaan Alan. Entah kemana dia, Aira masa bodoh. Gegas ia ambil nampan dan menyimpan mangkuk serta segelas air putih ke dalamnya. Membawanya untuk dinikmati di kamar tamu.Setelah selesai makan, Aira beralih ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri dan mengambil wudhu."Ya Allah, aku memohon petunjuk darimu, sebaik-baiknya penunjuk segalanya. Aku mohon, tunjukan jalan yang terbaik untukku ke depannya. Aku bingung, aku bimbang, hanya engkaulah satu-satunya yang menjadi harapanku. Hanya padamu kuserahkan semua harapan dan angan-anganku. Aku memang memiliki keinginan, tetapi engkau lebih tau apa yang aku butuhkan, dan apa yang terbaik untukku."Ia berdo'a dengan khusyuk di atas hamparan sejadah setelah selesai menunaikan shalat istikharah. Mencurahkan seluruh rasa gundah dan gelisah pada-Nya yang sebenarnya sudah mengetahui segalanya. Hanya pada-Nya Aira berserah, hanya padanya pula Aira menggantungkan harapan. Dan setelah itu, ia bergegas menuju tempat tidur. Berharap esok sebuah harapan kebahagiaan telah menunggunya.Pagi ini, Aira melakukan kegiatannya seperti sebelum-sebelumnya. Menyiapkan sarapan, nasi goreng, telur mata sapi, serta teh hangat. Sang surya sudah mulai menyinari hamparan bumi menggantikan tugas rembulan. Aira melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 06.27. Tetapi Alan belum juga kelihatan. Segera ia naik ke lantai dua di mana kamar mereka berada. KleekPintu terbuka sedikit, Aira sedikit mengintip lebih dulu ke dalam kamar yang gelap itu, membuatnya tak bisa melihat apa-apa. Ia membuka pintu lebih lebar dan masuk ke dalamnya. Tirai tinggi ia buka hingga membuat sinar hangat mentari pagi menyinari kamar. Alan masih belum bergerak, ia masih bergelung nyaman di dalam selimut tebalnya. "Mas ... Mas bangun! Ini sudah siang, loh," ucap Aira sambil mengguncang lengan suaminya."Emmmmh ... Jam berapa?" tanyanya setelah menggeram dan menggeliat."Jam setengah tujuh." "Astaghfirullah! Mas kesiangan, Dek." Alan langsung melompat ke lantai dan masuk ke dalam kamar mandi. Aira terse
"Aku tidak akan meninggalkanmu, Mas." Alan masih tak bergeming, ia masih terus menatap Aira dengan tatapan sendu. "Aku akan tetap bersama Mas, apapun yang terjadi." Kedua matanya mulai mengkristal, tatapannya terhalang oleh genangan air mata yang sudah membuncah hingga akhirnya tumpah, luruh membasahi pipi. Dengan cepat Aira mengusap jejak air mata itu dengan jari-jari tangannya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, memberikan isyarat bahwa suaminya itu tidak boleh menangis. Secepat kilat Alan menarik Aira ke dalam pelukannya, ia tetap melakukannya walau diantara mereka ada meja yang lumayan memisahkan jarak antara keduanya. "Mas ..." ucap Aira berusaha melepaskan pelukannya. Ia merasa cukup malu menyadari dirinya dan Alan menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung restoran itu. Namun, Alan seolah tak peduli di mana kini mereka berada. "Aira ... Mas benar-benar berterima kasih. Terima kasih, Aira Sayang, terima kasih." Hanya itu kata-kata yang keluar berkali-kali dari bibir pria berj
"Assalaamu'alaikum." Suara dari luar membuyarkan lamunan masa lalu Yulia yang kelam. Wanita itu segera mengusap air mata, dan berusaha terlihat baik-baik saja. Cilla masih tidur dengan nyenyak, Yulia segera melangkahkan kakinya mendekati pintu depan, melihat siapa yang datang pagi-pagi begini."Wa'alaikumussalaam ..." ucapnya sambil membuka pintu. Ternyata Alan yang datang, ia sudah berdiri di depan menunggu."Tuan? Ayo masuk. Maaf, aku terlalu lama membuka pintu." "Tidak apa-apa." Yulia menutup pintu kembali setelah Alan masuk. Pria itu langsung duduk di kursi. "Mau minum apa?" "Air putih saja." Yulia segera membawakan air putih untuknya, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengannya. "Emm, maaf, saya belum tau siapa namamu," ucapnya membuat Yulia teringat kalau mereka memang belum berkenalan. Yulia tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepala samar menyadari kekonyolannya. Yulia bahkan sudah berani meminta Alan menikahinya, tapi malah berkenalanpun belum. "Aku Yulia, biasa dip
"Aira, kamu apa-apaan, sih?" tanya Vina setelah tiba di dapur."Apa-apaan, apa, Bu?" tanya Aira tak mengerti. Vina menghela nafas dalam, lalu menatap Aira dengan gemas."Kamu kenapa, Aira? Kamu tidak perlu memperlakukan wanita itu sebagai tamu. Kenapa kamu ini? Ibu sangat tidak mengerti sama kamu. Kamu terlihat bahagia sekali," gerutunya membuat Aira terkekeh."Ya ampun, Ibu. Kok jadi Ibu yang gemas, sih?" tanya Aira dengan masih tertawa kecil. "Ya, bagaimana Ibu tidak gemas melihat kamu terlalu menyambut wanita itu dengan baik? Jangan rendahkan harga dirimu di depannya, Aira. Ibu tidak suka." Vina melipat kedua tangannya di dada, lalu memalingkan muka. Aira mengerti isi hati Ibu mertuanya itu yang terlalu menyayanginya, Vina terlalu mengkhawatirkan kebahagiaannya. "Sudahlah, Ibu. Jangan terlalu cemas seperti itu. Apa Ibu tidak lihat, Yulia masih sangat muda dan ia terlihat polos? Aku rasanya langsung menerimanya," ucap Aira membuat Bu Vina menganga."Ya ampun, Aira, apa yang meras
"Yulia sudah tidak ada," ucap Alan saat menemui istri dan ibunya di kamar. "Ya bagus kalau begitu. Berarti dia itu sadar diri," ucap Vina ketus."Tapi, Bu, Yulia tidak salah apapun. Jangan terlalu kasar padanya." "Alan! Kamu ini apa-apaan sih?" Alan hendak menjawab, namun Aira lebih dulu menimpali."Ya, Bu, Mas Alan benar. Aira yang sudah mengundangnya. Tapi ... Aira malah meninggalkannya." "Ya kenapa kamu mengundangnya segala? Kamu seakan mengundang penyakitmu sendiri." Aira terdiam, merasa tertampar dengan apa yang Vina katakan. Awalnya, ia merasa sudah bisa mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Yulia. Dia ingin mengenal wanita itu lebih dulu sebelum menikahkannya dengan Alan. Tetapi, ternyata sesuatu yang tak ia sangka malah melukai hatinya. Sore tiba, Vina sudah pulang ke rumahnya yang tak jauh dari rumah mereka. Sedangkan Aira, di saat fikiran kacau seperti ini ia membutuhkan Maulida untuk mencerahkan fikirannya. Ia berpamitan pada Alan, tetapi Alan mencegah dan meminta A
Yulia membulatkan matanya saat melihat istri Alan sudah berdiri di depan rumahnya dengan tersenyum lembut. "Hay, aku tidak mengganggu, kan?" tanyanya pada Yulia yang masih diam mematung. "Eh, i-iya. Tidak, kok, Mbak." "Aku boleh masuk?" tanyanya menunjuk ke dalam."I-iya, boleh. Silahkan," ucap Yulia dengan keterkejutan yang masih belum hilang.Aira mengedarkan pandangan ke seisi ruangan, ia duduk di kursi dengan anggun. "Mbak sendirian ke sini?" tanya Yulia membuat Aira mengerutkan dahi. "Eh, m-maksud saya ... Mbak tau dari mana saya tinggal di sini?" tanyanya meralat pertanyaan pertama. Yulia tak sadar kalau pertanyaannya itu dapat menimbulkan Aira salah faham mengira Yulia mengharapkan kedatangan Alan."Oh, itu masalah yang mudah. Aku tanya Mas Alan dan minta datang ke sini sendiri," jelasnya membuat Yulia semakin merasa tak enak."Memangnya ada apa?" tanyanya dengan takut. Ia takut, kalau kedatangan Aira ke sini untuk melabraknya. Tak jauh dari sikap Vina padanya beberapa hari
"Nanti kita tinggal satu rumah, mau kan?" tanya Aira dengan penuh harap. Yulia tak menjawab, ia bahkan terlihat sangat terkejut mendengar permintaan gila Aira. Kecemasan seketika menyeruak menguasai dirinya. Sosok Vina yang ia sangka ibunya Aira sudah pasti terus menindasnya kalau sampai tinggal satu rumah. "Ya? Mau ya?" tanya Aira lagi. "Em, Mbak, aku tidak enak," jawabnya sambil meringis. "Kenapa tidak enak?" "Memangnya Mbak mau tinggal satu atap denganku? Dengan wanita yang sudah berani meminta suami Mbak?" tanyanya dengan ekspresi polos. Aira terkekeh, Yulia ini memang kadang perkataannya tajam, tetapi justru Yulia sendiri pun tak sengaja dan tak bermaksud menyinggung siapapun. Itu semua karena sifatnya yang terlalu polos. "Gak apa-apa. Mbak juga ingin ikut mengurus Cilla. Boleh, kan?" "Oh, i-iya." Yulia terpaksa mengangguk, ia dapat melihat raut wajah Aira yang langsung berubah ceria saat melihat Cilla. Bahkan Aira pun terus saja berceloteh bahasa anak kecil sambil mengusap
"Memang apa yang anda lihat dari dia?" tanya Rudi, ayahnya Yulia dengan tersenyum mengejek pada Alan. Mendengar pertanyaan ayahnya, Yulia merasa sakit hati. Bagaimana bisa ayahnya jadi begitu membencinya? Bahkan sangat merendahkannya di hadapan orang lain? Apakah segampang itu kasih sayang yang dulu selalu ia tunjukan berganti sepenuhnya dengan kebencian? Bahkan tak terlihat sedikitpun sorot kerinduan di matanya. Sedangkan Ibunya Yulia yang memang mempunyai sikap garang hanya diam, seperti kedatangan tamu tak diharapkan."Untuk itu, saya punya alasan tersendiri, Pak." jawab Alan membuat Rudi mengangkat sebelah alisnya. "Alasan tersendiri? Oh, saya mengerti. Pria mana yang akan menginginkan wanita bercitra buruk sepertinya dengan tulus? Anda mempunyai maksud lain, kan?" Tanyanya semakin merendahkan Yulia. Yulia terus menunduk, kedua tangannya meremas kuat rok yang ia kenakan untuk melampiaskan rasa sesak dan sakit di hati akibat sikap kedua orang tuanya. Yulia merasa malu dan merasa