Dzurriya langsung membuka matanya. Ia pun menoleh ke arah lelaki itu, yang juga sedang membulatkan matanya ke arah Alexa.
“Sayang! Apakah kamu sadar dengan apa yang barusan kamu minta?” Eshan berkata tegas, tapi terdengar nada panik dan syok di sana.
Alexa menjawab, “Ya, aku ingin kau menikahinya.”
“Kenapa kamu bicara begitu? Aku memang akan menuruti semua keinginanmu. Semuanya, tak terkecuali. Tapi gak dengan menikahinya.” Eshan menggeleng. “Dia baru saja membunuh anak kita dan membuatmu menderita. Seharusnya—”
“Jadi kamu bohong?” potong Alexa dengan wajah memerah. Dzurriya juga melihat tangan wanita itu terkepal kuat di pangkuannya. “Kamu bilang, kamu akan melakukan apa pun untukku!”
“Bukan begitu, Sayang….”
“KAMU BERBOHONG!” Alexa tiba-tiba berteriak, membuat Alexa yang masih berlutut di depannya pun jatuh terduduk karena kaget.
“Aku ingin dia membayar apa yang dia berikan padaku!” Alexa menunjuk kasar Dzurriya, kemudian berbalik menatap Eshan lagi. “Kenapa kamu tidak mengerti?!”
Teriakan wanita itu semakin histeris. Ia berteriak tidak karuan, sampai membuat kursi roda itu mulai oleng. Melihat itu, Dzurriya beringsut mundur dan merapat ke salah satu tembok.
Alexa yang menangis seperti orang gila, ancaman Ehsan, dan tatapan para pengawal di sana membuat Dzurriya semakin tertekan. Ia memeluk lututnya yang gemetar. Napasnya memburu tidak karuan.
Kepalanya mulai sakit, seiring dengan sekelebat bayangan melintas kembali. Ia ingat dirinya sedang berlari, entah dari apa. Lalu, memasuki jalan raya, dan tertabrak sesuatu.
“Ahh!” Dzurriya memegang kepalanya yang sakit luar biasa.
Dan kemudian, pandangannya pun menjadi gelap.
Dzurriya pingsan di sana.
***
“Aku tau kau sangat membencinya, tapi tolong… dia masih pasienku.”
Dahi Dzurriya mengernyit saat mendengar suara lelaki asing masuk ke telinganya. Ia bisa mendengar suara berisik dari sisi kiri dan kanan. Hidungnya pun kembali mencium bau obat-obatan.
Kemudian, terdengar suara dengusan keras. “Masa bodoh. Urus saja dia.”
Dzurriya refleks membuka mata begitu mendengar suara Eshan. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamar berwarna putih. Ini tampak seperti kamar rawatnya yang pertama.
Dzurriya menoleh, mendapati seorang lelaki berjas snelli yang sepertinya menantikannya siuman. Tidak ada Eshan di sana, mungkin lelaki itu sudah pergi.
“Apa kamu sudah baikan?” tanya lelaki berjas snelli itu. Hanya dia yang tampak agak ramah.
“Ya.” jawab Dzurriya lirih.
Lelaki itu mengambil stetoskop yang sedari tadi tergantung di lehernya untuk memeriksa detak jantung Dzurriya. Kemudian dengan dua jarinya, dia mengetuk-ngetuk bagian perut Dzurriya.
“Setelah ini, aku akan memberimu obat, minumlah setelah makan ini,” perintah lelaki yang ternyata dokter itu, lalu memberinya nampan berisi menu makanan lengkap.
Dzurriyya segera mengambil piring nasi tersebut, dan memakannya sesuap demi sesuap.
Lima menit diisi keheningan. Sang dokter tidak langsung keluar, melainkan duduk di depannya dan memperhatikan Dzurriya makan. Mungkin karena menyadari kalau Dzurriya sedang memperhatikannya, dokter itu pun tersenyum.
“Apa ada yang ingin kau tanyakan?”
Dzurriya tersedak. Dokter ini sangat peka. “M-maaf….”
Dokter itu memberikan segelas air kepada Dzurriya. “Santai saja. Apa yang ingin kau tanyakan?”
Dzurriya meminum air putih itu sampai setengah gelas, lalu mulai membuka mulut. “Bagaimana saya bisa ke sini?”
Seolah sudah menduga pertanyaan Dzurriya, dokter itu menjawab dengan lancar. “Kau mengalami kecelakaan bersama wanita yang barusan pingsan di kamar ini. Mereka adalah Pak Eshan dan Bu Alexa, salah satu pasangan terkaya dan paling berpengaruh di Asia.”
Napasnya tercekak.
Orang berpengaruh di Asia? Kenapa Dzurriya bisa berurusan dengan orang-orang seperti itu? Apa yang terjadi sebelumnya?
“Kenapa, apa ada sesuatu yang mengganggumu?”
Dzurriya menggeleng cepat. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, tapi mendengar dokter itu menyinggung soal reputasi Eshan dan Alexa, membuatnya bergetar ketakutan. Apalagi dokter tersebut tampak dekat dengan mereka.
‘Apakah aku sudah membuat masalah dengan orang yang salah? Tapi… aku tak ingat apa-apa!’
Brak!
Di saat Dzurriya gemetaran, pintu ruangannya kembali terbuka.
“Tinggalkan kami!” Suara parau dan berat itu kembali. Suasana mencekam itu datang bersama tatapan dingin sepasang mata di balik kacamata.
Dokter itu keluar tanpa banyak bicara. Dzurriya juga tidak bisa memohon banyak, walaupun tatapan iba sang dokter tetap mengarah padanya sampai pintu tertutup. Sekarang, Dzurriya hanya berdua dengan Eshan di dalam ruang dingin itu.
Dzurriya memilih diam, dan tiba-tiba Eshan berucap….
“Besok kita menikah.”
Belum sempat Dzurriya menanggapi ajakan menikah yang dingin itu, Eshan sudah mengulurkan selembar kertas ke hadapannya. “Tanda tangan di sini!”
“A-Apa ini?” tanya Dzurriya memberanikan diri.
“Kau bisa baca, kan?” ucap Eshan dingin.
Dzurriya membaca baris pertama surat yang disodorkan Eshan. Matanya membulat kala melihat tulisan ‘Pernikahan Kontrak’ di sana. Belum lagi ada kalimat yang menyatakan kalau Dzurriya harus jadi rahim pengganti dan melahirkan seorang anak dari Eshan.
Dan tanpa memiliki hak asuh atas anak tersebut.
“R-rahim pengganti?” tanya Dzurriya dengan suara pelan.
“Jadi ini rumahnya?” ujar Eshan sembari menilik keluar jendela, menatap rumah bercat hijau tanpa pagar dengan halaman yang tidak cukup lebar. Tampak sebuah pohon mangga besar dan rindang yang tengah berbuah banyak berada di tepi samping halamannya, dengan beberapa macam bunga di tepi depannya, rumah milik orang tua Dzurriya itu sungguh terlihat sederhana, tapi menyejukkan mata yang memandang.Terlihat kemudian pintu mobilnya dibuka oleh pengawalnya, ia segera keluar dari mobilnya dan masih menatap rumah itu dalam-dalam.Rumah itu kelihatan sepi seperti rumahnya, tapi kenapa hatinya merasa adem, seperti ada aura yang berbeda di rumah itu.“Apa Saya mau ketukan pintu, Tuan?” tanya salah seorang pengawalnya.Eshan hanya menggelengkan kepala, aku akan melakukannya sendiri.Ia kemudian mulai berjalan ke arah teras rumah itu, saat tiba-tiba seorang anak perempuan berlari ke arahnya sambil memegang-megang jasnya seperti hendak bersembunyi “Jangan lari kau! Dasar anak nakal!”Eshan langsun
“Apa kamu bisa menjamin bahwa kalian akan baik-baik saja, jika tidak bersamaku?”Dzurriya terdiam mendengar ucapan suaminya tersebut.“Setidaknya mereka tidak akan tahu bahwa aku dan Angel adalah keluargamu?”“Sampai kapan?” tanya lelaki itu balik.Sekali lagi Dzurriya hanya terdiam. “Apa kamu bisa menjamin tidak akan ada yang mengejar kalian?” lanjutnya membuat Dzurriya semakin tercenung diam.“Jika kalian ada di sini, justru tempat yang menurutmu paling aman, bisa menjadi tempat yang paling berbahaya di dunia ini, apa kau sadar itu Dek?” Ucap lelaki itu terdengar masuk akal.“Aku ingin memberi kalian status, supaya tidak ada lagi orang yang berani menyentuh kalian Aku hanya ingin kebaikan itu untuk kalian, setidaknya dengan bersamaku, aku bisa memastikan bahwa kalian aman dan baik-baik saja,” jelas suaminya itu.Dzurriya menelan ludahnya mendengar ucapan suaminya tersebut.“Aku mencintaimu Dzurriya,” ucap lelaki itu sambil menatapnya dengan lembut.Dzurriya terkesiap diam dan mena
Dzurriya menatap keluar jendela mobil tersebut, kampungnya tampak tak berbeda jauh dengan setahun setengah yang lalu.Terlihat beberapa orang yang tengah bersantai di depan rumah tetangganya, memandang mobil yang dinaikinya itu dengan heran.Dzurriya tersenyum dalam-dalam menatap mereka, matanya tampak berkaca-kaca.“Akhirnya aku kembali Aba, Ummi,” gumam Dzurriya dalam hati setelah menghela nafas panjang, kemudian berbalik menatap Putri kecilnya lagi.“Sayang! akhirnya Bunda bisa membawamu pulang,” seru Dzurriya dengan senang, kemudian mengecup pipi mungil putrinya dengan gemas.Tiba-tiba ia mendengar suara berisik dari luar mobil tersebut.Ia segera menoleh ke arah jendela kembali tampak beberapa mobil mewah terparkir di depan rumah budenya yang terbilang sangat luas itu, yang tepat bersebelahan dengan rumahnya.‘Ada apa, kok banyak mobil? apa Mas Erwin sedang lamaran?” pikirnya bertanya-tanya, sampai lehernya menoleh mengikuti gerak mobil itu yang semakin menjauh dari pekarangan r
Dzurriya menatap jauh ke arah suaminya yang tengah duduk di taman rumah sakit itu dengan pandangannya yang kosong.Sudah sejam lelaki itu berada di sana dengan matanya yang sesekali berkaca-kaca.Lelaki itu tadi terlihat sangat bahagia mendapati Dzurriya berada di sampingnya tadi, namun tiba-tiba berubah murung saat mengetahui bahwa istri pertamanya telah tiada.‘Secinta itu kau padanya Mas,” pikir Dzurriya sembari menelan ludahnya.“Apa yang kau pikirkan?”Dzurriya tersentak kaget mendengar pertanyaan Ryan barusan, ia kemudian menoleh ke arah sepupu iparnya tersebut.“Kenapa kau tak menghampirinya saja? Sepertinya dia butuh teman bicara,” tanya lelaki itu lebih jauh.Dzurriya tersenyum ringan, kemudian berbalik menatap jauh ke arah suaminya.“Apa kau tahu apa yang ditanyakannya tadi padaku saat dia baru siuman?” tanyanya tanpa menoleh ke arah Ryan sedikitpun.“Apa dia bertanya kalau kau baik-baik saja?”Dzurriya tersenyum sambil menunduk ke bawah, mendengar jawaban Ryan tersebut, kem
“Mas!” teriak Dzurriya panik dengan mata yang nanar dan berkaca-kaca. Ia memeluk suaminya dalam perempuannya tersebut.Lelaki itu tampak berusaha tersenyum padanya, sambil berbicara dengan nada terbata-bata, “ S–sekarang kita sudah impas… A—aku sudah ti—dak berhutang lagi padamu.”“Tidak! ini belum cukup! kau harus membayarnya seumur hidupmu! kau dengar itu?” ujar Dzurriya di antara air matanya yang terus-menerus mengalir ketakutan.Eshan kembali terlihat tersenyum, sebelum akhirnya tubuhnya tiba-tiba tersentak hebat, dan dari dalam mulutnya memancar darah yang begitu banyak, hingga menciprat ke sebagian pakaian Dzurriya dan mukanya.Lelaki itu pingsan dan langsung menutup mata setelahnya, membuat Dzurriya menangis histeris dengan begitu panik. Ia berusaha menggoyang-goyang tubuh suaminya itu, namun tidak ada respon sekali.Dengan ketakutan ia mulai berteriak minta tolong.Tiba-tiba beberapa orang datang bersama dengan Alexa yang tadi lari begitu saja setelah menikam suaminya.Di
“Lepaskan dia!” Sayup-sayup terdengar teriakan begitu kera, setelah suara pintu yang terdengar digebrak dan dibanting tiba-tiba. Diikuti kemudian oleh suara langkah kaki yang berlari dan berderap begitu berat, tampak tubuh Alexa tertarik ke belakang. Dzurriya langsung terbatuk-batuk, nafasnya yang tertahan begitu lama langsung tersengal-sengal keluar. ‘Apa dia benar-benar sudah gila?’ pikir Dzurriya sembari memegang lehernya dan melirik ke arah istri pertama suaminya itu. “Kamu nggak pa-pa?” tanya suaminya yang tengah berdiri di hadapannya dengan wajah begitu khawatir, sambil memegang kedua lengan atasnya. “Sayang, aku bisa jelaskan,” sela Alexa yang baru saja bangkit dan menghampiri suaminya itu, terdengar begitu gupuh. Jakun Ehsan tampak naik turun mendengar ucapan wanita itu yang kelihatan terus berusaha berkilah, sedang giginya tampak mencengkeram dengan kuat sambil membuang muka ke atas. Lelaki itu tampak begitu kesal, namun sepertinya masih berusaha untuk menahannya. “T