Suara itu begitu berat dan parau sehingga gaungnya memenuhi lobi ini. Dari mana lelaki ini sadar dengan penyamarannya? Bukankah ia sudah berusaha sedemikian rupa.
Dzurriya tahu kalau ia harus segera melarikan diri, tapi apa ini? Kakinya yang lemah seperti terpaku di tanah. Tak kuasa bergerak dan bertahan.
Eshan, lelaki yang sebelumnya menodongkan pistol ke kepalanya, langsung mengangkat tubuh Dzurriya dan memanggulnya di pundak sebelah kanan tanpa menghiraukan siapapun. Entah akan dibawa ke mana Dzurriya sekarang.
“Turunkan aku!” pekik Dzurriya.
Brak!
“Ah!”
Dzurriya memekik ketika Eshan menendang pintu gudang yang ada di depannya. Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, Dzurriya berkali-kali memberontak. Namun, karena tubuhnya masih lemah dan juga lelaki itu sangat kuat, Eshan sama sekali tidak terpengaruh.
“Astaghfirullah!” Dzurriya mengernyit dan matanya terpejam bersamaan.
Sekarang keduanya berada di tempat yang gelap dengan bau apek yang menyengat. Tanpa siapapun selain perangkat medis yang mungkin sudah usang atau telah rusak.
Pikirannya semakin kacau, entah apa yang hendak dilakukan Eshan padanya dalam ruangan sepi juga kelam itu.
Lelaki itu menurunkannya dengan kasar, lalu mendorongnya ke tembok sebelum dia mundur beberapa langkah. Ia mengacungkan pistol dan…
Duarrr!
Suara dentuman peluru keras menyambar dinding tepat di sebelah wajah Dzurriya. Begitu kencang sampai dinding beton itu terkoyak.
Badan Dzurriya langsung bergetar hebat dan jatuh terduduk dengan lemas. Keringat pun tak lagi mengucur, tapi membanjiri kulitnya dalam sekali waktu. Namun, tak sedikitpun ada rasa iba di wajah Eshan.
Dia malah mendekati Dzurriya dengan tangan kanan yang masih memegang pistol. Disentuhkannya pistol itu ke pipi Dzurriya kemudian diusapkan ke bawah dagunya.
Ia mendongakkan dagu Dzurriya ke atas. Dengan sinis, dia berbisik, “Kalau bukan karena Alexa, sudah lama kamu mati di tanganku, Jadi tunggulah Alexa! Dia yang paling berhak menghukummu. Selama itu, aku tak akan membiarkanmu mati, apalagi kabur.”
Matanya melotot bengis ke arah Dzurriya yang terlihat panik dan tegang.
“Jadi jangan menguji kesabaranku, atau kepalamu akan berakhir seperti tembok itu,” ancamnya sambil sekali lagi menarik pelatuk ke sisi dahi Dzurriya.
Eshan yang terlihat puas berbalik dan bersiap berlalu, saat Dzurriya berteriak, “Kenapa kau terus mengancamku?! Apa salahku?! Aku tak tahu kamu siapa, Alexa siapa, aku bahkan tak ingat aku siapa!”
“He!” hardik balik Eshan. “Jangan pura-pura bodoh! Aku gak bisa dibohongi!”
“Aku tidak berbohong, aku benar-benar tak ingat apapun,” ucap Dzurriyya seketika menangis lepas.
Eshan mendekat dan mencengkeram dagunya, “Kamu kira dengan kamu menangis, aku akan melunak? Jangan harap! Sekali pembunuh tetap pembunuh! Aku akan terus mengawasimu, jadi berhati-hatilah!”
Eshan pergi meninggalkan Dzurriya yang gemetaran di ruangan pengap tanpa pencahayaan itu.
Dengan terseok-seok, Dzurriya bangkit dan berjalan meraba-raba sekitarnya. Ia berusaha mencapai pintu keluar.
Namun sayang sekali, pintu itu sudah terkunci.
“Tolong! Seseorang, tolong buka pintunya!”
Ia menggedor-gedor pintu tersebut begitu kencang dan terus berteriak minta tolong. Suaranya begitu menyayat, namun tak ada sahutan sedikitpun dari luar. Hanya terdengar suaranya sendiri yang menggema kembali.
“Apa salahku? Kenapa aku harus menanggung hukuman sebesar ini, tolong jelaskan! Tolong! Tolong! Aku mau keluar, aku mau keluar!”
Dzurriya menangis terisak dengan tangan yang masih menggedor pintu. Semakin pelan dan pelan… sampai dirinya kehabisan tenaga. Lambat laun suaranya pun melemah bersama kesadarannya yang semakin menurun. Dan…
Bruk!
Tubuhnya terhuyung jatuh tak sadarkan diri.
***
“Aku tau kau sangat membencinya, tapi tolong… dia masih pasienku.”
Dahi Dzurriya mengernyit saat mendengar suara lelaki asing masuk ke telinganya. Ia bisa mendengar suara berisik dari sisi kiri dan kanan. Ujung hidungnya pun kembali mencium bau obat-obatan.
Kemudian, terdengar suara dengusan keras. “Masa bodoh.”
“Tahan dirimu, Shan. Kau juga gak bisa meminta pertanggung jawabannya kalau dia mati sekarang.”
Mendengar kata ‘mati’, Dzurriya refleks membuka mata. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamar berwarna putih, bukan ruangan gelap dan pengap.
‘Apa ini? Apa aku sudah mati?’
“Lihat? Dia baik-baik saja, kan?”
Dzurriya menoleh, mendapati Eshan sudah berdiri di sana dengan wajah bengisnya. Di sebelahnya, berdiri seorang lelaki berjas snelli yang sepertinya juga menantikannya siuman.
Selain itu, ada seorang wanita cantik yang tengah duduk di atas kursi roda. Wajah wanita itu terlihat pucat dengan plester kecil di kepalanya. Namun, entah kenapa tatapannya tampak begitu dingin dan mengerikan.
“Apa kamu sudah baikan?” tanya lelaki berjas snelli itu. Hanya dia yang tampak agak ramah.
“Ya.” jawab Dzurriya lirih dengan matanya yang membengkak sayu.
Lelaki itu mengambil stetoskop yang sedari tadi tergantung di lehernya untuk memeriksa detak jantung Dzurriya. Kemudian dengan dua jarinya, dia mengetuk-ngetuk bagian perut Dzurriya.
“Setelah ini, aku akan memberimu obat, minumlah setelah makan dan jangan sampai telat lagi!” perintah lelaki yang ternyata dokter itu, lalu keluar sambil menepuk pundak Eshan.
“Apakah tidurmu sangat nyenyak setelah menghancurkan mimpi orang lain. Dasar, wanita Jalang!” wanita berkursi roda itu berkata kasar setelah dokter itu pergi. Ia menatap Dzurriya dengan datar, tapi penuh kebencian. Sepertinya wanita itu telah lama menunggunya bangun.
‘Siapa wanita ini? Kenapa keadaannya juga penuh luka?’
“Apa aku mengenalmu?”
“Ha!” Sengir wanita itu. “Ternyata benar selain bodoh, kau juga licik. Berani sekali kau membodohiku.”
“Sungguh, aku tak mengerti maksudmu…,” ucap Dzurriya berusaha meyakinkannya.
“Cukup! Aku bukanlah orang rendahan seperti kamu, yang mencelakai orang lain kemudian kabur. Lihat saja aku akan membuatmu merasakan penderitaan yang aku rasakan sampai kau tidak akan mau hidup lagi di dunia ini!” ucap wanita itu dengan napas tersengal-sengal karena begitu marah.
“Memangnya apa yang kulakukan? Apa salahku?” tanya Dzurriya dengan suara paraunya yang ragu, berusaha memberanikan diri.
“Kau bertanya… apa kesalahanmu?” Wanita itu tertawa pahit sambil mendekati tempat tidur Dzurriya, lalu berteriak keras. “Kau sudah membunuh bayiku dan membuatku tak bisa punya anak lagi!”
“Sekarang kau bertanya apa kesalahanmu, Jahanam kau!” umpat wanita itu hampir saja menamparnya. Namun, Eshan tiba-tiba memeluknya. “Sabar, Alexa…. Jangan mengotori tanganmu dengan menamparnya.” Dzurriya masih bingung dan tak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya. “K-kau pasti berbohong… aku bukan pembunuh…. Aku bukan pembunuh!” pekiknya histeris. “Ya, kau pembunuh! Kau sudah membunuh bayiku. Kalau kau tidak muncul di jalan itu, aku tidak akan mengalami kecelakaan!” teriak histeris wanita bernama Alexa itu berang. Mata Dzurriya membulat. Kata-kata wanita itu memunculkan sekelebat bayangan yang membuat kepalanya berdenyut sangat nyeri. Dalam bayangan itu terlihat sebuah cahaya terang dari sebuah mobil yang melaju cepat ke arahnya dan… “Argh!” Dzurriya berteriak sambil memegangi kepalanya yang nyeri. Namun, bukan kata-kata menenangkan diri atau obat, ia justru merasakan rahangnya dicengkram kuat oleh tangan besar Eshan, “Hentikan akting burukmu ini!” “Belum puas kau membun
Belum sempat Dzurriya menanggapi ajakan menikah yang dingin itu, Eshan sudah mengulurkan selembar kertas ke hadapannya. “Tanda tangan di sini!” “A-Apa ini?” tanya Dzurriya memberanikan diri. “Kau bisa baca, kan?” ucap Eshan dingin. Dzurriya membaca baris pertama surat yang disodorkan Eshan. Matanya membulat kala melihat tulisan ‘Pernikahan Kontrak’ di sana. Tangannya gemetar, antara takut dan marah. “Aku tidak mau! Allah mengharamkan bagi kami nikah kontrak, lebih baik aku mati—” “Mati itu terlalu mudah bagi pendosa sepertimu,” potong Eshan sambil mencengkram dagu Dzurriya. “Aku akan membuatmu merasakan kesakitan yang dalam sebelum kau mati.” Eshan melepaskan dagunya dengan kasar, membuat air mata yang sedari tadi Dzurriya tahan kembali menetes. Dengan gemetar, Dzurriya mengambil pulpen yang diletakkan Eshan di atas meja. Pandangannya memburam, tapi ia berusaha membaca pasal demi pasal yang ada di kertas putih tersebut. ‘Pihak kedua setuju menjadi istri pihak pertama selama
Selesai berberes kemarin, Dzurriya langsung ketiduran tanpa mandi atau berganti pakaian. Ia juga melewatkan makan malam ataupun minum setetes air pun. Alhasil, ia benar-benar kelaparan sekarang. Ia baru bangun keesokan pagi ketika jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Tenggorokannya yang kering, membuatnya berniat ingin mengambil air minum di dapur. Namun, karena masih canggung dan belum hafal seluk-beluk rumah besar ini, ia hampir saja tersesat. Ia bertemu beberapa pelayan di perjalanan, dan bertanya kepada mereka. Namun, setelah bertanya, bukannya mendapat senyuman ramah, Dzurriya malah mendengar sayup-sayup bisikan mereka yang mengejek Dzurriya. “Kasihan, ya….” ucap salah satu pelayan. “Kok, Tuan bisa ya, bawa wanita dekil itu ke sini. Mana dijadiin madu Bu Alexa lagi,” sahut yang lainnya. Dzurriya langsung bisa menebak apa yang dibicarakan pelayan-pelayan itu di belakang sana. Ditiliknya baju yang dipakainya bersih-bersih kemarin dan belum sempat diganti. Berdebu dan bernoda
“Kami belum berani melakukan prosedur HSG untuk melihat kondisi rahim Ibu Dzurriya, karena beliau lupa kapan terakhir menstruasi. Bulan depan, dua atau sampai tujuh hari pasca beliau menstruasi, kembalilah kesini untuk melakukan pemeriksaan.” Itu adalah yang diucapkan dokter kandungan setelah sesi konsultasi berakhir. Untuk melihat kondisi rahim Dzurriya, Alexa meminta pemeriksaan dengan menggunakan sinar Rontgen atau HSG. Namun, karena Dzurriya amnesia, ia tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan dokter dengan baik. Suasana ruangan itu pun mendadak jadi dingin. Dzurriya juga melihat alis Alexa yang menyatu karena marah, berbeda dengan Eshan yang hanya diam dengan tatapan tajam. Tatapan Alexa yang tadinya tertuju kepada sang dokter, langsung mendelik ke arah Dzurriya “Kamu sengaja, kan?!” Napas wanita itu terdengar terengah-engah. Matanya memerah, dan otot-otot mukanya tertarik. Dzurriya hanya menunduk, menghindari tatapan menusuk Alexa itu. Tak ada kata yang berani ia ucapkan, ata
“Argh!” Seketika mata Dzurriya terpejam, suaranya melengking histeris. Namun yang mengherankan, kenapa ia tidak merasakan sakit atau semacamnya? Dibukanya matanya perlahan. Eshan masih berdiri dengan tatapan yang sama, auranya begitu mengerikan. Ditambah bau asap pistol yang melontar tanpa peluru. “Seumur hidup, aku tidak pernah melihat Alexa begitu kesakitan,” Ehsan berucap sambil menurunkan ujung pistol itu. “Dan, aku juga tidak akan pernah membuatnya kesakitan.” Ketika Dzurriya merasa kalau Eshan sudah lebih tenang dan ia bisa kabur, tangan pria itu kembali bergerak untuk mengokang pistolnya kembali. Mata Dzurriya membulat. Dengan panik, ia beringsut mundur dalam posisi duduk. “A-Ampun, ampun, m-maafkan aku!” pekik Dzurriya, masih menyeret tubuhnya yang lemas. Namun nahas, saat ia mencoba berdiri, baju gamisnya yang panjang justru terinjak kakinya sendiri. Baju itu robek sampai bagian betisnya terlihat. Melihat peluangnya terbatas, Dzurriya segera meraih kaki suaminya terse
Ia bisa merasakan aroma musk itu semakin pekat menusuk hidungnya, desah napasnya pun menyemilir di atas permukaan kulit pipinya. Seketika, bulu kuduk di sekujur tubuhnya bergetar. Apalagi sekarang jemari tangan kekar itu tengah terulur perlahan di bawah bahunya, sambil menjumput untaian kerudungnya dan menyilangkannya di pundak dengan lembut. Tak sampai disitu, ia merasakan tangan tersebut membelai kepalanya turun dan menyanggah punggungnya. Kemudian, pipi lelaki itu beberapa saat bergesekan dengan pipinya. Bahkan, ia bisa merasakan degup jantungnya yang beradu dengan detak jantung sang suami. “Bukankah sudah kubilang?” suara rendah lelaki itu menyapu lembut telinga Dzurriya. Sontak wanita itu pun bertambah merinding.“A-apa?” cicit Dzurriya.“Kalau butuh sesuatu, panggil pelayan.” Tangan Eshan yang terulur di belakang punggung Dzurriya itupun memencet sebuah tombol di samping kulkas dua kali, sampai terdengar seperti suara bel.“Aku tidak mau melihat mayat di rumah ini,” lanjut lel
“Aku mencintaimu, Sayang….” suara serak Eshan bagai tamparan untuk Dzurriya. Itu bukan ungkapan cinta untuknya, melainkan untuk Alexa, sang istri pertama. Dzurriya mematung di tempatnya kala melihat pergumulan Eshan dan Alexa di sofa. Posisi Eshan duduk membelakangi pintu, jadi tidak menyadari kehadiran Dzurriya. Namun berbeda dengan Alexa, yang duduk di pangkuan lelaki itu sambil mencumbunya. Tatapan Dzurriya yang bergetar, bertemu dengan Alexa. Dzurriya bisa melihat senyum tipis wanita itu, sebelum mencium Eshan lebih dalam dari sebelumnya. Tangannya terulur di belakang leher lelaki itu, sambil badannya digerakkan dengan sensual. Dzurriya memalingkan wajah. ‘Ya Allah… kenapa ujianmu semakin hari, semakin berat….’ Ia baru merasakan kebahagiaan semalam, setelah Eshan menyebutnya sebagai ‘istri’. Namun, ia kembali ditampar kenyataan bahwa status itu tidak lebih dari perjanjian di atas kertas. Dzurriya hanya istri kedua dalam status kontrak. Ia tidak berhak atas cinta dan kebahagi
Pada waktu yang sama, di ruang kerja Eshan. “Ah! Brengsek! Kenapa aku gak bisa fokus?!” gerutu Eshan sambil menutup laptopnya dengan keras. Ia pun melempar tubuhnya ke sandaran kursi sambil mendesah panjang. Dadanya terasa berdenyut-denyut tak karuan tanpa sebab. Bola matanya yang sedari tadi menatap langit-langit ruangan pun terpejam, memikirkan apa sebenarnya yang sedang dirasakan dan dipikirkannya. ‘Apa ini? Kenapa aku kepikiran wanita sialan itu?’ Sejak meninggalkan kamarnya, pikiran Eshan jadi tidak tenang. Ia kepikiran, apa yang Alexa lakukan kepada wanita itu. Apakah Alexa kembali tantrum seperti waktu itu– “Gak! Aku gak mengkhawatirkan dia! Aku hanya takut barangku dicuri saja. Apalagi dia sekarang sendirian di kamarku.” Eshan memijat pelipisnya beberapa saat, tapi kepalanya tidak berhenti berdenyut. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk beranjak dari kursinya. Ia harus memastikan dengan matanya sendiri kalau wanita itu tidak berulah. Sampai di depan kamarnya, suasana terasa