Share

BAB 2

Suara itu begitu berat dan parau sehingga gaungnya memenuhi lobi ini. Dari mana lelaki ini sadar dengan penyamarannya? Bukankah ia sudah berusaha sedemikian rupa. 

Dzurriya tahu kalau ia harus segera melarikan diri, tapi apa ini? Kakinya yang lemah seperti terpaku di tanah. Tak kuasa bergerak dan bertahan.

Eshan, lelaki yang sebelumnya menodongkan pistol ke kepalanya, langsung mengangkat tubuh Dzurriya dan memanggulnya di pundak sebelah kanan tanpa menghiraukan siapapun. Entah akan dibawa ke mana Dzurriya sekarang.

“Turunkan aku!” pekik Dzurriya.

Brak!

“Ah!”

Dzurriya memekik ketika Eshan menendang pintu gudang yang ada di depannya. Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, Dzurriya berkali-kali memberontak. Namun, karena tubuhnya masih lemah dan juga lelaki itu sangat kuat, Eshan sama sekali tidak terpengaruh.

“Astaghfirullah!”  Dzurriya mengernyit dan matanya terpejam bersamaan. 

Sekarang keduanya berada di tempat yang gelap dengan bau apek yang menyengat. Tanpa siapapun selain perangkat medis yang mungkin sudah usang atau telah rusak. 

Pikirannya semakin kacau, entah apa yang hendak dilakukan Eshan padanya dalam ruangan sepi juga kelam itu.

Lelaki itu menurunkannya dengan kasar, lalu mendorongnya ke tembok sebelum dia mundur beberapa langkah. Ia mengacungkan pistol dan…

Duarrr! 

Suara dentuman peluru keras menyambar dinding tepat di sebelah wajah Dzurriya. Begitu kencang sampai dinding beton itu terkoyak.

Badan Dzurriya langsung bergetar hebat dan jatuh terduduk dengan lemas. Keringat pun tak lagi mengucur, tapi membanjiri kulitnya dalam sekali waktu. Namun, tak sedikitpun ada rasa iba di wajah Eshan.

Dia malah mendekati Dzurriya dengan tangan kanan yang masih memegang pistol. Disentuhkannya pistol itu ke pipi Dzurriya kemudian diusapkan ke bawah dagunya.

Ia mendongakkan dagu Dzurriya ke atas. Dengan sinis, dia berbisik, “Kalau bukan karena Alexa, sudah lama kamu mati di tanganku, Jadi tunggulah Alexa! Dia yang paling berhak menghukummu. Selama itu, aku tak akan membiarkanmu mati, apalagi kabur.” 

Matanya melotot bengis ke arah Dzurriya yang terlihat panik dan tegang.

“Jadi jangan menguji kesabaranku, atau kepalamu akan berakhir seperti tembok itu,” ancamnya sambil sekali lagi menarik pelatuk ke sisi dahi Dzurriya. 

Eshan yang terlihat puas berbalik dan bersiap berlalu, saat Dzurriya berteriak, “Kenapa kau terus mengancamku?! Apa salahku?! Aku tak tahu kamu siapa, Alexa siapa, aku bahkan tak ingat aku siapa!” 

“He!” hardik balik Eshan. “Jangan pura-pura bodoh! Aku gak bisa dibohongi!” 

“Aku tidak berbohong, aku benar-benar tak ingat apapun,” ucap Dzurriyya seketika menangis lepas.

Eshan mendekat dan mencengkeram dagunya, “Kamu kira dengan kamu menangis, aku akan melunak? Jangan harap! Sekali pembunuh tetap pembunuh! Aku akan terus mengawasimu, jadi berhati-hatilah!”

Eshan pergi meninggalkan Dzurriya yang gemetaran di ruangan pengap tanpa pencahayaan itu.

Dengan terseok-seok, Dzurriya bangkit dan berjalan meraba-raba sekitarnya. Ia berusaha mencapai pintu keluar. 

Namun sayang sekali, pintu itu sudah terkunci.

“Tolong! Seseorang, tolong buka pintunya!”

Ia menggedor-gedor pintu tersebut begitu kencang dan terus berteriak minta tolong. Suaranya begitu menyayat, namun tak ada sahutan sedikitpun dari luar. Hanya terdengar suaranya sendiri yang menggema kembali. 

“Apa salahku? Kenapa aku harus menanggung hukuman sebesar ini, tolong jelaskan! Tolong! Tolong! Aku mau keluar, aku mau keluar!” 

Dzurriya menangis terisak dengan tangan yang masih menggedor pintu. Semakin pelan dan pelan… sampai dirinya kehabisan tenaga. Lambat laun suaranya pun melemah bersama kesadarannya yang semakin menurun. Dan…

Bruk!

Tubuhnya terhuyung jatuh tak sadarkan diri.

***

“Aku tau kau sangat membencinya, tapi tolong… dia masih pasienku.”

Dahi Dzurriya mengernyit saat mendengar suara lelaki asing masuk ke telinganya. Ia bisa mendengar suara berisik dari sisi kiri dan kanan. Ujung hidungnya pun kembali mencium bau obat-obatan.

Kemudian, terdengar suara dengusan keras. “Masa bodoh.”

“Tahan dirimu, Shan. Kau juga gak bisa meminta pertanggung jawabannya kalau dia mati sekarang.”

Mendengar kata ‘mati’, Dzurriya refleks membuka mata. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamar berwarna putih, bukan ruangan gelap dan pengap. 

‘Apa ini? Apa aku sudah mati?’ 

“Lihat? Dia baik-baik saja, kan?”

Dzurriya menoleh, mendapati Eshan sudah berdiri di sana dengan wajah bengisnya. Di sebelahnya, berdiri seorang lelaki berjas snelli yang sepertinya juga menantikannya siuman. 

Selain itu, ada seorang wanita cantik yang tengah duduk di atas kursi roda. Wajah wanita itu terlihat pucat dengan plester kecil di kepalanya. Namun, entah kenapa tatapannya tampak begitu dingin dan mengerikan.

“Apa kamu sudah baikan?” tanya lelaki berjas snelli itu. Hanya dia yang tampak agak ramah.

“Ya.” jawab Dzurriya lirih dengan matanya yang membengkak sayu.

Lelaki itu mengambil stetoskop yang sedari tadi tergantung di lehernya untuk memeriksa detak jantung Dzurriya. Kemudian dengan dua jarinya, dia mengetuk-ngetuk bagian perut Dzurriya. 

“Setelah ini, aku akan memberimu obat, minumlah setelah makan dan jangan sampai telat lagi!” perintah lelaki yang ternyata dokter itu, lalu keluar sambil menepuk pundak Eshan. 

“Apakah tidurmu sangat nyenyak setelah menghancurkan mimpi orang lain. Dasar, wanita Jalang!” wanita berkursi roda itu berkata kasar setelah dokter itu pergi. Ia menatap Dzurriya dengan datar, tapi penuh kebencian. Sepertinya wanita itu telah lama menunggunya bangun. 

‘Siapa wanita ini? Kenapa keadaannya juga penuh luka?’ 

“Apa aku mengenalmu?”

“Ha!” Sengir wanita itu. “Ternyata benar selain bodoh, kau juga licik. Berani sekali kau membodohiku.”

“Sungguh, aku tak mengerti maksudmu…,” ucap Dzurriya berusaha meyakinkannya.

“Cukup! Aku bukanlah orang rendahan seperti kamu, yang mencelakai orang lain kemudian kabur. Lihat saja aku akan membuatmu merasakan penderitaan yang aku rasakan sampai kau tidak akan mau hidup lagi di dunia ini!” ucap wanita itu dengan napas tersengal-sengal karena begitu marah.

“Memangnya apa yang kulakukan? Apa salahku?” tanya Dzurriya dengan suara paraunya yang ragu, berusaha memberanikan diri.

“Kau bertanya… apa kesalahanmu?” Wanita itu tertawa pahit sambil mendekati tempat tidur Dzurriya, lalu berteriak keras. “Kau sudah membunuh bayiku dan membuatku tak bisa punya anak lagi!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status