“Sekarang kau bertanya apa kesalahanmu, Jahanam kau!” umpat wanita itu hampir saja menamparnya.
Namun, Eshan tiba-tiba memeluknya. “Sabar, Alexa…. Jangan mengotori tanganmu dengan menamparnya.”
Dzurriya masih bingung dan tak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya. “K-kau pasti berbohong… aku bukan pembunuh…. Aku bukan pembunuh!” pekiknya histeris.
“Ya, kau pembunuh! Kau sudah membunuh bayiku. Kalau kau tidak muncul di jalan itu, aku tidak akan mengalami kecelakaan!” teriak histeris wanita bernama Alexa itu berang.
Mata Dzurriya membulat. Kata-kata wanita itu memunculkan sekelebat bayangan yang membuat kepalanya berdenyut sangat nyeri.
Dalam bayangan itu terlihat sebuah cahaya terang dari sebuah mobil yang melaju cepat ke arahnya dan…
“Argh!” Dzurriya berteriak sambil memegangi kepalanya yang nyeri.
Namun, bukan kata-kata menenangkan diri atau obat, ia justru merasakan rahangnya dicengkram kuat oleh tangan besar Eshan, “Hentikan akting burukmu ini!”
“Belum puas kau membunuh anak kami dan membuatnya kehilangan harapan untuk menjadi seorang ibu, Hah! Dasar wanita tak tahu diri!” lanjutnya memaki sambil menghempas kepala Dzurriya.
Dzurriya mengangkat pandangannya yang sudah diburamkan air mata. Kepalanya masih berdenyut, air matanya semakin deras mengalir tanpa suara. Kedua orang itu menatapnya penuh dendam.
Dzurriya mencoba bangun, kakinya yang tertatih-tatih berlutut di hadapan Alexa dengan tulus. “Aku tak tahu apa yang kulakukan, tapi sungguh aku minta maaf… Maafkan aku… maafkan aku!”
“Kamu minta maaf, tapi kamu tidak mengakui kesalahanmu?” Sekali lagi, Eshan mencengkram dagu Dzurriya.
“Sungguh! Aku tak ingat apa-apa?” Dengan sisa tenaganya, Dzurriya berteriak.
“Gak waras!”
“Hentikan, Sayang!” Sergah Alexa, seketika membuat cengkeraman lelaki itu melemah. “Aku yang akan menghukumnya!”
Dzurriya menoleh, dan mendapati wanita cantik itu sedang berusaha menghapus air matanya. Perasaannya tidak jauh lebih baik saat Alexa mampu membuat Ehsan melepaskannya. Walaupun Dzurriya tidak ingat apa pun, ia yakin kalau Alexa tidak lebih baik dari lelaki itu.
Mata Alexa yang memerah menatap lurus Dzurriya. “Aku yang akan membuatnya membayar setiap detik kesakitan yang telah ia timbulkan pada kita!”
Dzurriya menelan air liurnya, seraya air matanya terus mengalir.
‘Ya Allah… kuatkan hamba-Mu….’ matanya pun terpejam.
“Menikahlah dengannya.”
Dzurriya langsung membuka matanya. Ia pun menoleh ke arah lelaki itu, yang juga sedang membulatkan matanya ke arah Alexa.
‘Beberapa menit lalu dia mengumpatku, dan sekarang dia ingin suaminya menikahiku? Wanita itu lebih menakutkan dari suaminya.’
“Sayang! Apakah kamu sadar dengan apa yang barusan kamu minta?” Eshan berkata tegas, tapi terdengar nada panik dan syok di sana.
Alexa menjawab, “Ya, aku ingin kau menikahinya.”
“Sayang, kenapa kamu bicara begitu? Aku memang akan menuruti semua keinginanmu. Semuanya, tak terkecuali. Tapi gak dengan menikahinya.” Eshan menggeleng. “Dia baru saja membunuh anak kita dan membuatmu menderita. Seharusnya—”
“Jadi kamu bohong?” potong Alexa dengan wajah memerah. Dzurriya juga melihat tangan wanita itu terkepal kuat di pangkuannya.
“Bukan begitu, Sayang….”
“KAMU BERBOHONG!” Alexa tiba-tiba berteriak, membuat Alexa yang masih berlutut di depannya pun jatuh terduduk karena kaget.
“Aku ingin dia membayar apa yang dia berikan padaku!” Alexa menunjuk kasar Dzurriya, kemudian berbalik menatap Eshan lagi. “Kenapa kamu tidak mengerti?!”
Teriakan wanita itu semakin histeris. Ia berteriak tidak karuan, sampai membuat kursi roda itu mulai oleng. Melihat itu, Dzurriya beringsut mundur dan merapat ke ranjang lagi.
Sementara di sana, Eshan masih menenangkan istrinya. Lelaki itu memeluk, mengucapkan kata-kata lembut, sampai mencium dahinya, tapi Alexa malah bertambah histeris. Sampai akhirnya, wanita itu seketika pingsan.
***
Setelah Alexa pingsan, Eshan yang panik langsung membawa istrinya itu keluar dari ruang rawat Dzurriya. Tidak lupa lelaki itu kembali melemparkan ancaman kepadanya.
Sekarang, air mata Dzurriya mulai mengering karena sebegitunya letih menetes. Ia tidak ada tenaga untuk naik ke ranjangnya. Dinginnya lantai tidak bisa membuat luka di hatinya membaik.
Ceklek!
Jantung Dzurriya langsung berdebar begitu melihat sepatu pantofel hitam mendekat. ‘Tolong… jangan lagi…’
“Kenapa kamu tidur di lantai?”
Dzurriya mengangkat kepala ketika mendengar suara rendah yang lembut. Ternyata itu adalah Dokter yang tadi memeriksanya.
Dzurriya segera mengusap tepi-tepi matanya yang mulai berair dan bangkit, sebelum dokter itu membopongnya ke tempat tidur. Dokter itu tidak datang dengan tangan kosong, melainkan dengan nampan berisi menu makanan lengkap.
“Hmmm! Kamu ini memang bandel, apakah ini trikmu supaya aku menyuapimu?” goda sang dokter dengan tatapan lembut itu sambil mengulurkan piring.
Dzurriyya tersenyum tipis mendengarnya di antara sisa sesenggukan yang ia tahan. Ia segera mengambil piring nasi tersebut, dan memakannya sesuap demi sesuap.
Lima menit diisi keheningan. Sang dokter hanya duduk di depannya dan memperhatikan Dzurriya makan. Mungkin karena menyadari kalau Dzurriya sedang memperhatikannya, dokter itu pun tersenyum.
“Apa ada yang ingin kau tanyakan?”
Dzurriya tersedak. Dokter ini sangat peka. “M-maaf….”
Dokter itu memberikan segelas air kepada Dzurriya. “Santai saja. Apa yang ingin kau tanyakan?”
Dzurriya meminum air putih itu sampai setengah gelas, lalu mulai membuka mulut. “Bagaimana saya bisa ke sini?”
Seolah sudah menduga pertanyaan Dzurriya, dokter itu menjawab dengan lancar. “Kau mengalami kecelakaan bersama wanita yang barusan pingsan di kamar ini. Mereka adalah Pak Eshan dan Bu Alexa, salah satu pasangan terkaya dan paling berpengaruh di Asia.”
Napasnya tercekak.
Orang berpengaruh di Asia? Kenapa Dzurriya bisa berurusan dengan orang-orang seperti itu? Apa yang terjadi sebelumnya?
“Kenapa, apa ada sesuatu yang mengganggumu?”
Dzurriya menggeleng cepat. Ingin ia ceritakan, tapi mendengar dokter itu menyinggung soal reputasi Eshan dan Alexa, membuatnya bergetar ketakutan. Apalagi dokter tersebut tampak dekat dengan mereka.
‘Apakah aku akan mati setelah ini? Mereka pasti akan menembak kepalaku kan?’
Brak!
Di saat Dzurriya gemetaran, pintu ruangannya kembali terbuka.
“Tinggalkan kami!” Suara parau dan berat itu kembali. Suasana mencekam itu datang bersama tatapan dingin sepasang mata di balik kacamata rectangle.
Dokter itu keluar tanpa banyak bicara. Dzurriya juga tidak bisa memohon banyak, walaupun tatapan iba sang dokter tetap mengarah padanya sampai pintu tertutup. Sekarang, Dzurriya hanya berdua dengan Eshan di dalam ruang dingin itu.
Dzurriya memilih diam, perlakuan kasarnya masih terasa di sekujur tubuhnya, terutama pikirannya yang mulai trauma.
“Besok kita menikah.”
Belum sempat Dzurriya menanggapi ajakan menikah yang dingin itu, Eshan sudah mengulurkan selembar kertas ke hadapannya. “Tanda tangan di sini!” “A-Apa ini?” tanya Dzurriya memberanikan diri. “Kau bisa baca, kan?” ucap Eshan dingin. Dzurriya membaca baris pertama surat yang disodorkan Eshan. Matanya membulat kala melihat tulisan ‘Pernikahan Kontrak’ di sana. Tangannya gemetar, antara takut dan marah. “Aku tidak mau! Allah mengharamkan bagi kami nikah kontrak, lebih baik aku mati—” “Mati itu terlalu mudah bagi pendosa sepertimu,” potong Eshan sambil mencengkram dagu Dzurriya. “Aku akan membuatmu merasakan kesakitan yang dalam sebelum kau mati.” Eshan melepaskan dagunya dengan kasar, membuat air mata yang sedari tadi Dzurriya tahan kembali menetes. Dengan gemetar, Dzurriya mengambil pulpen yang diletakkan Eshan di atas meja. Pandangannya memburam, tapi ia berusaha membaca pasal demi pasal yang ada di kertas putih tersebut. ‘Pihak kedua setuju menjadi istri pihak pertama selama
Selesai berberes kemarin, Dzurriya langsung ketiduran tanpa mandi atau berganti pakaian. Ia juga melewatkan makan malam ataupun minum setetes air pun. Alhasil, ia benar-benar kelaparan sekarang. Ia baru bangun keesokan pagi ketika jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Tenggorokannya yang kering, membuatnya berniat ingin mengambil air minum di dapur. Namun, karena masih canggung dan belum hafal seluk-beluk rumah besar ini, ia hampir saja tersesat. Ia bertemu beberapa pelayan di perjalanan, dan bertanya kepada mereka. Namun, setelah bertanya, bukannya mendapat senyuman ramah, Dzurriya malah mendengar sayup-sayup bisikan mereka yang mengejek Dzurriya. “Kasihan, ya….” ucap salah satu pelayan. “Kok, Tuan bisa ya, bawa wanita dekil itu ke sini. Mana dijadiin madu Bu Alexa lagi,” sahut yang lainnya. Dzurriya langsung bisa menebak apa yang dibicarakan pelayan-pelayan itu di belakang sana. Ditiliknya baju yang dipakainya bersih-bersih kemarin dan belum sempat diganti. Berdebu dan bernoda
“Kami belum berani melakukan prosedur HSG untuk melihat kondisi rahim Ibu Dzurriya, karena beliau lupa kapan terakhir menstruasi. Bulan depan, dua atau sampai tujuh hari pasca beliau menstruasi, kembalilah kesini untuk melakukan pemeriksaan.” Itu adalah yang diucapkan dokter kandungan setelah sesi konsultasi berakhir. Untuk melihat kondisi rahim Dzurriya, Alexa meminta pemeriksaan dengan menggunakan sinar Rontgen atau HSG. Namun, karena Dzurriya amnesia, ia tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan dokter dengan baik. Suasana ruangan itu pun mendadak jadi dingin. Dzurriya juga melihat alis Alexa yang menyatu karena marah, berbeda dengan Eshan yang hanya diam dengan tatapan tajam. Tatapan Alexa yang tadinya tertuju kepada sang dokter, langsung mendelik ke arah Dzurriya “Kamu sengaja, kan?!” Napas wanita itu terdengar terengah-engah. Matanya memerah, dan otot-otot mukanya tertarik. Dzurriya hanya menunduk, menghindari tatapan menusuk Alexa itu. Tak ada kata yang berani ia ucapkan, ata
“Argh!” Seketika mata Dzurriya terpejam, suaranya melengking histeris. Namun yang mengherankan, kenapa ia tidak merasakan sakit atau semacamnya? Dibukanya matanya perlahan. Eshan masih berdiri dengan tatapan yang sama, auranya begitu mengerikan. Ditambah bau asap pistol yang melontar tanpa peluru. “Seumur hidup, aku tidak pernah melihat Alexa begitu kesakitan,” Ehsan berucap sambil menurunkan ujung pistol itu. “Dan, aku juga tidak akan pernah membuatnya kesakitan.” Ketika Dzurriya merasa kalau Eshan sudah lebih tenang dan ia bisa kabur, tangan pria itu kembali bergerak untuk mengokang pistolnya kembali. Mata Dzurriya membulat. Dengan panik, ia beringsut mundur dalam posisi duduk. “A-Ampun, ampun, m-maafkan aku!” pekik Dzurriya, masih menyeret tubuhnya yang lemas. Namun nahas, saat ia mencoba berdiri, baju gamisnya yang panjang justru terinjak kakinya sendiri. Baju itu robek sampai bagian betisnya terlihat. Melihat peluangnya terbatas, Dzurriya segera meraih kaki suaminya terse
Ia bisa merasakan aroma musk itu semakin pekat menusuk hidungnya, desah napasnya pun menyemilir di atas permukaan kulit pipinya. Seketika, bulu kuduk di sekujur tubuhnya bergetar. Apalagi sekarang jemari tangan kekar itu tengah terulur perlahan di bawah bahunya, sambil menjumput untaian kerudungnya dan menyilangkannya di pundak dengan lembut. Tak sampai disitu, ia merasakan tangan tersebut membelai kepalanya turun dan menyanggah punggungnya. Kemudian, pipi lelaki itu beberapa saat bergesekan dengan pipinya. Bahkan, ia bisa merasakan degup jantungnya yang beradu dengan detak jantung sang suami. “Bukankah sudah kubilang?” suara rendah lelaki itu menyapu lembut telinga Dzurriya. Sontak wanita itu pun bertambah merinding.“A-apa?” cicit Dzurriya.“Kalau butuh sesuatu, panggil pelayan.” Tangan Eshan yang terulur di belakang punggung Dzurriya itupun memencet sebuah tombol di samping kulkas dua kali, sampai terdengar seperti suara bel.“Aku tidak mau melihat mayat di rumah ini,” lanjut lel
“Aku mencintaimu, Sayang….” suara serak Eshan bagai tamparan untuk Dzurriya. Itu bukan ungkapan cinta untuknya, melainkan untuk Alexa, sang istri pertama. Dzurriya mematung di tempatnya kala melihat pergumulan Eshan dan Alexa di sofa. Posisi Eshan duduk membelakangi pintu, jadi tidak menyadari kehadiran Dzurriya. Namun berbeda dengan Alexa, yang duduk di pangkuan lelaki itu sambil mencumbunya. Tatapan Dzurriya yang bergetar, bertemu dengan Alexa. Dzurriya bisa melihat senyum tipis wanita itu, sebelum mencium Eshan lebih dalam dari sebelumnya. Tangannya terulur di belakang leher lelaki itu, sambil badannya digerakkan dengan sensual. Dzurriya memalingkan wajah. ‘Ya Allah… kenapa ujianmu semakin hari, semakin berat….’ Ia baru merasakan kebahagiaan semalam, setelah Eshan menyebutnya sebagai ‘istri’. Namun, ia kembali ditampar kenyataan bahwa status itu tidak lebih dari perjanjian di atas kertas. Dzurriya hanya istri kedua dalam status kontrak. Ia tidak berhak atas cinta dan kebahagi
Pada waktu yang sama, di ruang kerja Eshan. “Ah! Brengsek! Kenapa aku gak bisa fokus?!” gerutu Eshan sambil menutup laptopnya dengan keras. Ia pun melempar tubuhnya ke sandaran kursi sambil mendesah panjang. Dadanya terasa berdenyut-denyut tak karuan tanpa sebab. Bola matanya yang sedari tadi menatap langit-langit ruangan pun terpejam, memikirkan apa sebenarnya yang sedang dirasakan dan dipikirkannya. ‘Apa ini? Kenapa aku kepikiran wanita sialan itu?’ Sejak meninggalkan kamarnya, pikiran Eshan jadi tidak tenang. Ia kepikiran, apa yang Alexa lakukan kepada wanita itu. Apakah Alexa kembali tantrum seperti waktu itu– “Gak! Aku gak mengkhawatirkan dia! Aku hanya takut barangku dicuri saja. Apalagi dia sekarang sendirian di kamarku.” Eshan memijat pelipisnya beberapa saat, tapi kepalanya tidak berhenti berdenyut. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk beranjak dari kursinya. Ia harus memastikan dengan matanya sendiri kalau wanita itu tidak berulah. Sampai di depan kamarnya, suasana terasa
‘Seingatku, tadi aku masih memandikan Snow di kamar mandi? Kenapa aku bisa di kasur? ‘Apa dia yang menggendongku?’ gumam Dzurriya dalam hati. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Dokter Ryan mengalihkan perhatiannya. Dzurriya hanya mengejapkan matanya sebentar, mulutnya masih terasa begitu kering. “I-itu….” “Apa kau mau minum?” Ryan menyodorkan segelas air kepada Dzurriya. Dzurriya mengulurkan tangannya untuk mengambil. Pada saat itulah ia melihat punggung tangannya yang kemerahan. Lantas, ia pun memeriksa tangannya yang lain, juga wajah dan lehernya yang tertutup kerudung. Pantas saja dia merasa gatal dan panas sedari tadi. Dzurriya akhirnya minum segelas air yang diserahkan Ryan, sambil melirik dua lelaki di depannya. Lalu, saat matanya kembali bertemu dengan Eshan, ia buru-buru mengalihkan pandangan. Ia takut kena marah lagi. ‘Apa Eshan akan mengancamku lagi karena pingsan?’ “Awasi dia, jangan sampai dia melakukan hal bodoh lagi,” ujar Eshan sambil beranjak dari tempatnya. Dzur