Share

BAB 3

“Sekarang kau bertanya apa kesalahanmu, Jahanam kau!” umpat wanita itu hampir saja menamparnya.

Namun, Eshan tiba-tiba memeluknya. “Sabar, Alexa…. Jangan mengotori tanganmu dengan menamparnya.” 

Dzurriya masih bingung dan tak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya. “K-kau pasti berbohong… aku bukan pembunuh…. Aku bukan pembunuh!” pekiknya histeris.

“Ya, kau pembunuh! Kau sudah membunuh bayiku. Kalau kau tidak muncul di jalan itu, aku tidak akan mengalami kecelakaan!” teriak histeris wanita bernama Alexa itu berang.

Mata Dzurriya membulat. Kata-kata wanita itu memunculkan sekelebat bayangan yang membuat kepalanya berdenyut sangat nyeri.

Dalam bayangan itu terlihat sebuah cahaya terang dari sebuah mobil yang melaju cepat ke arahnya dan…

“Argh!” Dzurriya berteriak sambil memegangi kepalanya yang nyeri.

Namun, bukan kata-kata menenangkan diri atau obat, ia justru merasakan rahangnya dicengkram kuat oleh tangan besar Eshan, “Hentikan akting burukmu ini!”

“Belum puas kau membunuh anak kami dan membuatnya kehilangan harapan untuk menjadi seorang ibu, Hah! Dasar wanita tak tahu diri!” lanjutnya memaki sambil menghempas kepala Dzurriya.

Dzurriya mengangkat pandangannya yang sudah diburamkan air mata. Kepalanya masih berdenyut, air matanya semakin deras mengalir tanpa suara. Kedua orang itu menatapnya penuh dendam.

Dzurriya mencoba bangun, kakinya yang tertatih-tatih berlutut di hadapan Alexa dengan tulus. “Aku tak tahu apa yang kulakukan, tapi sungguh aku minta maaf… Maafkan aku… maafkan aku!”

“Kamu minta maaf, tapi kamu tidak mengakui kesalahanmu?” Sekali lagi, Eshan mencengkram dagu Dzurriya.

“Sungguh! Aku tak ingat apa-apa?” Dengan sisa tenaganya, Dzurriya berteriak.

“Gak waras!” 

“Hentikan, Sayang!” Sergah Alexa, seketika membuat cengkeraman lelaki itu melemah. “Aku yang akan menghukumnya!”

Dzurriya menoleh, dan mendapati wanita cantik itu sedang berusaha menghapus air matanya. Perasaannya tidak jauh lebih baik saat Alexa mampu membuat Ehsan melepaskannya. Walaupun Dzurriya tidak ingat apa pun, ia yakin kalau Alexa tidak lebih baik dari lelaki itu.

Mata Alexa yang memerah menatap lurus Dzurriya. “Aku yang akan membuatnya membayar setiap detik kesakitan yang telah ia timbulkan pada kita!”

Dzurriya menelan air liurnya, seraya air matanya terus mengalir.

‘Ya Allah… kuatkan hamba-Mu….’ matanya pun terpejam.

“Menikahlah dengannya.” 

Dzurriya langsung membuka matanya. Ia pun menoleh ke arah lelaki itu, yang juga sedang membulatkan matanya ke arah Alexa.

‘Beberapa menit lalu dia mengumpatku, dan sekarang dia ingin suaminya menikahiku? Wanita itu lebih menakutkan dari suaminya.’ 

“Sayang! Apakah kamu sadar dengan apa yang barusan kamu minta?” Eshan berkata tegas, tapi terdengar nada panik dan syok di sana.

Alexa menjawab, “Ya, aku ingin kau menikahinya.”

“Sayang, kenapa kamu bicara begitu? Aku memang akan menuruti semua keinginanmu. Semuanya, tak terkecuali. Tapi gak dengan menikahinya.” Eshan menggeleng. “Dia baru saja membunuh anak kita dan membuatmu menderita. Seharusnya—”

“Jadi kamu bohong?” potong Alexa dengan wajah memerah. Dzurriya juga melihat tangan wanita itu terkepal kuat di pangkuannya.

“Bukan begitu, Sayang….”

“KAMU BERBOHONG!” Alexa tiba-tiba berteriak, membuat Alexa yang masih berlutut di depannya pun jatuh terduduk karena kaget. 

“Aku ingin dia membayar apa yang dia berikan padaku!” Alexa menunjuk kasar Dzurriya, kemudian berbalik menatap Eshan lagi. “Kenapa kamu tidak mengerti?!” 

Teriakan wanita itu semakin histeris. Ia berteriak tidak karuan, sampai membuat kursi roda itu mulai oleng. Melihat itu, Dzurriya beringsut mundur dan merapat ke ranjang lagi.

Sementara di sana, Eshan masih menenangkan istrinya. Lelaki itu memeluk, mengucapkan kata-kata lembut, sampai mencium dahinya, tapi Alexa malah bertambah histeris. Sampai akhirnya, wanita itu seketika pingsan. 

***

Setelah Alexa pingsan, Eshan yang panik langsung membawa istrinya itu keluar dari ruang rawat Dzurriya. Tidak lupa lelaki itu kembali melemparkan ancaman kepadanya.

Sekarang, air mata Dzurriya mulai mengering karena sebegitunya letih menetes. Ia tidak ada tenaga untuk naik ke ranjangnya. Dinginnya lantai tidak bisa membuat luka di hatinya membaik.

Ceklek!

Jantung Dzurriya langsung berdebar begitu melihat sepatu pantofel hitam mendekat. ‘Tolong… jangan lagi…’

“Kenapa kamu tidur di lantai?”

Dzurriya mengangkat kepala ketika mendengar suara rendah yang lembut. Ternyata itu adalah Dokter yang tadi memeriksanya. 

Dzurriya segera mengusap tepi-tepi matanya yang mulai berair dan bangkit, sebelum dokter itu membopongnya ke tempat tidur. Dokter itu tidak datang dengan tangan kosong, melainkan dengan nampan berisi menu makanan lengkap.

“Hmmm! Kamu ini memang bandel, apakah ini trikmu supaya aku menyuapimu?” goda sang dokter dengan tatapan lembut itu sambil mengulurkan piring.

Dzurriyya tersenyum tipis mendengarnya di antara sisa sesenggukan yang ia tahan. Ia segera mengambil piring nasi tersebut, dan memakannya sesuap demi sesuap.

Lima menit diisi keheningan. Sang dokter hanya duduk di depannya dan memperhatikan Dzurriya makan. Mungkin karena menyadari kalau Dzurriya sedang memperhatikannya, dokter itu pun tersenyum.

“Apa ada yang ingin kau tanyakan?”

Dzurriya tersedak. Dokter ini sangat peka. “M-maaf….”

Dokter itu memberikan segelas air kepada Dzurriya. “Santai saja. Apa yang ingin kau tanyakan?”

Dzurriya meminum air putih itu sampai setengah gelas, lalu mulai membuka mulut. “Bagaimana saya bisa ke sini?”

Seolah sudah menduga pertanyaan Dzurriya, dokter itu menjawab dengan lancar. “Kau mengalami kecelakaan bersama wanita yang barusan pingsan di kamar ini. Mereka adalah Pak Eshan dan Bu Alexa, salah satu pasangan terkaya dan paling berpengaruh di Asia.”

Napasnya tercekak.

Orang berpengaruh di Asia? Kenapa Dzurriya bisa berurusan dengan orang-orang seperti itu? Apa yang terjadi sebelumnya?

“Kenapa, apa ada sesuatu yang mengganggumu?”

Dzurriya menggeleng cepat. Ingin ia ceritakan, tapi mendengar dokter itu menyinggung soal reputasi Eshan dan Alexa, membuatnya bergetar ketakutan. Apalagi dokter tersebut tampak dekat dengan mereka.

‘Apakah aku akan mati setelah ini? Mereka pasti akan menembak kepalaku kan?’

Brak!

Di saat Dzurriya gemetaran, pintu ruangannya kembali terbuka.

“Tinggalkan kami!” Suara parau dan berat itu kembali. Suasana mencekam itu datang bersama tatapan dingin sepasang mata di balik kacamata rectangle.

Dokter itu keluar tanpa banyak bicara. Dzurriya juga tidak bisa memohon banyak, walaupun tatapan iba sang dokter tetap mengarah padanya sampai pintu tertutup. Sekarang, Dzurriya hanya berdua dengan Eshan di dalam ruang dingin itu.

Dzurriya memilih diam, perlakuan kasarnya masih terasa di sekujur tubuhnya, terutama pikirannya yang mulai trauma.

“Besok kita menikah.”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status