Pada waktu yang sama, di ruang kerja Eshan. “Ah! Brengsek! Kenapa aku gak bisa fokus?!” gerutu Eshan sambil menutup laptopnya dengan keras. Ia pun melempar tubuhnya ke sandaran kursi sambil mendesah panjang. Dadanya terasa berdenyut-denyut tak karuan tanpa sebab. Bola matanya yang sedari tadi menatap langit-langit ruangan pun terpejam, memikirkan apa sebenarnya yang sedang dirasakan dan dipikirkannya. ‘Apa ini? Kenapa aku kepikiran wanita sialan itu?’ Sejak meninggalkan kamarnya, pikiran Eshan jadi tidak tenang. Ia kepikiran, apa yang Alexa lakukan kepada wanita itu. Apakah Alexa kembali tantrum seperti waktu itu– “Gak! Aku gak mengkhawatirkan dia! Aku hanya takut barangku dicuri saja. Apalagi dia sekarang sendirian di kamarku.” Eshan memijat pelipisnya beberapa saat, tapi kepalanya tidak berhenti berdenyut. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk beranjak dari kursinya. Ia harus memastikan dengan matanya sendiri kalau wanita itu tidak berulah. Sampai di depan kamarnya, suasana terasa
‘Seingatku, tadi aku masih memandikan Snow di kamar mandi? Kenapa aku bisa di kasur? ‘Apa dia yang menggendongku?’ gumam Dzurriya dalam hati. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Dokter Ryan mengalihkan perhatiannya. Dzurriya hanya mengejapkan matanya sebentar, mulutnya masih terasa begitu kering. “I-itu….” “Apa kau mau minum?” Ryan menyodorkan segelas air kepada Dzurriya. Dzurriya mengulurkan tangannya untuk mengambil. Pada saat itulah ia melihat punggung tangannya yang kemerahan. Lantas, ia pun memeriksa tangannya yang lain, juga wajah dan lehernya yang tertutup kerudung. Pantas saja dia merasa gatal dan panas sedari tadi. Dzurriya akhirnya minum segelas air yang diserahkan Ryan, sambil melirik dua lelaki di depannya. Lalu, saat matanya kembali bertemu dengan Eshan, ia buru-buru mengalihkan pandangan. Ia takut kena marah lagi. ‘Apa Eshan akan mengancamku lagi karena pingsan?’ “Awasi dia, jangan sampai dia melakukan hal bodoh lagi,” ujar Eshan sambil beranjak dari tempatnya. Dzur
Eshan terus berjalan masuk ke rumah dengan perasaan tak karuan yang berusaha dia abaikan. Aura dinginnya menyebar ke seluruh rumah. Para pelayan pun telah mengerti, mereka hanya harus menunduk sebentar di depannya kemudian berlalu setelah dia melewati mereka. Dia memasuki ruang kerjanya yang berada di lantai dua, memandang dari sebuah jendela klasik menghadap kebun. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri di sana, menatap Dzurriya yang sedang memakai jaket hitam miliknya. Mata sayu wanita itu tampak memandang ke langit, dan kadang-kadang tangannya mengusap bagian bawah matanya. Mungkin air mata baru saja menetes ke pipinya. ‘Bodoh!’*****Tiga minggu berlalu. Perlakuan yang didapat Dzurriya perlahan berbeda dari sebelumnya. Tikno menyiapkan segalanya untuknya, dari mulai makanan, pakaian sampai menjadi teman bicara. Namun, perubahan yang paling besar justru ketidakhadiran Eshan. Aroma musk yang biasa membuatnya kaget dan terkesiap, tak lagi diciumnya, meski hanya sekilas lalu. Juga
Selesai dari pemeriksaan itu, mereka pun kembali ke kediaman mewah Eshan. Dzurriya memperhatikan dua orang yang berjalan di depannya. Alexa tampak tak hentinya menggandeng tangan Eshan di depannya, dari mulai berangkat ke rumah sakit sampai pulang. Begitu juga Eshan, yang tak sedikit pun meliriknya.Ketika Alexa dan Eshan naik ke kamarnya, Dzurriya malah berbelok menuju taman belakang. Akhir-akhir ini, tempat itu seperti persinggahan saat hatinya gundah. Walaupun sedang tidak memakai jaket Eshan kemarin, hidung Dzurriya seolah masih bisa merasakan aromanya di kursi taman itu. Ia merasakan aroma bunga bercampur dengan aroma musk yang diterbangkan oleh angin sore ini. Seakan membawanya ke dalam kenangan di mana ia bisa duduk berdampingan dengan suaminya.Hah!Ia menghembus napas panjang, lalu mendongak, melihat ke arah jendela-jendela kaca jauh di depannya. Entah apakah suaminya ada di balik salah satu jendela tersebut dengan kesibukannya, atau ia sedang berada di lantai atas bersama
“Aku yang membiarkan pamanku masuk ke sini. Kenapa, Sayangku?”Deg!Eshan menoleh ke arah Alexa yang sedang berjalan ke arahnya dengan begitu tenang. Tatapan anggunnya benar-benar membuat dadanya remuk redam. Dia merasa tak dihargai sebagai kepala keluarga di situ. Bagaimana bisa Alexa melawan kata-katanya dengan begitu enteng dan tanpa merasa bersalah? Bukankah mereka sudah pernah membicarakan dan menyepakatinya.Eshan berusaha sebisa mungkin bersikap tenang di depan semua orang untuk menjaga wibawa sang istri. “Tikno!” Panggilnya datar sambil tetap menatap tajam ke arah Alexa.“Ya, Tuan?” sahut Tikno sopan.“Aku memberimu waktu lima belas menit untuk membawa lelaki itu keluar dari sini.” Setelah itu, dia beranjak melewati istrinya itu tanpa mengatakan apa pun lagi. Langkahnya yang begitu dingin membuat suasana menjadi senyap mencekam. Tak ada satu orang pun berani menyela lagi.Eshan yakin Tikno akan membereskan lelaki yang tadi terkapar di taman belakang itu. Kalaupun tidak, Esha
Dzurriya mondar-mandir di kamarnya. Ia begitu khawatir setelah dua hari suaminya itu belum kembali. Walaupun memang mereka jarang bersama, setidaknya Dzurriya selalu melihat Eshan ketika sarapan pagi.Namun, tidak dalam dua hari ini. Dzurriya hanya makan sendirian, karena Alexa tidak akan pernah sudi satu meja dengannya.Sikapnya yang terlalu tenang sebelum pergi benar-benar bukan seperti Eshan yang dikenalnya selama ini. Apalagi para pelayan tengah asik membicarakan gosip kepergian Eshan terkait pertengkarannya dengan Alexa dan pamannya yang katanya licik itu.‘Apakah terjadi sesuatu sampai dia tak pulang?’Pikirannya mulai berkelana tak karuan. Ingin sekali ia bertanya pada Tikno, tapi takut ada yang mendengar dan menjadi bahan gunjingan.Setelah berkutat cukup lama di dalam kamar, Dzurriya akhirnya memberanikan diri keluar dan mencari Tikno. Sayangnya rumah itu sangat sepi ketika Dzurriya keluar kamar.“Astaga, Sayang! Aku benar-benar merindukanmu!”Dzurrinya tersentak, ketika mend
Setelah malam yang awalnya penuh kecemasan, Dzurriya akhirnya bisa tidur dengan pulas. Hatinya menjadi damai dengan ucapan sederhana Eshan malam itu.Paginya, ia bangun dengan perasaan jauh lebih baik. Dzurriya bahkan berjalan ke ruang depan dengan senyum-senyum sendiri. Bisikan lirih Eshan kemarin malam terus terngiang di kepalanya.“Kenapa kamu mengajaknya? Dia nanti jadi besar kepala.” Suara rendah Eshan membuatnya mengurungkan niat untuk berbelok ke lorong tersebut.Dzurriya berhenti di balik tembok, dan tetap mendengarkan percakapan Dzurriya dengan seseorang. Pagi ini Tikno memang memberitahunya bahwa dia harus ikut kegiatan amal perusahaan ke salah satu Yayasan Panti Asuhan di Bogor. Ia kira Eshan mengajaknya, ternyata salah. Eshan justru tidak mengharapkan kehadirannya. Seketika, hatinya hancur. “Ayolah, Kak… Katanya Kakak ingin menggunakan rahimnya. Tak baik menyimpan istri mudamu itu di rumah terus, dia bisa stres nanti.” Suara itu sepertinya tak asing, itu suara Dokter Rya
Dzurriya terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan itu. Benar, namanya Dzurriya, tapi… kenapa wanita ini mengenalnya? Seingat Dzurriya, ini adalah pertemuan pertama mereka.“Kamu kenal Nona ini?” tanya salah satu wanita tua yang tadi menyambut mereka kepada wanita muda itu.“Ya kenal,” jawab wanita muda itu dengan yakin. “Dia ini yang tersesat waktu di Bandung itu lho, Bu.”‘Tersesat? Di Bandung?’Mata Dzurriya begetar. Semua infomasi baru ini membuat dadanya berdebar cepat, hingga membuatnya sesak. Kepalanya pun mulai berdenyut nyeri.Wanita muda itu tersenyum lebar dengan wajah penasaran. “Jadi gimana? Sudah ketemu tunangan kamu—Oh!” ia berhenti mengoceh d