Tangguh kembali membuka mata saat mengingat jeritan kencang sang mama saat kakak dari sang mama mengancam seperti itu. Dari sejak semalam, Tangguh tidak bisa tidur, dan memutuskan diam-diam datang ke Jakarta, tempat di mana perusahaan pusat almarhum papanya berada. Ia datang ke sini agar pamannya tidak dituntut sehingga rahasia mamanya sebagai istri simpanan tidak mencuat ke permukaan.Tangguh sebenarnya tidak takut jika kena hujat, tapi mamanya... mamanya tidak boleh merasakan hal itu. Mamanya sangat berarti bagi Tangguh. Mereka hanya memiliki satu sama lain bahkan sebelum papanya pergi untuk selamanya.Tangguh kembali menatap Raja yang masih menatapnya dalam.“Om… saya mohon, Om, tolong cabut tuntutan buat Paman saya.”“Saya mau tanya dulu, berapa usia kamu?”“Apakah perlu?”“Saya rasa, kamu terlalu kecil untuk membicarakan hal ini. Pembicaraan ini terlalu rumit untuk kamu pahami.”
"Di sini aja, A'."Raja mengangguk. Mobil sengaja ia parkir di seberang jalan gang menuju ke arah rumah Weni Amanda. Ia dan Tangguh berjalan kaki menyusuri gang ini beberapa saat yang lalu, dan mereka telah sampai di samping tiang listrik besar yang berada tak jauh dari rumah wanita itu."Ya sudah, sana masuk. Pasti Mama kamu sedang khawatir.""Makasih Aa' udah mau anterin saya pulang.""Sudah semestinya. Saya itu kakak kamu. Jangan lupa, simpan nomor ponsel saya ya. Kita ketemu lagi kalau saya ke Bandung.""Aa' suka ke Bandung?""Kadang-kadang. Untuk memeriksa perusahaan cabang JCA yang ada di sini.""Sama pacarnya ya?""Pacar?""Yang Tante cantik waktu itu. Yang jatuhin tas."Raja mengernyit. Tak lama, matanya membelalak. Ia menggeleng kencang. Pasti yang dimaksud adiknya adalah Velindira. "Dia bukan pacar saya!""Masa? Tapi kayaknya Aa’ perhatian sama Tante—Ehm... kayaknya saya tidak bisa panggil Tante lagi, tapi Teteh ya? Aa’ kayak perhatian sama Teteh itu. Lagian Aa’ sama Teteh i
*Sayangku, Magani…*Maaf, aku baru bisa memberikan surat ini kepadamu. Hari ini tepat satu tahun aku pergi, bukan?“Salah. Satu tahunmu masih dua bulan lagi, Mas…” Magani berbicara sendiri saat membaca kembali sebuah surat yang diberikan pengacara Herjuno Jagapati padanya.Seharusnya surat itu diamanahkan untuk diberikan pada Magani satu tahun setelah Herjuno meninggal. Namun karena kedatangan istri siri Herjuno yang tak terduga, akhirnya sang pengacara terpaksa memberikan surat itu pada Magani lebih awal.*Aku memiliki istri lain selain dirimu. Namanya Weni Amanda. Aku juga punya anak darinya. Anak itu bernama Tangguh Askara. Usianya empat belas tahun sekarang. Kamu pasti sangat terkejut.“Aku terkejut. Sampai aku nyaris ingin membongkar tanah makammu untuk dapat langsung memakimu, Herjuno!”*Aku tahu aku salah. Aku s
Raja melangkah memasuki rumah keluarga Jagapati seraya menyugar rambut. Entah sudah berapa hari ia tidak tidur di rumah, dan sore ini memutuskan pulang karena sang ibu terus-terusan cerewet memintanya pulang.Pria ini memijat pangkal hidung saat kepalanya terasa berat. Rasa kantuk sepertinya mulai mengendalikan tubuh.“Aku sedang kerja. Kenapa kamu tidak sabaran sih?!”Langkah Raja terhenti saat mendengar suara itu. Detakan jantungnya berpacu kencang, karena tahu siapa si pemilik suara. Wanita cantik yang sudah berhasil menjerat hatinya, bahkan di pertemuan pertama mereka. Sang pengacara, Velindira Gunawan.Raja melangkah perlahan dengan hati-hati, dan langsung disuguhkan dengan punggung indah sang pengacara yang saat ini sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Ia menghentikan langkah tak jauh di belakang Elin.Kenapa wanita itu bisa ada di rumahnya?Raja memaki kesal dirinya di dalam hati setelah tersadar. Tentu saja wanita itu ada di sini. Pasti Elin sedang membahas pen
“Mbak Velindira!”Elin yang baru saja akan masuk ke dalam mobil Bima, dikejutkan oleh sebuah suara seorang pria. Ia mengenali suara itu. Segera saja Elin mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Tak jauh di depannya, sang klien mengesalkan a.k.a Raja Buana Jagapati sudah berdiri di luar gerbang rumah keluarga Jagapati.Dahi Elin mengernyit dalam. Pria itu… sedang apa di luar gerbang?Elin menahan napas saat Raja mendekat. Jantungnya berdetak kencang seperti genderang mau perang~Apakah Raja ingin meminta maaf atas sikapnya tadi?Kedua tangan Elin mengepal kuat. Ia menggigit bibir gemas.‘Jangan terlalu percaya diri, Elin! Lagi pula… kenapa Raja harus meminta maaf? Memang apa salahnya jika Raja bersikap formal? Bukankah memang seharusnya seperti itu? Hubungan kalian hanya sebatas klien dan pengacara! Ke mana sikap profesionalmu selama ini, Velindira Gunawan?!’maki Elin di dalam hati pada
“Bang Raja mau ke JCA?”“Tidak. Saya ada urusan sebentar, Jim. Jaga Perfect Bubbles ya.”“Enggak usah disuruh, saya selalu akan menjaga Perfect Bubbles seperti anak sendiri, Bang.”Raja terkekeh geli saat Jimmy, salah seorang karyawan yang dia percaya bercanda seperti itu. Jimmy adalah orang yang memegang Perfect Bubbles pusat setelah Raja disibukkan dengan JCA. Pria itu juga seringnya berada di mess daripada pulang.Tempat pencucian mobil milik Raja ini dilengkapi mess yang ada di lantai atas bangunan berlantai dua ini.Sejak awal proses pembuatan bangunan untuk Perfect Bubbles, Raja sengaja memfasilitasi mess untuk calon pekerjanya. Raja beranggapan, mungkin saja nanti para pekerjanya berasal dari luar kota. Mereka bisa menghemat uang karena tidak harus mencari tempat kos atau kontrakan. Tapi jika pekerjanya ingin suasana yang lebih pribadi, tentu saja Raja tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka bebas ingin mengontrak sendiri. Asalkan kinerja mereka baik.Selain itu, tempat ini juga dil
Elin mengaduk minumannya tak bersemangat. Sudah satu minggu semangatnya pergi entah ke mana. Elin tidak tahu mengapa sikap Raja satu minggu yang lalu mengganggu pikirannya. Elin sampai berpikir, apakah dia punya salah pada pria itu? Mungkin saja tak sengaja ia melukai hati Raja. Tapi semakin dia ingat setiap pertemuan dan kebersamaannya dengan Raja, Elin merasa tidak ada yang salah. Ia tidak punya salah apa pun. Elin yakin itu!“Kusut banget, Lin.”“Kalah sidang?”
“Something wrong, Elin?” tanya Sabrina terheran-heran.“Eh?” tanya Elin bingung.“Lo demam?”Elin menggeleng saat Kejora bertanya dengan khawatir.“A-aku tidak demam.”“Terus kenapa muka lo merah?” Kali ini Faira yang lanjut bertanya padanya.“Kamu sedang headache? Sampai geleng-geleng kepala begitu.”“A-aku tidak demam, aku tidak sakit kepala, dan mukaku tidak merah,” sangkal Elin. Ia berusaha meredakan debaran di jantungnya karena nama Raja yang tiba-tiba nyelonong begitu saja di pikiran.Ya ampun… bisa-bisanya dia berpikir jika ciri-ciri itu adalah ciri-ciri seorang Raja.‘Raja… Raja… Raja, enyahlah dari pikiranku!’ jerit Elin di dalam hati.“Jelas-jelas muka lo merah. Masih aja mau nyangkal.”“Masa sih?” tanya Elin pura-pura bodoh. Padahal dia juga merasakan jika mukanya panas, yang kemungkin terlihat memerah.“Mau I pinjemin mirror?”Elin menggeleng saat Sabrina dengan polosnya mengatakan hal itu. “Tidak perlu.”“Terus kenapa lo geleng-geleng kepala kayak tadi?”“Aku…”Elin terdi