“Sebenarnya kemarin ada yang mau saya kenalkan, tapi belum apa-apa, Raja sudah menolak lebih dulu, Mbak.”
Magani mendelik kesal ke arah sang putra. “Raja!”
“Om, kenapa dikasih tahu ke Ibu?!” protes Raja.
“Om tidak bisa berbohong sama Ibu kamu, Raja.” Ridwan mengedikkan bahu dengan binar geli pada sang keponakan yang kalau tidak didesak untuk mendekati wanita, bisa jadi bujangan tua.
Padahal keponakannya ini tidak kira-kira tampannya. Setiap pertemuan keluarga yang diadakan satu bulan sekali di restoran tertentu, banyak sekali wanita yang melirik Raja. Tapi sejauh Ridwan mengenal Raja, Ridwan tidak pernah mendapati Raja memiliki hubungan romantis. Keponakannya ini punya pemikiran yang lempeng-lempeng saja seperti jalan tol.
Apakah Raja memutuskan untuk hidup selibat?
“Mas, tolong atur pertemuan Raja dan wanita itu—”
“Bu~ —”
“Tidak ada bantahan, Raja!”
Raja mengerang frustrasi. Ia menyugar rambut kesal.
“Bertemu saja dulu seperti biasa, kalau tidak cocok, ibu tidak akan memaksa kamu untuk menikah sama dia. Toh selama ini seperti itu kan?”
Raja menghela napas pasrah. Ia menyandarkan punggung pada sandara sofa, dan memilih —mungkin— akan mengikuti ‘lagi’ keinginan sang ibu. Sudah Raja katakan, ia paling tidak bisa membantah Magani.
Hampir dua tahun ini setelah ia kembali ke Indonesia, sang ibu selalu mengadakan kencan buta untuknya. Namun sudah bisa ditebak, semua berakhir gagal. Sebenarnya kegagalan itu tak jauh dari campur tangan Raja yang membuat dirinya terlihat membosankan di mata para wanita tersebut. Raja akan cenderung diam saat pertemuan, dan memilih membuka suara dan menjawab dengan singkat tanpa minat saat para wanita itu membangun sebuah percakapan.
Setelah putus dari cinta pertamanya disaat berkuliah di Inggris, Raja tidak memiliki niat untuk kembali menjalin kisah romantis.
Pikirannya jadi menerawang pada sang mantan. Wanita itu memutuskan Raja karena merasa Raja selalu sibuk belajar, terlalu serius, dan membosankan. Raja bahkan akan menghindar jika mantan kekasihnya itu mencoba bermesraan dengannya. Sang mantan menganggap Raja tidak tertarik padanya. Padahal yang sebenarnya, Raja hanya ingin melindungi wanita itu dari hubungan yang hanya berdasarkan hasrat dan nafsu. Raja tidak ingin seperti sang ayah yang menganggap wanita hanya objek untuk ‘bersenang-senang’.
Mungkinkah Raja tidak ingin kembali dekat dengan wanita karena trauma dan takut diputuskan lagi?
Raja tidak memahami dirinya. Hasratnya pada wanita seakan mati. Setidaknya sebelum dua bulan yang lalu ia bertemu wanita bernama Velindira.
Velindira… Namanya masih sangat Raja ingat. Bukan hanya itu, wajah dan senyum cerahnya tersimpan di kepala Raja.
Wanita itu… bagaimana ya sekarang kabarnya?
“Sesuai perintah Mbak Gani, saya akan meminta pada papanya Zahra untuk mengatur pertemuan mereka.”
“Namanya Zahra? Nama yang bagus.”
Raja kembali menghela napas pasrah saat melihat binar terang di mata sang ibu.
“Jadi, Raja, kapan kamu mau masuk ke dalam perusahaan secara resmi?” Ridwan bertanya serius. Kembali ke pembicaraan awal setelah intermezzo tentang jodoh untuk Raja, dan berakhir Raja akan melakukan kencan buta lagi dekat-dekat ini.
“Raja masih harus memperhatikan perkembangan Perfect Bubbles, Om.”
“Mau sampai kapan? Bukankah Perfect Bubbles sudah berjalan dengan baik? Sampai hasilnya diminta bagi dua juga sama wanita tidak tahu malu itu.” Magani berseru kesal. Menyebutkan usaha car wash yang baru dibangun sang anak beberapa bulan setelah kembali ke Indonesia. Usaha itu dibangun Raja dengan gaji yang dikumpulkannya saat bekerja di Inggris sebagai karyawan salah satu perusahaan advertising.
Magani membuang napas kasar. Bukan usaha yang dimiliki Raja yang membuatnya kesal, tapi wanita yang mana adalah istri siri mendiang suaminya. Wanita itu juga meminta bagian dari penghasilan Perfect Bubbles, karena merasa jika car wash yang dibangun Raja modalnya berasal dari Herjuno.
Dasar wanita sinting dan mata duitan!
“Ibu bukan meremehkan usaha yang kamu bangun, tapi sebaiknya, kamu mencari orang untuk memegang Perfect Bubbles, agar kamu dapat sepenuhnya menjadi Direktur Utama JCA. Bukan berarti ibu meminta kamu melepaskan sepenuhnya Perfect Bubbles. Kamu bisa mengontrolnya dari jauh. Herjuno—Maksud ibu, ayah kamu sudah dengan lancang memasukkan beberapa anggota keluarga wanita itu ke dalam perusahaan. Ayahmu memberikan mereka posisi yang tinggi, padahal mereka rata-rata tidak memiliki kemampuan yang layak di bidangnya. Ibu tidak ingin perusahaan turun temurun Jagapati hancur karena keteledoran ayahmu. Ibu sudah berjanji pada Kakekmu, untuk dapat mempertahankan JCA sampai selamanya. Ibu yakin kalau Raja-nya ibu sangat mampu menjalankan JCA dan Perfect Bubbles secara bersamaan. Kemampuanmu selama ini benar-benar luar biasa.”
“Jadi desain grafis sekaligus copywriting paruh waktu untuk JCA saja sukses membuat para client puas dengan hasilnya, Mbak. Memang benar-benar keturunan Papa Jaya.” Ridwan menimpali ucapan ipar istrinya tersebut. Memuji Raja dan mendiang mertuanya yang sama-sama memiliki banyak ide brilian. Apakah itu gen? Tapi kenapa Herjuno berbeda? Mendiang kakak iparnya tersebut pintar, pintar menghabiskan uang dan membuat masalah.
Ridwan bersyukur sifat Raja bertolak belakang dengan Herjuno.
Raja adalah sosok nyata anak berbakti yang diinginkan setiap orang tua. Ridwan tidak berlebihan mengatakan hal itu. Keponakannya tersebut walaupun anak tunggal, tapi sudah biasa mandiri dan tidak suka merepotkan orang. Ridwan bangga memiliki keponakan seperti Raja.
Tampaknya, Raja benar-benar belajar di negeri orang sana. Kuliah jurusan desain grafis sekaligus jurusan bisnis di universitas ternama di Inggris. Menyerap sebaik-baiknya semua ilmu yang ia dapat sampai mendapat gelar sarjana dalam waktu singkat. Ditambah lagi, pengalaman kerja yang didapat Raja di negara tersebut. Masuk ke dalam agensi periklanan terkenal di sana dan menduduki posisi yang penting. Belum lagi pengalamannya menjadi karyawan paruh waktu car wash saat berkuliah, membuat Raja akhirnya memutuskan membangun usaha car wash dari apa yang ia pelajari di tempat itu.
Dengan semua kemampuannya, Ridwan sangat yakin Raja bisa membuka perusahaan sendiri. Buktinya, car wash yang baru dijalani sang keponakan sudah terbilang sukses dan sudah memiliki banyak pelanggan tetap.
“Jadi bagaimana, Ja?” tanya Ridwan kembali setengah mendesak.
“Nanti Raja pikirkan lagi.”
“Harus segera dipikirkan!”
Raja kembali menghela napas pasrah melihat delikan galak sang ibu, yang disusul tawa lepas Ridwan.
“Oh iya, Mas Ridwan, besok kita jadi bertemu sama Pak Setiadi Handoyo? Beliau akan mewakili kita, bukan, untuk kasus surat-surat palsu yang dibawa wanita itu?”
“Kesehatan Pak Setiadi beberapa waktu ini sedang kurang baik, Mbak.”
Magani menghela napas panjang. Dahinya berkerut dengan ekspresi wajah sarat akan pikiran yang berat.
“Tapi, Mbak tenang saja, Pak Setiadi mengatakan Mbak tidak perlu khawatir atas masalah surat-surat palsu tersebut. Besok kita akan bertemu dengan Pak Setiadi dan salah satu pengacaranya di firma hukum Beliau. Beliau mengatakan kalau pengacara tersebut sudah menangani berbagai kasus dan sangat serius dalam bekerja. Sepertinya, jika dilihat dari pujian Beliau pada pengacara tersebut, hasilnya tidak akan mengecewakan.”
Magani menyandarkan punggung pada sandaran sofa. “Saya berharap seperti itu, Mas. Semoga semua lancar dan terbongkar dengan segera.” Magani menggeleng tak habis pikir. “Herjuno benar-benar memalsukan dokumen-dokumen tersebut dengan amat sangat rapi. Kenapa dia memiliki keahlian memalsukan tanda tangan dengan amat sangat baik? Bukankah luar biasa sekali keahlian pria itu, Mas Ridwan?” sindir Magani, yang dibalas Ridwan tawa renyah.
Raja hanya mendengarkan dengan saksama apa yang ibu dan omnya bicarakan. Keluarga mereka sedang mendapat serangan dari istri siri sang ayah yang meminta pembagian harta yang adil. Apalagi sebelum meninggal, Herjuno memberikan surat warisan untuk wanita tersebut dan anaknya, yang mana adalah adik Raja. Bukankah ini sangat menggelikan? Sepertinya wanita itu tidak punya malu sama sekali. Setelah merebut suami orang, dia juga ingin menguasai harta Jagapati?
Sebenarnya bukan sepenuhnya salah wanita tersebut, karena jika Herjuno tidak menikahinya, wanita itu mungkin tak bisa menuntut seperti wanita-wanita lain yang pernah singgah di hidup Herjuno, yang biasanya hanya dijadikan objek kepuasan semata.
***
Raja mengerjap-ngerjap terkejut. Elin terdengar posesif. Tapi kenapa Raja senang mendengarnya? “Sayang… tidak menganggap mas sedang tebar pesona kan? Sayang pasti tahu secinta apa mas sama Sayang. Tidak mungkin mas melakukan itu. Jadi, Istri mas Raja tidak perlu peduli sama siapa pun. Bisa, hm?” pinta Raja lembut. Mencoba menenangkan sang istri yang sedang mode posesif ini. Meski Raja suka, tapi Raja tidak ingin suasana hati sang istri jadi terganggu. Ini hari bahagia mereka loh. Harus yang senang-senang saja.“Kalau aku bilang tidak bisa, apa Mas akan marah? Aku tidak mau mereka semakin masuk ke dalam pesona Mas. Senyum Mas Raja manis sekali. Aku tidak rela berbagi.” Elin melihat dengan nyata wajah Raja merona saat ia mengatakan hal itu. Seandainya mereka sedang tidak bicara ‘cukup serius’ seperti ini, mungkin Elin akan terkekeh geli melihat ekspresi pria kalem ini. Tapi sayangnya Elin sedang diliputi rasa cemburu yang berlebih. “Mas… aku tidak tahu kenapa aku seperti ini. Tapi jujur,
“Pelan-pelan, Sayang.” Raja mengusap bibir bawah Elin yang terkena sedikit bumbu dari makanan yang baru saja dia suapkan pada sang istri. Setelah itu, ia menyuapkan makanan yang sama, di piring yang sama, dengan sendok yang sama ke dalam mulutnya sendiri. Pandangan tak lepas dari sang istri satu detik pun.Istri?? Ugh! Jantungnya berdetak tidak karuan setiap kali kata itu keluar dari kepala.Istri… istri cantiknya yang selalu cantik. Miliknya. Ratu di hidupnya.Senyum Raja tak pernah pudar dari sejak selesai akad. Ini bahkan sudah lebih dari lima jam berlalu, tapi Raja tampaknya tidak kehilangan tenaga untuk tersenyum. Rasanya melegakan pada akhirnya berada di titik ini setelah hubungan mereka sering kali diterpa badai yang padahal sebenarnya, hanya karena minimnya pengalaman keduanya dalam hubungan percintaan. Tapi Raja berjanji di dalam hati, tidak akan membiarkan masalah yang mereka hadapi kelak berlarut.“Istri mas Raja, makan lagi ya…”Istri mas Raja? Elin pasti terkejut dengan p
Penghulu tiba sepuluh menit kemudian. Semua keluarga dan orang-orang terdekat kini telah berkumpul untuk menyaksikan acara sakral tersebut. Untuk akad, kedua belah pihak telah memutuskan suasana lebih privasi. Elin berada di salah satu kamar tamu ditemani para sahabatnya. Menanti proses ijab kabul selesai, baru sang pengantin wanita akan keluar. Gema yang meminta hal itu. Ia takut Raja tidak dapat berkonsentrasi dengan baik jika melihat wajah Elin. Gema tahu rasanya berdebar menjelang Ijab kabul. Apalagi melihat bagaimana gugupnya Raja tadi. Disamping itu, Gema juga memikirkan kondisi Daniel yang masih emosional. Takut saja nanti kalau melihat wajah putrinya, Daniel urung menyelesaikan proses sakral ini. Jangan sampai proses tertunda karena tangis Daniel yang baru berhenti beberapa menit lalu. Tentu saja setelah mendapat pencerahan dan omelan darinya.Raja melangkah ke luar memakai beskap putih dan celana panjang putih. Tak lupa juga peci putih menambah kesan gagah. Pria itu melangkah
“Santai, Ja. Tarik napas dalem-dalem. Jangan lupa keluarin. Terserah lo mau keluarin dari atas atau bawah. Yang penting harus keluar kalo gak mau kembung tuh perut,” celetuk Ares untuk mencairkan ketegangan sang sahabat yang sebentar lagi akan mempunyai status baru.“Jangan semaput sebelum Ijab. Kalo udah Ijab gak pa-pa deh lo mau semaput kek, guling-guling kek. Ato puter-puter badan kayak film India juga boleh banget. Perlu lo merosot juga nih di pegangan tangga rumah calon binik lo ini?”Ares tertawa dengan candaan Azam si master biang kerok. Jadi ingat masa-masa sekolah saat ketiganya kena teguran keras guru karena main perosotan di tangga sekolah. Ia kembali menatap wajah Raja yang tampan, tapi sayangnya pucat. Mata Ares beralih pada kedua kaki Raja yang bergetar hebat dengan kedua tangan menopang dagu. Raja duduk di depan cermin yang berada di salah satu kamar tamu rumah Daniel Gunawan. Menunggu Pak Penghulu yang sedang kejebak macet karena Si Komo lewat. Ya, keluarga Raja dan El
"Lo meragukan kenormalan gue, Kus? Enggak lupa kan kalo buntut gue udah dua?" sindir Azam."Lo enggak lupa kan kalo gue mantan playboy, Ja?""Cih! Si paling playboy tapi nyatanya cupu! Tiap pacaran, kalo ceweknya udah mau mesra-mesraan, langsung minta putus. Apa itu bisa dikatakan normal? Udah paling bener gue yang paling normal. Udah ada buktinya. Real!"Raja tertawa renyah mendengar sindiran Azam ke Ares. Memang sahabatnya yang satu itu unik. Ares bukan seperti playboy pada umumnya. Pacaran pun karena kasihan sama wanita-wanita yang menyatakan cinta padanya, bukan ia benar-benar cinta. Jadi setiap kali wanita-wanita itu mulai agr*sif, Ares akan langsung ngibrit minta putus. Pria itu mengatakan tidak ingin merugikan calon istrinya kelak. Ya kali biniknya nanti dapat sisa orang. Kalo konteksnya dia duda sih tidak masalah. Bukan sok suci, tapi itu pemikiran Ares sendiri kok. Terserah orang lain mau sependapat atau tidak. Ares hanya ingin menghargai dirinya sendiri dan calon jodohnya. P
"Tangkep, Kus!"Dug!"Aduh!""Kus!!""Kus!!"Ares dan Azam kompak berteriak menyerukan nama sahabatnya. Segera keduanya menghampiri Raja yang kepalanya baru saja terkena bola basket yang Ares lempar."Lo gak pa-pa??" tanya Ares khawatir dengan raut cemas. Ia berjongkok di sisi kiri Raja yang sudah mendudukkan diri di lapangan bola basket yang tersedia di halaman belakang rumah keluarga Jagapati."Gue siapa, Kus?" tanya Azam yang sudah ikut berjongkok. Di sisi kanan Raja.Ares mengernyit tak mengerti. "Maksud lo apaan sih? Kan lo Kodok.""Gue nanyanya sama si Tikus, bukan lo!""Ya maksud gue apaan nanya begitu, Kodoook!""Takut si Tikus tiba-tiba amnesia. Lo gak lupa kan kalau tiga hari lagi dia mau nikah? Tar malah gak jadi ijab gegara lupa nama calon biniknya. Lo gak kasian dia belom rasain nikmatnya kawin?"Ares terbengong dengan jawaban nyeleneh Azam. Ya kali langsung amnesia. Iya kalau kepala Raja sudah kena bola basket, terus ketiban tiang ring. Masih masuk di akal. Ini tadi Ares