Share

Berubah

Penulis: Iyustine
last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-29 21:27:15

“Mas, udah sembuh?” Delia membeliakkan matanya dengan indah. Mulutnya ternganga beberapa detik, setelah itu membentuk senyum lebar. Perempuan berwajah manis itu pun menubruk suaminya.

Hati Delia senang bukan kepalang ketika keesokan harinya, menemukan Firman sudah segar. Rambut lelakinya basah, dan dari tubuh Firman menguar aroma sampo dan sabun mandi.

Firman tertawa berurai. Membiarkan Delia melingkarkan tangan di sekeliling pinggangnya. Namun ketika Delia bermaksud menempelkan bibirnya, Firman sengaja menjatuhkan sisir, dan segera menunduk untuk melindungi wajahnya dari bibir sang istri.

“Alhamdulillah pagi ini aku udah agak enakan, jadi aku bisa balik ke Jakarta.”

“Balik ke Jakarta?” Delia melepas pelukan, lalu mundur. “Sekarang?”

“Iya,” jawab Firman. Tawa Firman lepas sempurna manakala melihat Delia membeliakkan matanya lagi, tentu saja kali ini hanya melotot saja tanpa senyum.

Otak Firman terus berpikir semalaman, menghubung-hubungkan antara Delia yang tiba-tiba memaksanya pulang, penemuan testpack dan usaha Delia yang tak kenal lelah untuk meminta nafkah batin. Bahkan Delia terus berusaha meminta meski dirinya beralasan sakit, sungguh bukan sesuatu yang biasa.

Akhirnya Firman paham, semua itu Delia lakukan agar bisa menghilangkan jejak perselingkuhannya. Kalau Firman sampai terkecoh, mungkin sebulan lagi, istrinya akan mengabarkan bahwa dia hamil, hasil hubungan mereka hari ini. Luar biasa licik rencana Delia.

“Seriusan Mas mau balik sekarang? Katanya libur tiga hari?” Nada protes mulai Delia lancarkan.

“Loh kan memang ini sudah hari ketiga, maksudnya tiga hari itu dihitung sama perjalanan balik ke Jakarta.”

“Ooh ….” Delia mulai mendekat. Menyentuh Firman dan berkata, “Yuk, Mas … sempatkan kita saling melepas rindu. Sepuluh menit aja kan bisa.”

Firman tertawa lagi. “Ngawur, yang nganter Fa sekolah siapa? Lagian badanku masih agak lemes, takut dipaksakan malah ambruk lagi.”

Delia mulai berkaca-kaca, jurus andalan perempuan itu agar Firman menuruti kehendaknya. Jika biasanya Firman langsung memeluk dan berusaha menenangkan Delia, kemudian menuruti apa pun yang dia inginkan. Namun tidak sekarang ini. Keadaan sudah berbeda, Firman sudah mulai mencium kecurangan di belakang sikap istrinya yang selalu manis.

“Maaf, Del, kayaknya kita mesti tunda dulu. Kamu yang sabar ya, bulan depan Mas usahain minta cuti lagi,” kata Firman, yang tentu saja hanya bualan belaka.

Tangis Delia pecah langsung. Perempuan dua puluh empat tahun itu menjatuhkan dirinya ke ranjang sambil sedikit meraung.

Firman keluar kamar.

“Bapak, Ibu Delia nangis? Kenapa?” tanya Faisya polos. Dia sedang sarapan seorang diri.

“Iya, katanya sakit perut.”

“Jangan-jangan ketularan Bapak. Kemarin kan Bapak juga sakit perut, eh Bapak udah sembuh?” Faisya bicara bertubi-tubi. Membuat Firman tersenyum.

“Iya, alhamdulillah Bapak udah sembuh, hari ini Bapak balik ke Jakarta.”

Faisya mengangguk.

Setelah selesai sarapan. Firman sengaja mengajak Faisya ke kamar menemui Delia, menyuruh anak kandungnya itu pamitan.

“Bu, jangan nangis lagi, biar cepat sembuh,” kata Faisya seraya mengelus pipi Delia. Delia pun tersenyum, namun senyumnya hilang saat melihat Firman yang berdiri di sebelah Faisya. Lelaki itu telah memakai jaket dan topi.

“Aku juga pamit ya, Bu,” ucap Firman. Dia terpaksa menunduk dan mau tidak mau mengecup kening istrinya. Melihat itu Faisya tersipu malu, kemudian berlari keluar.

“Maafkan aku ya, Del. Tapi aku janji  akan pulang secepatnya untuk kita melepas kangen, aku juga sebenarnya kangen banget sama kamu.” Dengan berat hati Firman membuat janji palsu. Sesaat tadi dia tersadar bahwa anak kandungnya hidup bersama Delia. Ada rasa takut jika dia membuat hati Delia sakit, nanti Faisya kena imbasnya.

“Mas  bisa pulang dua minggu lagi enggak?” Mata Delia yang basah memancar penuh harapan.

“Untuk istri Mas yang cantik, pasti Mas usahain yang terbaik.” Firman membuat janji palsu lagi.

Delia tersenyum.

“Udah, kamu istirahat aja, biar aku antar Faisya ke sekolah, naik taksi sekalian aku ke stasiun.”

Delia mengangguk.

Taksi datang, Faisya dan Firman segera naik.

“Fa, mau beli jajan dulu enggak? Bapak sekalian mau beli minum,” kata Firman sesampainya mereka di sekolah Faisya.

Tentu saja Faisya mengangguk. Mana ada anak kecil ditawarin jajan tidak mau. Bapak dan anak itu pun melangkah ke warung Galang.

Entah hanya perasaan Firman saja atau memang kenyataannya begitu. Galang terlihat gugup sekali dalam melayani Faisya dan dirinya. Hal ini membuat kecurigaan Firman bertambah besar.

“Eh, Firman, udah sembuh?” Astuti muncul dari dalam.

“Loh kok Bibi tau aku sakit?” tanya Firman. Dia memang memanggil Astuti dengan sebutan Bibi, karena ibu dari Galang itu masih kerabat dari ayahnya.

“Eh, kan kemarin Faisya dan Delia yang bilang, tiap hari Faisya jajan di sini. Iya kan, Fa?” Astuti memandang bocah sekolah dasar itu dengan mata membesar. Faisya hanya mengangguk sekilas, lalu memilih lagi jajanan yang dia inginkan.

Lidah Firman ingin sekali bertanya macam-macam, tetapi ditahannya saja. Dia tidak ingin membuat Astuti dan Galang curiga. Firman akan mengikuti permainan mereka, sembari memikirkan bagaimana cara menangkap basah perbuatan keji ini.

Setelah membayar, Firman mengantar Faisya sampai gerbang sekolahnya. Kemudian dia kembali masuk ke dalam taksi. Tidak ada yang tahu jika Firman memesan taksi dengan tujuan pasar di dekat sekolah Faisya, dan dari pasar Firman memesan taksi yang lain untuk ke stasiun.

“Pak, nanti lewat SD ya, terus kalau lewat situ tolong bawanya pelan-pelan saja, saya mau lihat anak saya di sekolah,” kata Firman kepada sopir taksi sesaat p4ntatnya menyentuh jok mobil.

Meski merasa aneh, si sopir mengiyakan saja.

Bukan sekolah Faisya yang ingin Firman lihat, melainkan toko kecil di seberang sekolah itu. Hatinya bergetar hebat, ketika tebakannya betul seratus persen. Mata kepala Firman melihat motor sang istri terparkir di depan toko kecil bibinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Jalani Takdirmu

    “A-aku terpaksa, a-aku terpaksa demi kamu, Sep,” tutur Ratri terbata-bata. “A-aku memang tidak suka sama kamu, sedari awal Firman mengenalkan kamu … tapi aku bukan perempuan yang jahat, aku tidak akan membiarkan Eko berbuat keji sama kamu.”“Jadi benar kamu bunuh suamimu?” Rahmat melotot tidak percaya.Septi tertawa ringan. “Pergilah kalian dari sini. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Aku betul-betul tidak peduli dengan Faisya, jadi tolong jangan sertakan aku ke dalam masalah keluarga Anda lagi, Bu Ratri. Anggap saja kita tidak pernah punya hubungan apa-apa.”“Sep, tunggu!” cegah Ratri saat melihat Septi hendak membalik badan dan menuju ke dalam rumah. “Tapi Faisya itu anakmu.”“Pergilah, Bu, pergilah! Cukup semuanya, aku tidak ingin melihat Faisya, sebab setiap aku melihat anak itu aku selalu terbayang perbuatan bejat ….”“Tapi Faisya itu

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Terungkap

    “Apa yang Ibu lakukan di sini?” Delia berseru melihat Ratri tengah menggedor-gedor pintu kamar mandi sekolah.Sementara anak-anak dan beberapa orang tua murid dan guru telah berkerumun di sekitar Ratri.“Ibu, Ibu Delia!” Faisya segera berteriak saat mendengar suara Delia.“Ya, Sayang. Ini Ibu Delia!” seru Delia.“Fa takut, Bu.”Delia merangsek, mendorong Ratri untuk mundur. “Buka, Fa, enggak apa-apa, ini Ibu.”Pintu kamar mandi segera terbuka. Faisya dengan gesit melesat ke arah Delia. Dia berhasil berkelit ketika tangan Ratri hendak menjamah tubuh kecilnya.“Aku enggak mau ikut Mbah Ratri ke Jakarta, aku mau sama Ibu!” teriak Faisya sembari memeluk pinggang Delia dengan erat.“Faisya, Ibu Delia itu bukan ibumu!” Ratri tak kalah berseru.“Bu, tolong jangan berteriak-teriak di sini. Setidaknya hormati diri Ibu sendiri,&rd

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Korban

    “Ayo, Del!” Mbah Barid menarik tangan Delia.“A-aku takut kalau nanti jadi ribut, Mbah,” jawab Delia pelan. Langkahnya sudah terhenti sedari tadi, sebelum akhirnya seperti sekarang, ditarik-tarik oleh Mbah Barid.“Kan ada Mbah di sini. Ayo!”Delia terpaksa melangkah lagi. Mengekor sang nenek yang jalan di depan, memasuki halaman rumah Astuti. Jenasah Galang sudah dimakamkan semalam, dan rumah Astuti menjadi lebih sepi. Konon kemarin sore pun tidak banyak pelayat yang datang. Hanya beberapa kerabat dan sedikit warga sekitar.Astuti sedang duduk di sofa ruang tamu seorang diri. Matanya bengkak akibat terlalu banyak menangis. Dia terlihat kaget saat mendengar salam dari mulut Mbah Barid, apalagi setelah melihat ada Delia di belakang orang tua itu. Astuti spontan berdiri, badannya siap siaga. Entah mengapa kedua tangannya terkepal kuat.“Mau apa kamu ke sini, Del? Mau mensyukuri musibah yang Bibi terima?

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Syarat

    “Maafkan kami, Bu, Pak Firman tidak bersedia untuk menemui Anda.”Delia merespon dengan anggukan lemah. Matanya bersitatap dengan milik Rena.“Betul kan, Ren? Mas Firman enggak akan mau melihat aku lagi,” bisik Delia sembari melangkah keluar, berjejeran dengan Rena.“Iya, Mbak. Yang penting Mbak Delia udah coba,” hibur Rena.Sejak kemarin sore, Rena memang mengajak Delia untuk membezuk Firman di kantor polisi, tempat lelaki itu ditahan sementara. Delia sudah menolak, sebab dia tahu Firman sekarang sangat membencinya. Perlakuan-perlakuan pada dirinya dan Galang sudah mengindikasikan semua itu.Akan tetapi Rena seperti tidak lelah untuk membujuk kakaknya menjenguk sang suami, atau sekarang sudah mantan? Ah entahlah. Yang pasti, akhirnya Delia berangkat juga ke kantor polisi setelah mengantar Faisya ke sekolah. Lagi-lagi Rena yang memaksanya.“Delia!”Spontan kakak beradik itu menoleh

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Kepada Faisya

    “Jadi Fa bobo di sini?” Mata Faisya membulat. Dia mengedar pandangan lagi, entah sudah yang ke berapa kali.Sejatinya gadis kecil itu sudah melihat-lihat rumah Mbah Barid dengan detail tadi, bahkan sampai masuk ke kamar Mbah Barid. Jika tidak akan tinggal di sini sudah pasti Delia akan melarang Faisya, sebab itu sangat tidak sopan. Namun Delia membuat pengecualian kali ini supaya Faisya merasa lebih nyaman.“Bobo-nya sama Ibu kan?” tanya Faisya lagi.Delia tersenyum. “Iya dong, kita bobo sama-sama.”“Kalau bobo bareng Ibu Delia, aku mau,” sahut Faisya seraya memeluk Delia, lalu menarik tangan ibu tirinya itu agar telinga Delia dekat ke mulutnya. Faisya lantas berbisik, “Rumah Mbah agak horor.”“Oh iya?” Delia memasang mata jenaka.“Sst ….” Faisya mengangkat telunjuk ke depan bibirnya yang mengerucut, lalu matanya melirik ke arah luar. Seaka

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Mengamuk

    “Del, apa maksudmu melibatkan Mbah Barid dalam permasalahan kita? Pakai mengancam segala. Kalau aku enggak memenuhi permintaan dari kamu, aku mau kamu sant3t, begitu?” seru Galang.“Sant3t?”Delia tertawa. Dia baru sadar sekarang, bahwa orang-orang selalu menganggap Mbah Barid sebagai orang yang mempunyai ilmu hitam. Mentang-mentang dia tinggal nyempil sendirian di ujung desa, warga berasumsi si Mbah dekat dengan mistis. Mungkin itu yang menyebabkan Astuti begitu ketakutan melihat sosok si Mbah.“Ya, pasti akan aku lakukan, Bang. Aku akan sant3t kamu biar enggak ada lagi orang yang bisa kamu sakiti. Lebih enak sih kalau burungmu aku bikin letoy!” Delia terbahak. Ekor matanya menangkap Faisya dan Mbah Barid menoleh dengan cepat di kejauhan. Namun perempuan itu tidak peduli, dia tetap saja menyaringkan derai tawanya.“Kita kan melakukan itu suka sama suka. Emang ada aku maksa kamu? Kalau akhirnya kamu ha

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status