Beranda / Romansa / Pengantin Bangsawan Yang Kubenci / Ketika Senyum Menjadi Senjata

Share

Ketika Senyum Menjadi Senjata

Penulis: Pilar Waisakha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-19 12:54:31

Madeleine akhirnya tersenyum. Tipis, nyaris ramah — tapi tatapannya menusuk tajam di balik keanggunan yang dibuat-buat.

“Tentu, aku mengerti sekarang, Lady Vareen. Keluarga Devereux memang dikenal... penuh kejutan. Rupanya bahkan urusan hati pun kini jadi bagian dari strategi kalian.”

Lady Vareen perlahan meletakkan cangkir teh yang belum sempat disentuh. Suaranya tetap halus, seolah sedang berbicara tentang cuaca.

“Kejutan? Oh tidak, Lady Charbonneau. Kami hanya berusaha menjaga agar yang sudah mati tidak lagi diseret ke hadapan publik.”

Senyum Madeleine menegang, tapi matanya tetap tenang.

“Sayangnya, publik selalu lebih cepat dari niat baik. Apalagi bila kebanggaan suatu rumah mulai retak dari dalam.”

Lady Vareen menegakkan punggungnya, nada suaranya masih semerdu bisikan doa, namun dingin bagai baja.

“Retak hanya terlihat oleh mereka yang berdiri terlalu dekat, Madeleine. Aku lupa — bukankah kau senang berdiri di tempat seperti itu?”

Sekilas keheningan jatu
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Celah yang Disengaja

    Langit di atas Kastil Devereux gelap lebih cepat dari seharusnya. Awan berat menggantung rendah, menekan menara-menara batu tua seolah ingin mengingatkan bahwa tidak semua badai selesai dengan hujan. Pintu mobil ditutup keras. Lady Vareen melangkah turun tanpa menunggu siapa pun. Sepatu haknya menghantam lantai marmer aula utama dengan irama tegas—dingin, terkendali, seolah gereja itu belum cukup meluapkan amarahnya. Marcus menyusul di belakang. Wajahnya kaku, tetapi bukan karena emosi—lebih seperti seseorang yang sedang menghitung ulang papan permainan dan menyadari satu bidak telah tersingkir dengan sendirinya. Lucianne berjalan terakhir. Senyum tipis bertahan di sudut bibirnya. Tidak puas. Tidak juga kecewa. Hanya… lega. Mereka berkumpul di ruang duduk keluarga. Api di perapian belum dinyalakan; udara dibiarkan dingin. Lady Vareen berdiri di dekat jendela, memunggungi mereka. “Sebastian tidak akan memaafkannya,” katanya akhirnya. Marcus mengangkat bahu ringan—geraka

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Rahasia yang Tertinggal di Malam Hujan

    Langit telah sepenuhnya gelap di atas rumah kecil peninggalan Edmund Rosse—bangunan tua yang berdiri lebih karena kenangan daripada kekuatan. Rintik hujan jatuh perlahan, mengetuk atap kayu dengan bunyi lembut yang justru menambah sunyi. Di dalam kamar sempit, Avelinne terbaring di atas ranjang reot. Gaun putihnya masih melekat—kusut, ternodai debu dan air mata. Wajahnya pucat, napasnya tipis namun teratur, seolah tubuhnya bertahan hanya karena belum diberi izin untuk runtuh sepenuhnya. Elowen berdiri di sisi ranjang, jemarinya saling mencengkeram. Di sebelahnya, Osric diam membatu. Seorang dokter tua menunduk memeriksa Avelinne—menyentuh pergelangan tangannya, mendekatkan telinga ke dadanya, menghitung denyut dengan kesabaran yang nyaris kejam bagi dua orang yang menunggu. Ia terlalu lama diam. Elowen menahan napas. “Apakah kakakku… baik-baik saja?” Dokter itu mengangkat wajahnya perlahan. “Dia hanya pingsan.” Elowen mengembuskan napas lega yang rapuh. Namun Osric

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Pengakuan yang Membatalkan Segalanya

    Marlowe. Tangannya gemetar meremas topinya. Matanya beralih pada Avelinne—penuh ketakutan, penuh penyesalan. Avelinne membeku. Elowen menggeleng pelan ke arahnya. Isyarat tanpa suara: jangan. Sebastian menatap pria itu, bingung. “Marlowe…?” Marlowe menelan ludah. Suaranya keluar lirih. “Maafkan aku, Rosse.” Lady Vareen mendekat. “Katakan,” perintahnya. “Siapa wanita itu sebenarnya.” Marlowe memejamkan mata. Lalu membuka kembali—dan berbicara. “Avelinne Rosse adalah putri Edmund Rosse.” Nama itu jatuh berat. Seperti lonceng kematian yang dipukul terlalu dekat. “Pemilik kebun anggur yang kini dikelola Devereux,” lanjutnya. “Ia tidak datang ke keluarga ini sebagai calon istrimu… melainkan untuk membalas dendam. Untuk merebut kembali tanah ayahnya.” Jari Avelinne bergetar. Ia meremas gaunnya, napasnya goyah. Sebastian menoleh padanya, wajahnya kosong. “Edmund Rosse…?” Nama itu asing. Dan justru karena itu, mematikan. “Avelinne,” suaranya pecah. “Apa maksud s

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Ketika Saksi Dipanggil

    Mobil Marcus berhenti di depan sebuah gereja batu tua. Bangunannya tidak besar, tapi terawat—jendela kaca patri memantulkan cahaya kelabu pagi yang belum sepenuhnya pecah. Dari kejauhan, terlihat siluet dua sosok berdiri berhadapan di dalamnya. Diam. Khidmat. Lady Vareen menyipitkan mata. “Di sini?” tanyanya pelan, seolah bertanya pada nalurinya sendiri. “Gereja terdekat dari gudang hanya ini,” jawab Marcus singkat. “Masuk akal.” Henry bersuara dari belakang, tenang namun mendesak. “Kita turun saja. Kalau benar, kita akan tahu.” Lucianne lebih dulu membuka pintu dan melangkah keluar. Lady Vareen menyusul, langkah sepatunya mantap, tanpa ragu. Marcus dan Henry mengikuti. Pintu gereja terbuka. Udara di dalam dingin dan hening, dipenuhi bau lilin dan kayu tua. Bangku-bangku terisi—tidak penuh, tapi cukup untuk disebut pernikahan yang sah. Beberapa kepala menoleh ketika rombongan itu masuk. Bisik-bisik kecil mulai bergerak seperti riak di air. Di depan altar, sepasang me

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Badai yang Sedang Menemukan Jalannya

    Hari itu langit menggantung rendah—mendung tanpa hujan, seperti dada yang menahan napas terlalu lama. Jalanan basah memantulkan warna kelabu, dan udara terasa sunyi dengan cara yang tidak wajar; tidak ada angin, tidak ada suara burung, hanya kesan bahwa sesuatu sedang ditahan agar tidak pecah terlalu cepat. Mobil Marcus melaju tenang di jalan utama, rodanya membelah genangan tipis. Di dalamnya, tak ada percakapan yang perlu. Ketika kendaraan itu berbelok di tikungan terakhir, gerbang gudang anggur Devereux muncul di hadapan mereka—kokoh, diam, seolah tak tahu apa yang sedang mendekat. Mobil berhenti. Lady Vareen turun lebih dulu. Sepatu haknya menyentuh tanah basah tanpa ragu. Marcus menyusul, wajahnya tertutup, lalu Lucianne di belakang mereka, tatapannya bergerak cepat, mencatat lebih banyak daripada yang ia perlihatkan. Mereka masuk ke dalam. Langkah Lady Vareen terdengar jelas di lorong gudang—tegas, terukur. Suara hak sepatunya memantul di antara dinding batu dan rak

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Menuju Altar yang Tak Pernah Menjadi

    Fajar bahkan belum memutus kelam; hanya abu-abu dingin yang menempel di jendela. Avelinne sudah terjaga—atau mungkin memang tak pernah tertidur. Ia duduk bersandar, menatap langit pucat yang masih enggan berubah. Hari ini seharusnya menjadi puncak rencananya: menjadi istri Sebastian, menjejak tanah yang dulu dicabut dari keluarganya, mengunci jalan menuju balas dendam. Namun anehnya… dadanya terasa seperti diikat simpul yang tak bisa diuraikan. Di ranjang bawah, Elowen menggeliat. “Avelinne… kau sudah bangun?” Avelinne menoleh lambat. “Hari ini… aku menikah dengan Sebastian.” Elowen terlompat duduk. “Benarkah? Jadi kau akan resmi…?” Avelinne mengangguk tipis. “Itu satu-satunya cara agar kita tetap di sini.” “Kalau begitu kenapa kau belum bersiap?” tanya Elowen polos. “Gaunmu mana?” Avelinne menarik napas pendek. “Dia tidak bilang harus memakai apa. Mungkin sederhana saja. Ini pernikahan kecil.” “Tanpa pesta?” Elowen bingung. “Kukira semua pernikahan—”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status