MasukBella Lovanka, wanita cantik yang selalu menjadi pusat perhatian, berbanding terbalik dengan sang adik, Ayasa Respati, pendiam dan tidak suka keramaian. Walaupun mereka saudara, entah mengapa Ayasa merasa dirinya tak ada mirip-miripnya dengan Bella. Bukan berarti Ayasa jelek, tapi jika dibandingkan dengan Bella, tentu dia kalah telak.
Kenyataan bahwa Bella kabur di hari pernikahannya dan menikah dengan laki-laki lain membuat orang tuanya terpukul. Mengapa Bella bertindak sedemikian rupa? Bukankah selama ini hubungannya dengan Regas baik-baik saja? Lantas, yang menanggung segala hukuman atas kelakuan Bella adalah Ayasa sendiri. “Kamu di sini?” tanya Rima kaget, tidak menyangka Ayasa akan mendatanginya setelah kepulangannya dari luar kota. “Kenapa malam-malam ke sini? Apa yang akan dikatakan suamimu, Ayasa!” Ayasa menggeleng tak percaya. "Aku tidak peduli, Bu. Aku hanya ingin bertanya mengapa Ibu dan Ayah melakukan semua ini padaku? Kalian mengorbankanku dalam sebuah pernikahan yang bahkan aku sendiri tidak mau. Bu, aku tidak bisa. Aku mau tinggal di sini.” Wajah Rima dingin, menatap Ayasa sinis. Dia juga tidak repot-repot mempersilakan Ayasa masuk ke dalam rumah. "Kamu pikir apa yang bisa menyelamatkan keluarga kita dari Keluarga Regas Tenggara jika tidak melangsungkan pernikahan saat itu juga?” “Mengapa tidak dibatalkan saja, daripada mengorbankan dua manusia yang tidak akan pernah bisa bersatu—" “Lancang!” teriak Rima. Ayasa tersentak, tubuhnya bergetar. Dia memegang pipinya yang baru saja ditampar oleh ibunya. "Leonard Tenggara, kakek dari Regas, saat itu sedang kritis dan dia ingin menyaksikan pernikahan Bella dengan cucu kesayangannya. Ketika mengetahui Bella pergi begitu saja, keadaannya semakin drop. Apa menurutmu mereka menerima semua ini dengan tenang? Keluarga Regas meminta agar kamu menggantikan Bella. Namun, belum sempat pernikahan ini terjadi. Leonard meninggal dunia.” Wajah Ayasa pucat pasi, tenggorokannya tercekat, napasnya memburu. “Beberapa usaha ayahmu gulung tikar. Jangan kamu kira kami keluar kota hanya untuk bersenang-senang. Kami ke sana kemari mencari investor, dan yang bisa diselamatkan hanya sebuah restoran kecil saja. Jika kamu punya otak, seharusnya kamu bisa menghitung berapa kerugian keluarga kita. Untuk itu, saya katakan jangan pernah membuat Regas dan keluarganya marah, atau keluarga kita akan hancur!” Ayasa terduduk, tidak sanggup membayangkan ini semua terjadi pada keluarganya akibat ulah Bella. "Lalu, di mana Kak Bella sekarang?" tanya Ayasa dengan air mata mengalir deras. Rima bersedekap dada. "Kamu tidak perlu tahu, yang jelas kamu harus menjadi istri dan menantu yang baik untuk Keluarga Tenggara. Jangan membuat ulah, tunggu sampai Regas bosan, baru kamu bisa bebas." Ayasa menggeleng kuat. "Ibu, aku tidak mau! Ini bukan salahku! Seharusnya Kak Bella yang bertanggung jawab, mengapa harus aku yang menanggungnya? Aku juga punya masa depan, Bu. Punya sesuatu yang ingin aku raih! Bagaimana mungkin Ibu menumbalkanku di pernikahan ini!" “Ayasa! Jangan pernah membantah! Sekarang saatnya kamu berbakti kepada orang tuamu! Saya sudah melahirkan dan merawatmu dari kecil, apa ini balasanmu?!” sentak Rima kasar. Ayasa menutup wajahnya dengan telapak tangan, menangis sesenggukan. Tubuh ringkihnya tampak menyedihkan. Salah satu asisten rumah tangga yang melihat itu semua ingin menolong, tapi dia tahu batasan. “Ibu … tolong Bu, aku tidak mau kembali ke rumah Mas Regas, tolong, Bu!” Ayasa memegang kaki Rima, bersimpuh memohon belas kasihan. “Pergi! Jangan membuat saya murka!” Rima menendang Ayasa kasar. “Cepat pulang ke rumahmu! Awas saja jika kamu tidak kembali ke sana. Saya benar-benar tidak akan menganggapmu anak lagi! Dan satu lagi, jadilah istri yang baik untuk Regas, karena nasib keluarga kita ada di tanganmu!” Rima menutup pintu kasar. Ayasa hanya membeku, air mata terus mengalir. Dia memeluk lututnya sendiri. Walaupun dirinya selalu dinomorduakan selama ini, Ayasa menerimanya karena memang Bella pantas mendapatkannya. Karirnya yang cemerlang sebagai model, Bella bisa membawa keluarga ini lebih baik. Namun, semua yang keluar dari mulut Rima membuatnya sadar bahwa selama ini dirinya memang tidak pernah dianggap, bahkan mungkin tidak diinginkan. Gemuruh terdengar, kilat petir menyambar, hujan pun turun dengan derasnya. Ayasa bangkit berdiri dengan susah payah lalu menerobos hujan menuju halte. Dia kembali menangis, meratapi hidupnya yang menyedihkan dan tidak pernah diinginkan oleh siapa pun. “Ayasa?” Ayasa terkejut ketika bahunya disentuh. Dia membelalakkan mata saat melihat sosok pria tampan di hadapannya. “Pak Malvin?” Bagaimana bisa dia bertemu bosnya di saat seperti ini? Bergegas Ayasa mengusap air matanya yang masih mengalir. “Kenapa malam-malam di halte?” tanya Malvin. Pria itu mengambil tempat duduk di samping Ayasa. "Saya … saya hanya mencari udara segar," jawab Ayasa serak dengan mata memerah bengkak karena terlalu lelah menangis. Malvin mendengar jawaban Ayasa tertawa renyah. "Hujan deras begini kamu mau mencari udara segar? Udara segar seperti apa, Ayasa?" Ayasa terlihat kikuk, tahu bahwa dirinya ketahuan berbohong. Pria itu terdiam ketika melihat Ayasa melamun. Dia tidak mungkin bertanya lebih dalam di saat wanita itu terlihat enggan untuk bercerita. "Saya kebetulan lewat sini setelah pulang dari rumah ibu saya, lalu melihat kamu. Alhasil saya samperin, takutnya kamu kerasukan," canda Malvin. Sudut bibir Ayasa terangkat, walau kembali membentuk garis lurus. "Ayo, saya antar. Di mana rumah kamu?" Ayasa mengibaskan kedua tangannya panik. "Tidak usah, Pak. Nanti saya pulang sendiri naik taksi." Namun, sepertinya Malvin kukuh. Dia menarik tangan Ayasa dengan lembut, walau Ayasa menolak. "Jalanan ini rawan. Saya dengar di sini banyak begal," ujar Malvin. Mau tak mau Ayasa menurut. Dia melihat sekeliling yang memang tampak sepi, apalagi dengan suasana hujan yang mendukung. Perjalanan mereka diisi dengan keheningan. "Saya berhenti di depan sana saja ya, Pak," ucap Ayasa, menunjuk ke arah minimarket. "Oh, ada yang mau kamu beli? Tapi nanti tetap saya antar sampai depan di rumah kamu." Ayasa menggeleng. "Tidak usah, Pak. Berhenti di sana saja, saya juga tak berani membawa seseorang ke rumah, apalagi Ibu dan Ayah—" "Ah, baiklah tak apa-apa. Saya mengerti," potong Malvin tersenyum tulus. Ayasa mengucapkan terima kasih ketika Malvin benar-benar menurunkannya di depan minimarket. Setelah melihat mobil Malvin menjauh, Ayasa langsung berlari menuju rumah Regas yang berjarak sekitar lima menit dari sana. Ayasa berlari menyusuri jalan setapak, mengatur napas ketika sudah sampai di pintu utama, tetapi ketika membukanya, dia tertegun dengan wajah kaku. Regas bersedekap dada dan menatapnya dingin. “Kenapa pulang? Bukankah kamu tidak sudi tinggal di sini bersama suamimu?”"Ma, jangan ngomong gitu. Regas tetap harus hormati istrinya juga, Mama juga tidak usah mendukung dia kalau memang putra kita salah," tegur Arvin. Marissa semakin berang saat suaminya berkata hal demikian. Jelas-jelas ini memang salah Ayasa, seharusnya menantunya Bella, atau kalau tidak Laluna. Bukan malah wanita dari antah berantah seperti ini. "Udalah, Papa jangan bela dia. Nanti kepalanya semakin besar!" Kesal Marissa. Entah mengapa bawaannya emosi terus saat melihat Ayasa. Arvin menghembuskan napas berat, istrinya ini memang tak tanggung-tanggung jika tidak menyukai seseorang. "Ma, Papa udah—" Perkataan Arvin terhenti saat ponselnya berbunyi. "Papa angkat telepon dulu." Pria itu bergegas pergi ke dalam, sepertinya ada sesuatu yang penting. Setelah kepergian Arvin, tinggallah Ayasa dan Marissa. Sedari tadi, Ayasa menunduk. Bibirnya terkatup rapat, masih terdengar jelas jika sang mama mertua dengan tega mendukung jika Regas dan Laluna mempunyai hubungan. "Saya t
Setiap harinya Ayasa merasa tak tenang, bagaimana tidak. Ancaman Regas membuatnya kettar-ketir, pria itu seolah-olah ingin menghukumnya membabi buta.Dia tidak tahu, di mana letak kesalahan fatalnya. Regas memang selalu punya celah untuk menyalahkannya. “Ay, kamu baik-baik aja, ‘kan?” tanya Dina serius, apalagi Ayasa tampak pendiam akhir-akhir ini. Ayasa tersenyum kaku, lalu menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, kok. Aku cuma kurang enak badan aja, soalnya pulang kantor harus ke rumah sakit juga setiap harinya.” Benar, Ayasa menjaga ayahnya yang sudah selesai operasi, sang ibu memang ada. Akan tetapi, Risma jarang ke rumah sakit dengan alasan mem-back up pekerjaan suaminya. “Aduh, kayaknya kamu terlalu memporsir tenaga kamu deh, Ay.” Dina menatap khawatir sahabatnya. Dari dulu sampai detik ini Ayasa memang selalu memberikan yang terbaik bagi keluarganya, maka dari itu Dina kesal ketika Risma mengatakan Ayasa tak seperti Bella, yang mampu memberikan apa pun keinginannya. Anak bukanla
“Jadi, apa maksud dan tujuan kamu menemui saya?” Regas membawa Ayasa ke ruangan yang digunakan untuk istirahat, Regas duduk di kuris yang ada di sana. Menatap Ayasa penuh kuasa. Manajer-nya dan Laluna dia biarkan menunggu di luar, karena bagaimanapun … pasti ini menyangkut hal pribadi. “Ak–aku ….” Ayasa meremas kedua tangannya gugup. “Aku ingin meminjam uang pada Mas Regas, apakah boleh? Aku berjanji akan mengembalikannya secepat mungkin.” Wajah Ayasa merah padam, dia menunduk, tak berani menatap tepat ke wajah sang suami. “Berapa?” Ayasa tersentak kaget saat Regas dengan cepat merespons, tanpa sadar dia langsung mendongak. “Ti–tiga ratus juta, Mas. Sebelah alis Regas terangkat, menatap Ayasa dari atas sampai bawah dengan pandangan mencela. Hal itu tentu membuat Aysa merasa rendah diri. “Orang sepertimu sangat memuakkan,” tekan Regas dingin, tak lupa melempar senyum sinis. Jantung Ayasa seolah merosot ke perut, jangan tanya bagaimana keadaan hatinya yang berdarh
Ayasa tersentak kaget mendengar pernyataan ibunya. Bagaimana mungkin dia dengan santainya meminta hal seperti itu pada Regas? "Bu, aku nggak bisa. Apalagi meminta ratusan juta ... kami juga menikah bukan karena cinta, melainkan—" Ayasa membeku, tubuhnya sampai tersungkur. "Kurang ajar!" Rima menampar Ayasa dengan amarah membeludak. "Bisa-bisanya kamu memikirkan hal seperti itu di saat ayahmu kritis! Apa kamu punya otak, Ayasa!" Ayasa memegang pipinya yang terasa kebas. Dia yakin, sudut bibirnya juga pasti terluka karena merasakan asin pada indra pengecapnya. "Baru segini aja kamu udah berkoar-koar, apalagi jika berkorban seperti Bella yang melakukan segalanya demi keluarga. Pergi kamu sekarang dan cepat temui Regas! Kalau kamu tidak bisa mendapatkan uang untuk operasi ayahmu, lebih baik jangan panggil saya ibu lagi selamanya!" sentak Rima frustrasi melihat kelakuan Ayasa. Ayasa tergugu di tempatnya, air matanya sudah mengalir deras. "Bu—" "Tidak ada tapi-tapian, Ayasa! C
Ayasa menatap kosong langit-langit kamarnya. Matanya membengkak karena menangis semalaman. Regas benar-benar keterlaluan. Pria itu bak monster yang membuatnya bergidik ngeri. "Kamu sudah bangun?" Regas baru saja keluar dari kamar mandi, dia bersedekap dada, menatap Ayasa dengan wajah datar. Pria ini sangat santai, seolah tak ada rasa bersalah sedikit pun pada sang istri. Ayasa bergeming, sama sekali tidak mengindahkan ucapan Regas. Saat ini dia benar-benar sakit, baik fisik maupun hati. "Kita sudah menjadi suami istri. Lantas, apa salahnya? Kamu juga menikmatinya," ujarnya datar. "Satu lagi, jangan lupa minta maaf pada Laluna, akibat kecerobohanmu, kakinya sampai membengkak dan merah." Ayasa yang sejak tadi membisu perlahan menolehkan kepalanya. "Apa maksud Mas Regas?" tanyanya dengan napas memburu. "Saya tidak suka mengulangi perkataan yang sama, saya harap kamu segera meminta maaf pada Laluna," ujar Regas sambil berjalan santai dengan hanya mengenakan handuk. Wanita itu m
Ayasa merasa bersalah karena selalu mematikan ponselnya, sehingga dia tidak tahu bahwa Nina sudah menghubunginya mengenai kedatangan sang mertua. Ayasa menggigit bibir bawahnya resah. Dia bahkan hanya mengenakan dress sederhana yang dimilikinya. Wajahnya hanya dipoles sedikit untuk menyamarkan wajah kusutnya dan menutupi kesedihannya. Ayasa turun tergesa-gesa dan hampir jatuh dari tangga jika dia tidak berpegangan. Dia kembali menuruni undakan tangga, takut jika mertuanya sudah sampai, dan—langkah Ayasa tiba-tiba terhenti. Dia menelan ludah susah payah saat melihat Laluna dan ibu mertuanya sedang bercanda ringan, sementara Regas duduk tenang sambil menerima telepon. “Hai! Sini Ayasa, duduk di sini.” Sambutan Laluna membuat Ayasa tersenyum. Kini dia yang seperti tamu. Ayasa melihat ke arah Marissa–mama mertuanya. "Selamat malam, Ma." Marissa hanya mengangkat sebelah alis, lalu kembali berbincang bersama Laluna. Ayasa tersenyum kikuk, dia ingin mencium punggung tangan Marissa, tapi







