Share

Membawa Wanita Lain

Author: Ana j
last update Last Updated: 2025-06-03 20:30:07

Ayasa terbangun pukul 06.00 pagi. Dia bergegas membersihkan diri dan bersiap-siap untuk bekerja. Jujur saja, dia masih teringat ucapan Regas semalam.

“Kamu tahu, aku masih tidak menyangka jika akan itu booming. Ternyata foto pas kita kolaborasi sama brand yang kemarin itu lucu juga ya. Bisa-bisanya mereka bilang kita sepasang suami istri.”

Ayasa yang sudah di lantai bawah memelankan langkahnya ketika mendengar suara itu. Dia penasaran siapa yang bertamu sepagi ini.

Dia pun sampai di meja makan, dan orang yang berada di sana sontak menoleh kepadanya. Ayasa tersenyum kikuk melihat tatapan tajam dan dingin yang Regas layangkan padanya.

Lain halnya dengan seorang wanita cantik itu, dia sontak bangkit dari duduknya dan menghampiri Ayasa. "Halo, Ayasa! Aku Laluna, sahabat sekaligus rekan kerja Regas." Belum sempat Ayasa bersuara, Laluna langsung memeluk Ayasa. "Astaga, kamu sangat cantik, sepertinya seumuran dengan adikku."

Ayasa terpaku. Dia tidak terbiasa menerima perlakuan seperti ini, tapi dia juga tentu tahu siapa wanita di hadapannya, model terkenal yang mempunyai berjuta-juta pengikut di sosial media.

"Ayo kita sarapan bersama," ajak Laluna, menuntun Ayasa ke meja makan. Setelahnya, dia kembali menatap Ayasa. "Aku masih heran, mengapa Bella tidak mengenalkanmu ke publik. Jika saja kamu berkecimpung di dunia modeling, aku yakin kamu akan sangat bersinar. Dengan kulit eksotis dan wajah mungil ini, pasti menyita banyak perhatian."

Ayasa tersenyum kikuk. Dia bingung harus berekspresi seperti apa karena baru kali ini dia diapresiasi dan dipuji terang-terangan oleh seseorang.

"Terima kasih," ujar Ayasa pelan, membuat Laluna tersenyum lebar.

“Ayo sarapan, jangan ada yang bicara karena itu sangat mengganggu,” titah Regas datar.

Laluna menepuk lengan Ayasa. "Dia memang seperti itu. Semoga kamu kuat ya, menghadap si beruang kutub yang galak ini."

Ayasa hanya mengangguk. Ketika hendak mengambil sarapan untuk Regas, Laluna menghentikannya.

"Tidak usah repot-repot, biar aku saja. Regas itu sangat suka mengonsumsi salad buah dan muesli di pagi hari, untuk minumnya biasanya jus apel."

Ayasa memperhatikan itu dalam diam. Saat Laluna dengan santai mempersiapkan makanan untuk Regas, pria itu juga tampak tenang, seolah sudah terbiasa. Namun, tiba-tiba tubuhnya membeku ketika melihat Laluna dengan telaten mengelap sisa yogurt yang terdapat di ujung bibir Regas.

Regas terlihat biasa, melanjutkan sarapannya seperti tidak terjadi apa-apa. Jantung Ayasa berdegup kencang. Situasi macam apa ini? Dia tidak mengerti apakah pertemanan lawan jenis memang sedekat ini.

"Kamu mau nambah? Soalnya nanti ‘kan kita pemotretan cukup lama, belum lagi mau hadiri peluncuran produknya Brand Elisa. Atau nanti istirahat saja di apartemenku, sambil aku masakin di sana. Bagaimana?" tanya Laluna, melirik singkat pada Regas.

Regas mengangkat bahu. "Atur saja." Dia menatap dingin ke arah Ayasa sambil melanjutkan sarapannya.

"Oh iya, aku hampir lupa. Jaketmu di apartemenku, dan beberapa bajumu juga masih di sana. Mau ambil sekalian? Atau biarin aja? Takutnya besok-besok kamu nginep lagi," ujar Laluna, masih setia menatap ke arah Regas.

Ayasa terbatuk, tak sengaja sendok di tangannya juga terjatuh. Ayasa hendak mengambilnya, tapi Nina, sang pelayan, dengan cepat mengambilnya dan mengganti dengan yang baru.

“Hati-hati, Ayasa. Kamu makan pelan-pelan saja, tidak usah buru-buru,” ucap Laluna menenangkan.

"Maaf …." Ayasa memegang erat sendok di tangannya, bingung akan situasi yang dihadapinya. Dia sangat canggung berada di antara mereka berdua.

Setelah selesai sarapan, Ayasa bergegas ingin cepat-cepat ke kantor. Namun, sepertinya Laluna ingin mengajaknya berbincang lebih jauh. "Omong-omong, kamu kerja di mana?"

Ayasa berdeham pelan. "Aku kerja di salah satu perusahaan penerbit."

Laluna mengangguk-anggukan kepala ringan. "Sebagai apa?"

"Aku sebagai Digital Marketer," jawab Ayasa. Dia melirik Regas yang tampak acuh tak acuh. "Kalau begitu, aku duluan. Takutnya telat." Ayasa tersenyum kaku. Dia bangkit dari duduknya dan mencium punggung tangan Regas.

Laluna serta Regas terdiam membeku akan tindakannya.

Ayasa menggigit bibir bawahnya, merasa berbuat kesalahan karena wajah Regas menggelap, seperti tak suka.

“Ma–maaf, aku—”

“Ayasa,” potong Laluna datar. “Lain kali jangan bertindak impulsif ya, karena Regas tidak suka disentuh sembarangan.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Dadakan sang Casanova    Tidur Bersama

    "Ma, jangan ngomong gitu. Regas tetap harus hormati istrinya juga, Mama juga tidak usah mendukung dia kalau memang putra kita salah," tegur Arvin. Marissa semakin berang saat suaminya berkata hal demikian. Jelas-jelas ini memang salah Ayasa, seharusnya menantunya Bella, atau kalau tidak Laluna. Bukan malah wanita dari antah berantah seperti ini. "Udalah, Papa jangan bela dia. Nanti kepalanya semakin besar!" Kesal Marissa. Entah mengapa bawaannya emosi terus saat melihat Ayasa. Arvin menghembuskan napas berat, istrinya ini memang tak tanggung-tanggung jika tidak menyukai seseorang. "Ma, Papa udah—" Perkataan Arvin terhenti saat ponselnya berbunyi. "Papa angkat telepon dulu." Pria itu bergegas pergi ke dalam, sepertinya ada sesuatu yang penting. Setelah kepergian Arvin, tinggallah Ayasa dan Marissa. Sedari tadi, Ayasa menunduk. Bibirnya terkatup rapat, masih terdengar jelas jika sang mama mertua dengan tega mendukung jika Regas dan Laluna mempunyai hubungan. "Saya t

  • Pengantin Dadakan sang Casanova    Kedatangan Ayah dan Ibu Mertua

    Setiap harinya Ayasa merasa tak tenang, bagaimana tidak. Ancaman Regas membuatnya kettar-ketir, pria itu seolah-olah ingin menghukumnya membabi buta.Dia tidak tahu, di mana letak kesalahan fatalnya. Regas memang selalu punya celah untuk menyalahkannya. “Ay, kamu baik-baik aja, ‘kan?” tanya Dina serius, apalagi Ayasa tampak pendiam akhir-akhir ini. Ayasa tersenyum kaku, lalu menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, kok. Aku cuma kurang enak badan aja, soalnya pulang kantor harus ke rumah sakit juga setiap harinya.” Benar, Ayasa menjaga ayahnya yang sudah selesai operasi, sang ibu memang ada. Akan tetapi, Risma jarang ke rumah sakit dengan alasan mem-back up pekerjaan suaminya. “Aduh, kayaknya kamu terlalu memporsir tenaga kamu deh, Ay.” Dina menatap khawatir sahabatnya. Dari dulu sampai detik ini Ayasa memang selalu memberikan yang terbaik bagi keluarganya, maka dari itu Dina kesal ketika Risma mengatakan Ayasa tak seperti Bella, yang mampu memberikan apa pun keinginannya. Anak bukanla

  • Pengantin Dadakan sang Casanova    Demi Uang

    “Jadi, apa maksud dan tujuan kamu menemui saya?” Regas membawa Ayasa ke ruangan yang digunakan untuk istirahat, Regas duduk di kuris yang ada di sana. Menatap Ayasa penuh kuasa. Manajer-nya dan Laluna dia biarkan menunggu di luar, karena bagaimanapun … pasti ini menyangkut hal pribadi. “Ak–aku ….” Ayasa meremas kedua tangannya gugup. “Aku ingin meminjam uang pada Mas Regas, apakah boleh? Aku berjanji akan mengembalikannya secepat mungkin.” Wajah Ayasa merah padam, dia menunduk, tak berani menatap tepat ke wajah sang suami. “Berapa?” Ayasa tersentak kaget saat Regas dengan cepat merespons, tanpa sadar dia langsung mendongak. “Ti–tiga ratus juta, Mas. Sebelah alis Regas terangkat, menatap Ayasa dari atas sampai bawah dengan pandangan mencela. Hal itu tentu membuat Aysa merasa rendah diri. “Orang sepertimu sangat memuakkan,” tekan Regas dingin, tak lupa melempar senyum sinis. Jantung Ayasa seolah merosot ke perut, jangan tanya bagaimana keadaan hatinya yang berdarh

  • Pengantin Dadakan sang Casanova    Menemui Tuan Regas

    Ayasa tersentak kaget mendengar pernyataan ibunya. Bagaimana mungkin dia dengan santainya meminta hal seperti itu pada Regas? "Bu, aku nggak bisa. Apalagi meminta ratusan juta ... kami juga menikah bukan karena cinta, melainkan—" Ayasa membeku, tubuhnya sampai tersungkur. "Kurang ajar!" Rima menampar Ayasa dengan amarah membeludak. "Bisa-bisanya kamu memikirkan hal seperti itu di saat ayahmu kritis! Apa kamu punya otak, Ayasa!" Ayasa memegang pipinya yang terasa kebas. Dia yakin, sudut bibirnya juga pasti terluka karena merasakan asin pada indra pengecapnya. "Baru segini aja kamu udah berkoar-koar, apalagi jika berkorban seperti Bella yang melakukan segalanya demi keluarga. Pergi kamu sekarang dan cepat temui Regas! Kalau kamu tidak bisa mendapatkan uang untuk operasi ayahmu, lebih baik jangan panggil saya ibu lagi selamanya!" sentak Rima frustrasi melihat kelakuan Ayasa. Ayasa tergugu di tempatnya, air matanya sudah mengalir deras. "Bu—" "Tidak ada tapi-tapian, Ayasa! C

  • Pengantin Dadakan sang Casanova    Kecelakaan

    Ayasa menatap kosong langit-langit kamarnya. Matanya membengkak karena menangis semalaman. Regas benar-benar keterlaluan. Pria itu bak monster yang membuatnya bergidik ngeri. "Kamu sudah bangun?" Regas baru saja keluar dari kamar mandi, dia bersedekap dada, menatap Ayasa dengan wajah datar. Pria ini sangat santai, seolah tak ada rasa bersalah sedikit pun pada sang istri. Ayasa bergeming, sama sekali tidak mengindahkan ucapan Regas. Saat ini dia benar-benar sakit, baik fisik maupun hati. "Kita sudah menjadi suami istri. Lantas, apa salahnya? Kamu juga menikmatinya," ujarnya datar. "Satu lagi, jangan lupa minta maaf pada Laluna, akibat kecerobohanmu, kakinya sampai membengkak dan merah." Ayasa yang sejak tadi membisu perlahan menolehkan kepalanya. "Apa maksud Mas Regas?" tanyanya dengan napas memburu. "Saya tidak suka mengulangi perkataan yang sama, saya harap kamu segera meminta maaf pada Laluna," ujar Regas sambil berjalan santai dengan hanya mengenakan handuk. Wanita itu m

  • Pengantin Dadakan sang Casanova    Direnggutnya Kesucian

    Ayasa merasa bersalah karena selalu mematikan ponselnya, sehingga dia tidak tahu bahwa Nina sudah menghubunginya mengenai kedatangan sang mertua. Ayasa menggigit bibir bawahnya resah. Dia bahkan hanya mengenakan dress sederhana yang dimilikinya. Wajahnya hanya dipoles sedikit untuk menyamarkan wajah kusutnya dan menutupi kesedihannya. Ayasa turun tergesa-gesa dan hampir jatuh dari tangga jika dia tidak berpegangan. Dia kembali menuruni undakan tangga, takut jika mertuanya sudah sampai, dan—langkah Ayasa tiba-tiba terhenti. Dia menelan ludah susah payah saat melihat Laluna dan ibu mertuanya sedang bercanda ringan, sementara Regas duduk tenang sambil menerima telepon. “Hai! Sini Ayasa, duduk di sini.” Sambutan Laluna membuat Ayasa tersenyum. Kini dia yang seperti tamu. Ayasa melihat ke arah Marissa–mama mertuanya. "Selamat malam, Ma." Marissa hanya mengangkat sebelah alis, lalu kembali berbincang bersama Laluna. Ayasa tersenyum kikuk, dia ingin mencium punggung tangan Marissa, tapi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status