Ayasa terbangun pukul 06.00 pagi. Dia bergegas membersihkan diri dan bersiap-siap untuk bekerja. Jujur saja, dia masih teringat ucapan Regas semalam.
“Kamu tahu, aku masih tidak menyangka jika akan itu booming. Ternyata foto pas kita kolaborasi sama brand yang kemarin itu lucu juga ya. Bisa-bisanya mereka bilang kita sepasang suami istri.”
Ayasa yang sudah di lantai bawah memelankan langkahnya ketika mendengar suara itu. Dia penasaran siapa yang bertamu sepagi ini.
Dia pun sampai di meja makan, dan orang yang berada di sana sontak menoleh kepadanya. Ayasa tersenyum kikuk melihat tatapan tajam dan dingin yang Regas layangkan padanya.
Lain halnya dengan seorang wanita cantik itu, dia sontak bangkit dari duduknya dan menghampiri Ayasa. "Halo, Ayasa! Aku Laluna, sahabat sekaligus rekan kerja Regas." Belum sempat Ayasa bersuara, Laluna langsung memeluk Ayasa. "Astaga, kamu sangat cantik, sepertinya seumuran dengan adikku."
Ayasa terpaku. Dia tidak terbiasa menerima perlakuan seperti ini, tapi dia juga tentu tahu siapa wanita di hadapannya, model terkenal yang mempunyai berjuta-juta pengikut di sosial media.
"Ayo kita sarapan bersama," ajak Laluna, menuntun Ayasa ke meja makan. Setelahnya, dia kembali menatap Ayasa. "Aku masih heran, mengapa Bella tidak mengenalkanmu ke publik. Jika saja kamu berkecimpung di dunia modeling, aku yakin kamu akan sangat bersinar. Dengan kulit eksotis dan wajah mungil ini, pasti menyita banyak perhatian."
Ayasa tersenyum kikuk. Dia bingung harus berekspresi seperti apa karena baru kali ini dia diapresiasi dan dipuji terang-terangan oleh seseorang.
"Terima kasih," ujar Ayasa pelan, membuat Laluna tersenyum lebar.
“Ayo sarapan, jangan ada yang bicara karena itu sangat mengganggu,” titah Regas datar.
Laluna menepuk lengan Ayasa. "Dia memang seperti itu. Semoga kamu kuat ya, menghadap si beruang kutub yang galak ini."
Ayasa hanya mengangguk. Ketika hendak mengambil sarapan untuk Regas, Laluna menghentikannya.
"Tidak usah repot-repot, biar aku saja. Regas itu sangat suka mengonsumsi salad buah dan muesli di pagi hari, untuk minumnya biasanya jus apel."
Ayasa memperhatikan itu dalam diam. Saat Laluna dengan santai mempersiapkan makanan untuk Regas, pria itu juga tampak tenang, seolah sudah terbiasa. Namun, tiba-tiba tubuhnya membeku ketika melihat Laluna dengan telaten mengelap sisa yogurt yang terdapat di ujung bibir Regas.
Regas terlihat biasa, melanjutkan sarapannya seperti tidak terjadi apa-apa. Jantung Ayasa berdegup kencang. Situasi macam apa ini? Dia tidak mengerti apakah pertemanan lawan jenis memang sedekat ini.
"Kamu mau nambah? Soalnya nanti ‘kan kita pemotretan cukup lama, belum lagi mau hadiri peluncuran produknya Brand Elisa. Atau nanti istirahat saja di apartemenku, sambil aku masakin di sana. Bagaimana?" tanya Laluna, melirik singkat pada Regas.
Regas mengangkat bahu. "Atur saja." Dia menatap dingin ke arah Ayasa sambil melanjutkan sarapannya.
"Oh iya, aku hampir lupa. Jaketmu di apartemenku, dan beberapa bajumu juga masih di sana. Mau ambil sekalian? Atau biarin aja? Takutnya besok-besok kamu nginep lagi," ujar Laluna, masih setia menatap ke arah Regas.
Ayasa terbatuk, tak sengaja sendok di tangannya juga terjatuh. Ayasa hendak mengambilnya, tapi Nina, sang pelayan, dengan cepat mengambilnya dan mengganti dengan yang baru.
“Hati-hati, Ayasa. Kamu makan pelan-pelan saja, tidak usah buru-buru,” ucap Laluna menenangkan.
"Maaf …." Ayasa memegang erat sendok di tangannya, bingung akan situasi yang dihadapinya. Dia sangat canggung berada di antara mereka berdua.
Setelah selesai sarapan, Ayasa bergegas ingin cepat-cepat ke kantor. Namun, sepertinya Laluna ingin mengajaknya berbincang lebih jauh. "Omong-omong, kamu kerja di mana?"
Ayasa berdeham pelan. "Aku kerja di salah satu perusahaan penerbit."
Laluna mengangguk-anggukan kepala ringan. "Sebagai apa?"
"Aku sebagai Digital Marketer," jawab Ayasa. Dia melirik Regas yang tampak acuh tak acuh. "Kalau begitu, aku duluan. Takutnya telat." Ayasa tersenyum kaku. Dia bangkit dari duduknya dan mencium punggung tangan Regas.
Laluna serta Regas terdiam membeku akan tindakannya.
Ayasa menggigit bibir bawahnya, merasa berbuat kesalahan karena wajah Regas menggelap, seperti tak suka.
“Ma–maaf, aku—”
“Ayasa,” potong Laluna datar. “Lain kali jangan bertindak impulsif ya, karena Regas tidak suka disentuh sembarangan.”
Ayasa tersentak kaget mendengar pernyataan ibunya. Bagaimana mungkin dia dengan santainya meminta hal seperti itu pada Regas?"Bu, aku nggak bisa. Apalagi meminta ratusan juta ... kami juga menikah bukan karena cinta, melainkan—"Ayasa membeku, tubuhnya sampai tersungkur. "Kurang ajar!" Rima menampar Ayasa dengan amarah membeludak. "Bisa-bisanya kamu memikirkan hal seperti itu di saat ayahmu kritis! Apa kamu punya otak, Ayasa!"Ayasa memegang pipinya yang terasa kebas. Dia yakin, sudut bibirnya juga pasti terluka karena merasakan asin pada indra pengecapnya."Baru segini aja kamu udah berkoar-koar, apalagi jika berkorban seperti Bella yang melakukan segalanya demi keluarga. Pergi kamu sekarang dan cepat temui Regas! Kalau kamu tidak bisa mendapatkan uang untuk operasi ayahmu, lebih baik jangan panggil saya ibu lagi selamanya!" sentak Rima frustrasi melihat kelakuan Ayasa.Ayasa tergugu di tempatnya, air matanya sudah mengalir deras. "Bu—""Tidak ada tapi-tapian, Ayasa! Cepat lakukan
Ayasa menatap kosong langit-langit kamarnya. Matanya membengkak karena menangis semalaman. Regas benar-benar keterlaluan. Pria itu bak monster yang membuatnya bergidik ngeri."Kamu sudah bangun?" Regas baru saja keluar dari kamar mandi, dia bersedekap dada, menatap Ayasa dengan wajah datar. Pria ini sangat santai, seolah tak ada rasa bersalah sedikit pun pada sang istri.Ayasa bergeming, sama sekali tidak mengindahkan ucapan Regas. Saat ini dia benar-benar sakit, baik fisik maupun hati."Kita sudah menjadi suami istri. Lantas, apa salahnya? Kamu juga menikmatinya," ujarnya datar. "Satu lagi, jangan lupa minta maaf pada Laluna, akibat kecerobohanmu, kakinya sampai membengkak dan merah."Ayasa yang sejak tadi membisu perlahan menolehkan kepalanya. "Apa maksud Mas Regas?" tanyanya dengan napas memburu."Saya tidak suka mengulangi perkataan yang sama, saya harap kamu segera meminta maaf pada Laluna," ujar Regas sambil berjalan santai dengan hanya mengenakan handuk.Wanita itu memalingkan
Ayasa merasa bersalah karena selalu mematikan ponselnya, sehingga dia tidak tahu bahwa Nina sudah menghubunginya mengenai kedatangan sang mertua. Ayasa menggigit bibir bawahnya resah. Dia bahkan hanya mengenakan dress sederhana yang dimilikinya.Wajahnya hanya dipoles sedikit untuk menyamarkan wajah kusutnya dan menutupi kesedihannya. Ayasa turun tergesa-gesa dan hampir jatuh dari tangga jika dia tidak berpegangan.Dia kembali menuruni undakan tangga, takut jika mertuanya sudah sampai, dan—langkah Ayasa tiba-tiba terhenti. Dia menelan ludah susah payah saat melihat Laluna dan ibu mertuanya sedang bercanda ringan, sementara Regas duduk tenang sambil menerima telepon.“Hai! Sini Ayasa, duduk di sini.” Sambutan Laluna membuat Ayasa tersenyum. Kini dia yang seperti tamu.Ayasa melihat ke arah Marissa–mama mertuanya. "Selamat malam, Ma."Marissa hanya mengangkat sebelah alis, lalu kembali berbincang bersama Laluna.Ayasa tersenyum kikuk, dia ingin mencium punggung tangan Marissa, tapi wani
Ayasa memijat pelipisnya. Wajahnya pucat pasi dan keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya."Ayasa, kamu tidak apa-apa?" tanya Dina, sahabat sekaligus rekan kerjanya. "Astaga, badanmu hangat! Istirahat saja dulu, atau kamu mau izin pulang? Nanti aku infokan ke HRD."Ayasa menghembuskan napas pelan. Sejak sampai di kantor, dia memang merasa tidak enak badan, tapi tetap memaksakan diri. Puncaknya pada siang ini, ketika jam istirahat, dia langsung ke kamar mandi untuk memuntahkan semua isi perutnya."Tidak usah, aku hanya butuh tidur. Nanti juga sembuh." Dina langsung membawa Ayasa menuju salah satu ruangan tempat istirahat. "Sebentar, aku ambil obat dulu." Selang beberapa saat, Dina muncul membawa sepotong sandwich dan obat. "Buat ganjel perut ya, baru minum obatnya."Ayasa mengangguk lemah, setelah meminum obatnya dia mencoba memejamkan mata, tapi Ayasa tidak kunjung tidur. Dia menghembuskan napas berat, membuka mata perlahan dan menatap langit-langit ruangan itu dengan mata ber
Ayasa terbangun pukul 06.00 pagi. Dia bergegas membersihkan diri dan bersiap-siap untuk bekerja. Jujur saja, dia masih teringat ucapan Regas semalam.“Kamu tahu, aku masih tidak menyangka jika akan itu booming. Ternyata foto pas kita kolaborasi sama brand yang kemarin itu lucu juga ya. Bisa-bisanya mereka bilang kita sepasang suami istri.”Ayasa yang sudah di lantai bawah memelankan langkahnya ketika mendengar suara itu. Dia penasaran siapa yang bertamu sepagi ini. Dia pun sampai di meja makan, dan orang yang berada di sana sontak menoleh kepadanya. Ayasa tersenyum kikuk melihat tatapan tajam dan dingin yang Regas layangkan padanya.Lain halnya dengan seorang wanita cantik itu, dia sontak bangkit dari duduknya dan menghampiri Ayasa. "Halo, Ayasa! Aku Laluna, sahabat sekaligus rekan kerja Regas." Belum sempat Ayasa bersuara, Laluna langsung memeluk Ayasa. "Astaga, kamu sangat cantik, sepertinya seumuran dengan adikku."Ayasa terpaku. Dia tidak terbiasa menerima perlakuan seperti ini,
Bella Lovanka, wanita cantik yang selalu menjadi pusat perhatian, berbanding terbalik dengan sang adik, Ayasa Respati, pendiam dan tidak suka keramaian. Walaupun mereka saudara, entah mengapa Ayasa merasa dirinya tak ada mirip-miripnya dengan Bella. Bukan berarti Ayasa jelek, tapi jika dibandingkan dengan Bella, tentu dia kalah telak.Kenyataan bahwa Bella kabur di hari pernikahannya dan menikah dengan laki-laki lain membuat orang tuanya terpukul. Mengapa Bella bertindak sedemikian rupa? Bukankah selama ini hubungannya dengan Regas baik-baik saja? Lantas, yang menanggung segala hukuman atas kelakuan Bella adalah Ayasa sendiri.“Kamu di sini?” tanya Rima kaget, tidak menyangka Ayasa akan mendatanginya setelah kepulangannya dari luar kota. “Kenapa malam-malam ke sini? Apa yang akan dikatakan suamimu, Ayasa!”Ayasa menggeleng tak percaya. "Aku tidak peduli, Bu. Aku hanya ingin bertanya mengapa Ibu dan Ayah melakukan semua ini padaku? Kalian mengorbankanku dalam sebuah pernikahan yang ba