LOGINAyasa merasa bersalah karena selalu mematikan ponselnya, sehingga dia tidak tahu bahwa Nina sudah menghubunginya mengenai kedatangan sang mertua. Ayasa menggigit bibir bawahnya resah. Dia bahkan hanya mengenakan dress sederhana yang dimilikinya.
Wajahnya hanya dipoles sedikit untuk menyamarkan wajah kusutnya dan menutupi kesedihannya. Ayasa turun tergesa-gesa dan hampir jatuh dari tangga jika dia tidak berpegangan. Dia kembali menuruni undakan tangga, takut jika mertuanya sudah sampai, dan—langkah Ayasa tiba-tiba terhenti. Dia menelan ludah susah payah saat melihat Laluna dan ibu mertuanya sedang bercanda ringan, sementara Regas duduk tenang sambil menerima telepon. “Hai! Sini Ayasa, duduk di sini.” Sambutan Laluna membuat Ayasa tersenyum. Kini dia yang seperti tamu. Ayasa melihat ke arah Marissa–mama mertuanya. "Selamat malam, Ma." Marissa hanya mengangkat sebelah alis, lalu kembali berbincang bersama Laluna. Ayasa tersenyum kikuk, dia ingin mencium punggung tangan Marissa, tapi wanita seolah-olah tak melihatnya. Ayasa menunduk malu, dia menggigit bibir bawahnya seraya meremas kedua tangan. “Ayo, mulai saja makan malamnya,” ujar Marissa datar. Sesekali melirik Ayana, bak seorang yang sedang menila, lalu tersenyum dingin setelahnya. "Nina memang tahu kesukaanku, kalau makan malam di sini selalu disajikan seafood," seru Laluna. Menatap penuh binar makanan yang paling disukai itu. "Tahu dong, Sayang. Tante juga pasti tahu apa yang kamu suka. Kapan-kapan makan malam di rumah Tante ya, kita masak bareng-bareng. Jangan lupa ajak anak Tante yang bandel ini. Susah sekali dia ke rumah orang tuanya, alasannya sibuk-sibuk terus," sindir Marissa pada Regas, sementara lelaki itu hanya terdiam kaku. "Pasti, Tante! Tapi kalau masakan aku, biasanya Regas selalu suka kok. Makanya aku sering suruh dia pulang ke apartemen. Namun, karena sekarang dia sudah mempunyai istri, tentu dia harus makan masakan istrinya. Oh ya, Ayana. Apa kamu bisa masak?" tanya Laluna. "Bisa," jawab Ayasa pelan, merasa kaget karena dirinya tiba-tiba diajak bicara. "Nah, ide bagus tuh! Berhubung kamu bisa masak juga, nanti kita masak sama-sama di rumah Tante Marissa." "Loh, bukan seperti itu, Sayang. Tante hanya mengajak kamu saja dan Regas. Karena Tante percaya masakan kamu sangat juara, selain itu juga karena Tante rindu kalian." Nada keberatan dari Marissa tentu membuat yang di meja makan mengerti. Laluna tertawa pelan. "Ah, begitu. Okay, kalau begitu, nanti aku ambil libur biar bisa masak-masak sama tanteku tersayang ini." Marissa tertawa, begitu pula dengan Laluna. “Mas, mau makan pakai apa?” tanya Ayasa, memberanikan diri, membuat suasana meja makan langsung hening. “Tidak usah, Ayana, biar aku saja. Ga, kamu mau sup iga sama ayam goreng bawang putih?” tanya Laluna pada Regas. “Boleh,” balas Regas datar dan tenang, seolah tidak terusik oleh keadaan sekitar. “Bilang ya kalau kurang, nanti aku ambilkan lagi.” Laluna menyodorkan piring berisi nasi dan lauk pauk pada Regas. Wanita itu terlihat sangat gesit dalam menyiapkan kebutuhan Regas. “Belajar caranya menyiapkan makanan untuk suami ya. Kamu tidak bisa pasif seperti itu. Coba contoh Laluna yang gesit dalam segala hal, baik ketika bekerja bahkan saat urusan rumah tangga. Saya lihat kamu juga tidak ada usaha untuk mengakrabkan diri. Jika seperti ini terus, siapa yang mau melihatmu?” ucap Marissa, menatap lurus pada Ayasa. Ayasa meremas kedua tangannya. Bukannya tidak ada usaha, tapi mereka saja yang tidak menghargainya. Namun, dia tidak bisa mengungkapkannya. "Maafkan aku, Ma." Regas yang menyaksikan itu tetap memasang wajah dingin, tidak ada niatan membela Ayasa di depan mamanya sendiri. Mereka pun kembali melanjutkan makan malam dengan tenang. Selesai makan malam, mereka berbincang hangat. "Jadi, kapan kamu ke Singapura bersama Regas?" tanya Marissa pada Laluna. "Satu minggu lagi, Tante. Ini menyesuaikan sama jadwalnya Tuan Regas yang super sibuk." Laluna mencebikkan bibir. Marissa tertawa pelan, tapi Regas tetap menampakkan wajah datar tanpa ekspresi. “Jaga Regas ya, apalagi dari incaran para model di sana. Aduh, pusing Tante melihat berita setiap hari.” "Pasti, Tante! Selama ada aku, mana ada yang berani mendekati Regas," ucap Laluna percaya diri. “Mama pulang jam berapa?” Pertanyaan Regas membuat Marissa mendengkus. "Kamu ngusir, Mama?" "Bukan begitu. Ini sudah malam, Papa pasti mencari Mama," jelas Regas datar. Marissa melihat arloji di pergelangan tangannya. "Ah, benar juga. Ya sudah, Mama pulang sekarang saja." "Aku antar, sekalian mengantar Laluna." Regas bangkit dari duduknya. Ayasa hanya menunduk, seperti seorang yang tidak terlihat. “Ayana, duluan ya.” Laluna tersenyum, hendak memeluk wanita yang memasang wajah sedih itu. Namun, tiba-tiba dia berteriak panik. “Panas! Panas!” Mangkuk sup dari kaca yang berada di hadapan Ayasa terjatuh, mengenai kaki Laluna. “Ya Tuhan, Sayang!” teriak Marissa, lalu menyentak tangan Ayasa supaya menyingkir. “Apa yang kamu lakukan!” tekan Regas tajam, menatap Ayasa dengan tatapan menggelap. Ayasa menggeleng kuat. "Aku tidak—" “Menyingkir!” titah Regas dingin. “Regas, sakit .…” Laluna merengek, memegang kakinya yang memerah disertai air mata yang mulai mengalir. Dia tampak begitu kesakitan. "Cepat bawa ke rumah sakit, Regas!" Marissa tampak panik. "Tidak mau! Aku tidak suka rumah sakit, Tante! Lebih baik bawa aku ke apartemen!" Laluna semakin menangis kesakitan. Regas langsung berjongkok dan menggendong Laluna. Wanita itu kembali menangis dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Regas. Regas berjalan cepat, diikuti Marissa, meninggalkan Ayasa yang diam membeku. Ayasa meremas jarinya, perlahan membersihkan pecahan beling dari mangkuk kaca yang terjatuh. “Perih!” Ayasa meringis ketika jarinya tergores. “Nyonya!” Nina datang tergopoh-gopoh. "Astaga, Nyonya. Anda jangan membersihkannya, biar saya saja!" Dia menuntun Ayasa kembali ke kursi dan membersihkan pecahan itu dengan cepat. Setelahnya, dia mengambil obat antiseptik untuk membersihkan luka Ayasa. "Bukan saya yang membuat mangkuk itu terjatuh. Sa–saya juga tidak tahu mengapa bisa terjatuh dan mengenai kaki Laluna," adu Ayasa dengan tatapan kosong. Nina tersenyum datar sembari membersihkan luka Ayasa. "Saya tahu, Nyonya. Itu semua adalah hal biasa. Nanti juga Nyonya akan terbiasa menghadapinya. Ketahuilah, menjadi bagian dari Keluarga Tenggara itu tidaklah mudah." Ayasa menatap Nina bingung. "Maksudnya? Saya tidak mengerti." Nina menarik napas berat, lalu memasang plester pada luka Ayasa. Setelahnya, dia menatap Ayasa. "Mungkin semua orang berpikir jika Nyonya adalah wanita lemah yang bisa-bisanya bersanding dengan seorang Regas Tenggara. Namun, pertama kali melihat Anda, entah mengapa saya yakin jika suatu saat nanti Anda akan membawa perubahan besar untuk Keluarga Tenggara." Perkataan ambigu Nina semakin membuat Ayasa pusing. "Jujur saja, saya semakin bingung." Nina tersenyum. "Nyonya tidak perlu memikirkannya. Sebaiknya lekas istirahat. Jangan menunggu Tuan, karena dia pasti akan menginap di apartemen Nona Laluna." "Apa? Kenapa harus di apartemen Laluna? Kenapa Mas Regas tidak pulang saja?" tanya Ayasa pelan, tidak ingin terlihat ingin tahu, walau sebenarnya penasaran. Nina hanya memasang wajah datar tanpa menjawab. Dia mengantar Ayasa ke kamar, membiarkan Ayasa bergulat dengan pikiran negatifnya. "Sebaiknya Anda istirahat,. jangan terlalu banyak berpikir." Nina keluar meninggalkan Ayasa yang masih termenung di tempat tidurnya. Sekitar pukul dua dini hari, Ayasa merasakan kasurnya bergoyang. Dia membuka mata dan terkejut melihat wajah tampan Regas yang menatapnya sayu. Dua kancing kemeja pria itu terbuka, menampilkan dada bidangnya. "Mas … Mas, kenapa?" Ayasa beringsut menjauh, tapi tubuhnya langsung ditahan Regas. pria itu tertawa dingin. "Mas!" Ayasa mulai takut, apalagi ketika Regas tiba-tiba menjatuhkan kepalanya pada ceruk lehernya. "Bella, Bella …," racau Regas terus menerus. "Kenapa kamu begitu jahat, Bella. Kenapa kamu meninggalkanku, brengsek! Apa salahku padamu!" Regas terus meracau, membuat Ayasa semakin ketakutan. "Mas, sadar, Mas! Aku bukan Kak Bella!" Ayasa ingin menangis, apalagi ketika Regas memeluk pinggangnya erat. Regas mengangkat kepala dari pundak Ayasa dan menatap wanita itu. "Pembohong, kamu pembohong, Bella! Malam ini aku akan memilikimu, agar tidak ada yang memisahkan kita, Bella!" Regas tertawa dingin, lalu menarik Ayasa kuat, tubuh wanita itu langsung membentur dada bidangnya. Ayasa berteriak histeris dan memukul-mukul pundak Regas agar melepaskannya, tapi lelaki itu seolah tuli. "Mas! Aku bukan Kak Bella!""Ma, jangan ngomong gitu. Regas tetap harus hormati istrinya juga, Mama juga tidak usah mendukung dia kalau memang putra kita salah," tegur Arvin. Marissa semakin berang saat suaminya berkata hal demikian. Jelas-jelas ini memang salah Ayasa, seharusnya menantunya Bella, atau kalau tidak Laluna. Bukan malah wanita dari antah berantah seperti ini. "Udalah, Papa jangan bela dia. Nanti kepalanya semakin besar!" Kesal Marissa. Entah mengapa bawaannya emosi terus saat melihat Ayasa. Arvin menghembuskan napas berat, istrinya ini memang tak tanggung-tanggung jika tidak menyukai seseorang. "Ma, Papa udah—" Perkataan Arvin terhenti saat ponselnya berbunyi. "Papa angkat telepon dulu." Pria itu bergegas pergi ke dalam, sepertinya ada sesuatu yang penting. Setelah kepergian Arvin, tinggallah Ayasa dan Marissa. Sedari tadi, Ayasa menunduk. Bibirnya terkatup rapat, masih terdengar jelas jika sang mama mertua dengan tega mendukung jika Regas dan Laluna mempunyai hubungan. "Saya t
Setiap harinya Ayasa merasa tak tenang, bagaimana tidak. Ancaman Regas membuatnya kettar-ketir, pria itu seolah-olah ingin menghukumnya membabi buta.Dia tidak tahu, di mana letak kesalahan fatalnya. Regas memang selalu punya celah untuk menyalahkannya. “Ay, kamu baik-baik aja, ‘kan?” tanya Dina serius, apalagi Ayasa tampak pendiam akhir-akhir ini. Ayasa tersenyum kaku, lalu menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, kok. Aku cuma kurang enak badan aja, soalnya pulang kantor harus ke rumah sakit juga setiap harinya.” Benar, Ayasa menjaga ayahnya yang sudah selesai operasi, sang ibu memang ada. Akan tetapi, Risma jarang ke rumah sakit dengan alasan mem-back up pekerjaan suaminya. “Aduh, kayaknya kamu terlalu memporsir tenaga kamu deh, Ay.” Dina menatap khawatir sahabatnya. Dari dulu sampai detik ini Ayasa memang selalu memberikan yang terbaik bagi keluarganya, maka dari itu Dina kesal ketika Risma mengatakan Ayasa tak seperti Bella, yang mampu memberikan apa pun keinginannya. Anak bukanla
“Jadi, apa maksud dan tujuan kamu menemui saya?” Regas membawa Ayasa ke ruangan yang digunakan untuk istirahat, Regas duduk di kuris yang ada di sana. Menatap Ayasa penuh kuasa. Manajer-nya dan Laluna dia biarkan menunggu di luar, karena bagaimanapun … pasti ini menyangkut hal pribadi. “Ak–aku ….” Ayasa meremas kedua tangannya gugup. “Aku ingin meminjam uang pada Mas Regas, apakah boleh? Aku berjanji akan mengembalikannya secepat mungkin.” Wajah Ayasa merah padam, dia menunduk, tak berani menatap tepat ke wajah sang suami. “Berapa?” Ayasa tersentak kaget saat Regas dengan cepat merespons, tanpa sadar dia langsung mendongak. “Ti–tiga ratus juta, Mas. Sebelah alis Regas terangkat, menatap Ayasa dari atas sampai bawah dengan pandangan mencela. Hal itu tentu membuat Aysa merasa rendah diri. “Orang sepertimu sangat memuakkan,” tekan Regas dingin, tak lupa melempar senyum sinis. Jantung Ayasa seolah merosot ke perut, jangan tanya bagaimana keadaan hatinya yang berdarh
Ayasa tersentak kaget mendengar pernyataan ibunya. Bagaimana mungkin dia dengan santainya meminta hal seperti itu pada Regas? "Bu, aku nggak bisa. Apalagi meminta ratusan juta ... kami juga menikah bukan karena cinta, melainkan—" Ayasa membeku, tubuhnya sampai tersungkur. "Kurang ajar!" Rima menampar Ayasa dengan amarah membeludak. "Bisa-bisanya kamu memikirkan hal seperti itu di saat ayahmu kritis! Apa kamu punya otak, Ayasa!" Ayasa memegang pipinya yang terasa kebas. Dia yakin, sudut bibirnya juga pasti terluka karena merasakan asin pada indra pengecapnya. "Baru segini aja kamu udah berkoar-koar, apalagi jika berkorban seperti Bella yang melakukan segalanya demi keluarga. Pergi kamu sekarang dan cepat temui Regas! Kalau kamu tidak bisa mendapatkan uang untuk operasi ayahmu, lebih baik jangan panggil saya ibu lagi selamanya!" sentak Rima frustrasi melihat kelakuan Ayasa. Ayasa tergugu di tempatnya, air matanya sudah mengalir deras. "Bu—" "Tidak ada tapi-tapian, Ayasa! C
Ayasa menatap kosong langit-langit kamarnya. Matanya membengkak karena menangis semalaman. Regas benar-benar keterlaluan. Pria itu bak monster yang membuatnya bergidik ngeri. "Kamu sudah bangun?" Regas baru saja keluar dari kamar mandi, dia bersedekap dada, menatap Ayasa dengan wajah datar. Pria ini sangat santai, seolah tak ada rasa bersalah sedikit pun pada sang istri. Ayasa bergeming, sama sekali tidak mengindahkan ucapan Regas. Saat ini dia benar-benar sakit, baik fisik maupun hati. "Kita sudah menjadi suami istri. Lantas, apa salahnya? Kamu juga menikmatinya," ujarnya datar. "Satu lagi, jangan lupa minta maaf pada Laluna, akibat kecerobohanmu, kakinya sampai membengkak dan merah." Ayasa yang sejak tadi membisu perlahan menolehkan kepalanya. "Apa maksud Mas Regas?" tanyanya dengan napas memburu. "Saya tidak suka mengulangi perkataan yang sama, saya harap kamu segera meminta maaf pada Laluna," ujar Regas sambil berjalan santai dengan hanya mengenakan handuk. Wanita itu m
Ayasa merasa bersalah karena selalu mematikan ponselnya, sehingga dia tidak tahu bahwa Nina sudah menghubunginya mengenai kedatangan sang mertua. Ayasa menggigit bibir bawahnya resah. Dia bahkan hanya mengenakan dress sederhana yang dimilikinya. Wajahnya hanya dipoles sedikit untuk menyamarkan wajah kusutnya dan menutupi kesedihannya. Ayasa turun tergesa-gesa dan hampir jatuh dari tangga jika dia tidak berpegangan. Dia kembali menuruni undakan tangga, takut jika mertuanya sudah sampai, dan—langkah Ayasa tiba-tiba terhenti. Dia menelan ludah susah payah saat melihat Laluna dan ibu mertuanya sedang bercanda ringan, sementara Regas duduk tenang sambil menerima telepon. “Hai! Sini Ayasa, duduk di sini.” Sambutan Laluna membuat Ayasa tersenyum. Kini dia yang seperti tamu. Ayasa melihat ke arah Marissa–mama mertuanya. "Selamat malam, Ma." Marissa hanya mengangkat sebelah alis, lalu kembali berbincang bersama Laluna. Ayasa tersenyum kikuk, dia ingin mencium punggung tangan Marissa, tapi







