Share

Buka Kado

Aku bangun sebelum Shubuh. Sudah biasa bagi seorang chef sepertiku ini untuk bergerak cepat. Walau rasanya kepalaku masih sakit sekali. Tentu aku terkejut melihat kaki siapa di atas kakiku. Aku singkirkan baik-baik.

Eh, Gusti Allah. Anak gadis mana yang nyasar ke kamarku ini. Tidurnya, ya ampun, sampai hampir lepas sprei dari kasurnya. Sekali lagi aku mengingat. Iya, ya, kemarin aku batal nikah dengan Kayla. Jadi gantinya si Cantika yang jadi istriku. Sulit dimengerti, serasa hidupku hari senin semuanya.

Teringat lagi dengan kata mamaku. Tidak ada pernikahan sandiwara atau main-main di dalamnya. Oke, aku akan coba jalani, tapi aku perlu waktu. Karena tidak ada rasa cinta sedikit pun untuk Cantika. Rasa di hati masih untuk Kayla. Semoga saja cepat enyah, karena aku baru percaya, tanpa restu dari Mama sekuat apa pun kami mencoba ada saja halangannya.

Aku nggak berniat membangunkan Cantika. Aku mandi dan membersihkan diri setelah tadi malam asal tidur begitu saja karena lelah tak tertahankan. Soal malam pertama, normalnya sebagai pengantin siapa yang tidak mau. Apalagi laki-laki.

Hanya saja kondisinya berbeda. Pemegang sabuk hitam taekwondo ini—kata mamaku, sih, takutnya kalau aku dekati gitu aja, bisa ditendang kepalaku dan nyangkut di dalam panci set warna ungu. Aku masih sayang nyawaku. Aku belum mau mati di kaki Cantika.

“Can masih tidur, Jim?” tanya mamaku yang sudah turun ke dapur dari tadi.

Kebiasaan mengurus Papa dari dulu dikerjakan Mama sendirian, tanpa pembantu. Soal membersihkan rumah ada orang yang datang harian pulang dan pergi. Meski begitu, urusan membersihkan kamar, tetap menjadi tanggung jawab anak mama masing-masing.

“Masih, Ma, kayaknya capek banget.”

“Ya udah biarin aja. Kaget dia pasti, tiba-tiba disuruh nikah sama kamu.” Mamaku salah belok, terus satu set panci warna ungu muda hadiahku buat mama jatuh terurai ke lantai. Suaranya seperti orang persiapan perang.

“Apa ni, kenapa, ada apa?” Can tiba-tiba ke dapur dengan muka bengek khas orang bangun tidur. Tangan dan kakinya sudah memasang kuda-kuda siap tarung.

Krik, krik, krik. Mendadak jangkrik bunyi di antara kami bertiga. Bukan drama menantu dan mertua teraniaya.

“Udah bangun, Can. Nggak apa-apa, kok. Cuma panci jatuh. Mau buat teh?” Lihat. Mamaku baik dengan menantunya. Nggak pernah pilih-pilih apalagi sengaja memicu keributan.

Aku senang melihat Mama baik sama Can, dan andai saja Mama bisa menerima Kayla seperti ini. Mungkin dia sudah jadi istriku sekarang. Memang perbedaannya terlalu besar sekali. Kayla yang kata Mama terlalu friendly dengan laki-laki lain, membuat Mama dari lima tahun lalu nggak setuju aku menjalin hubungan dengan dia.

“Nanti kalau kamu udah nikah sama Kayla, kamu lihat dia ramah, asyik, sama laki-laki lain, baru kamu tahu rasa sama yang namanya cemburu.”

Masih teringat aku dengan kata mamaku sebulan sebelum pernikahan. Aku juga sengaja tak menceritakan kejadian Kayla mengajakku ke kamar hotel bersama. Tidak aku cerita saja Mama sudah menganggap Kayla murahan.

Entah apa yang aku lewatkan selama sepersekian detik. Mama dan Cantika sama-sama ke ruang tamu. Tersisa aku di sini yang membuatkan sarapan untuk orang satu rumah. Inisiatifku saja membantu mengurangi pekerjaan Mama.

“Can, pakai daster Mama dulu kalau gitu.” Mama keluar kamar dan memberikan sebuah baju untuk istriku. Aku masih mengolah sandwich isi telur dan daging. Tapi aku dengar sekilas bisik-bisik dua perempuan ini.

“Oooh, cangcut sama kutang? Ya, nggak mungkin pakai punya Mama, kan?” Eh, kenapa aku harus mendengar obrolan ini. Aku jadi senyum sedikit sambil membalik daging asap yang menjadi pelengkap sandwich.

“Ih, Mama, jangan keras-keras, donk.” Lah, si Can. Suara dia juga kedengeran malah sampai ke dapur.

“Eh, kado tadi malam belum dibuka kan? Pasti ada tuh, yang, kasih kamu baju dalam, Can.” Masih aku dengar pembahasan dalaman perempuan ini. Tahan, jangan senyum, jangan bayangin yang iya, iya. Bersihkan dan jernihkan pikiranmu.

“Ya, pasti itu untuk Mbak Kayla, kan?” jawab Cantika. Iya, benar juga. Perubahan mendadak itu pasti membuat kado yang dibawa tamu undangan ditujukan buat aku dan Kayla.

“Dilonggarin dikit bisa itu, Can. Gaun kemarin aja muat sama kamu. Ya, ketat-ketat dikitlah sambil lemak bergetar di mana-mana.” Mamaku, astaga. Kenapa jadi cocok sama Cantika? Asyik sekali ngobrolnya dari tadi. Mungkin karena mama sudah akrab dengan mama mertuaku dari dulu.

“Jim, udahan masaknya, temenin Cantika buka kado.” Pas sekali instruki Mama ketika enam potong sandwich selesai aku masak.

“Nanti, Ma. Can udah lapar dari tadi malam,” sahutku.

Aku ingat Cantika bilang gitu. Sayangnya kepalaku masih sakit. Aku lihat Can menatapku sambil berkedip cepat. Maksudnya apa? Sebuah kode? Kode untuk apa?

“Ya udah kalian makan berdua aja dulu, ya. Mama mau ke kamar.” Beliau yang senang dapat mantu seperti Can, meninggalkan kami berdua di dapur. Kikuk, canggung, sudah jelas sekali. Aku memotong sandwich ukuran kecil-kecil. Tujuanku biar Can gampang untuk makan. Nggak tahunya …

“Mau yang itu aja, Mas. Yang belum dipotong kecil-kecil.” Oh, iya, aku lupa dia ini omnivora kelas berat. Aku sodorkan sandwich milikku, dan dia mangap lebar-lebar memakan sarapan pagi itu. Benar kata Kayla. No manner, asal jangan no akhlak saja.

Secangkir kopi hitam menjadi teman sarapanku. Cantika? Dia meneguk dua gelas besar air putih. Wow, aku saja nggak sanggup minum sebanyak itu. Mungkin kalau lambung Can dibedah, isinya air dan makanan, dan tidak ada namaku di sana.

“Bentar, Mas, jangan masuk kamar dulu. Can mau mandi sama ganti baju.” Lima detik kemudian dia melipir dari depanku. Dan perlengkapan mandi di sana masih for men. Ah, terserah, gaya Can juga masih ada sisa tomboinya begitu.

“Can, udah bisa, Mas, ke kamar?” Pertama kalinya dalam hidup, aku izin masuk ke kamar sendiri. Terus kenop pintu berputar gitu aja. Aku lihat Can memang serius pakai daster mamaku. Dan dia terlihat, jadi keibuan. Wajah yang berbanding terbalik dengan sikap konyolnya.

Aku membuka lemari. Seserahan aku keluarkan semua dan letakkan di atas kasur. Can hanya melongo saja. Aku ngerti dia masih bingung. Aku juga sama.

“Mana dalaman untuk perempuan, Mas?” Hah, masih bahas dalaman ternyata kirain udah kelar.

“Ehm, yang mana ya? mungkin di kotak ini.” Aku menunjuk kotak di dekat satu paket make up.

“Bukan, ah, ini handuk doank. Daleman, Mas, cangcut sama kutang.”

“Nggak paham, Mas, yang mana. Coba kamu bongkar aja sendiri.”

“Tapi tadi kata Mama, kan, mungkin adanya di kado tamu. Bukan di seserahan. Coba Mas yang buka. Itu, kan kado buat pengantin.”

“Kamu juga kan pengantin, Can.”

“Dadakan, kayak tahu bulat lima ratusan.”

Ah, sudahlah. Diladeni Can malah rame. Jadilah aku duduk dan membuka satu per satu kado dari pada tamu. Di bungkusan pertama isinya kecil dan padat. Aku langsung membukanya. Cantika fokus melihat saja.

Apa ini? Seperti baju seksi yang sekilas aku lihat di film-film. Tipis, model jaring-jaring dan menerawang. Bukan Cuma satu ada dua temannya.

“Ini apaan, Mas?” Can memegang benda dengan bentuk aneh. Ada tali kecil lurus dan ada hiasan pita. Kenapa harus gini banget design baju. Gimana cara pakainya coba?

“Masuk angin donk, Mas, disuruh pakai daleman model gini.” Can masih polos sekali.

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status