Share

Buka Kado

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2023-08-09 10:57:14

Aku bangun sebelum Shubuh. Sudah biasa bagi seorang chef sepertiku ini untuk bergerak cepat. Walau rasanya kepalaku masih sakit sekali. Tentu aku terkejut melihat kaki siapa di atas kakiku. Aku singkirkan baik-baik.

Eh, Gusti Allah. Anak gadis mana yang nyasar ke kamarku ini. Tidurnya, ya ampun, sampai hampir lepas sprei dari kasurnya. Sekali lagi aku mengingat. Iya, ya, kemarin aku batal nikah dengan Kayla. Jadi gantinya si Cantika yang jadi istriku. Sulit dimengerti, serasa hidupku hari senin semuanya.

Teringat lagi dengan kata mamaku. Tidak ada pernikahan sandiwara atau main-main di dalamnya. Oke, aku akan coba jalani, tapi aku perlu waktu. Karena tidak ada rasa cinta sedikit pun untuk Cantika. Rasa di hati masih untuk Kayla. Semoga saja cepat enyah, karena aku baru percaya, tanpa restu dari Mama sekuat apa pun kami mencoba ada saja halangannya.

Aku nggak berniat membangunkan Cantika. Aku mandi dan membersihkan diri setelah tadi malam asal tidur begitu saja karena lelah tak tertahankan. Soal malam pertama, normalnya sebagai pengantin siapa yang tidak mau. Apalagi laki-laki.

Hanya saja kondisinya berbeda. Pemegang sabuk hitam taekwondo ini—kata mamaku, sih, takutnya kalau aku dekati gitu aja, bisa ditendang kepalaku dan nyangkut di dalam panci set warna ungu. Aku masih sayang nyawaku. Aku belum mau mati di kaki Cantika.

“Can masih tidur, Jim?” tanya mamaku yang sudah turun ke dapur dari tadi.

Kebiasaan mengurus Papa dari dulu dikerjakan Mama sendirian, tanpa pembantu. Soal membersihkan rumah ada orang yang datang harian pulang dan pergi. Meski begitu, urusan membersihkan kamar, tetap menjadi tanggung jawab anak mama masing-masing.

“Masih, Ma, kayaknya capek banget.”

“Ya udah biarin aja. Kaget dia pasti, tiba-tiba disuruh nikah sama kamu.” Mamaku salah belok, terus satu set panci warna ungu muda hadiahku buat mama jatuh terurai ke lantai. Suaranya seperti orang persiapan perang.

“Apa ni, kenapa, ada apa?” Can tiba-tiba ke dapur dengan muka bengek khas orang bangun tidur. Tangan dan kakinya sudah memasang kuda-kuda siap tarung.

Krik, krik, krik. Mendadak jangkrik bunyi di antara kami bertiga. Bukan drama menantu dan mertua teraniaya.

“Udah bangun, Can. Nggak apa-apa, kok. Cuma panci jatuh. Mau buat teh?” Lihat. Mamaku baik dengan menantunya. Nggak pernah pilih-pilih apalagi sengaja memicu keributan.

Aku senang melihat Mama baik sama Can, dan andai saja Mama bisa menerima Kayla seperti ini. Mungkin dia sudah jadi istriku sekarang. Memang perbedaannya terlalu besar sekali. Kayla yang kata Mama terlalu friendly dengan laki-laki lain, membuat Mama dari lima tahun lalu nggak setuju aku menjalin hubungan dengan dia.

“Nanti kalau kamu udah nikah sama Kayla, kamu lihat dia ramah, asyik, sama laki-laki lain, baru kamu tahu rasa sama yang namanya cemburu.”

Masih teringat aku dengan kata mamaku sebulan sebelum pernikahan. Aku juga sengaja tak menceritakan kejadian Kayla mengajakku ke kamar hotel bersama. Tidak aku cerita saja Mama sudah menganggap Kayla murahan.

Entah apa yang aku lewatkan selama sepersekian detik. Mama dan Cantika sama-sama ke ruang tamu. Tersisa aku di sini yang membuatkan sarapan untuk orang satu rumah. Inisiatifku saja membantu mengurangi pekerjaan Mama.

“Can, pakai daster Mama dulu kalau gitu.” Mama keluar kamar dan memberikan sebuah baju untuk istriku. Aku masih mengolah sandwich isi telur dan daging. Tapi aku dengar sekilas bisik-bisik dua perempuan ini.

“Oooh, cangcut sama kutang? Ya, nggak mungkin pakai punya Mama, kan?” Eh, kenapa aku harus mendengar obrolan ini. Aku jadi senyum sedikit sambil membalik daging asap yang menjadi pelengkap sandwich.

“Ih, Mama, jangan keras-keras, donk.” Lah, si Can. Suara dia juga kedengeran malah sampai ke dapur.

“Eh, kado tadi malam belum dibuka kan? Pasti ada tuh, yang, kasih kamu baju dalam, Can.” Masih aku dengar pembahasan dalaman perempuan ini. Tahan, jangan senyum, jangan bayangin yang iya, iya. Bersihkan dan jernihkan pikiranmu.

“Ya, pasti itu untuk Mbak Kayla, kan?” jawab Cantika. Iya, benar juga. Perubahan mendadak itu pasti membuat kado yang dibawa tamu undangan ditujukan buat aku dan Kayla.

“Dilonggarin dikit bisa itu, Can. Gaun kemarin aja muat sama kamu. Ya, ketat-ketat dikitlah sambil lemak bergetar di mana-mana.” Mamaku, astaga. Kenapa jadi cocok sama Cantika? Asyik sekali ngobrolnya dari tadi. Mungkin karena mama sudah akrab dengan mama mertuaku dari dulu.

“Jim, udahan masaknya, temenin Cantika buka kado.” Pas sekali instruki Mama ketika enam potong sandwich selesai aku masak.

“Nanti, Ma. Can udah lapar dari tadi malam,” sahutku.

Aku ingat Cantika bilang gitu. Sayangnya kepalaku masih sakit. Aku lihat Can menatapku sambil berkedip cepat. Maksudnya apa? Sebuah kode? Kode untuk apa?

“Ya udah kalian makan berdua aja dulu, ya. Mama mau ke kamar.” Beliau yang senang dapat mantu seperti Can, meninggalkan kami berdua di dapur. Kikuk, canggung, sudah jelas sekali. Aku memotong sandwich ukuran kecil-kecil. Tujuanku biar Can gampang untuk makan. Nggak tahunya …

“Mau yang itu aja, Mas. Yang belum dipotong kecil-kecil.” Oh, iya, aku lupa dia ini omnivora kelas berat. Aku sodorkan sandwich milikku, dan dia mangap lebar-lebar memakan sarapan pagi itu. Benar kata Kayla. No manner, asal jangan no akhlak saja.

Secangkir kopi hitam menjadi teman sarapanku. Cantika? Dia meneguk dua gelas besar air putih. Wow, aku saja nggak sanggup minum sebanyak itu. Mungkin kalau lambung Can dibedah, isinya air dan makanan, dan tidak ada namaku di sana.

“Bentar, Mas, jangan masuk kamar dulu. Can mau mandi sama ganti baju.” Lima detik kemudian dia melipir dari depanku. Dan perlengkapan mandi di sana masih for men. Ah, terserah, gaya Can juga masih ada sisa tomboinya begitu.

“Can, udah bisa, Mas, ke kamar?” Pertama kalinya dalam hidup, aku izin masuk ke kamar sendiri. Terus kenop pintu berputar gitu aja. Aku lihat Can memang serius pakai daster mamaku. Dan dia terlihat, jadi keibuan. Wajah yang berbanding terbalik dengan sikap konyolnya.

Aku membuka lemari. Seserahan aku keluarkan semua dan letakkan di atas kasur. Can hanya melongo saja. Aku ngerti dia masih bingung. Aku juga sama.

“Mana dalaman untuk perempuan, Mas?” Hah, masih bahas dalaman ternyata kirain udah kelar.

“Ehm, yang mana ya? mungkin di kotak ini.” Aku menunjuk kotak di dekat satu paket make up.

“Bukan, ah, ini handuk doank. Daleman, Mas, cangcut sama kutang.”

“Nggak paham, Mas, yang mana. Coba kamu bongkar aja sendiri.”

“Tapi tadi kata Mama, kan, mungkin adanya di kado tamu. Bukan di seserahan. Coba Mas yang buka. Itu, kan kado buat pengantin.”

“Kamu juga kan pengantin, Can.”

“Dadakan, kayak tahu bulat lima ratusan.”

Ah, sudahlah. Diladeni Can malah rame. Jadilah aku duduk dan membuka satu per satu kado dari pada tamu. Di bungkusan pertama isinya kecil dan padat. Aku langsung membukanya. Cantika fokus melihat saja.

Apa ini? Seperti baju seksi yang sekilas aku lihat di film-film. Tipis, model jaring-jaring dan menerawang. Bukan Cuma satu ada dua temannya.

“Ini apaan, Mas?” Can memegang benda dengan bentuk aneh. Ada tali kecil lurus dan ada hiasan pita. Kenapa harus gini banget design baju. Gimana cara pakainya coba?

“Masuk angin donk, Mas, disuruh pakai daleman model gini.” Can masih polos sekali.

Bersambung …

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Edyt Rifa'i
hehehe, Can polos bangetttt
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pengantin Dadakan    Bulan Madu

    Beneran ternyata gaes aku udah nikah. Buktinya aku sekarang duduk di pelaminan barengan dia setelah tadi melewati barisan pedang pora. Seragam kami kali ini hijau muda. Jangan dibayangin seperti lontong, pokoknya aku cantik, kata dia gitu. “Kamu cantik, deh, Sayang.” Entah udah keberapa kali buaya di sebelah aku bilang gini. Mual, terlalu manis kata-katanya, heeem.“Makasih, nggak ada uang kecil.” “Nggak perlu bayar pakai uang, cukup pakai—” “Udahlah. Ya Allah, kenapa itu terus dibahas dari tadi.” Hu hu huuu, ketahuan juga sifat asli Bang Ale sejak tadi kami sudah jadi suami istri. Takut sebenernya, tapi nggak mungkin juga minta cere, kan. Nggak lucu deh. “Ya, kan, salah satu tujuan nikah untuk itu, Istriku.” “Hueek!” Mendadak ingin muntah aku tu. “Belum juga diapa-apain udah hamil duluan, tenang aja Abang akan tanggung jawab atas perbuatan kita di atas bukit.” “Hoi, bisa diem, nggak? Makin lama makin ngadi-ngadi isi kepala Abang. Di atas bukit itu dua tahun lalu juga keles. Ka

  • Pengantin Dadakan    Beneran?

    Ya, malam ini aku dandan cantik sekali. Aku nggak kelihatan seperti chef lagi, melainkan seorang putri yang akan menerima lamaran dari seorang pangeran. Setengah jam lagi seharusnya mereka tiba di sini. Setelah segala drama dan begini begitunya, akhirya kami memutuskan untuk menikah. Sempat hampir berantem dan biasalah aku minta udahan aja, tapi akhirnya lanjut lagi. Soalnya pengajuan nikah militer, ampuuu cyiiiiiin, mumet ndasku mikirnya. “Ayo, Nak, semangat, udah cantik itu jangan mandang cermin melulu,” mamaku masih sambil menggedong adekku tersayang. Segala sesuatu telah kami siapkan. Makanan, dekorasi, termasuk pihak keluarga perempuan, kecuali kamera paparazzi. Aku lagi males diliput wartawan sebisa mungkin aku rahasiakan aja dari khalayak ramai.Satu demi satu tamu mulai datang. Suara Bang Ale udah mulai kedengeran. Diandra masuk dan memberikanku segelas kopi hangat racikan tangannya sendiri. Aku minum pakai sedotan biar nggak rusak lipstik. Baru aja aku mau melangkah, eh,

  • Pengantin Dadakan    Persiapan

    Sekilas aku melihat ternyata Iqis ikut juga jadi chef di pertemuan internasional antara negara timur tengah dan Indonesia. Aku kenal dia, tapi dia nggak kenal aku. Hiiih anak itu, es batunya luar biasa. Hampir empat harian di sini, kami nggak sempat saling menyapa. Iqis harus on point di dapur dan aku pada bagian keamanan. Kemeja hitam dan jas putih senantiasa aku kenakan agar terlihat rapi. Sebenarnya letih setelah dari luar negeri tugas lagi, tapi memang mengawal orang penting perlu orang-orang berpengalaman. Ajaibnya lagi aku jumpa sama Abu Lahab. Dia ngaku baru putus sama pacarnya satu, masih ada cadangan dua lagi. Astaghfirullah, buaya arab memang beda. “That girl, my girlfriend,” tunjukku sama Iqis yang lagi jalan membawa nampan berisi makanan. Abu Lahab bilang jamilah jamilah. “May be she is boring with you,” katanya. “No, no.” Aku tegaskan tidak. Jarang jumpa memang iya, tapi bosan kayaknya nggak. Entar aku buktikan. “You don’t look handsome.” Mulut Abu Jahal emang lain.

  • Pengantin Dadakan    Keringat Dingin

    Habis drama kejar-kejaran di bandara, akhirnya aku dan dia berbaikan. Sengaja aku mengajak Bang Ale makan di restaurant tradisional Indonesia milik salah satu rekanku. Tebak apa? Dia makan banyak banget sampai tambah. “Kangen makanan Indonesia, ya?” tanyaku ketika dia tambah nasi. Bang Ale nggak menjawab hanya mengangguk saja. Ada sih, beberapa orang yang melihat kami, tapi ya, bodo amat bukan urusanku juga. “Kalau sama aku kangen, nggak?” Tsaaah, tumben aku nanyain ginian. Hatiku, kenapa kamu tidack bisa diajak kompromi sama sekali. Bang Ale berhenti makan dan menatapku sekilas. Tatapan yang membuatku ingin menyiram minyak panas ke wajahnya. Habis itu dia makan lagi. Dasar, nggak dijawabnya pertanyaan aku. “Petenya enak,” katanya, serah lo deh. “Sama kayak kamu.” Maksudnya apa, ya?“Jadi aku dan pete itu sama?” “Sama, sama-sama bauk.” Santai aja dia ngomong itu, loh, nggak ada rasa bersalah sama sekali. Refleks aku cium ketek, nggak ada bauk sama sekali. Aku udah pakai deodor

  • Pengantin Dadakan    Gadis Terasi

    Aku senang dia udah membaik keadaannya di sana. Ya, meski harus menderita beberapa luka-luka ringan. Ada satu hal yang aku sadari. Aku bukan Iqis yang dulu, ada seseorang di hati, ahaaay. Ya, gimana, ya, namaya manusia bisa jatuh cinta. Aku, kan bukan patung. Hari-hariku LDR sama dia terasa begitu cepat. Aku masih jadi juri, sekaligus influencer yang mengusung nilai-nilai kebaikan dalam setiap makanan. Sloganku jangan biarkan bahan terbuang percuma. Aku diundang memasak di istana negara ketika ada tamu dari timur tengah. Dengan senang hati aku mengerjakan semuanya. Semua rupiahku yang hilang akibat membayar kompensansi tergantikan dalam waktu setahun lebih. Nggak terasa juga lama kami LDR. Dan kalian tahu apa, Bestieh, apa yang aku dapat lagi dalam setahun. Ya, agak gimana ya, umur udah 24 tahun dapat adek bayi lagi. Ewekwekwek, Mama hamil lagi. Katanya iseng, apaan, cobak? Aku sama Diandra berasa jadi mama muda. Adek kami laki-laki, namanya Adam tanpa Smith. Adam Devano Zolla.

  • Pengantin Dadakan    Ikan Asin

    “Bang Ale, sini kamu jangan lari.” Eeh, kenapa tiba-tiba Iqis marah sama aku. Padahal aku cuman bercanda soal udah kawin lagi. Emang, sih, gadis Lebanon cakep, mata biru ada juga yang hijau ada juga yang putih semua, tapi tetap aja dia yang paling memikat hati. “Hiat.” Iqis serius lagi marah dan dia menghantam pundakku sampai jatuh di pasir. Punggungku ditekan pakai siku dia, sangat kuat sampai aku jejeritan. Gusti Allah tolooong, kenapa dia jadi liar seperti peserta MMA yang pakai kutangan sama kolor doank. “Mati kamu, hiiiiat!” Astaghfirullah. Aku bangun terkesiap ketika Iqis hampir duduk di kepalaku. Aku kucek mata dan masih berada di dalam jeep. Otewe ke desa lagi untuk bagi makanan dan membantu evakuasi warga apabila diperlukan. “What’s wrong, ya, akhi?” tanya temenku yang tadi ponselnya aku pinjam buat telpon Iqis. Itu pun pulsanya masih ngutang, nanti pas udah membaik semuanya aku bayar deh. “My girl friend, she comes in my dream, almost kiliing me.” Aku mengusap dadaku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status