Share

Tak Terduga

Author: Rosa Rasyidin
last update Huling Na-update: 2023-06-30 16:39:46

Di sini aku sekarang. Sedang melihat gadis yang disandingkan terpaksa di sebelahku. Tak aku sangka sama sekali, Kayla—perempuan yang telah menjalin hubungan denganku selama lima tahun, harus mencampakkanku dengan cara memalukan seperti ini.

Padahal dari awal kami sudah sama-sama sepakat masalah mahar. Aku hanya mampu memberinya lima puluh juta rupiah saja. Bukan karena aku tak cinta, tetapi hanya itu kesanggupanku. Uangku ada lebih. Rencananya akan aku gunakan untuk membangun restaurant impianku sejak dulu.

Kayla tahu semua mimpi-mimpiku. Ternyata dia juga yang menghancurkannya. Benar kata orang, siapa yang paling dekat dengan kita, dia yang akan menikam kita paling dalam dengan rasa sakit tak terkira.

Sehari sebelum akad aku bahkan sudah meyakinkan Kayla, bahwa aku akan bertanggung jawab penuh pada gaya hidupnya. Tapi, apa mau dikata, satu jam sebelum akad nikah dia membatalkan semuanya, kecuali aku mempersiapkan mahar senilai 150 juta rupiah.

Kayla bilang kalau aku mencintanya, pasti aku akan memenuhi semua permintaannya. Ya, tapi tak begini juga caranya. Dia kira mempersiapkan pesta pernikahan dengan semua dana dariku ini tidak memakan sedikit biaya?

100 juta lebih uang yang sudah aku gelontorkan. Hasil menabung uang gaji selama jadi chef, menang lomba dan menerima iklan skala kecil. Konsep pernikahan bahkan sesuai dengan keinginan Kayla. Hasilnya, aku seperti menghangatkan makanan basi, dan akhirnya tak layak untuk ditelan lagi.

Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatiku. Aku sudah sangat ragu menikah dengan Kayla. Aku termasuk laki-laki biasa, berbeda dengan teman-teman satu profesiku yang ada juga berasal dari luar negeri. Mereka sudah biasa minum dan tidur dengan wanita yang bukan istrinya. Tidak denganku, aku masih menjunjung tinggi adat ketimuran. Juga aku memiliki banyak saudari perempuan. Aku takutnya perbuatan yang aku lakukan, kata orang karmanya bisa menimpa saudari kita.

Satu hari Kayla pernah mengajakku buka kamar di hotel tempatku bekerja. Sekuat tenaga aku menolak. Walau aku tak bisa berbohong, normalnya sebagai seorang laki-laki aku juga ingin sekali. Namun, demi mengingat semua akibatnya, aku tak jadi. Terbayang olehku, mama dan adik-adik perempuanku diperlakukan seperti demikian.

Salah satu adik perempuan jauhku ialah, Cantika. Gadis yang dulu aku kenal, hitam, dekil, dan tomboy habis yang sekarang secara ajaibnya sudah menjadi istriku. Cantika menggantikan posisi Kayla. Dia menyelamatkan aku dan keluargaku dari rasa malu.

Tak aku sangka dari sekian banyak gadis, Cantika yang dipilih. Dulu aku sering membullinya. Jarak usia kami cukup jauh, sampai sebelas tahun lamanya. Ketika aku sowan saat hari raya ke rumah om dan tante. Saat itu kalau tak salah ingat umurku sudah 26 tahun dan Cantika 15 tahun.

Jangan tanya lagi istriku yang sedang asyik makan nasi kuning satu piring setelah habis memakan soto betawi satu mangkuk penuh dulu seperti apa. Tidak ada cantik dan sisi perempuannya sama sekali. Dia baru pulang dari main di luar, dengan teman laki-lakinya. Membawa mangga muda yang baru dipetik dari pohon. Nyelonong masuk ke dalam rumahnya sendiri tanpa salam denganku.

“Can, ini, loh, ada Mas Jimmi. Mbok, ya disalam gitu,” kata mamanya menegur anak itu.

Dia menoleh sebentar sambil menaikkan celana pendeknya yang melorot. Muka berkeringat dan bau matahari tercium jelas. Padahal gadis seusianya seharusnya sudah belajar merawat diri.

“Malas!” Ketus memang mulutnya dari dulu denganku, sebab itu aku suka membullinya.

“Kenapa? Sini, Mas, belikan es cream campina,” jawabku waktu itu.

“Dikiranya Can nggak punya duit apa. Pah, minta duit, donk. Beli es cream di depan jalan.” Jawabannya berhasi membuatku tertawa. Om Rahmat mengeluarkan selembar uang 20 ribuan dan Can mengambilnya.

“Mau ditambahin nggak. Duit, Mas, banyak, loh.” Aku habis menerima THR dari hotel. Saat itu aku belum mulai berpacaran dengan Kayla, dan tak ada sedikitpun niatku untuk menggoda Cantika. Nama yang waktu itu bertolak belakang dengan kepribadian sepupu jauhku ini.

“Eeeh, maulah, Mas. Lumayan beli tambahan buat beli gundam.” Tanpa malu tangannya terulur meminta uangku. Ya, aku berikan saja, walau hobi laki-laki itu tak cocok untuk anak perempuan.

“Can, kamu nggak mau nikah sama Mas Jimmi. Mas pinter masak loh. Kamu rebus air aja gosong,” kata mamanya lagi. Hah, baru tahu aku anak segede batang pisang ini teryata agak oon dikit. Semalas-malasnya orang memasak, bisa sampai air gosong dibuatnya.

“Malas!”

“Kenapa?” Aku bertanya saking penasarannya. Aku tak bohong, banyak pegawai hotel yang cantik-cantik mengajakku berkenalan, tapi getaran di dalam hati belum juga ada.

“Ganteng, bisa masak, nggak cukup, Ma. Suami Can besok nggak boleh galak jadi orang. Iuuw, Mas Jimmi galaknya minta ampun. Udah gitu mulutnya lemes lagi bulli orang tiap bentar.”

“Yang mau sama kamu emang siapa, Can?” Aku bertanya kembali.

“Malas, ah, ngomong ama dia. Mending makan lontong sayur pakai rendang daging sama serundeng. Eeem, enaaak masakan Mama.”

Begitulah sekelumit kisah kami di masa lalu. Dan aku terkejut luar biasa ketika saat batal akad nikah antara aku dan Kayla, Cantika ditunjuk sebagai pengantin penggantinya. Aku nggak menyangka itu dia. Kenapa sekarang namanya sesuai dengan kepribadiannya?

Terakhir aku bertemu enam bulan lalu dengan sepupu jauhku ini. Belum secantik sekarang. Itu juga ketemunya di suatu acara. Saat dia hampir berantem dengan seorang petugas gara-gara perkara uang parkir. Can kekeh nggak mau bayar seharga lima ribu rupiah. Padahal waktu itu sedang ada event besar. Jadilah aku yang mengambil jalan tengah.

Uang lima ribu waktu itu kecil bagiku. Sekarang saja lima puluh juta rupiah akan masuk ke kantongnya. Beruntungnya kamu, Cantika Ayu Jelitta yang sekarang pakai kebaya setelan berwarna biru langit dengan kerudung warna senada. Sudah gitu pakai bedak dan lipstick yang warnanya kalem. Cantika terlihat semakin anggun. Walau mulutnya masih ketus. Aku ingat dia tadi bilang ingin meyantetku. Susah sepertinya nanti berdamai dengannya.

“Kok, masih laper, ya?” ucap Can.

Heran aku, padahal sudah makan soto dan nasi kuning. Perutmu terbuat dari apa, Can? Karet gelang apa karet ban? Semakin diisi semakin melar. Aku yakin permintaan maafku tadi nggak didengar sama dia. Nanti saja kita urus itu, yang jelas kami harus tampil meyakinkan di depan para tamu undangan yang siang nanti akan mulai berdatangan.

“Kalau laper, ya, makan,” jawabku pada Can.

Nasi sebutir pun tidak tertinggal di piringnya. Sebagai chef cara makan seperti Can menunjukkan cara pelanggan menghargai yang memasak. Lagi pula bisa jadi keuntungan tersendiri kalau orang doyan makan seperti Can di dunia ini ada banyak.

“Mas, kenapa nggak makan? Emang kenyang makan cinta?” Mulai lagi dia seperti ini.

“Duluan aja, Can. Mas nanti aja.”

“Mau disuapin?” Agak terkejut aku mendengar pertanyaan istriku yang tak terduga ini.

“Jangan mimpilah yaaa, ha ha ha.” Belum sempat aku menjawab sudah dibantahnya lebih dahulu. Ternyata hanya tampilan luar saja yang berubah. Dalamnya masih ketus dan cuek luar biasa.

Sebagai pengantin dia benar-benar turun ke tempat makan. Aku melihat Can mengambil es cendol sampai penuh. Tanpa rasa berdosa dia bawa segelas saja lalu duduk kembali. Tidak pula menawarkanku. Tak sampai sepuluh detik es cendol itu sudah berpindah ke dalam perutnya. Aku sampai geleng-geleng kepala dibuatnya. Kegalauanku ditinggal Kayla sedikit terobati dengan sikap konyol Can.

Hampir Can sendawa keras. Refleks aku menutup mulutnya. Bukan apa-apa, malu didengar banyak orang. Dia ini, astaga, seharusnya bisa jaga sikap sebentar saja sampai pesta berakhir. Tanganku ditepisnya.

“Apa, sih, Mas, cari-cari kesempatan aja.” Dia menatapku tak senang.

“Tolong, ya, Can, sekali ini aja, Mas mohon bersikaplah seperti ratu sehari aja. Biar Mas dan orang tua nggak malu.”

“Bayar!” jawabnya yang kedua kalinya.

“Oke, nanti Mas bayar. Tapi kamu tenang dulu, ya.”

“Oke.” Can berpaling.

Entah berapa lama kami duduk di sini. Lalu tamu yang khusus datang saat akad saja sudah mulai pulang dan menyalami kami satu per satu. Untuk resepsi nanti undangan yang datang lain lagi.

“Jimmi, semoga cepet dapat anak, ya.”

“Semoga rumah tangga kalian samawa sampai kakek nenek.”

Bergantian para tamu mengucapkan selamat. Pelan-pelan aku dengar Can menggerutu. Dia tak mau mengaminkan, tapi menolak doa juga nggak berani.

Datang salah seorang pamanku dari Kepulauan Riau. Dia memberikan amplop padaku. Pamanku yang satu ini mahir membuat pantun.

“Bulan puasa memakan kurma. Satu butir untuk berdua. Yang menunggu lama-lama. akhirnya bersanding penuh bahagia.”

“Eaaak,” sahut Can di depan paman kami berdua.

“Langit membentang warnanya biru. Datang hujan menimpa batu. Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia sepanjang waktu.” Aku tersenyum mendengar pantun pamanku.

“Eaak, eaak, eaak.” Makin menjadi tingkah Cantika. Gusti Allah, paringi hamba sabar.

“Can juga punya pantun, Om.” Dia nggak mau kalah.

“Apa?” tanya kami kompakan. Baru aku tahu kalau sepupu jauhku ini pandai juga bersilat lidah.

“Tanam jengkol di tepi bukit.” Habis itu Can diam aja.

“Terus?” tanya kami semua karena saking penasarannya.

“Ngapain nanam jengkol sampai ke tepi bukit. Mending beli di pasar, ha ha ha.” Tawa Can pecah seketika. Lucu? Kayaknya lucu, buktinya omku tertawa sama istrinya.

“Buah kelapa jatuh ke sungai.” Om kami masih lanjut pantun.

“Terus?” tanya Can.

“Byur jatuh hanyut dibawa air.” Beliau masih tak mau kalah.

Kemudian mamaku datang. Beliau mengatakan MUA sudah harus merias ulang kami berdua. Siang nanti kami akan bersanding sampai tamu undangan pulang. Muka Can terlihat malas sekali. Soal uang aja dia cepat.

“Can, nggak, nyangka, loh. Akhirnya kamu juga yang jadi menantu Tante. Kalau tahu gini, dari habis kamu tamat SMA udah diajak nikah.” Mamaku memang akrab dengan mama Cantika.

“Jangan, Tante, jangan, Can masih kecil,” jawab anak ini absurd.

Kecil apanya? Makan sebanyak itu nggak sadar diri. Mamaku pergi duluan mengurus yang lain. Kami berdua menunggu sampai benar-benar dipanggil oleh MUA.

“Mas, pernikahan kita ini sandiwara apa beneran?” tanya adik sepupuku. Entahlah, aku pun bingung harus jawab apa.

Bersambung …

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Murni Pasha
kocak ...lucu..pingin ketawa
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Pengantin Dadakan    Bulan Madu

    Beneran ternyata gaes aku udah nikah. Buktinya aku sekarang duduk di pelaminan barengan dia setelah tadi melewati barisan pedang pora. Seragam kami kali ini hijau muda. Jangan dibayangin seperti lontong, pokoknya aku cantik, kata dia gitu. “Kamu cantik, deh, Sayang.” Entah udah keberapa kali buaya di sebelah aku bilang gini. Mual, terlalu manis kata-katanya, heeem.“Makasih, nggak ada uang kecil.” “Nggak perlu bayar pakai uang, cukup pakai—” “Udahlah. Ya Allah, kenapa itu terus dibahas dari tadi.” Hu hu huuu, ketahuan juga sifat asli Bang Ale sejak tadi kami sudah jadi suami istri. Takut sebenernya, tapi nggak mungkin juga minta cere, kan. Nggak lucu deh. “Ya, kan, salah satu tujuan nikah untuk itu, Istriku.” “Hueek!” Mendadak ingin muntah aku tu. “Belum juga diapa-apain udah hamil duluan, tenang aja Abang akan tanggung jawab atas perbuatan kita di atas bukit.” “Hoi, bisa diem, nggak? Makin lama makin ngadi-ngadi isi kepala Abang. Di atas bukit itu dua tahun lalu juga keles. Ka

  • Pengantin Dadakan    Beneran?

    Ya, malam ini aku dandan cantik sekali. Aku nggak kelihatan seperti chef lagi, melainkan seorang putri yang akan menerima lamaran dari seorang pangeran. Setengah jam lagi seharusnya mereka tiba di sini. Setelah segala drama dan begini begitunya, akhirya kami memutuskan untuk menikah. Sempat hampir berantem dan biasalah aku minta udahan aja, tapi akhirnya lanjut lagi. Soalnya pengajuan nikah militer, ampuuu cyiiiiiin, mumet ndasku mikirnya. “Ayo, Nak, semangat, udah cantik itu jangan mandang cermin melulu,” mamaku masih sambil menggedong adekku tersayang. Segala sesuatu telah kami siapkan. Makanan, dekorasi, termasuk pihak keluarga perempuan, kecuali kamera paparazzi. Aku lagi males diliput wartawan sebisa mungkin aku rahasiakan aja dari khalayak ramai.Satu demi satu tamu mulai datang. Suara Bang Ale udah mulai kedengeran. Diandra masuk dan memberikanku segelas kopi hangat racikan tangannya sendiri. Aku minum pakai sedotan biar nggak rusak lipstik. Baru aja aku mau melangkah, eh,

  • Pengantin Dadakan    Persiapan

    Sekilas aku melihat ternyata Iqis ikut juga jadi chef di pertemuan internasional antara negara timur tengah dan Indonesia. Aku kenal dia, tapi dia nggak kenal aku. Hiiih anak itu, es batunya luar biasa. Hampir empat harian di sini, kami nggak sempat saling menyapa. Iqis harus on point di dapur dan aku pada bagian keamanan. Kemeja hitam dan jas putih senantiasa aku kenakan agar terlihat rapi. Sebenarnya letih setelah dari luar negeri tugas lagi, tapi memang mengawal orang penting perlu orang-orang berpengalaman. Ajaibnya lagi aku jumpa sama Abu Lahab. Dia ngaku baru putus sama pacarnya satu, masih ada cadangan dua lagi. Astaghfirullah, buaya arab memang beda. “That girl, my girlfriend,” tunjukku sama Iqis yang lagi jalan membawa nampan berisi makanan. Abu Lahab bilang jamilah jamilah. “May be she is boring with you,” katanya. “No, no.” Aku tegaskan tidak. Jarang jumpa memang iya, tapi bosan kayaknya nggak. Entar aku buktikan. “You don’t look handsome.” Mulut Abu Jahal emang lain.

  • Pengantin Dadakan    Keringat Dingin

    Habis drama kejar-kejaran di bandara, akhirnya aku dan dia berbaikan. Sengaja aku mengajak Bang Ale makan di restaurant tradisional Indonesia milik salah satu rekanku. Tebak apa? Dia makan banyak banget sampai tambah. “Kangen makanan Indonesia, ya?” tanyaku ketika dia tambah nasi. Bang Ale nggak menjawab hanya mengangguk saja. Ada sih, beberapa orang yang melihat kami, tapi ya, bodo amat bukan urusanku juga. “Kalau sama aku kangen, nggak?” Tsaaah, tumben aku nanyain ginian. Hatiku, kenapa kamu tidack bisa diajak kompromi sama sekali. Bang Ale berhenti makan dan menatapku sekilas. Tatapan yang membuatku ingin menyiram minyak panas ke wajahnya. Habis itu dia makan lagi. Dasar, nggak dijawabnya pertanyaan aku. “Petenya enak,” katanya, serah lo deh. “Sama kayak kamu.” Maksudnya apa, ya?“Jadi aku dan pete itu sama?” “Sama, sama-sama bauk.” Santai aja dia ngomong itu, loh, nggak ada rasa bersalah sama sekali. Refleks aku cium ketek, nggak ada bauk sama sekali. Aku udah pakai deodor

  • Pengantin Dadakan    Gadis Terasi

    Aku senang dia udah membaik keadaannya di sana. Ya, meski harus menderita beberapa luka-luka ringan. Ada satu hal yang aku sadari. Aku bukan Iqis yang dulu, ada seseorang di hati, ahaaay. Ya, gimana, ya, namaya manusia bisa jatuh cinta. Aku, kan bukan patung. Hari-hariku LDR sama dia terasa begitu cepat. Aku masih jadi juri, sekaligus influencer yang mengusung nilai-nilai kebaikan dalam setiap makanan. Sloganku jangan biarkan bahan terbuang percuma. Aku diundang memasak di istana negara ketika ada tamu dari timur tengah. Dengan senang hati aku mengerjakan semuanya. Semua rupiahku yang hilang akibat membayar kompensansi tergantikan dalam waktu setahun lebih. Nggak terasa juga lama kami LDR. Dan kalian tahu apa, Bestieh, apa yang aku dapat lagi dalam setahun. Ya, agak gimana ya, umur udah 24 tahun dapat adek bayi lagi. Ewekwekwek, Mama hamil lagi. Katanya iseng, apaan, cobak? Aku sama Diandra berasa jadi mama muda. Adek kami laki-laki, namanya Adam tanpa Smith. Adam Devano Zolla.

  • Pengantin Dadakan    Ikan Asin

    “Bang Ale, sini kamu jangan lari.” Eeh, kenapa tiba-tiba Iqis marah sama aku. Padahal aku cuman bercanda soal udah kawin lagi. Emang, sih, gadis Lebanon cakep, mata biru ada juga yang hijau ada juga yang putih semua, tapi tetap aja dia yang paling memikat hati. “Hiat.” Iqis serius lagi marah dan dia menghantam pundakku sampai jatuh di pasir. Punggungku ditekan pakai siku dia, sangat kuat sampai aku jejeritan. Gusti Allah tolooong, kenapa dia jadi liar seperti peserta MMA yang pakai kutangan sama kolor doank. “Mati kamu, hiiiiat!” Astaghfirullah. Aku bangun terkesiap ketika Iqis hampir duduk di kepalaku. Aku kucek mata dan masih berada di dalam jeep. Otewe ke desa lagi untuk bagi makanan dan membantu evakuasi warga apabila diperlukan. “What’s wrong, ya, akhi?” tanya temenku yang tadi ponselnya aku pinjam buat telpon Iqis. Itu pun pulsanya masih ngutang, nanti pas udah membaik semuanya aku bayar deh. “My girl friend, she comes in my dream, almost kiliing me.” Aku mengusap dadaku

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status