Share

Lempar Bunga Sembunyi Tangan

Aku tak tahu harus jawab apa. Sekali pun dalam hidup, walau aku sering dibilang orang adalah playboy, tapi tak pernah terlintas di pikiranku untuk mempermainkan pernikahan. Karena kalau main-main aku tak akan mempersiapkan sampai sedetail ini.

Di pelaminan ini aku duduk lagi. Menunggu Cantika—gadis bar bar dikit yang terpaksa menjadi istriku. Anggap saja sekarang masih terpaksa. Sisanya akan aku jalani sesuai takdir. Kata orang, kalau tidak jodoh, sekali pun dekat tidak akan pernah bertemu di pelaminan. Kalau jodoh sekali pun orang yang paling dibenci akan jadi sepasang pengantin juga.

Aku melihat ke arah kiri. Cantika sudah datang dipandu berjalan dengan mamaku dan mama mertua sekaligus. Aku yakin sekali dia kesulitan berjalan memakai heels. Ya, semua yang ada ini warna, dekorasi, gaun pengantin 80% meengikuti selera Kayla.

Sampai juga Cantika di pelaminan. Aku tersenyum ke arah mama mertua. Walau hari ini agak terkejut sampai jungkir balik, tapi harus tetap jaga sikap di depan Tante Mirna. Beliau dari dulu baik dengan kami. Jadi nggak ada alasan bagiku untuk menganggap pernikahan ini sandiwara.

Tidak tahu dengan Cantika. Cukup aku akui perbedaan usia yang jauh, suatu hari nanti akan menjadi bumerang bagi kami berdua. Lalu mama dan mama mertuaku turun ke tempat para keluarga yang masih sempat hadir, berkumpul. Tinggal aku saja dan anak ini berduaan lagi.

“Duh, dari sekian banyak warna kenapa harus merah terang benderang gini yang dipilih. Udah berasa anak buah mak banteng aja,” celetuk Cantika, dan berhasil membuatku tersenyum sedikit.

Jujur aku bingung dengan perasaanku hari ini. Seharusnya aku sedih atau tertekan luar biasa karena ditinggal Kayla, tapi dari tadi banyolan Cantika mampu membuatku yang kata orang galak dan dingin ini jadi ikut-ikutan tertawa. Aku rasa Cantika kalau disandingkan dengan Sule cocok juga.

Aku melihatnya dari dekat. Yang aku tahu, Kayla tidak memesan gaun seperti ini. Entahlah, mungkin ini tim kreatif dari MUA hingga Cantika masih bisa menggunakan jilbab dan makhkota di atas kepalanya. Wajah Can yang biasanya ketus denganku, hari ini terlihat luar biasa, karena sentuhan make up.

“Laper lagi perutku, ya ampun,” kata gadis ini. Padahal baru dua jam lalu dia makan nasi kuning dan soto betawi.

“Duh, risih beud pakaian baju ginian. Roknya ketat, ketat, ketat, ketat luar biasa. Mau buang angin aja susah dari tadi. Belum lagi korsetnya. Aku jadi cicak napas dibuatnya. Acaranya sampai jam berapa, sih, Mas?” Dia melirik ke arahku.

“Sampai selesai, seperti di undangan.” Aku melihat sekilas.

Fotografer yang aku sewa mulai merekam kegiatan pengantin di atas pelaminan dan tamu-tamu lainnya. Ada sebuah tarian sambutan atas permintaan mamaku. Aku melihat dengan khidmat, tapi perut Cantika berbunyi terus dari tadi.

“Kamu, kan, baru selesai makan, Can?” tanyaku.

“Can kalau panik bawaannya pengen makan, Mas. Itu kayaknya ada sate padang, ya.” Lehernya memanjang mengintip katering yang baru datang.

“Ada sate padang, ada gado-gado, ada nasi.” Daftar makanan yang hadir dalam acara pernikahanku.

“Wow, kenyang deh malam ini.” Lidahnya keluar seolah-olah tak pernah jumpa makanan enak seperti itu.

Aku jadi penasaran selera makannya seperti apa. Tapi pernah waktu dia namu ke rumah mamaku. Waktu itu lebaran, dia tambah satu piring lagi makan ketupat dan pernak-perniknya, terakhir makanan penutup mulut. Mamaku senang melihat Can yang nafsu makan dari dulu, dan tak pemilih.

“Batu sama kayu kamu makan juga?”

“Makan, donk, masak nggak. Cinta aja yang nggak bisa aku makan.” Sebelah alisnya naik menjawab pertanyaanku. Khas pemeran antagonis wanita di drama korea yang pernah aku nonton sekilas.

“Kamu yakin nggak ada yang marah kamu nikah mendadak gini, Can?” Aku masih tak percaya dia jomlo garis lurus. Sedangkan waktu dia jelek, dekil, tomboy aja, pacarnya ada. Apalagi kalau sudah bening dan memukau seperti sekarang.

“Ada, sih, Mas, tapi kayaknya dia nggak tahu perasaanku.”

“Siapa?” Sudah kuduga, mama mertua nggak pernah tahu perangai asli anaknya.

“Jimin.”

“Siapa?” tanyaku memastikan, agak mirip namanya denganku.

“Jimin. Aku mau sama dia. Dianya nggak mau sama aku. Eh, malah dapat Jimmi jadi gantinya. Ya Allah. Jimmin Jimmi, dekat-dekatlah bunyinya. Tapi beda orang. Ish. Rak bakal tak balengi, trisnoku sing koyok wingi. Mergo janji tok blenjani. Kowe ra iso nepati.” Eh sempat-sempatnya dia rekam kami terus edit bentar dan upload ke tik tok.

Oh, iya, aku lupa kalau dia ini sudah mulai jadi konten kreator. Pernah ada yang menunjukkan padaku akunnya. Tapi melihat wajah yang glowing dan penampilan yang berubah. Aku nggak percaya itu Cantika. Lalu ketidak percayaan itu telah menghantar dia menjadi istriku.

“Oooh, oooh, no, no, no, no. Kenapa mereka bisa datang ke sini.” Can melempar hapenya asal-asalan. Untung jatuh tepat di tanganku. Dia melihat ke arah pintu tamu masuk.

“Ya Allah tolong donk, buat mereka menghilang ke kutub selatan.” Gadis barbar ini memegang jantungnya. Tak mungin aku ikut-ikutan pegang, bukan? Bisa mengamuk Can padaku.

“Siapa, sih?” Rata-rata tamu yang datang aku kenal. Tapi gerombolan gadis-gadis muda yang dadah-dadah ke arah Can aku nggak kenal sama sekali.

“Ituh, itu tuh, ya, ituh, ada kuntilanak, suster ngesot, wewe gembel, sundel bolong. Tuh, tuh, lihat mukaknya seneng banget lihat temennya tersiksa.” Can berdiri dan menunjuk ke arah yang dimaksud. Gadis-gadis itu langsung naik ke pelaminan.

“Nenek gayung nikah muda juga akhirnya. Selamet yaaaa, ha ha ha.” Ooh paham sudah aku. Mereka ini teman-teman kuliah Cantika. Kelihatan, kok, sama embernya jadi orang. Pengaruh pergaulan memang mempengaruhi cara berbicara orang.

“Kok kalian tahu aku nikah, weeei. Kenapa kalian datang, siapa yang ngundang?” Mereka asyik ngobrol sampai lupa denganku di sebelahnya.

“Mamamu yang ngundang. Duhai, bestiku yang paling gesrek. Yang paling anti nikah muda, yang berasa paling independent woman nggak butuh lakik sama sekali. Kenak batunyaaa kaan. Makanya jangan sombong. Mendadak nikah tahu rasa, kaaaan.” Jiah, ternyata senjata makan tuan. Si yang paling tidak mau nikah, akhirnya nikah duluan.

“Lihatlah, Bestiku, di seluruh dunia. Teman kami yang paling nggak waras memutuskan untuk tidur dengan satu pria saja sampai selamanya.”

Aku cuman bisa menarik napas panjang. Cantika dan teman-temannya buat konten di atas pelaminan. Sakral pernikahan jadi ternoda karena ulah kekanak-kanakan mereka. Tapi, untung saja Can mau menyelamatkan harga diri kami sekeluarga.

Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya. Apa yang jadi penyebab Kayla meninggalkanku. Apakah murni karena mahar saja? Atau ada hal lain yang dia sembunyikan dariku?

Pesta berlangsung sesuai rencana. Banyak tamu yang datang merasa kaget luar biasa karena pengantin wanitanya berbeda dengan yang ada di undangan. Terutama teman-temanku yang satu profesi denganku.

“Kayaknya kaleman ini daripada Kayla, ya, Jim. Biasanya cewek jilbaban gini kebanyakan soleha,” ucap temanku.

Cantika, untung saja dia tahu jaga sikap di depan tamu-tamu selain temannya. Dia tebar senyuman semanis madu dari tadi dan pasang keramahan luar biasa. Beberapa kali kami take foto bersama. Can mau menggandeng tanganku. Mungkin sudah dibriefing tadi sebentar dengan mamanya.

“Cocok, nih, kalau aku jadi artis, ya, Mas. Pinter bersandiwara. Dunia ini panggung sandiwara. Ceritanya bermacam-macam.” Dia nyanyi lagi, walau suaranya nggak bagus.

“Iya, cocok, kamu, kan artis tik tok.”

“Tahukah dirimu betapa diriku, merindukan hadirmu ada di sini. Percayalah kasih, jarak dan waktu tak mampu menghapus. Janji setia menjaga hati.” Dia tidak menghiraukan apa kataku. Malah ikut nyanyi bersama biduan. Terserahlah, asal bisa diajak kerja sama.

“Hujan turun mewakili hati, tanpa angin gambarkan rasaku, howohooo. Namun, kini pelangi, datang menyinari, kitaaaa hooohooohooo. Merindukan hadirmu, ada di sini. Percayalah kasih, jarak dan waktu tak mampu menghapus. Janji setia menjaga hati.” Dia mengikuti suara biduan di atas panggung.

Aku diam saja. Lirik lagu tadi terlalu tepat menggambarkan isi hatiku sekarang. Ada hujan yang membasahi hatiku seperti Kayla, dan Cantika muncul dengan ragam warna menghiasi langit berwarna biru.

Acara pesta terus berlangsung sampai tamu benar-benar habis. Kemudian ada satu sesi foto-foto kami berdua oleh fotografer. Kami diarahkan bergaya mesra demi dokumentasi. Aku diminta tersenyum. Aku menurut. Cantika, ya, ampun, semua giginya kelihatan padahal disuruh senyum yang anggun.

“Makin kamu bercanda makin lama kita selesai, Can.” Aku mengingatkan baik-baik dengannya.

“Capek tahu, nggak, Mas, disuruh sandiwara dari tadi. Mana nggak sempat makan.” Mukanya mulai cemberut.

“Iya, tamunya rame dari tadi. Habis ini makan aja dengan piringnya sekalian.”

Setelah itu kami benar-benar mengikuti arahan. Setengah jam kemudian sesi foto-foto sudah selesai dengan ragam macam gaya. Cantika bisa diajak kerja sama sangat baik. Seharusnya Kayla yang ada di sini. Sekali lagi takdir tak ada yang bisa menebak.

Terakhir, sesi lempar bunga dari pengantin dan akan diarahkan bagi para jomlowan dan jomlowati yang menanti, katanya keberuntungan itu. Aku nggak terlalu paham, ini semua sudah diatur WO juga Kayla. Aku lebih sibuk memasak di dapur hotel.

“Ini bunganya dilempar. Ke arah mereka para hantu demit itu?” tanya Cantika pada WO. Dia menunjuk pada teman-temannya yang masih betah menunggu sampai acara selesai.

“Iya, Mbak, sesuai arahan sama calon istri masnya yang dulu,” jawab pihak WO.

“Ogah banget ngasih mereka.” Cantika tak mau menghadap belakang dan melempar bunga sesuai arahan.

“Cantika, tinggal ini aja acara selesai.” Aku membujuk dia yang kelihatan cemberut memandang wajah teman-teman satu frekuensinya.

“Bunga tetep dikasih, tapi nggak buat mereka.” Dengan pedenya, selesai mengucapkan kata-kata itu. Cantika menaikkan roknya yang ketat sedikit, terus turun dari pelaminan. Aku dan pihak WO sampai ber wow ria melihat perangainya.

“Dadaaaah, bunganya bukan buat kalian.” Suara Cantika terdengar sampai ke sini. Dia dadah-dadah dengan temannya yang mukanya berubah jutek.

Dari atas pelaminan ini aku lihat Cantika memberikan buket bunga itu untuk seseorang. Ternyata tak lain tak bukan adalah untuk Mas Hilmi. Anak keempat dari Tante dan Om. Mas Himi sampai bengong melihat perangai adiknya.

Entah apa yang dibilang Cantika. Sepertinya Mas Hilmi marah dan hampir melampiaskan pada adiknya itu. Sampai ditahan oleh mas-masnya yang lain. Cantika tertawa saja. Terus dia balik arah, mungkin ingin balik ke pelaminan.

Naas, Cantika jatuh karena sepatunya kelewat tinggi. Serius aku tak bisa menahan tawa begitu juga dengan yang lain. Mana tadi sedihku mengingat Kayla? Semua menguap begitu saja melihat perangai anak satu ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status