Mobil SUV Lexus seharga tiga koma setengah Milyar berwarna hitam itu berhenti di depan lobby gedung kantor milik Damar Wiranata.
Sesaat Zanitha ragu, khawatir sang papi tidak mempercayainya tapi dia membawa pria yang akan menikahinya jadi semestinya sang papi percaya. Dan jika dilihat dari harga mobil milik pria itu, pria bernama Ananta ini pasti kaya raya jadi tidak mungkin papi tidak memberikan restu. “Nona … kita sudah sampai.” Ryan memberitahu karena Zanitha malah melamun menatap pintu lobby. “Kamu ikut, kan?” Zanitha bertanya kepada Ananta. “Tentu saja ….” Pria itu menyahut. “Tidak mungkin aku melewatkan momen berharga ini,” sambung Ananta di dalam hati. Zanita membuka pintu mobil, dia keluar diikuti Ryan dan Ananta. Mereka bertiga menyusuri lobby, semua pegawai membungkuk penuh hormat saat mereka lewat yang tentu saja sikap hormat itu ditunjukan untuk Zanitha yang merupakan anak dari pemilik perusahaan ini. Sekretaris Damar Wiranata yang bernama Anton menyambut mereka keluar dari mejanya. Anton menatap heran ke arah Ananta dan Ryan yang dia kenali sebagai saingan perusahaan ini. “Nona Zanitha, tadi pak Damar mencari Nona tapi ponsel Nona enggak bisa dihubungi.” Anton bicara sembari menatap tajam dua pria yang berdiri di belakang Zanitha. “Tadi ada urusan sedikit dan aku lupa bawa charger, ponselku kehabisan batre.” Zanitha memberi alasan dusta. “Apa papi ada di dalam?” sambung Zanita bertanya. “Ada … baru selesai meeting dengan klien.” Anton menjawab, kerutan di alisnya masih belum hilang lantaran pertanyaan di benaknya belum terjawab. Kenapa Zanita datang bersama pesaing bisnis mereka? “Tunggu di sana, nanti aku panggil.” Zanitha bicara kepada Ananta dan Ryan sembari menunjuk ruang tunggu yang terdapat sofa set. “Tolong suruh OB buatkan mereka kopi,” pinta Zanita kepada Anton sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam ruangan sang papi. Tok … Tok … Tidak lupa Zanitha mengetuk pintu. Ceklek … Lalu membukanya dan masuk ke dalam sana setelah pintu tertutup kembali. Damar Wiranata mengangkat pandangan dari layar MacBook. “Dari mana aja kamu? Papi cariin kamu dari tadi, papi mau kenalin kamu sama klien … Kamu bangun siang, iya?” Damar Wiranata tampak kesal. “Maaf Pi, tadi Nitha ada urusan sebentar.” Zanitha tidak berani menatap sang papi, pandangannya tertuju pada ujung sepatu. Dia mulai gentar, ingin rasnya mengurungkan niat meminta restu. Damar Wiranata mengembuskan nafas panjang. “Nanti lagi kamu bilang sama Papi kalau mau telat datang ke kantor.” “Iya … Pi ….” Kalimat Zanitha menggantung, dia mengangkat pandangan setelah mengumpulkan keberaniannya. “Pi ….” Damar Wiranata melirikan matanya dari layar MacBook menunggu sang putri mengatakan sesuatu. “Nitha mau nikah,” sambungnya hati-hati. Damar Wiranata tampak mengerutkan keningnya, tidak percaya dengan apa yang barus saja dia dengar. “Umur Nitha ‘kan udah dua puluh lima tahun … pacar Nitha juga orang kaya, Papi pasti setuju.” Zanitha bicara pelan penuh kehati-hatian. “Sejak kapan kamu pacaran?” Damar Wiranata memicingkan mata. “Udah lama, Pi … tapi baru sekarang dia serius mau nikahin Nitha.” Zanitha menjawab cepat. Damar Wiranata tidak merespon, dia menatap Zanitha lekat. “Pacar Nitha ada di luar, Papi mau bicara dulu sama dia?” Zanitha ingin melimpahkan permohonan restu ini kepada Ananta saja. Menurutnya, ‘kan pria itu yang ingin menjadikannya seorang istri. “Ya udah, suruh masuk!” titah Damar Wiranata, dia penasaran juga dengan kekasih dari putrinya. Zanitha memutar badannya lalu pergi menuju pintu, dia memanggil Ananta dengan melambaikan tangannya. “Sini! Papi mau bicara.” Damar Wiranata memfokuskan tatapannya ke arah pintu, dia menunggu sosok pria yang akan menjadi calon menantunya. Saat sosok tinggi tegap itu masuk, mata Damar Wiranata seketika melebar dengan jantung berdebar kencang. “Pi … ini pacar Nitha, namanya Ananta … kami mau menikah besok, boleh ‘kan?” kata Zanitha polos. Sebuah smirk muncul di bibir Ananta dan tatapan mata penuh kepuasan. “Apa? Kamu mau menikah dengan dia?” Damar Wiranata bangkit dari kursi kebesarannya, nada suaranya terdengar tidak bersahabat. Matanya melotot dengan ekspresi gundah bercampur emosi yang kentara. “Kamu enggak tahu siapa dia?” Damar Wiranata menunjuk Ananta yang masih berdiri di tengah ruangan sedang menikmati pemandangan yang menurutnya sangat epik. Zanitha menoleh menatap Ananta. “Dia pacar Nitha.” Gadis itu menjawab polos. “Sejak kapan kalian pacaran? Apa kamu enggak tahu kalau dia Ananta Victor von Rotchchild, CEO Helvion Group di Indonesia?” bentak papi yang langkahnya sampai di depan Zanitha. “Hah?” Zanitha menoleh menatap Ananta dengan mata membulat. Pantas saja tadi Ryan mengetahui nama papinya karena ternyata mereka sudah mengetahui kalau papi adalah saingan bisnis mereka. Zanitha yang merasa dibohongi langsung mendorong pelan dada Ananta hingga mundur beberapa langkah menjauhi papi lalu punggung Ananta terdesak ke pintu. “Kenapa kamu enggak ngomong kalau kamu CEO Helvion Group?” Zanitha menahan nada suaranya, mata indah miliknya melotot menatap Ananta marah. “Nanti kamu akan kabur, dengar Zanitha … Kamu akan masuk penjara kalau kita enggak menikah,” ancam Ananta berbisik namun tatapannya tajam menuntut. Zanita menjauhkan tangannya dari dada Ananta yang berotot membuat pria itu juga melepaskan cekalannya di pergelangan kedua tangan Zanitha. “Pi … ada miss komunikasi, kami sama-sama enggak tahu … kami bertemu di aplikasi kencan dan menyembunyikan identitas kami karena satu dan lain hal … tapi, ijinkan kami menikah ya Pi.” Zanitha memohon. “Tentu saja Papi enggak akan memberi ijin!” seru Danar Wiranata tegas dan lantang. “Saya tidak akan memberikan putri saya kepada kamu, Ananta! Tidak sampai kapanpun!“ seru Damar Wiranata penuh keyakinan. “Kenapa Pi? Papi ‘kan enggak menginginkan Nitha, Nitha cuma anak haram … bukannya Papi ingin Nitha pergi jauh dari hidup Papi biar Papi enggak berantem terus sama mami Ratih? Papi enggak setuju Nitha menikah dengan Ananta karena Ananta adalah saingan bisnis Papi ‘kan? Ego Papi akan terluka kalau memberi restu, iya ‘kan?” tanya Zanitha menuntut, matanya mulai berkaca-kaca. Ananta menoleh menatap Zanitha, asal-usul gadis itu jadi dia ketahui sekarang yang ternyata anak haram. Jadi benar tentang gosip yang beredar di luar sana kalau Damar Wiranata pernah berselingkuh dengan sekertarisnya sendiri, dan mungkin Zanitha adalah anak dari sekretarisnya itu. “Kamu pikir aja, kalau kamu menikah sama dia nanti kamu bisa membocorkan rahasia perusahaan! Kamu mau menghancurkan perusahaan yang telah Papi bangun? Dasar anak enggak tahu diuntung kamu!” seru Damar Wiranata memarahi putrinya. “Nitha akan keep rahasia perusahaan, Pi … Nitha sendiri juga enggak tahu yang mana rahasia perusahan … Papi menempatkan Nitha di bagian kepegawaian … Nitha enggak tahu apapun tentang kinerja perusahaan … jadi tolong ijinkan Nitha menikah dengan Ananta, Pi.” Demi apa, Zanitha tidak mau masuk penjara. Ananta menatap Zanita curiga, usaha Zanitha patut diacungi jempol dalam meminta restu sampai wajah Damar Wiranata tampak pucat mungkin penyakit jantungnya sebentar lagi akan kambuh. Dia jadi tidak percaya kalau sebenarnya Zanitha hanya takut di penjara, bisa jadi gadis itu juga memang ingin pergi dari keluarga Wiranata.Dari balik rindangnya pepohonan di luar pagar mansion, sesosok wanita berdiri memperhatikan jalannya pesta kecil itu. Winna, mantan istri Rafael, hadir tanpa seorang pun menyadari. Ia sengaja bersembunyi di kejauhan, cukup untuk melihat siluet keluarga bahagia itu di bawah temaram cahaya lampu taman. Jantung Winna terasa ngilu setiap kali tawa bahagia terdengar samar sampai ke telinganya. Matanya terpaku pada pemandangan di pelaminan: Rafael duduk merangkul Nayla dengan penuh kasih, dikelilingi tiga anak mereka. Jonas tampak tertawa lepas di pangkuan Rafael, Jenny bertepuk tangan riang di dekat Nayla, sementara bayi Divico tidur pulas di pelukan wanita itu. Pemandangan yang sempurna layaknya lukisan keluarga bahagia. Winna menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang menggenang. Dadanya sesak menyaksikan kedekatan Jonas dan Jenny dengan Nayla. Dari tempatnya berdiri, ia bahkan sempat mendengar samar-samar Jonas memanggil Nayla dengan sebutan “Mommy” tadi. Kat
Enam bulan berlalu sejak kelahiran Divico. Pada suatu senja yang cerah di penghujung musim panas, sebuah acara pernikahan sederhana namun khidmat digelar di taman belakang mansion keluarga Rafael.Bunga mawar putih dan lili menghiasi altar kecil di bawah lengkungan pohon ek tua, menciptakan suasana elegan nan intim.Hanya keluarga dekat dan sahabat karib yang hadir sore itu; berbeda jauh dengan pesta pernikahan pertama Rafael dahulu yang konon dihadiri ratusan tamu undangan kaum sosialita. Kali ini, segalanya ditata lebih personal. Tanpa sorotan gemerlap media, tanpa hingar-bingar kemewahan berlebihan—hanya ada kehangatan orang-orang terkasih yang tulus mendoakan.Nayla berdiri di ujung lorong taman, mengenakan gaun pengantin berpotongan sederhana berwarna gading lembut. Gaun itu berhiaskan renda halus di tepian lengan dan leher, memancarkan kesan anggun tanpa berlebihan.Rambutnya disanggul rendah dengan beberapa helai ikal menjuntai membingkai wajahnya yang ber
Beberapa minggu kemudian, Nayla akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah. Pagi itu, mentari menerobos masuk melalui jendela-jendela besar di mansion keluarga Von Rotchschild, memberikan cahaya hangat ke seluruh ruang keluarga yang megah. Suasana rumah yang dahulu terasa dingin dan sepi kini berubah ceria oleh tawa anak-anak.Di atas sofa panjang berlapis beludru, Nayla duduk dengan nyaman sambil menggendong Divico yang terlelap di pelukannya. Wajah bayi berusia sebulan itu tampak damai, jari-jemari mungilnya sesekali bergerak menggenggam udara. Nayla menatap putranya dengan penuh cinta, sesekali mengecup keningnya yang harum bayi.Di samping Nayla, Jonas dan Jenny duduk merapat, seakan tak ingin jauh dari sosok wanita yang mereka rindukan.Jonas, bocah tujuh tahun yang cerdas, menatap adik bayinya dengan mata berbinar. Sementara Jenny, si kecil berusia tiga tahun, bersandar manja pada lengan Nayla sambil memegangi ujung syal tipis yang menutupi bahu Nayla.“Aunty N
Dua minggu telah berlalu sejak malam persalinan yang nyaris merenggut nyawa Nayla. Selama itu pula Rafael nyaris tak pernah beranjak dari sisi istrinya di rumah sakit. Di kamar ICU yang dingin, ia habiskan hari-harinya dengan setia menggenggam tangan Nayla yang terkulai lemah. Setiap detik adalah penantian penuh kecemasan; setiap hembusan napas Nayla di balik ventilator menjadi harapan berharga.Keluarga Von Rotchschild datang silih berganti, berharap akan kesembuhan Nayla.Kala fajar menyingsing di hari keempat belas, sinar matahari lembut menyusup melalui celah gorden jendela.Rafael terduduk di kursi samping ranjang, kepalanya tertunduk lelah di sisi lengan Nayla. Ia tertidur dengan tangan tetap menggenggam jemari Nayla yang dingin, takut melepaskannya barang sedetik pun.Wajah tampannya tampak letih; mata cekung dengan lingkaran hitam pertanda kurang tidur dan janggut tipis yang tumbuh tak terurus.Tiba-tiba, terasa ada gerakan pelan di sela genggaman tangannya. Jemari Nayla
Nayla berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tubuh bermandikan keringat sementara itu, suara detak monitor jantung berdenting cepat seirama napasnya yang tersengal.Rasa sakit tiada terkira mencengkeram perutnya; kontraksi demi kontraksi menguras tenaganya hingga hampir habis. Jemarinya mencengkeram erat tangan Rafael yang setia di sisinya. “Aku… aku tidak kuat, Rafael…,” erang Nayla lemah, air mata menetes di sudut matanya.Rafael menunduk, mengecup kening Nayla yang basah. “Kamu pasti bisa, Sayang. Tolong bertahan… demi anak kita,” ujarnya serak menahan cemas.Hatinya bagai terperas melihat perempuan yang dicintainya terbaring kesakitan seperti itu. Ia usap rambut Nayla yang menempel di kening, berusaha menenangkan meski dadanya sendiri berdegup kencang tak keruan.Seorang dokter dan dua perawat berdiri siaga di ujung ranjang. “Baik, Nyonya Nayla, sekarang saatnya mendorong lagi. Tarik napas panjang, lalu keluarkan pelan-pelan… ayo, kami tahu Nyonya kuat,” instruksi dokter
Beberapa hari kemudian, di suatu sore cerah, keluarga kecil itu menikmati waktu santai di taman belakang mansion. Langit biru bersih terbentang, angin sepoi-sepoi membawa wangi bunga mawar dari kebun. Di atas rumput hijau yang terpangkas rapi, di bawah rindangnya pohon ara, telah digelar selimut piknik bermotif kotak-kotak.Di sanalah Zanitha duduk, memangku Mayzura yang tertidur pulas dibalut selimut tipis. Ananta duduk di sampingnya, merentangkan kaki sambil sesekali menyeruput teh hangat dari cangkir porselen. Sementara tak jauh, Ares tampak sibuk berlarian mengejar kupu-kupu, tawanya renyah mengisi keheningan sore.Sesekali Zanitha dan Ananta saling pandang sambil tersenyum melihat tingkah laku putra mereka. “Energinya tidak habis-habis,” komentar Zanitha pelan, matanya mengikuti Ares yang kini berpindah bermain dengan sebatang ranting kering yang dijadikannya pedang-pedangan.Ananta mengangguk setuju. “Seandainya kita bisa punya separuh energi Ares, mungkin kita