Mobil SUV Lexus seharga tiga koma setengah Milyar berwarna hitam itu berhenti di depan lobby gedung kantor milik Damar Wiranata.
Sesaat Zanitha ragu, khawatir sang papi tidak mempercayainya tapi dia membawa pria yang akan menikahinya jadi semestinya sang papi percaya. Dan jika dilihat dari harga mobil milik pria itu, pria bernama Ananta ini pasti kaya raya jadi tidak mungkin papi tidak memberikan restu. “Nona … kita sudah sampai.” Ryan memberitahu karena Zanitha malah melamun menatap pintu lobby. “Kamu ikut, kan?” Zanitha bertanya kepada Ananta. “Tentu saja ….” Pria itu menyahut. “Tidak mungkin aku melewatkan momen berharga ini,” sambung Ananta di dalam hati. Zanita membuka pintu mobil, dia keluar diikuti Ryan dan Ananta. Mereka bertiga menyusuri lobby, semua pegawai membungkuk penuh hormat saat mereka lewat yang tentu saja sikap hormat itu ditunjukan untuk Zanitha yang merupakan anak dari pemilik perusahaan ini. Sekretaris Damar Wiranata yang bernama Anton menyambut mereka keluar dari mejanya. Anton menatap heran ke arah Ananta dan Ryan yang dia kenali sebagai saingan perusahaan ini. “Nona Zanitha, tadi pak Damar mencari Nona tapi ponsel Nona enggak bisa dihubungi.” Anton bicara sembari menatap tajam dua pria yang berdiri di belakang Zanitha. “Tadi ada urusan sedikit dan aku lupa bawa charger, ponselku kehabisan batre.” Zanitha memberi alasan dusta. “Apa papi ada di dalam?” sambung Zanita bertanya. “Ada … baru selesai meeting dengan klien.” Anton menjawab, kerutan di alisnya masih belum hilang lantaran pertanyaan di benaknya belum terjawab. Kenapa Zanita datang bersama pesaing bisnis mereka? “Tunggu di sana, nanti aku panggil.” Zanitha bicara kepada Ananta dan Ryan sembari menunjuk ruang tunggu yang terdapat sofa set. “Tolong suruh OB buatkan mereka kopi,” pinta Zanita kepada Anton sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam ruangan sang papi. Tok … Tok … Tidak lupa Zanitha mengetuk pintu. Ceklek … Lalu membukanya dan masuk ke dalam sana setelah pintu tertutup kembali. Damar Wiranata mengangkat pandangan dari layar MacBook. “Dari mana aja kamu? Papi cariin kamu dari tadi, papi mau kenalin kamu sama klien … Kamu bangun siang, iya?” Damar Wiranata tampak kesal. “Maaf Pi, tadi Nitha ada urusan sebentar.” Zanitha tidak berani menatap sang papi, pandangannya tertuju pada ujung sepatu. Dia mulai gentar, ingin rasnya mengurungkan niat meminta restu. Damar Wiranata mengembuskan nafas panjang. “Nanti lagi kamu bilang sama Papi kalau mau telat datang ke kantor.” “Iya … Pi ….” Kalimat Zanitha menggantung, dia mengangkat pandangan setelah mengumpulkan keberaniannya. “Pi ….” Damar Wiranata melirikan matanya dari layar MacBook menunggu sang putri mengatakan sesuatu. “Nitha mau nikah,” sambungnya hati-hati. Damar Wiranata tampak mengerutkan keningnya, tidak percaya dengan apa yang barus saja dia dengar. “Umur Nitha ‘kan udah dua puluh lima tahun … pacar Nitha juga orang kaya, Papi pasti setuju.” Zanitha bicara pelan penuh kehati-hatian. “Sejak kapan kamu pacaran?” Damar Wiranata memicingkan mata. “Udah lama, Pi … tapi baru sekarang dia serius mau nikahin Nitha.” Zanitha menjawab cepat. Damar Wiranata tidak merespon, dia menatap Zanitha lekat. “Pacar Nitha ada di luar, Papi mau bicara dulu sama dia?” Zanitha ingin melimpahkan permohonan restu ini kepada Ananta saja. Menurutnya, ‘kan pria itu yang ingin menjadikannya seorang istri. “Ya udah, suruh masuk!” titah Damar Wiranata, dia penasaran juga dengan kekasih dari putrinya. Zanitha memutar badannya lalu pergi menuju pintu, dia memanggil Ananta dengan melambaikan tangannya. “Sini! Papi mau bicara.” Damar Wiranata memfokuskan tatapannya ke arah pintu, dia menunggu sosok pria yang akan menjadi calon menantunya. Saat sosok tinggi tegap itu masuk, mata Damar Wiranata seketika melebar dengan jantung berdebar kencang. “Pi … ini pacar Nitha, namanya Ananta … kami mau menikah besok, boleh ‘kan?” kata Zanitha polos. Sebuah smirk muncul di bibir Ananta dan tatapan mata penuh kepuasan. “Apa? Kamu mau menikah dengan dia?” Damar Wiranata bangkit dari kursi kebesarannya, nada suaranya terdengar tidak bersahabat. Matanya melotot dengan ekspresi gundah bercampur emosi yang kentara. “Kamu enggak tahu siapa dia?” Damar Wiranata menunjuk Ananta yang masih berdiri di tengah ruangan sedang menikmati pemandangan yang menurutnya sangat epik. Zanitha menoleh menatap Ananta. “Dia pacar Nitha.” Gadis itu menjawab polos. “Sejak kapan kalian pacaran? Apa kamu enggak tahu kalau dia Ananta Victor von Rotchchild, CEO Helvion Group di Indonesia?” bentak papi yang langkahnya sampai di depan Zanitha. “Hah?” Zanitha menoleh menatap Ananta dengan mata membulat. Pantas saja tadi Ryan mengetahui nama papinya karena ternyata mereka sudah mengetahui kalau papi adalah saingan bisnis mereka. Zanitha yang merasa dibohongi langsung mendorong pelan dada Ananta hingga mundur beberapa langkah menjauhi papi lalu punggung Ananta terdesak ke pintu. “Kenapa kamu enggak ngomong kalau kamu CEO Helvion Group?” Zanitha menahan nada suaranya, mata indah miliknya melotot menatap Ananta marah. “Nanti kamu akan kabur, dengar Zanitha … Kamu akan masuk penjara kalau kita enggak menikah,” ancam Ananta berbisik namun tatapannya tajam menuntut. Zanita menjauhkan tangannya dari dada Ananta yang berotot membuat pria itu juga melepaskan cekalannya di pergelangan kedua tangan Zanitha. “Pi … ada miss komunikasi, kami sama-sama enggak tahu … kami bertemu di aplikasi kencan dan menyembunyikan identitas kami karena satu dan lain hal … tapi, ijinkan kami menikah ya Pi.” Zanitha memohon. “Tentu saja Papi enggak akan memberi ijin!” seru Danar Wiranata tegas dan lantang. “Saya tidak akan memberikan putri saya kepada kamu, Ananta! Tidak sampai kapanpun!“ seru Damar Wiranata penuh keyakinan. “Kenapa Pi? Papi ‘kan enggak menginginkan Nitha, Nitha cuma anak haram … bukannya Papi ingin Nitha pergi jauh dari hidup Papi biar Papi enggak berantem terus sama mami Ratih? Papi enggak setuju Nitha menikah dengan Ananta karena Ananta adalah saingan bisnis Papi ‘kan? Ego Papi akan terluka kalau memberi restu, iya ‘kan?” tanya Zanitha menuntut, matanya mulai berkaca-kaca. Ananta menoleh menatap Zanitha, asal-usul gadis itu jadi dia ketahui sekarang yang ternyata anak haram. Jadi benar tentang gosip yang beredar di luar sana kalau Damar Wiranata pernah berselingkuh dengan sekertarisnya sendiri, dan mungkin Zanitha adalah anak dari sekretarisnya itu. “Kamu pikir aja, kalau kamu menikah sama dia nanti kamu bisa membocorkan rahasia perusahaan! Kamu mau menghancurkan perusahaan yang telah Papi bangun? Dasar anak enggak tahu diuntung kamu!” seru Damar Wiranata memarahi putrinya. “Nitha akan keep rahasia perusahaan, Pi … Nitha sendiri juga enggak tahu yang mana rahasia perusahan … Papi menempatkan Nitha di bagian kepegawaian … Nitha enggak tahu apapun tentang kinerja perusahaan … jadi tolong ijinkan Nitha menikah dengan Ananta, Pi.” Demi apa, Zanitha tidak mau masuk penjara. Ananta menatap Zanita curiga, usaha Zanitha patut diacungi jempol dalam meminta restu sampai wajah Damar Wiranata tampak pucat mungkin penyakit jantungnya sebentar lagi akan kambuh. Dia jadi tidak percaya kalau sebenarnya Zanitha hanya takut di penjara, bisa jadi gadis itu juga memang ingin pergi dari keluarga Wiranata.“Sekali enggak! Tetap enggak, Nitha! Papi enggak akan menikahkan kamu dengan saingan bisnis Papi!” Zanitha menoleh lagi menatap Ananta meminta pria itu setidaknya sedikit saja bicara untuk meyakinkan papi namun malah smirk yang menambah ketampanannya yang Zanitha dapatkan.Dia tidak tahu harus bagaimana lagi meyakinkan papi, dia salah perkiraan tadi—tidak tahu kalau calon suami yang dikenalkannya adalah pria yang paling sang papi benci di dunia ini.“Nitha hamil, Pi ….,” kata Zanitha yang akhirnya harus menambah dosis dustanya agar Damar Wiranata berubah pikiran.Ananta menatap takjub dengan kedua alis terangkat. Akting Zanitha sempurna sekali.Tolong siapapun, berikan Zanitha piala Oscar.“Apa?” Plak!Tanpa segan Damar Wiranata menampar Zanitha hingga gadis itu tersungkur ke samping dan terhempas ke lantai.Air mata jatuh bersamaan dengan sisi bokong Zanitha menghantam lantai berkarpet.Sedingin-dinginnya hati Ananta, pria itu refleks bergerak mendekat membantu Zanitha ba
Zanitha membereskan mejanya setelah berpamitan kepada sang bos tentang pengunduran dirinya karena alasan akan menikah. Bu Ellyn tentu tercengang mendengar berita mendadak tersebut namun apa yang bisa dia perbuat selain memberi ACC karena Zanitha adalah anak dari pemilik perusahaan ini.“Nit, pipi kamu kenapa?” tanya bu Ellyn yang menyadari terdapat memar di tulang pipi Zanitha.“Ini ulah bu Ratih lagi ya?” Bu Ellyn berbisik.Zanitha menggelengkan kepala bersama senyumnya.“Bukan, tadi kepentok pintu.” Zanitha berdusta.Bu Ellyn mengembuskan nafas panjang, hanya dia dan beberapa karyawan senior yang mengetahui asal-usul Zanitha dan perlakuan apa yang dia terima dari ibu tirinya selama ini membuat wanita paruh baya itu merasa iba.“Syukurlah kalau kamu akan menikah, kamu bisa meninggalkan mereka … semoga calon suami kamu bisa memberikan kasih sayang yang enggak pernah kamu dapatkan selama ini,” kata bu Ellyn mendoakan dengan tulus.Zanitha menghentikan aktifitasnya memasukan ba
Zanitha duduk di balkon kamarnya dengan lampu yang sengaja dia padamkan agar tidak ada tetangga yang bisa melihatnya duduk di sini dalam keadaan murung.Tapi sinar bulan masih bisa membantu membaca kartu nama Ryan yang berada dalam genggaman tangannya.Banyak yang ingin Zanitha bicarakan salah satunya tentang di mana dia akan tinggal setelah menikah?Ketika Zanitha hendak menyalin nomor ponsel Ryan dan menyimpannya di kontak, benda tersebut berdering memunculkan sederet nomor tidak di kenal.Nomor yang tertera tampak familiar lalu Zanitha menyocokannya dengan nomor ponsel Ryan di kartu nama dan ternyata sama.Zanitha langsung menggeser icon gagang telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan yang dia yakini dari sekretaris Ananta itu.“Hallo Mas Ryan?” Zanitha langsung menyahut.“Nona sudah simpan nomor saya?” tanya Ryan heran karena Zanitha mengetahui kalau dirinya yang menghubungi.“Sudah …,” jawab Zanitha agar tidak perlu menjelaskan.“Oh oke, saya menghubungi Nona ingi
Zanitha menatap dirinya di cermin, dress berwarna putih berlengan panjang dengan model rok A Line yang panjangnya sebetis telah membalut tubuhnya begitu sempurna.Rambut panjang lebat dan ikalnya dia biarkan terurai dan jepit mutiara tersemat di dekat pelipis menambah kesan mewah dan elegan.Zanitha memutar tubuh lalu mengenakan kitten heelsnya.Meraih handle koper lantas membawanya menuju lantai satu.Tidak ada satu pun keluarganya di dalam rumah, papi sudah pergi, mami ngopi cantik bersama bestie, kak Anindita dan mas Adam sudah kembali ke rumah mereka tadi pagi dan Aditya tentunya bersama papi di kantor.Para pegawai sedang beristirahat di area belakang, Zanitha tidak akan mengganggu mereka.“Ini bener-bener enggak ada yang mau nganterin aku menikah? Seenggak penting itu aku di mata mereka?” Zanitha tertawa sumbang.Dia pergi menuju pintu keluar dengan langkah tegas karena sudah memantapkan hatinya untuk pergi dari Neraka ini.Zanitha berdi
“Ini kamar Nona, kamar mandi ada di dalam dan itu dapurnya.” Ryan sedang melakukan room tour kepada Zanitha.“Jangan pindahkan barang-barang di sini dan jangan berantakin ruangan kecuali kamar kamu, terserah.” Ananta memberikan ultim.Zanitha mendengkus sebagai balasan membuat Ananta berdecak lidah kesal.“Memangnya kamu enggak mampu bayar asisten rumah tangga?” Zanitha bersarkasme.“Ada Nona, akan datang setiap hari … tapi siang juga sudah pulang hanya sampai pekerjaannya selesai, mungkin maksud tuan Ananta setelah asisten rumah tangga pulang kalau Nona lapar ingin masak maka harus mencuci piring dan peralatan masak serta merapihkan dapur kembali … juga living room harus tetap rapih seperti itu.” Jempol Ryan menunjuk living room.“Tenang aja, aku enggak bisa masak.” Zanitha menyengir lucu.“Udah waktunya makan siang nih, kita mau makan di mana?” Zanitha melirik arlojinya.Ananta menatap malas Zanitha kemudian menarik langkah menuju pintu keluar.“Nanti saya akan pesan caterin
Zanitha merasa sudah tidur terlalu lama, dari semenjak matahari masih bersinar sampai sekarang sudah kembali ke peraduannya digantikan sang rembulan.Dia bangun karena merasakan haus, entah kenapa juga udara malam ini begitu panas padahal pendingin udara bekerja maksimal.Dia keluar dari kamar menuju dapur.“Waw … udah jam sembilan.” Zanitha terkejut saat melihat jam yang tergantung di dinding.“Ananta udah pulang belum ya?” Dia celingukan sembari berbelok ke depan kamar yang dia yakini adalah kamar Ananta kemudian menempelkan telinga di daun pintu.Hening, tidak ada tanda-tanda kehidupan.“Belum pulang kali ya, dia ‘kan ambis.” Zanitha bicara sendiri lalu melanjutkan langkah ke dapur mencari air minum.Sambil menenggak segelas air, pandangannya tertuju pada kolam renang yang berwarna biru bersih.Kondominium Ananta memang mewah dilengkapi privat pool, tentu saja sekelas CEO perusahaan multinasional pasti mampu membeli kondomium seperti ini.Udara yang panas memunculkan ide b
“Zanitha!” seru Ananta dengan ekspresi berang seperti ingin mencincang Zanitha sekarang juga.Pria itu bangkit dari kursi sambil mengibas-ngibas bagian dada yang sebenarnya percuma dia lakukan.“Apa?” sahut Zanita sama lantangnya, mata gadis itu melotot dengan kepala mendongak menantang Ananta.“Apa-apaan kamu? Aku sebentar lagi harus meeting sama klien!” Ananta menggebrak meja melampiaskan rasa ingin menghajar Zanitha sekarang juga.“Kamu yang apa-apaan? Kamu ngebully aku dengan mengatai aku anak haram, pakai otak donk … aku juga punya hati, aku juga enggak minta dilahirkan … dan seharusnya kamu mikir, apa aku suka dengan status aku ini? Hiks … hiks ….” Zanitha berteriak di antara isak tangisnya.“Aku muak dibully oleh kak Anin dan kak Aditya juga mendapatkan kekerasan verbal dari mami Ratih selama dua puluh lima tahun hidupku … apa enggak bisa kamu jadi seorang pria dewasa yang lebih bijaksana dengan enggak membully aku juga? Hah?” Ananta tertohok, dia tidak mengira Zanitha
Zanitha tidak serta merta percaya apalagi jumawa saat Ryan datang untuk mewakili Ananta menyampaikan permintaan maaf.Entah apa yang sebenarnya terjadi tapi yang pasti Zanitha masih sakit hati.Dia tidak pernah baik-baik saja setiap kali ada yang mengatainya anak haram.Demi apa, luka yang Ananta torehkan melalui kata-katanya tidak semudah itu bisa sembuh.Zanitha mengusap satu buliran kristal yang jatuh dari sudut mata.Ting …Tong …Suara bel di pintu depan membuat Zanitha menoleh dengan ekspresi penuh tanya.Siapa gerangan yang bertamu?Jika itu Ryan atau Ananta, pasti mereka akan langsung masuk karena memiliki akses.Zanitha turun dari sofa yang sedari sore tempatnya bersarang lalu menyeret langkahnya menuju pintu.Ceklek.Seorang kurir berdiri di depan pintu dengan senyum profesional, menyerahkan sebuah buket bunga mawar merah yang terbungkus rapi dalam kertas putih elegan.“Nyonya Zanitha Von Rotchschild?” Kurir pria bertanya untuk memastikan.“Bukan … aku Zanitha
Keesokan harinya, Ananta berjalan di lorong mansion Sebastian dengan langkah mantap meski hati kecilnya berdegup tak menentu.Tadi saat sarapan, Klaus memberitahu kalau Sebastian memintanya datang untuk berdiskusi.Ananta masih berpikiran positif mungkin sang kakek ingin mendengar report dari pekerjaan yang dia selesaikan di Jakarta.Sesampainya di depan pintu kayu berukir ruang kerja Sebastian, Ananta mengetuk pelan. “Masuk,” terdengar suara bariton Sebastian dari dalam, tegas dan dingin.Ananta membuka pintu dan melangkah masuk. Di balik meja kerja besar, Sebastian duduk dengan punggung tegak. Raut wajahnya keras tak terbaca emosi, namun sorot matanya tajam mengunci pada cucunya.“Kakek memanggilku?” Ananta memulai dengan suara tenang sambil mendekat ke meja. Ia berusaha menjaga sikap hormat, meski firasatnya mengatakan pembicaraan ini tidak akan mudah.Sebastian menghela napas perlahan sebelum berbicara, seakan menahan amarah yang menggelegak di dada
Di dalam mobil sedan hitam yang mengantar pulang dari bandara, Ananta menggenggam kedua tangannya gelisah. Perjalanan singkat dari bandara menuju mansion terasa begitu panjang baginya karena tak sabar ingin segera bertemu Ares. Hatinya berdebar kencang membayangkan putra kecilnya.“Baru beberapa hari saja Daddy meninggalkanmu, Nak, rindu ini udah tak tertahankan,” batinnya nelangsa.Lalu terbayang olehnya sosok Zanitha. Jika ia saja merasa sesak berpisah dengan Ares dalam hitungan hari, apalagi Zanitha yang sudah berminggu-minggu tak bisa menimang buah hati mereka.Dada Ananta terasa nyeri membayangkan kerinduan dan kesedihan istrinya selama ini. Jemarinya mengepal di atas pangkuan.“Aku harus segera memperbaiki semua ini, tekadnya dalam hati. Demi Ares….” Ananta berjanji di dalam hati.Kembali ke mansion ….“Hari ini cukup bermainnya, Ares,” gumam Sebastian lembut seraya menyerahkan Ares kembali ke gendongan Nanny yang ikut mengawasi Ares . “Mommy dan daddy sangat menyayangimu
Pagi itu di sebuah meja makan yang diterangi sinar matahari pagi, Ananta dan Mathias duduk berhadapan menikmati sarapan ringan. Aroma kopi hitam dan roti panggang tersaji di antara mereka, namun pikiran Ananta melayang entah ke mana.Setelah beberapa saat hening, ia mengangkat wajah dan menatap Mathias dengan sorot mata penuh tekad sekaligus kegelisahan.“Kemarin aku sudah pergi untuk menemui Zanitha di toko bunga miliknya,” ujar Ananta pelan, memecah keheningan. Jemarinya menggenggam cangkir kopi yang sejak tadi tak tersentuh. “Tapi Zanitha… Zanitha tidak ada di sana.” Suara Ananta terdengar berat, kecewa karena harapannya bertemu sang istri pupus. “Aku meminta karyawannya untuk mengirim buket bunga mawar putih dan membelikannya es krim stroberi.”Mathias menurunkan koran yang sedari tadi dibacanya. Ia memperhatikan Ananta dengan tenang. “Es krim stroberi?” ulangnya, seakan memastikan ia mendengar dengan benar.Ananta mengangguk lirih. “Itu kesukaannya,” lanjutnya seraya tersenyu
Keesokan paginya, di dua kantor yang berbeda, dua pria terhubung dalam panggilan video. Layar datar di ruang kerja Mathias memunculkan wajah tegas Sebastian Von Rotchschild dari kantornya sendiri yang megah. Pagi baru saja menjelang, namun kedua pria itu sudah bersiap dengan urusan penting.Sorot mata Sebastian tampak dingin namun penuh kewaspadaan. Setelah membahas sepintas progres inspeksi proyek yang dilakukan Ananta kemarin, ia langsung menuju topik yang lebih personal namun tak kalah genting di benaknya. “Apakah Ananta menemui Zanitha selama di Jakarta?” tanyanya tanpa basa-basi. Suara Sebastian rendah berwibawa, menuntut kejujuran.Di sisi lain layar, Mathias duduk tegap. Pria paruh baya itu sempat melemaskan kerah batiknya sebelum menjawab. Ia tahu, Sebastian selalu menghargai keterusterangan. “Ya, Ayah,” jawab Mathias mantap. “Ananta sempat berusaha menemui Zanitha begitu dia sampai di Jakarta.”Alis tebal Sebastian berkerut tipis mendengar jawaban itu. Ada kilatan emosi en
Malam harinya, di penthouse Zanitha yang berada di puncak gedung apartemen mewah, suasana hening menyelimuti. Zanitha meringkuk di sofa ruang tengah dengan selimut menutupi tubuhnya. Tubuhnya masih lemas, bekas-bekas air mata pagi tadi tampak di sudut matanya yang sembap. Sejak petang menjelang, ia tertidur karena efek obat penurun demam, kelelahan setelah tangis semalam.Terdengar suara pintu terbuka kemudian tertutup dan langkah kaki mendekat,Di hadapannya berdiri Bella, membawa sebuah buket bunga besar nan indah, serta kantong kertas berlogo toko es krim terkenal. “Bella?” suara Zanitha serak, kaget namun lega melihat sahabatnya. “Kenapa kamu bawa bunga dan ini ice cream, tumben kamu beli ice cream.”Bella tersenyum hangat. “Ada kiriman untuk kamu, Zanitha,” ujarnya lembut sembari duduk di single sofa. Bella meletakkan buket bunga segar berwarna putih dan merah muda itu. “Bunga ini dikirim untukmu, juga es krim favoritmu. Tadi sore diantar ke toko, jadi sekalian kubawa ke sin
Pagi itu, di ruang rapat kantor Helvion Group Jakarta, Ananta memimpin inspeksi rutin proyek perluasan Pelabuhan Tanjung Mas. Dengan tenang ia duduk di ujung meja panjang, mengenakan setelan abu-abu rapi yang menegaskan wibawanya sebagai direktur. Berkas-berkas laporan tertata di depannya. Di sekelilingnya, beberapa manajer proyek dan insinyur memaparkan perkembangan terbaru proyek pelabuhan tersebut.Sinar matahari menembus jendela-jendela tinggi, menerangi ruangan dengan cahaya hangat. Ananta mendengarkan dengan saksama setiap laporan yang disampaikan. Sesekali ia mengangguk kecil, matanya tajam meneliti bagan progres di layar proyektor. “Jadi pengerukan kolam pelabuhan sudah mencapai 80%?” tanyanya memastikan, suaranya terdengar mantap namun bersahabat. Seorang manajer berseragam kemeja putih segera menjawab, “Betul, Tuan. Target kita bulan depan rampung, sesuai jadwal.”Ananta tersenyum tipis, sebuah ekspresi langka yang mengejutkan beberapa orang di ruangan itu. “Bagus. Pertaha
Sementara itu, di sudut kota yang lain, Petal Home tampak lengang dalam balutan malam. Dari luar, toko bunga kecil itu gelap tanpa penerangan etalase seperti biasanya. Hanya lampu temaram di bagian dalam yang masih menyala, memancarkan cahaya samar ke trotoar melalui celah tirai jendela.Bella baru saja tiba di depan Petal Home setelah bertemu dengan suplier. Ia merasa heran melihat pintu toko yang belum terkunci padahal hari sudah larut. Biasanya Zanitha selalu menutup tokonya tepat waktu.Dengan alis berkerut cemas, Bella mendorong pintu kaca berbingkai kayu itu. Sebuah lonceng kecil di atasnya berdenting pelan, mengumumkan kedatangannya. Begitu melangkah masuk, inderanya disambut aroma bunga mawar dan anyelir yang samar, namun tak ada senyuman ceria sahabatnya seperti biasanya.Matanya segera menangkap kekacauan kecil di dalam toko. Beberapa tangkai bunga segar tergeletak di lantai, terlepas dari wadahnya. Air dari vas yang terguling membasahi papan lantai kayu, membentuk genang
Ananta melangkah masuk ke dalam penthouse dengan wajah murung dan langkah gontai. Malam telah larut dan gemerlap lampu kota di bawah sana hanya menjadi latar belakang bisu bagi kegalauan hatinya.Di ruang tamu yang luas dengan perabot mewah dan dinding kaca, Mathias – sang ayah – tengah berdiri di dekat jendela memandangi kerlip Jakarta. Begitu mendengar pintu terbuka, lelaki tua itu menoleh. Kerutan di dahinya bertambah dalam saat ia melihat ekspresi muram sang putra semata wayang.“Kamu sampai juga akhirnya,” ujar Mathias, suaranya tenang namun sarat akan sindiran halus. “Wajahmu itu, Ananta … seperti baru saja kehilangan separuh kerajaan.”Ananta tidak segera menanggapi. Ia hanya melepaskan jasnya perlahan dan meletakkannya di sandaran sofa. Napasnya dihela panjang, seolah mencoba mengusir beban yang menghimpit dada. Namun sorot matanya tetap kosong, tenggelam dalam pikiran yang bergemuruh.Mathias mengamati gerak-gerik putranya dengan tatapan tajam bercampur prihatin. Biasanya
“Terus kamu maunya apa? Kenapa kamu harus jadi orang jahat dalam hidup aku? Kenapa?” Zanitha meraung pelan.“Kamu sendiri yang mengusirku dari rumahmu, Ananta. Kamu yang menyuruhku pergi!”Ananta tersentak. Ucapan Zanitha menohok tepat di jantungnya. Ia ingat hari itu dengan jelas, hari terkelam dalam hidup mereka berdua. “Zanitha…” ujar Ananta, suaranya goyah, tapi Zanitha langsung menyela.“Sejak hari itu,” lanjut Zanitha dengan mata berkilat duka. “Di mataku pernikahan kita sudah berakhir. Kamu menceraikanku secara tidak langsung saat kamu mengusirku waktu itu.” Kalimat tersebut diucapkannya dengan getir dan linangan air mata kian deras mengalir di pipinya. Cepat-cepat Zanitha menyekanya, seakan enggan tampak lemah.Ananta merasakan dadanya remuk mendengar kata-kata istrinya. “Berakhir? Enggak, kita belum bercerai, Zanitha,” elaknya pelan, mencoba mendekat. “Secara hukum, kamu masih istriku.”Zanitha tertawa pendek, namun itu bukan tawa bahagia—melainkan tawa pahit penuh kekec