“Jadi begini Nona … eee, siapa nama Nona? Kita kenalan dulu.” Ryan mengulurkan tangannya melewati meja yang memisahkan dia dengan Zanitha.
“Zanitha,” jawab Zanitha melirih. “Saya Ryan … sekretaris tuan Ananta.” Mereka berdua bersalaman. “Tuan Ananta seharusnya menikah hari ini … seluruh keluarganya mengetahui hal tersebut tapi ternyata calon istrinya meninggal karena kecelakaan dan Nona juga terlibat ….” Ryan menjeda kalimatnya. “Aku enggak bermaksud membunuhnya, aku enggak sengaja nabrak dia… dia datang entah dari mana, sumpah! Aku enggak pernah berniat membunuh perempuan itu.” Zanitha keukeuh mempertahankan pendapatnya. Kejadiannya begitu cepat, bahkan awalnya dia tidak tahu kalau telah menghilangkan nyawa seseorang. “Tapi kenyataannya Nona yang menabrak nona Erina dan menyembabkannya meninggal dunia.” Ryan memberikan fakta. Zanitha menangkup wajahnya menggunakan kedua tangan dan mulai menangis. Kedua kakinya bergetar hebat karena trauma yang masih melingkupinya. Hanya ada mereka berdua saja di ruangan seluas tiga kali tiga meter yang Zanitha yakini kalau ruangan ini adalah ruangan introgasi karena ada satu meja dengan empat kursi dan kaca besar yang sepertinya hanya bisa dilihat dari luar ke dalam tapi tidak sebaliknya. “Tuan Ananta enggak akan melakukan tuntutan dan akan membantu membebaskan Nona dari hukuman tapi dengan satu syarat, Nona harus menggantikan nona Erina menjadi pengantin tuan Ananta dan melahirkan seorang anak laki-laki … setelah itu, kalian bisa bercerai, Nona akan mendapatkan tunjangan yang sangat besar.” Ryan memberikan penawaran. Tangis Zanita seketika berhenti, dia menatap Ryan lamat-lamat lalu menggigit kukunya, bergerak gelisah di tempat duduknya, Zanitha tidak bisa berpikir jernih. Sungguh bukan tawaran yang menguntungkannya karena dia harus menikah dengan pria dingin yang terlihat sadis meski tampan tapi tidak dia cintai hanya untuk melahirkan seorang anak. Memangnya hamil itu tidak merepotkan? Kakak perempuannya saja setelah melahirkan, badannya tidak bisa kembali seksi seperti dulu. Tapi Zanitha tidak mau masuk penjara, dia juga tidak berani menghubungi papinya karena pasti sang mami yang merupakan mami tiri akan langsung mengambil tindakan dengan justru menjebloskannya ke penjara. Nasib menjadi anak haram dari hubungan gelap bos dengan sekretaris membuat Zanitha dibenci oleh mami dan kedua kakaknya. “Apa tunjangannya besar? Apa aku bisa membangun sebuah perusahaan dari tunjangan itu?” Zanitha bertanya agar dia bisa merencanakan hidupnya setelah bercerai dengan Ananta, jika dia menerima tawaran tersebut. “Bisa jadi.” Ryan cari aman, tidak ingin berjanji. “Lalu bagaimana kalau aku melahirkan anak perempuan?” Zanitha bertanya. “Maka Nona harus hamil lagi sampai yang lahir adalah anak laki-laki.” Ryan sedang menggoda Zanitha. “Hah! Gila aja!” seru Zanitha bergidig ngeri. Ryan tertawa. “Tenang saja, di Swiss ada dokter kandungan yang bisa memberikan kepastian kalau janin yang dikandung akan lahir berjenis kelamin laki-laki melalui program-programnya.” Zanitha mendengkus sebal sembari merotasi bola matanya. “Gimana? Apa Nona tertarik dengan tawaran tuan Ananta atau mau menghubungi pengacara Nona?” tanya Ryan setengah mengancam. Zanitha mengembuskan nafas berat menatap satu lembar kertas yang disodorkan Ryan. Di sana tertulis kesepakatan kalau dia sebagai pihak kedua setuju menikah kontrak dengan pihak pertama yaitu Ananta sampai melahirkan anak laki-laki dengan kompensasi bernominal besar ditulis menggunakan mata uang Franc Swiss. Kalkulator di otak Zanitha langsung menghitung cepat berapa jumlah dalam rupiah yang bisa dia dapatkan. Zanitha bisa membangun perusahaan baru dan keluar dari rumah Wiranata kalau perlu menanggalkan nama Wiranata karena dia sendiri merasa tidak pernah diterima di keluarga itu. Tapi Zanitha tidak berpikir kalau akan mudah menjalani pernikahan kontrak dengan Ananta dan memberikan anaknya begitu saja yang sudah dia kandung selama sembilan bulan kepada pria itu kemudian melenggang santai keluar dari Pengadilan Negri sambil menenteng surat cerai. Zanita meraih pulpen yang ada di atas kertas kemudian menandatangi di kolom pihak kedua yang bermaterai. Ryan tersenyum lebar. “Kalau begitu, mari sekarang kita pergi ke kantor pak Damar untuk meminta restu beliau.” “Hah? Kok sekarang? Nanti aja, pas makan malam aku bicara sama papi … besok aku kabarin.” Zanitha tentu saja menolak. Dia belum sadar kenapa Ryan mengetahui nama papinya. “Nanti Nona bisa kabur, sebaiknya sekarang saja karena besok Nona dan tuan Ananta harus menikah.” Ryan bangkit dari kursi sembari membawa berkas yang sudah Zanitha tandatangani. “Enggak akan kabur, mau kabur ke mana coba? Aku bahkan enggak punya tabungan … semua kemewahan ini punya papi.” Zanita mencoba meyakinkan. “Enggak bisa Nona … Nona sudah menandatangani surat kesepakatan ini dan mulai sekarang Nona harus mengikuti perintah tuan Ananta.” Ryan mengingatkan. “Hah? Mana ada di dalam surat kesepakatan klausul itu?” Zanita mendebat tidak terima. “Ada Nona.” Ryan membuka map berisi surat kesepakatan lalu menunjuk sudut kertas dengan tulisan yang amat sangat kecil. “Ya mana kebaca? Masnya mau nipu ya?” Zanitha menghardik. “Terserah, semua saya kembalikan sama Nona … pak polisi juga sudah menunggu di depan pintu ini.” Ryan memberi pilihan disertai ancaman. Zanitha mengembuskan nafas berat. “Ya udah lah ….” Bahu Zanita melorot, dia tidak memiliki pilihan. Semoga saja papinya tidak mempersulit rencananya ini karena yang Zanitha tahu kalau sang papi juga tidak menyayanginya. Papi Damar terpaksa merawatnya karena ibu kandung Zanitha meninggal saat melahirkan. Tanpa Zanitha ketahui kalau di balik kaca besar sana, Ananta tersenyum smirk membayangkan Damar Arif Wiranata syok karena sang putri akan meminta restu untuk menikah dengannya. *** Zanitha celingukan saat keluar dari ruangan introgasi. “Ayo Nona, hari hampir sore.” Ryan menoleh ke belakang. “Pada ke mana Polisinya?” Dia bertanya dengan tatapan memindai ke seluruh lorong. “Nona ingin bertemu Polisi?” Ryan balik bertanya. “Eng … enggak! Ayo kita pergi dari sini!” Zanitha tidak ingin berurusan dengan Polisi. Meski dia merasa tidak bersalah tapi bukti menunjukkan kalau dia yang menabrak calon istri Ananta. Di depan lobby gedung kantor Polisi, sebuah mobil mewah telah menunggu. Ryan langsung membuka pintunya untuk Zanitha. Gadis itu masuk lalu menghempaskan bokongnya di kursi kabin belakang. Matanya membulat saat menoleh ke samping karena Ananta sedang menatapnya sinis. Zanitha tidak mengira pria itu ikut satu mobil dengannya tapi lalu dia tersadar kalau mobil yang ditumpanginya ini mungkin mobil Ananta sedangkan mobil miliknya tadi disita polisi untuk dijadikan barang bukti. Zanitha mengalihkan pandangan ke depan, pura-pura santai sembari menyandarkan punggungnya. “Papi seharusnya meeting sama klien hari ini, semoga aja saat kita sampai nanti meetingnya udah selesai.” Zanitha memberitahu Ryan dan Ananta. Ryan yang duduk di depan menyerongkan posisi duduknya agar pandangannya bisa menjangkau Zanitha di kabin belakang. “Nanti, apa yang akan Nona katakan kepada papi Nona?” Ryan sedang mencari tahu rencana Zanitha. “Minta restu mau nikah dengan bilang kalau dia pacar aku.” Zanitha menjawab polos Terdengar dengkusan Ananta yang sedang membayangkan Damar tidak akan memberi restu dan malah syok. Tapi dia sudah mengikat Zanitha, gadis itu pasti akan melakukan segala cara untuk mendapat restu. Ananta benar-benar tidak sabar ingin melihat Damar hancur meski hanya perasaannya saja.Mobil SUV Lexus seharga tiga koma setengah Milyar berwarna hitam itu berhenti di depan lobby gedung kantor milik Damar Wiranata.Sesaat Zanitha ragu, khawatir sang papi tidak mempercayainya tapi dia membawa pria yang akan menikahinya jadi semestinya sang papi percaya.Dan jika dilihat dari harga mobil milik pria itu, pria bernama Ananta ini pasti kaya raya jadi tidak mungkin papi tidak memberikan restu.“Nona … kita sudah sampai.” Ryan memberitahu karena Zanitha malah melamun menatap pintu lobby.“Kamu ikut, kan?” Zanitha bertanya kepada Ananta.“Tentu saja ….” Pria itu menyahut. “Tidak mungkin aku melewatkan momen berharga ini,” sambung Ananta di dalam hati.Zanita membuka pintu mobil, dia keluar diikuti Ryan dan Ananta.Mereka bertiga menyusuri lobby, semua pegawai membungkuk penuh hormat saat mereka lewat yang tentu saja sikap hormat itu ditunjukan untuk Zanitha yang merupakan anak dari pemilik perusahaan ini.Sekretaris Damar Wiranata yang bernama Anton menyambut mereka ke
“Sekali enggak! Tetap enggak, Nitha! Papi enggak akan menikahkan kamu dengan saingan bisnis Papi!” Zanitha menoleh lagi menatap Ananta meminta pria itu setidaknya sedikit saja bicara untuk meyakinkan papi namun malah smirk yang menambah ketampanannya yang Zanitha dapatkan.Dia tidak tahu harus bagaimana lagi meyakinkan papi, dia salah perkiraan tadi—tidak tahu kalau calon suami yang dikenalkannya adalah pria yang paling sang papi benci di dunia ini.“Nitha hamil, Pi ….,” kata Zanitha yang akhirnya harus menambah dosis dustanya agar Damar Wiranata berubah pikiran.Ananta menatap takjub dengan kedua alis terangkat. Akting Zanitha sempurna sekali.Tolong siapapun, berikan Zanitha piala Oscar.“Apa?” Plak!Tanpa segan Damar Wiranata menampar Zanitha hingga gadis itu tersungkur ke samping dan terhempas ke lantai.Air mata jatuh bersamaan dengan sisi bokong Zanitha menghantam lantai berkarpet.Sedingin-dinginnya hati Ananta, pria itu refleks bergerak mendekat membantu Zanitha ba
Zanitha membereskan mejanya setelah berpamitan kepada sang bos tentang pengunduran dirinya karena alasan akan menikah. Bu Ellyn tentu tercengang mendengar berita mendadak tersebut namun apa yang bisa dia perbuat selain memberi ACC karena Zanitha adalah anak dari pemilik perusahaan ini.“Nit, pipi kamu kenapa?” tanya bu Ellyn yang menyadari terdapat memar di tulang pipi Zanitha.“Ini ulah bu Ratih lagi ya?” Bu Ellyn berbisik.Zanitha menggelengkan kepala bersama senyumnya.“Bukan, tadi kepentok pintu.” Zanitha berdusta.Bu Ellyn mengembuskan nafas panjang, hanya dia dan beberapa karyawan senior yang mengetahui asal-usul Zanitha dan perlakuan apa yang dia terima dari ibu tirinya selama ini membuat wanita paruh baya itu merasa iba.“Syukurlah kalau kamu akan menikah, kamu bisa meninggalkan mereka … semoga calon suami kamu bisa memberikan kasih sayang yang enggak pernah kamu dapatkan selama ini,” kata bu Ellyn mendoakan dengan tulus.Zanitha menghentikan aktifitasnya memasukan ba
Zanitha duduk di balkon kamarnya dengan lampu yang sengaja dia padamkan agar tidak ada tetangga yang bisa melihatnya duduk di sini dalam keadaan murung.Tapi sinar bulan masih bisa membantu membaca kartu nama Ryan yang berada dalam genggaman tangannya.Banyak yang ingin Zanitha bicarakan salah satunya tentang di mana dia akan tinggal setelah menikah?Ketika Zanitha hendak menyalin nomor ponsel Ryan dan menyimpannya di kontak, benda tersebut berdering memunculkan sederet nomor tidak di kenal.Nomor yang tertera tampak familiar lalu Zanitha menyocokannya dengan nomor ponsel Ryan di kartu nama dan ternyata sama.Zanitha langsung menggeser icon gagang telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan yang dia yakini dari sekretaris Ananta itu.“Hallo Mas Ryan?” Zanitha langsung menyahut.“Nona sudah simpan nomor saya?” tanya Ryan heran karena Zanitha mengetahui kalau dirinya yang menghubungi.“Sudah …,” jawab Zanitha agar tidak perlu menjelaskan.“Oh oke, saya menghubungi Nona ingi
Zanitha menatap dirinya di cermin, dress berwarna putih berlengan panjang dengan model rok A Line yang panjangnya sebetis telah membalut tubuhnya begitu sempurna.Rambut panjang lebat dan ikalnya dia biarkan terurai dan jepit mutiara tersemat di dekat pelipis menambah kesan mewah dan elegan.Zanitha memutar tubuh lalu mengenakan kitten heelsnya.Meraih handle koper lantas membawanya menuju lantai satu.Tidak ada satu pun keluarganya di dalam rumah, papi sudah pergi, mami ngopi cantik bersama bestie, kak Anindita dan mas Adam sudah kembali ke rumah mereka tadi pagi dan Aditya tentunya bersama papi di kantor.Para pegawai sedang beristirahat di area belakang, Zanitha tidak akan mengganggu mereka.“Ini bener-bener enggak ada yang mau nganterin aku menikah? Seenggak penting itu aku di mata mereka?” Zanitha tertawa sumbang.Dia pergi menuju pintu keluar dengan langkah tegas karena sudah memantapkan hatinya untuk pergi dari Neraka ini.Zanitha berdi
“Ini kamar Nona, kamar mandi ada di dalam dan itu dapurnya.” Ryan sedang melakukan room tour kepada Zanitha.“Jangan pindahkan barang-barang di sini dan jangan berantakin ruangan kecuali kamar kamu, terserah.” Ananta memberikan ultim.Zanitha mendengkus sebagai balasan membuat Ananta berdecak lidah kesal.“Memangnya kamu enggak mampu bayar asisten rumah tangga?” Zanitha bersarkasme.“Ada Nona, akan datang setiap hari … tapi siang juga sudah pulang hanya sampai pekerjaannya selesai, mungkin maksud tuan Ananta setelah asisten rumah tangga pulang kalau Nona lapar ingin masak maka harus mencuci piring dan peralatan masak serta merapihkan dapur kembali … juga living room harus tetap rapih seperti itu.” Jempol Ryan menunjuk living room.“Tenang aja, aku enggak bisa masak.” Zanitha menyengir lucu.“Udah waktunya makan siang nih, kita mau makan di mana?” Zanitha melirik arlojinya.Ananta menatap malas Zanitha kemudian menarik langkah menuju pintu keluar.“Nanti saya akan pesan caterin
Zanitha merasa sudah tidur terlalu lama, dari semenjak matahari masih bersinar sampai sekarang sudah kembali ke peraduannya digantikan sang rembulan.Dia bangun karena merasakan haus, entah kenapa juga udara malam ini begitu panas padahal pendingin udara bekerja maksimal.Dia keluar dari kamar menuju dapur.“Waw … udah jam sembilan.” Zanitha terkejut saat melihat jam yang tergantung di dinding.“Ananta udah pulang belum ya?” Dia celingukan sembari berbelok ke depan kamar yang dia yakini adalah kamar Ananta kemudian menempelkan telinga di daun pintu.Hening, tidak ada tanda-tanda kehidupan.“Belum pulang kali ya, dia ‘kan ambis.” Zanitha bicara sendiri lalu melanjutkan langkah ke dapur mencari air minum.Sambil menenggak segelas air, pandangannya tertuju pada kolam renang yang berwarna biru bersih.Kondominium Ananta memang mewah dilengkapi privat pool, tentu saja sekelas CEO perusahaan multinasional pasti mampu membeli kondomium seperti ini.Udara yang panas memunculkan ide b
“Zanitha!” seru Ananta dengan ekspresi berang seperti ingin mencincang Zanitha sekarang juga.Pria itu bangkit dari kursi sambil mengibas-ngibas bagian dada yang sebenarnya percuma dia lakukan.“Apa?” sahut Zanita sama lantangnya, mata gadis itu melotot dengan kepala mendongak menantang Ananta.“Apa-apaan kamu? Aku sebentar lagi harus meeting sama klien!” Ananta menggebrak meja melampiaskan rasa ingin menghajar Zanitha sekarang juga.“Kamu yang apa-apaan? Kamu ngebully aku dengan mengatai aku anak haram, pakai otak donk … aku juga punya hati, aku juga enggak minta dilahirkan … dan seharusnya kamu mikir, apa aku suka dengan status aku ini? Hiks … hiks ….” Zanitha berteriak di antara isak tangisnya.“Aku muak dibully oleh kak Anin dan kak Aditya juga mendapatkan kekerasan verbal dari mami Ratih selama dua puluh lima tahun hidupku … apa enggak bisa kamu jadi seorang pria dewasa yang lebih bijaksana dengan enggak membully aku juga? Hah?” Ananta tertohok, dia tidak mengira Zanitha
Zanitha melangkah keluar dari restoran dengan wajah tertunduk dan napas pendek-pendek. Matanya memerah. Kata-kata Aditya masih terngiang. Pandangan hampa sang papi saat mami Ratih menghina dan keheningan yang menyayat hati dari seorang papi yang bahkan tak berusaha menahannya.Satria berjalan setengah langkah di belakangnya. Tak berkata apa-apa. Tak bertanya.Sampai mereka tiba di pelataran parkir.“Kamu diantar driver?” Satria bertanya.“Enggak ….” Zanitha menggeleng tapi tatapannya seperti orang linglung.Satria menuntun Zanitha ke mobilnya. Mesin mobil menyala, keheningan menggantung sebab Satria tak langsung melaju. Ia hanya duduk diam, membiarkan Zanitha meresapi semua rasa yang tak bisa langsung dikeluarkan dengan kata.Zanitha menatap lurus ke depan, air mata mulai jatuh satu per satu tanpa suara.Satria tetap diam. Ia tidak menyentuh, tidak menenangkan dengan tangan—ia hanya hadir, menunggu. Menyediakan ruang yang luas agar luka itu bisa bernapas.Butuh hampir lima men
Siang itu, udara Jakarta terasa gerah. Namun buket bunga yang digenggam Zanitha tetap harum dan segar.Di dalam mobil, ia menatap bayangannya sendiri di jendela. Bibirnya mengatup kencang, namun matanya menyimpan harap. Di antara kelopak bunga lili putih dan eustoma ungu, terselip kartu kecil bertuliskan:“Selamat ulang tahun, Papi. Semoga sehat selalu. Dari Zanitha.”Sesampainya di depan lobby, Zanitha turun. Sekuriti menyambutnya dengan ramah. “Selama siang Bu.” Seorang resepsionis menyapanya.“Aku Zanitha … anaknya papi Damar, papi ada?” Zanitha bertanya.“Ada … sebentar ya, saya hubungi pak Anton dulu.”Pak Anton adalah sekretaris papinya dan melihat kantor ini sudah memiliki resepsionis juga banyak karyawan yang berlalu lalang di loby membawa berkas menandakan kalau perusahaan sang papi telah berhasil bangkit menggunakan uang kompensasi dari pernikahan kontraknya dengan Ananta yang sang papi pinjam beberapa bulan lalu.Zanitha ikut senang meski dalam hati bertanya kenapa
Pagi di Petal Home berjalan seperti biasa. Aroma bunga lili dan mawar memenuhi udara, musik instrumental mengalun lembut dari speaker di sudut ruangan. Zanitha berdiri di balik meja kasir, mengecek ulang invoice pengiriman buket untuk pelanggan langganan.Pintu toko terbuka, memunculkan suara bel kecil yang berdenting lembut. Zanitha menoleh dan mendapati sosok pria dengan kemeja biru muda motif garis-garis dan senyum ramah yang familiar.“Satria,” sapanya pelan, sedikit terkejut.Satria melangkah masuk dengan tenang. “Hai,” balasnya ringan. “Maaf datang mendadak. Aku lagi lewat sini trus ingat kamu jadi mampir.” “Aku kira kamu marah… karena kejadian waktu itu.”Satria tertawa kecil. “Kalau aku marah setiap kali ada pria posesif datang memelototiku, aku enggak akan punya teman.”Zanitha tersipu. “Aku benar-benar minta maaf soal tempo hari. Aku enggak tahu kalau Ananta akan datang… dan kamu malah harus menghadapi—”Satria mengangkat tangan, memotong lembut. “Nitha, aku tahu sia
Tiga hari setelah pengumuman itu, mansion berubah drastis. Para paman dan bibi Ananta yang dulu menatapnya dengan iri kini bersikap ramah dan penuh senyum.Banyak di antara mereka mengundang makan malam, mengirim hadiah simbolik, bahkan menawarkan koneksi bisnis seperti yang dilakukan istri dari Leonardo.Yang paling mengejutkan datang dari Simon—adik bungsu Mathias-ayahnya Ananta yang dulu dikucilkan dari keluarga karena kelakuan putra bungsunya-Elias yang menculik Zanitha dan nyaris melenyapkan nyawanya.Pria tua itu datang sendiri ke kantor pusat Helvion dengan setelan yang terlalu sederhana untuk standar keluarga mereka.Ananta menemuinya di ruang kerja.“Aku tidak datang untuk menjilat atau meminta kekayaan,” ujar Simon langsung. “Aku datang karena aku sadar… kamu membawa perubahan. Dan aku ingin jadi bagian dari Helvion Group lagi. Tak lebih.”Ananta mengamati wajah pamannya yang dulu begitu ia hindari. Ada ketulusan di sana.“Aku tidak akan memberi Paman jabatan hanya ka
Malam itu, lorong rumah sakit tampak lebih lengang dari biasanya. Lampu-lampu neon memantul di lantai putih yang dingin, menciptakan kesan sepi dan sunyi.Di depan ruang ICU tempat Sebastian Von Rotchschild dirawat, tiga orang duduk berjajar di deretan kursi tunggu: Ananta, Rafael dan Winna. Mereka duduk dalam diam, masing-masing dengan pikirannya sendiri, namun tatapan mereka sama—terarah ke pintu berwarna putih di depan mereka. Pintu yang sejak siang belum terbuka lagi dengan kabar apapun.Ananta duduk tegak dengan tangan bersilang di dada, wajahnya tenang namun jelas menunjukkan kekhawatiran.Rafael tampak gelisah, setelah mondar-mandir kecil tadi dan kini akhirnya duduk kembali. Sementara Winna-istri Rafael, menopang dagunya menggunakan tangan, sesekali melirik suaminya, lalu ke arah Ananta dan kembali menunduk.Beberapa menit yang panjang terlewat hanya dengan suara alat ventilasi dari ujung lorong. Tiba-tiba Rafael bersuara, nada suaranya ringan namun terdengar sumbang di te
Pagi itu di mansion Von Rotchschild, layar televisi yang terpasang di ruang kerja Sebastian menampilkan berita internasional dari kanal ekonomi dan kriminalitas.Latar belakang pembicara berisi foto-foto keluarga Von Rotchschild, berganti-ganti: Leonardo Von Rotchschild yang masih mendekam di tahanan Indonesia karena kasus pembunuhan seorang gadis bernama Erina, Elias Von Rotchschild yang telah resmi dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan Swiss karena penculikan Zanitha.Padahal hubungannya dengan Ananta yang memanas karena sang cucu kebanggaannya itu tidak mau menceraikan Zanitha yang merupakan anak dari musuh keluarga Von Rotchschild sudah sangat membebani pikiran Sebastian. Jari Sebastian mengetuk-ngetuk meja. Dada tuanya terasa sesak. Ia menatap layar dengan rahang mengatup.Heinz yang berdiri di belakangnya langsung meraih remote untuk mematikan televisi.Sunyi seketika menyelimuti ruangan. Sebastian bersandar di kursinya dengan Heinz kembali berdiri di belakang, mengawasi
Keesokan harinya, Ananta berjalan di lorong mansion Sebastian dengan langkah mantap meski hati kecilnya berdegup tak menentu.Tadi saat sarapan, Klaus memberitahu kalau Sebastian memintanya datang untuk berdiskusi.Ananta masih berpikiran positif mungkin sang kakek ingin mendengar report dari pekerjaan yang dia selesaikan di Jakarta.Sesampainya di depan pintu kayu berukir ruang kerja Sebastian, Ananta mengetuk pelan. “Masuk,” terdengar suara bariton Sebastian dari dalam, tegas dan dingin.Ananta membuka pintu dan melangkah masuk. Di balik meja kerja besar, Sebastian duduk dengan punggung tegak. Raut wajahnya keras tak terbaca emosi, namun sorot matanya tajam mengunci pada cucunya.“Kakek memanggilku?” Ananta memulai dengan suara tenang sambil mendekat ke meja. Ia berusaha menjaga sikap hormat, meski firasatnya mengatakan pembicaraan ini tidak akan mudah.Sebastian menghela napas perlahan sebelum berbicara, seakan menahan amarah yang menggelegak di dada
Di dalam mobil sedan hitam yang mengantar pulang dari bandara, Ananta menggenggam kedua tangannya gelisah. Perjalanan singkat dari bandara menuju mansion terasa begitu panjang baginya karena tak sabar ingin segera bertemu Ares. Hatinya berdebar kencang membayangkan putra kecilnya.“Baru beberapa hari saja Daddy meninggalkanmu, Nak, rindu ini udah tak tertahankan,” batinnya nelangsa.Lalu terbayang olehnya sosok Zanitha. Jika ia saja merasa sesak berpisah dengan Ares dalam hitungan hari, apalagi Zanitha yang sudah berminggu-minggu tak bisa menimang buah hati mereka.Dada Ananta terasa nyeri membayangkan kerinduan dan kesedihan istrinya selama ini. Jemarinya mengepal di atas pangkuan.“Aku harus segera memperbaiki semua ini, tekadnya dalam hati. Demi Ares….” Ananta berjanji di dalam hati.Kembali ke mansion ….“Hari ini cukup bermainnya, Ares,” gumam Sebastian lembut seraya menyerahkan Ares kembali ke gendongan Nanny yang ikut mengawasi Ares . “Mommy dan daddy sangat menyayangimu
Pagi itu di sebuah meja makan yang diterangi sinar matahari pagi, Ananta dan Mathias duduk berhadapan menikmati sarapan ringan. Aroma kopi hitam dan roti panggang tersaji di antara mereka, namun pikiran Ananta melayang entah ke mana.Setelah beberapa saat hening, ia mengangkat wajah dan menatap Mathias dengan sorot mata penuh tekad sekaligus kegelisahan.“Kemarin aku sudah pergi untuk menemui Zanitha di toko bunga miliknya,” ujar Ananta pelan, memecah keheningan. Jemarinya menggenggam cangkir kopi yang sejak tadi tak tersentuh. “Tapi Zanitha… Zanitha tidak ada di sana.” Suara Ananta terdengar berat, kecewa karena harapannya bertemu sang istri pupus. “Aku meminta karyawannya untuk mengirim buket bunga mawar putih dan membelikannya es krim stroberi.”Mathias menurunkan koran yang sedari tadi dibacanya. Ia memperhatikan Ananta dengan tenang. “Es krim stroberi?” ulangnya, seakan memastikan ia mendengar dengan benar.Ananta mengangguk lirih. “Itu kesukaannya,” lanjutnya seraya tersenyu