“Jadi begini Nona … eee, siapa nama Nona? Kita kenalan dulu.” Ryan mengulurkan tangannya melewati meja yang memisahkan dia dengan Zanitha.
“Zanitha,” jawab Zanitha melirih. “Saya Ryan … sekretaris tuan Ananta.” Mereka berdua bersalaman. “Tuan Ananta seharusnya menikah hari ini … seluruh keluarganya mengetahui hal tersebut tapi ternyata calon istrinya meninggal karena kecelakaan dan Nona juga terlibat ….” Ryan menjeda kalimatnya. “Aku enggak bermaksud membunuhnya, aku enggak sengaja nabrak dia… dia datang entah dari mana, sumpah! Aku enggak pernah berniat membunuh perempuan itu.” Zanitha keukeuh mempertahankan pendapatnya. Kejadiannya begitu cepat, bahkan awalnya dia tidak tahu kalau telah menghilangkan nyawa seseorang. “Tapi kenyataannya Nona yang menabrak nona Erina dan menyembabkannya meninggal dunia.” Ryan memberikan fakta. Zanitha menangkup wajahnya menggunakan kedua tangan dan mulai menangis. Kedua kakinya bergetar hebat karena trauma yang masih melingkupinya. Hanya ada mereka berdua saja di ruangan seluas tiga kali tiga meter yang Zanitha yakini kalau ruangan ini adalah ruangan introgasi karena ada satu meja dengan empat kursi dan kaca besar yang sepertinya hanya bisa dilihat dari luar ke dalam tapi tidak sebaliknya. “Tuan Ananta enggak akan melakukan tuntutan dan akan membantu membebaskan Nona dari hukuman tapi dengan satu syarat, Nona harus menggantikan nona Erina menjadi pengantin tuan Ananta dan melahirkan seorang anak laki-laki … setelah itu, kalian bisa bercerai, Nona akan mendapatkan tunjangan yang sangat besar.” Ryan memberikan penawaran. Tangis Zanita seketika berhenti, dia menatap Ryan lamat-lamat lalu menggigit kukunya, bergerak gelisah di tempat duduknya, Zanitha tidak bisa berpikir jernih. Sungguh bukan tawaran yang menguntungkannya karena dia harus menikah dengan pria dingin yang terlihat sadis meski tampan tapi tidak dia cintai hanya untuk melahirkan seorang anak. Memangnya hamil itu tidak merepotkan? Kakak perempuannya saja setelah melahirkan, badannya tidak bisa kembali seksi seperti dulu. Tapi Zanitha tidak mau masuk penjara, dia juga tidak berani menghubungi papinya karena pasti sang mami yang merupakan mami tiri akan langsung mengambil tindakan dengan justru menjebloskannya ke penjara. Nasib menjadi anak haram dari hubungan gelap bos dengan sekretaris membuat Zanitha dibenci oleh mami dan kedua kakaknya. “Apa tunjangannya besar? Apa aku bisa membangun sebuah perusahaan dari tunjangan itu?” Zanitha bertanya agar dia bisa merencanakan hidupnya setelah bercerai dengan Ananta, jika dia menerima tawaran tersebut. “Bisa jadi.” Ryan cari aman, tidak ingin berjanji. “Lalu bagaimana kalau aku melahirkan anak perempuan?” Zanitha bertanya. “Maka Nona harus hamil lagi sampai yang lahir adalah anak laki-laki.” Ryan sedang menggoda Zanitha. “Hah! Gila aja!” seru Zanitha bergidig ngeri. Ryan tertawa. “Tenang saja, di Swiss ada dokter kandungan yang bisa memberikan kepastian kalau janin yang dikandung akan lahir berjenis kelamin laki-laki melalui program-programnya.” Zanitha mendengkus sebal sembari merotasi bola matanya. “Gimana? Apa Nona tertarik dengan tawaran tuan Ananta atau mau menghubungi pengacara Nona?” tanya Ryan setengah mengancam. Zanitha mengembuskan nafas berat menatap satu lembar kertas yang disodorkan Ryan. Di sana tertulis kesepakatan kalau dia sebagai pihak kedua setuju menikah kontrak dengan pihak pertama yaitu Ananta sampai melahirkan anak laki-laki dengan kompensasi bernominal besar ditulis menggunakan mata uang Franc Swiss. Kalkulator di otak Zanitha langsung menghitung cepat berapa jumlah dalam rupiah yang bisa dia dapatkan. Zanitha bisa membangun perusahaan baru dan keluar dari rumah Wiranata kalau perlu menanggalkan nama Wiranata karena dia sendiri merasa tidak pernah diterima di keluarga itu. Tapi Zanitha tidak berpikir kalau akan mudah menjalani pernikahan kontrak dengan Ananta dan memberikan anaknya begitu saja yang sudah dia kandung selama sembilan bulan kepada pria itu kemudian melenggang santai keluar dari Pengadilan Negri sambil menenteng surat cerai. Zanita meraih pulpen yang ada di atas kertas kemudian menandatangi di kolom pihak kedua yang bermaterai. Ryan tersenyum lebar. “Kalau begitu, mari sekarang kita pergi ke kantor pak Damar untuk meminta restu beliau.” “Hah? Kok sekarang? Nanti aja, pas makan malam aku bicara sama papi … besok aku kabarin.” Zanitha tentu saja menolak. Dia belum sadar kenapa Ryan mengetahui nama papinya. “Nanti Nona bisa kabur, sebaiknya sekarang saja karena besok Nona dan tuan Ananta harus menikah.” Ryan bangkit dari kursi sembari membawa berkas yang sudah Zanitha tandatangani. “Enggak akan kabur, mau kabur ke mana coba? Aku bahkan enggak punya tabungan … semua kemewahan ini punya papi.” Zanita mencoba meyakinkan. “Enggak bisa Nona … Nona sudah menandatangani surat kesepakatan ini dan mulai sekarang Nona harus mengikuti perintah tuan Ananta.” Ryan mengingatkan. “Hah? Mana ada di dalam surat kesepakatan klausul itu?” Zanita mendebat tidak terima. “Ada Nona.” Ryan membuka map berisi surat kesepakatan lalu menunjuk sudut kertas dengan tulisan yang amat sangat kecil. “Ya mana kebaca? Masnya mau nipu ya?” Zanitha menghardik. “Terserah, semua saya kembalikan sama Nona … pak polisi juga sudah menunggu di depan pintu ini.” Ryan memberi pilihan disertai ancaman. Zanitha mengembuskan nafas berat. “Ya udah lah ….” Bahu Zanita melorot, dia tidak memiliki pilihan. Semoga saja papinya tidak mempersulit rencananya ini karena yang Zanitha tahu kalau sang papi juga tidak menyayanginya. Papi Damar terpaksa merawatnya karena ibu kandung Zanitha meninggal saat melahirkan. Tanpa Zanitha ketahui kalau di balik kaca besar sana, Ananta tersenyum smirk membayangkan Damar Arif Wiranata syok karena sang putri akan meminta restu untuk menikah dengannya. *** Zanitha celingukan saat keluar dari ruangan introgasi. “Ayo Nona, hari hampir sore.” Ryan menoleh ke belakang. “Pada ke mana Polisinya?” Dia bertanya dengan tatapan memindai ke seluruh lorong. “Nona ingin bertemu Polisi?” Ryan balik bertanya. “Eng … enggak! Ayo kita pergi dari sini!” Zanitha tidak ingin berurusan dengan Polisi. Meski dia merasa tidak bersalah tapi bukti menunjukkan kalau dia yang menabrak calon istri Ananta. Di depan lobby gedung kantor Polisi, sebuah mobil mewah telah menunggu. Ryan langsung membuka pintunya untuk Zanitha. Gadis itu masuk lalu menghempaskan bokongnya di kursi kabin belakang. Matanya membulat saat menoleh ke samping karena Ananta sedang menatapnya sinis. Zanitha tidak mengira pria itu ikut satu mobil dengannya tapi lalu dia tersadar kalau mobil yang ditumpanginya ini mungkin mobil Ananta sedangkan mobil miliknya tadi disita polisi untuk dijadikan barang bukti. Zanitha mengalihkan pandangan ke depan, pura-pura santai sembari menyandarkan punggungnya. “Papi seharusnya meeting sama klien hari ini, semoga aja saat kita sampai nanti meetingnya udah selesai.” Zanitha memberitahu Ryan dan Ananta. Ryan yang duduk di depan menyerongkan posisi duduknya agar pandangannya bisa menjangkau Zanitha di kabin belakang. “Nanti, apa yang akan Nona katakan kepada papi Nona?” Ryan sedang mencari tahu rencana Zanitha. “Minta restu mau nikah dengan bilang kalau dia pacar aku.” Zanitha menjawab polos Terdengar dengkusan Ananta yang sedang membayangkan Damar tidak akan memberi restu dan malah syok. Tapi dia sudah mengikat Zanitha, gadis itu pasti akan melakukan segala cara untuk mendapat restu. Ananta benar-benar tidak sabar ingin melihat Damar hancur meski hanya perasaannya saja.Dari balik rindangnya pepohonan di luar pagar mansion, sesosok wanita berdiri memperhatikan jalannya pesta kecil itu. Winna, mantan istri Rafael, hadir tanpa seorang pun menyadari. Ia sengaja bersembunyi di kejauhan, cukup untuk melihat siluet keluarga bahagia itu di bawah temaram cahaya lampu taman. Jantung Winna terasa ngilu setiap kali tawa bahagia terdengar samar sampai ke telinganya. Matanya terpaku pada pemandangan di pelaminan: Rafael duduk merangkul Nayla dengan penuh kasih, dikelilingi tiga anak mereka. Jonas tampak tertawa lepas di pangkuan Rafael, Jenny bertepuk tangan riang di dekat Nayla, sementara bayi Divico tidur pulas di pelukan wanita itu. Pemandangan yang sempurna layaknya lukisan keluarga bahagia. Winna menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang menggenang. Dadanya sesak menyaksikan kedekatan Jonas dan Jenny dengan Nayla. Dari tempatnya berdiri, ia bahkan sempat mendengar samar-samar Jonas memanggil Nayla dengan sebutan “Mommy” tadi. Kat
Enam bulan berlalu sejak kelahiran Divico. Pada suatu senja yang cerah di penghujung musim panas, sebuah acara pernikahan sederhana namun khidmat digelar di taman belakang mansion keluarga Rafael.Bunga mawar putih dan lili menghiasi altar kecil di bawah lengkungan pohon ek tua, menciptakan suasana elegan nan intim.Hanya keluarga dekat dan sahabat karib yang hadir sore itu; berbeda jauh dengan pesta pernikahan pertama Rafael dahulu yang konon dihadiri ratusan tamu undangan kaum sosialita. Kali ini, segalanya ditata lebih personal. Tanpa sorotan gemerlap media, tanpa hingar-bingar kemewahan berlebihan—hanya ada kehangatan orang-orang terkasih yang tulus mendoakan.Nayla berdiri di ujung lorong taman, mengenakan gaun pengantin berpotongan sederhana berwarna gading lembut. Gaun itu berhiaskan renda halus di tepian lengan dan leher, memancarkan kesan anggun tanpa berlebihan.Rambutnya disanggul rendah dengan beberapa helai ikal menjuntai membingkai wajahnya yang ber
Beberapa minggu kemudian, Nayla akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah. Pagi itu, mentari menerobos masuk melalui jendela-jendela besar di mansion keluarga Von Rotchschild, memberikan cahaya hangat ke seluruh ruang keluarga yang megah. Suasana rumah yang dahulu terasa dingin dan sepi kini berubah ceria oleh tawa anak-anak.Di atas sofa panjang berlapis beludru, Nayla duduk dengan nyaman sambil menggendong Divico yang terlelap di pelukannya. Wajah bayi berusia sebulan itu tampak damai, jari-jemari mungilnya sesekali bergerak menggenggam udara. Nayla menatap putranya dengan penuh cinta, sesekali mengecup keningnya yang harum bayi.Di samping Nayla, Jonas dan Jenny duduk merapat, seakan tak ingin jauh dari sosok wanita yang mereka rindukan.Jonas, bocah tujuh tahun yang cerdas, menatap adik bayinya dengan mata berbinar. Sementara Jenny, si kecil berusia tiga tahun, bersandar manja pada lengan Nayla sambil memegangi ujung syal tipis yang menutupi bahu Nayla.“Aunty N
Dua minggu telah berlalu sejak malam persalinan yang nyaris merenggut nyawa Nayla. Selama itu pula Rafael nyaris tak pernah beranjak dari sisi istrinya di rumah sakit. Di kamar ICU yang dingin, ia habiskan hari-harinya dengan setia menggenggam tangan Nayla yang terkulai lemah. Setiap detik adalah penantian penuh kecemasan; setiap hembusan napas Nayla di balik ventilator menjadi harapan berharga.Keluarga Von Rotchschild datang silih berganti, berharap akan kesembuhan Nayla.Kala fajar menyingsing di hari keempat belas, sinar matahari lembut menyusup melalui celah gorden jendela.Rafael terduduk di kursi samping ranjang, kepalanya tertunduk lelah di sisi lengan Nayla. Ia tertidur dengan tangan tetap menggenggam jemari Nayla yang dingin, takut melepaskannya barang sedetik pun.Wajah tampannya tampak letih; mata cekung dengan lingkaran hitam pertanda kurang tidur dan janggut tipis yang tumbuh tak terurus.Tiba-tiba, terasa ada gerakan pelan di sela genggaman tangannya. Jemari Nayla
Nayla berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tubuh bermandikan keringat sementara itu, suara detak monitor jantung berdenting cepat seirama napasnya yang tersengal.Rasa sakit tiada terkira mencengkeram perutnya; kontraksi demi kontraksi menguras tenaganya hingga hampir habis. Jemarinya mencengkeram erat tangan Rafael yang setia di sisinya. “Aku… aku tidak kuat, Rafael…,” erang Nayla lemah, air mata menetes di sudut matanya.Rafael menunduk, mengecup kening Nayla yang basah. “Kamu pasti bisa, Sayang. Tolong bertahan… demi anak kita,” ujarnya serak menahan cemas.Hatinya bagai terperas melihat perempuan yang dicintainya terbaring kesakitan seperti itu. Ia usap rambut Nayla yang menempel di kening, berusaha menenangkan meski dadanya sendiri berdegup kencang tak keruan.Seorang dokter dan dua perawat berdiri siaga di ujung ranjang. “Baik, Nyonya Nayla, sekarang saatnya mendorong lagi. Tarik napas panjang, lalu keluarkan pelan-pelan… ayo, kami tahu Nyonya kuat,” instruksi dokter
Beberapa hari kemudian, di suatu sore cerah, keluarga kecil itu menikmati waktu santai di taman belakang mansion. Langit biru bersih terbentang, angin sepoi-sepoi membawa wangi bunga mawar dari kebun. Di atas rumput hijau yang terpangkas rapi, di bawah rindangnya pohon ara, telah digelar selimut piknik bermotif kotak-kotak.Di sanalah Zanitha duduk, memangku Mayzura yang tertidur pulas dibalut selimut tipis. Ananta duduk di sampingnya, merentangkan kaki sambil sesekali menyeruput teh hangat dari cangkir porselen. Sementara tak jauh, Ares tampak sibuk berlarian mengejar kupu-kupu, tawanya renyah mengisi keheningan sore.Sesekali Zanitha dan Ananta saling pandang sambil tersenyum melihat tingkah laku putra mereka. “Energinya tidak habis-habis,” komentar Zanitha pelan, matanya mengikuti Ares yang kini berpindah bermain dengan sebatang ranting kering yang dijadikannya pedang-pedangan.Ananta mengangguk setuju. “Seandainya kita bisa punya separuh energi Ares, mungkin kita