Ruang aula pernikahan Dewa Kematian itu kini tampak luar biasa megah-sebuah keindahan yang ‘tak akan pernah terlihat di dunia atas. Langit-langitnya membentuk lengkungan raksasa, dihiasi batu-batu bercahaya biru tua, menyerupai bintang yang membeku di kegelapan. Dinding-dinding aula dipenuhi sulur-sulur perak hidup yang menjalar perlahan, membentuk pola rumit, layaknya akar yang mengikuti lagu roh.
Di tengah aula megah itu, berdiri altar besar dari batu bulan, memancarkan cahaya putih selembut embun terakhir sebelum pagi. Di belakangnya Yama berdiri Yama, Dewa Kematian, anak bungsu dari dewa Batara Jayasena dan Batari Ningrum, penguasa penjuru dunia. Ia tegak dan ‘tak tergoyahkan, bagai bayangan kokoh yang ‘tak bisa dihancurkan.
Yama mengenakan jubah yang belum pernah dikenakannya-begitu agung, begitu luar biasa memancarkan aura kuasa sekaligus kematian. Kain hitam berkilau mengalir di tubuhnya, dihiasi sulur ungu dan benang emas yang tampak hidup. Satu tatapan darinya cukup untuk membuat dunia diam.
Sedangkan Melati, ia mengenakan gaun abu-abu perak, seperti kabut fajar yang menggantung di antara dunia hidup dan mati. Kainnya jatuh lembut, mengalir seperti bayangan yang enggan hilang, menyelimuti tubuhnya dalam keheningan yang memikat. Helaian tipis menutupi bahunya, dihiasi benang-benang kelas yang membentuk bunga mekar.
Di pinggangnya melingkar pita hitam dari sutra, simpulnnya menggantung di sisi kiri, sebuah tanda bahwa ia datang bukan dengan keinginan penuh, melainkan dengan beban yang ia tanggung. Namun langkahnya tetap tegak walaupun ia tampak jauh dari pengantin pada umumnya.
Yama mengangguk pelan, memberi isyarat agar Melati mendekat. Dan saat iru, suara nyanyian lembut para peri kecil terdengar dari sisi aula, mengiringi langkah pengantin perempuan itu memasuki ruang pernikahan.
Ia berjalan sendiri, tanpa pendamping, menahan gemetar dalam dadanya pada setiap mata yang memandang dari sisi kiri dan kanan, pada makhluk-makhluk berbentuk aneh yang beberapa pernah ia temui saat menyusuri istana bersama Raksaya waktu lalu.
Jalan menuju altar dilapisi karpet abu-abu pucat, bertabur kelopak mawar hitam. Namun saat Melati menyentuhnya, kelopak-kelopak itu perlahan berubah merah, seakan menyerap denyut kehidupan dari langkahnya. Jejak merah itu membentuk jalur baru-bukan sebagai tanda kepasrahan, tetapi sebagai kehidupan yang menantang kematian.
Di hadapannya, Batara Yama, Dewa Kematian, sang penguasa dunia kelam berdiri dengan tubuh menjulang dan mata sekeras batu obsidian, mata yang ‘tak pernah lepas dari Melati. Hari ini, dia akan mengikat takdir mereka. Tidak hanya sebagai suami-istri, tetapi sebagai dua jiwa yang saling membelenggu selamanya.
“Ucapkan sumpahmu,” bisik Yama, suaranya serak dan dalam, seperti bara yang menyala pelan di kegelapan.
Melati menatapnya. Mata cokelatnya ‘tak lagi jernih, buram, retak, dan membara oleh luka yang belum sempat sembuh. Ada awan kelabu dalam pandangannya, jelas saja tampak bahwa keterpaksaan memaksa pengantin perempuan melaksanakan pernikahan ini. Perlahan Ia membuka mulutnya, dan dari sana keluar suara rendah, sendu, mengalir seperti air mata yang sedang ditahannya.
Namun sebelum kata-kata itu terucap, bayangan lain menyelas, menyelinap begitu cepat dalam benaknuya, raut wajah kecewa Wirya. Dada Melati mencengkeram seketika. Bukan oleh rasa cinta yang belum mati, tapi oleh rasa bersalah yang terus hidup.
Lalu ia kembali menatap Yama. Tatapannya kini lebih dingin, lebih tajam, namun masih menyala. Luka di dadanya belumsembuh, tapi justru dari luka itulah keberaniannya lahir.
Dengan napas yang teratur namun gemertar, ia berkata, “Jika tubuhku telah menjadi milikmu, maka biarlah jiwaku terus mengutukmu... dalam diam, dalam napasku, dalam setiap hela yang kau pikir milikmu.”
“Aku bisa menghancurkan dunia... hanya karena kau menunduk pada pria lain,” Ucap Yama tenang, terlalu tenang. Seperti langit sebelum badai. Tapi di balik suara itu, tersembunyi kekuatan yang sanggup menggetarkan bumi.Melati membeku.Jantungnya berdebar kencang, seolah hendak meledak dari dadanya. Kata-kata itu bukan sekadar ancaman. Itu adalah dakwaan. Tegas. Pasti.Yama tahu.Suaminya tahu.Tahu tentang pertemuannya dengan Wirya.Wirya... satu-satunya lelaki yang pernah ia cintai dengan hati, jiwa dan semua yang ia miliki.“Hanya jika kau ingin Desamu yang menanggungnya,” ucap Yama sembari tersenyum. Senyum yang ‘tak pernah dilihat oleh siapapun.Melati mengerutkan dahinya bingung. Jadi... suaminya tahu atau tidak?Yama mendorong Melati dengan lembut, terbaring di tengah kasur lembut milik Yama. “Izinkan aku menyentuh dirimu malam ini, Melati,” ucap Yama terengah, menahan dambaan yang telah bergumul di dalam dirinya sekian lama.melati menunduk. Ia ingin menjauh, tapi tubuhnya diam.
Tubuhnya terasa berat.Melati mengerjapkan mata, tapi yang menyambutnya hanyalah langit-langit hitam mengilat yang memantulkan bayangan dirinya secara jelas. Ia terbaring di atas ranjang yang terbuat dari sutra, lembut oleh kapas yang mengisi bantal-bantal yang ia tindih.Melati memegang dadanya, nyeri, rasanya masih berdenyut sakit dari luka yang kini ‘tak terlihat, dari detak jantungnya yang berdetak dalam ritme baru, bukan miliknya seorang, tapi irama dua jiwa yang telah menyatu paksa.Dadanya terasa berat. Bekas luka dari ritual masih terasa nyeri. Luka yang ‘tak hanya membelah tubuhnya, tapi juga mengikat jiwanya dengan dewa kematian, Yama.Ia mengangkat tangannya perlahan, menyentuh dada itu. Ada sesuatu yang hidup di dalamnya. Detak yang sekarang bukan sepenuhnya miliknya.“Aku masih hidup...” gumamnya pelan, meski ia sendiri tidak tahu apakah itu hidup atau bentuk kehidupan yang telah dikutuk untuk kekal.Melati mencoba bangkit, tapi tubuhnya menolak. Tubuhnya miliknya, namun t
“Jika tubuhku telah menjadi milikmu, maka biarlah jiwaku terus mengutukmu... dalam diam, dalam napasku, dalam setiap hela yang kau pikir milikmu.”Yama tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak menenangkanm tapi menakutkan. Ia mendekat, jarak di antara mereka hanya setipis bayangan kemudian tangannya menyentuh tangan Melati. “Aku bersumpah... untuk memiliki tubuhmu, napasmu, hingga segala yang tertinggal setelah kehidupan.”Dengan satu gerakan cepat, Yama mengangkat tubuh Melati dan membaringkannya di atas batu altar yang menguarkan cahaya. Melati tidak menjerit. Ia sudah ‘tak kuasa memberontak, pasrah dalam takdirnya. Tapi detak jantungnya menggila. Napasnya berat. Ia bisa merasakan hawa dingin batu merambat ke punggungnya, membekukan tulangnya, seakan batu itu menyerap jiwanya sedikit demi sedikit.Yama menatap tubuhnya yang terbujur di bawah. ‘tak ada kelembutan di mata itu. Hanya kekaguman obsesif. Kepemilikan. Ia menelsuri sisi wajah Melati dengan punggung jarinya. “Sekarang, kita
Ruang aula pernikahan Dewa Kematian itu kini tampak luar biasa megah-sebuah keindahan yang ‘tak akan pernah terlihat di dunia atas. Langit-langitnya membentuk lengkungan raksasa, dihiasi batu-batu bercahaya biru tua, menyerupai bintang yang membeku di kegelapan. Dinding-dinding aula dipenuhi sulur-sulur perak hidup yang menjalar perlahan, membentuk pola rumit, layaknya akar yang mengikuti lagu roh.Di tengah aula megah itu, berdiri altar besar dari batu bulan, memancarkan cahaya putih selembut embun terakhir sebelum pagi. Di belakangnya Yama berdiri Yama, Dewa Kematian, anak bungsu dari dewa Batara Jayasena dan Batari Ningrum, penguasa penjuru dunia. Ia tegak dan ‘tak tergoyahkan, bagai bayangan kokoh yang ‘tak bisa dihancurkan.Yama mengenakan jubah yang belum pernah dikenakannya-begitu agung, begitu luar biasa memancarkan aura kuasa sekaligus kematian. Kain hitam berkilau mengalir di tubuhnya, dihiasi sulur ungu dan benang emas yang tampak hidup. Satu tatapan darinya cukup untuk mem
“Karena bagian kecil dari diriku masih ingin tahu.”Wirya mendekat, menatap Melati begitu dalam. “Kalau aku bunuh Yama... apa kau akan memelukku seperti dulu?”Melati terbelalak.“Wirya, dia itu Dewa. Dewa Wirya. Bagaimana bis-”Wirya menarik wajahnya menjauh. Sembari menahan emosi ia menjawab, “Aku tahu.” Ada rasa putus asa di sana.Melati menggeleng pelan. Tidak masuk akal. Bagaimana manusia fana sepertinya berniat membunuh dewa kematian? Penguasa ruh manusia setelah mati? Tidak. Sebelum Wirya bertindak lebih jauh lagi. Melati harus menghentikannya. “Ayo kita pulang. Kita bisa pergi ke desa... kita bisa bicara pada Ayah dan tetua. Mungkin-mungkin mereka bisa menolong. Kita bisa lepas dari sini dan kembali seperti dulu.”Wirya tertawa kecil-pahit dan hambar. “Mel, kau sungguh tidak tahu apa-apa, ya?”Melati terdiam, matanya melebar.“Aku mati... karena Ayahmu,” ucapnya perlahan. “Bukan karena takdir. Tapi karena rencana.”“Apa... maksudmu? Tadi kau bilang-” napas Melati tercekat.“Ay
Melati tidak tau apakah saat ini siang atau malam, sebab hanya ada kegelapan ‘tak berujung yang melingkupi kerajaan Batara Yama. Melalui jendela, Melati merindukan sinar matahari pagi tapi yang ia temui hanya cahaya bulan yang menerangi.Setelah merengek berlama-lama pada Batara Yama bahwa ia ingin pulang, Melati hanya diizinkan berkeliling istana untuk membunuh kebosanan.Tentu tidak sendiri, Melati ditemani makhluk yang pertama kali ia lihat selain Yama selama di kerajaan ini.Berbadan besar, tegap, dan menggunakan zirah, penampilannya seperti manusia kebanyakan, tapi matanya...terus mengeluarkan darah dari ujungnya. Melati menahan teriakan kecilnya. Takut, mengapa penampilannya sangat mengerikan?Sepertinya, lelaki berpenampilan seram yang terus menguarkan aura peperangan itu adalah kepercayaan Yama.“Di mana Batara Yama?” tanya Melati penasaran.“Baginda sedang menghadap para Dewa Tertinggi.” Jawab Raksaya sekenanya.Melati menelusuri lorong panjang yang sepi, menapaki lantai batu