Masuk“Jika tubuhku telah menjadi milikmu, maka biarlah jiwaku terus mengutukmu... dalam diam, dalam napasku, dalam setiap hela yang kau pikir milikmu.”
Yama tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak menenangkanm tapi menakutkan. Ia mendekat, jarak di antara mereka hanya setipis bayangan kemudian tangannya menyentuh tangan Melati. “Aku bersumpah... untuk memiliki tubuhmu, napasmu, hingga segala yang tertinggal setelah kehidupan.”
Dengan satu gerakan cepat, Yama mengangkat tubuh Melati dan membaringkannya di atas batu altar yang menguarkan cahaya. Melati tidak menjerit. Ia sudah ‘tak kuasa memberontak, pasrah dalam takdirnya. Tapi detak jantungnya menggila. Napasnya berat. Ia bisa merasakan hawa dingin batu merambat ke punggungnya, membekukan tulangnya, seakan batu itu menyerap jiwanya sedikit demi sedikit.
Yama menatap tubuhnya yang terbujur di bawah. ‘tak ada kelembutan di mata itu. Hanya kekaguman obsesif. Kepemilikan. Ia menelsuri sisi wajah Melati dengan punggung jarinya. “Sekarang, kita akan bertaut. Dalam luka. Dalam kutuk. Dalam keabadian.”
Tanpa ragu, Yama mengangkat tangannya. Dari telapak tangannya tumbuh sebilah belati hitam. Ia menatap Melati sejenak, mencari ketakutan di matanya. Tapi yang ia temukan adalah kebencian yang terbalut dalam ketenangan.
Dan itu membuatnya makn tergila-gila.
Dengan satu gerakan terlatih, Yama membelah dada Melati. Dada Melati terbuka, jantungnya berdenyut lemah dalam rongga berdarah. Napasnya memburu. Tapi Yama menatapnya seperti melihat lukisan paling indah dalam kekosongan abadi.
“Sakit... aku-sepertinya aku akan mati.”
Yama menunduk, menatap dalam ke mata Melati lalu berbisik di telinganya, “Kematian bukan akhir bagiku. Jika kau ada di dalamnya, maka aku memilihnya.”
Ia lalu berdiri, menarik napas dalam, dan membelah dadanya sendiri.
Darah hitam pekat mengalir dari tubuhnya, ‘tak ada erangan rasa ‘tak nyaman, Yama justru menikmati setiap rasa sakitnya. “Aku ingin rasa ini selamanya,” katanya lirih. “Jika menyatu denganmu harus melewati luka, maka biarkan aku robek seribu kali lagi.”
Rongga dada mereka saling mendekat. Jantung berdarah saling menyentuh, berdenyut dalam irama yang makin liar. Daging melawan daging. Nafas mereka bercampur, keringat dan darah membasahi batu. hawa panas seperti api neraka naik dari altar, menyelimuti tubuh keduanya.
Napas mereka saling menyerbu, kasar dan panas, seperti doa yang berubah menjadi desahan terlarang. Keringat dan darah membasahi batu altar, menjadi saksi pengikatan yang ‘tak bisa dibatalkan. Hawa panas menjalar dari dasar altar, seperti api neraka yang mengerti bahwa malam ini bukan tentang penghakiman, melainkan tentang kepemilikan.
Dengan gerakan mendadak, Yama menggigit lidahnya sendiri.
“Agar sumpah ini hidup,” katanya, “dan agar kau ‘tak bisa memutusnya.”
Darah hitam pekat mengalir dari mulutnya. Ia menunduk, mencium bibir Melati dan memaksanya menelan darah itu. Melati tersedak, tapi ia menelan juga. Tidak ada jalan kembali.
Yama mendekapnya lebih erat, seolah dunia akan runtuh jika ia melepaskan. Tangan besarnya menggenggam punggung Melati, menekan tubuh mungil itu agar lebih dekat, lebih dalam, lebih miliknya. Suaranya nyaris menjadi geraman saat ia berbisik di telinga Melati, “Aku menanamkan diriku di dalammu,” gumam Yama di antara ciuman berdarah itu. “Darahku akan mengalir dalam nadimu. Kau bisa membenciku, memukulku, bahkan mencoba membunuhku... tapi kau ‘takkan bisa lari.”
Lalu, ia memeluk Melati erat, erat sekali, lebih erat dari sebelumnya. Dada mereka yang terbuka tetap bersatu, seperti luka yang ‘tak bisa dijahit, seperti dosa yang ‘tak bisa ditebus.
Rongga dada yang tadinya terbuka, kini menutup perlahan sejarak dengan Yama yang perlahan melonggarkan dekapannya. Daging kembali menyatu, seolah dijahit oleh benang ‘tak kasatmata dari alam yang lebih tua dari waktu itu sendiri. ‘tak ada luka, bekasnya menguap di udara.
Cahaya ungu merambat dari dasar altar, menjalar naik membungkus tubuh mereka berdua. Warnanya pekat, berpendar seperti kabut malam yang membawa kehangatan sekaligus maut. Bukan cahaya yang menghangatkan, melainkan yang mengikat.
Yama membimbing Melati duduk anggun di atas Altar Batu Bulan. Tangannya yang dingin namun tegas meraih jemari Melati, gadis manusia yang saat ini menjadi milik penguasa dunia bawah.
Dalam keheningan yang nyaris suci, Yama menunduk, menggenggam tangan Melati erat. Dari sentuhan itu, aura hitam pekat merambat perlahan, berputar melingkari jari manisnya, menyatu, membentuk sebuah cincin gelap berkilau seperti obsidian hidup.
“Kini kau terikat, bukan pada dunia... tapi padaku,” bisik Yama dalam suara serak yang menggetarkan altar dan rongga dada Melati.
Sumpah telah diucapkan. Ritual telah selesai.
Cahaya batu bulan di altar perlahan meredup, berganti dengan nyala api biru dari lentera-lentera roh yang melayang di sekeliling aula. Suara suling panjang dari makhluk bertanduk empat menggema, menjadi penanda bahwa pengikatan suci telah selesai.
Terompet roh pun ditiup. Suaranya serak dan parau. Dari dinding aula, muncul bayangan-bayangan penjaga keraan kematian, mengangkat gelas kristasl berisi cairan merah tua, anggur yang berusa ratusan tahun.
Mereka berseru satu per satu dalam bahasa kuno:
“Untuk pengantin kegelapan, untuk ratu dunia mati, untuk sang waris takdir yang baru!”
Sosok berpakaian hitam-hitam berdiri paling belakang di antara hadirin hanya menunduk dalam-dalam, ‘tak berkata sepatah pun. Namun di balik sorot matanya yang redup, ada perasaan dendam dan amarah yang membaur menjadi satu.
Belum waktunya, mungkin sebentar lagi ia bisa mengambil Melati kembali.
Langit malam menggulung di atas Sungai Hitam, menelan cahaya yang tersisa dari senja. Airnya mengalir tenang, terlihat seperti sungai biasa. Di antara riak-riaknya, sesuatu bergerak, perlahan, goyah, tampak gontai. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun seperti pandai besi yang memukul bara.Itu Wirya.Ia tidak tahu berapa lama tenggelam, hanya tahu bahwa ia sudah kembali ke atas permukaan.Ia berjalan tertatih, keluar dari sungai yang hampir membunuhnya sekali lagi. Air menetes dari rambutnya, mengalir jatuh ke tanah, membasahi tanah yang sebelumnya kering.Udara dingin menusuk kulit, tapi buka itu yang membuat tubuhnya bergetar, melainkan sesuatu yang baru saja ia alami, fakta yang baru ia terima dari roh kecil, tentang Pusaka Arsadikara, tentang Yama, dan bagaimana langkah pertama dalam mencapai tujuannya akan ia pijak.Ia hampir putus asa dan mati, namun momen kelam kali ini memberinya informasi yang hanya diketahui roh kecil itu.“Buat Yama melanggar kodratnya...”Kodrat.Kata da
“Yama?” bisik Wirya, nyaris tidak terdengar.Roh kecil itu berhenti di depan wajahnya, matanya yang bersinar redup menatap dalam, seakan menelanjangi isi pikirannya.“Hm.” sebuah senyum samar melintas di bibirnya.“Pusaka Arsadikara berada di dalam tubuhnya. Ia menanamnya di tubuhnya sendiri agar ‘tak ada dewa lain yang menyangka pusaka itu ditempatkan di sana.”Wirya terdiam. “Di dalam... tubuhnya?” katanya akhirnya, suaranya rendah, parau, menyiratkan rasa tidak percayanya.“Kau yakin itu bukan cerita karanganmu?” Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap lurus, seolah hendak membedah kebohongan dari sorot mata lawannya. “Bagaimana aku bisa percaya padamu? Sedangkan kau bagian dari Yama?”Roh kecil itu terdiam.Mengerti mengapa roh manusia di depannya curiga padanya. Seutas senyum tipis tampak di wajahnya.“Aku tidak berbohong” bisiknya pelan, nyaris seperti gumaman yang dihembuskan angin.Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Tuanku bukan Yama. Tapi bisa juga tuanku dia”Ia tersenyu
Wirya larut dalam tenggelam.Dingin air menembus kulitnya, menyeret setiap napas yang tersisa.Dalam keheningan yang menyesakkan itu, muncul perasaan yang selama ini ia tolak, keinginan untuk menyerah. Jika ia mati lagi... rohnya akan dilempar ke Sungai Roh milik Yama.Tempat di mana ‘tak ada langit, ‘tak ada dasar, hanya arus yang ‘tak pernah berhenti.Ia akan terus dipaksa berenang tanpa mengenal waktu dan daratan. Selamanya. Tapi mungkin... apakah itu lebih baik dari apa yang sedang ia perjuangkan sekarang?Ia nyaris tertawa dalam pikirannya sendiri.Lucu. Makhluk ‘tak berdaya sepertinya, mencoba menantang Dewa Kematian.Yama, sang penguasa akhir dari segala napas yang berhembus.Namun bahkan di ambang lenyapnya kesadaran, ada sesuatu yang menolak padam dalam dirinya, amarah.Tipis, nyaris seperti sisa bara di tengah badai, tapi cukup untuk membuat jantungnya kembali berdetak.Amarah itu ‘tak kala kian membuncah saat benaknya melempar pertanyaan pada dirinya sendiri.Sampai kapa
Sungai Hitam adalah sungai yang terletak di bumi. Banyak mitologi yang lahir dari sungai ini. Konon, katanya sungai ini adalah tempat favorit mandi para dewa yang sedang turun.Terletak di kedalaman hutan dan dijaga oleh makhluk berwujud setengah ular dan setengah manusia bernama Nagagini sebelum ia ditaklukkan Dewa Kematian dan menjadi pengikutnya.Karena sifatnya yang mensucikan, bagi para dewa, terutama mereka yang bersinggungan dengan darah dan dosa, Sungai Hitam adalah tempat untuk meluruhkan jejak dunia. Saat tubuh mereka menyentuh airnya, semua emosi fana yang dimiliki manusia akan menguap perlahan, meninggalkan hanya kesadaran ilahi yang murni.Dan bagi roh seperti Wirya.Sungai ini menjadi tempat purifikasi diri dari pengaruh Yama yang sudah mencabik-cabik harga dirinya tanpa ampun.Dengan izin yang telah diberikan, Wirya dapat berendam di sungai yang tidak semua makhluk dapat menyelaminya.Luka dan aroma dupa kematian masih menguar dari tubuhnya. Matanya kian menyipit, menaha
Wirya tersungkur di tanah. Batuknya keras, menahan rasa sakit di dada dan darah di mulutnya. Setiap tarikan napas seperti disayat. Tapi lebih sakit dari luka fisik adalah kehancuran dalam dirinya.Ia menatap tangannya sendiri. Getarannya ‘tak berhenti.Bajingan, dia hampir mati dua kali.Wirya berjalanan tertatih. Setiap langkah seperti menyeret rantai ‘tak kasatmata.Nafasnya berat, tubuhnya penuh luka, tapi matanya masih menyala dengan bara dendam. Udara di sekitarnya menggigil oleh sisa kekuatan Dewa Kematian yang menempel di tubuhnya.Dengan susah payah, ia melangkah menuju istana Dewa Perang, tempat satu-satunya yang masih menerima dirinya setelah Yama melemparkannya keluar tanpa ampun.Sesampainya di istana Dewa Perang, Raksa. Wirya langsung ambruk menghadap singgasana.“Jadi benar... kau kembali dari kubangan itu dengan tangan kosong.” Wirya tidak menjawab. Ia berusaha mengatur napasnya yang hampir habis. “Kau... siapa yang membocorkan-” Raksa tersenyum miring. “Aku selalu tahu
“Jika kau ‘tak ingin membunuhku, lalu apa yang kau ingingkan dariku?”Yama berdiri. Langkahnya tenang, tapi setiap kali kakinya menyentuh lantai, gema beratnya seperti palu mengguncang tulang. Ia berhenti di depan Wirya, menatap dari atas ke bawah seperti menilai seekor binatang.“Aku ingin kau memilih,” katanya pelan.“Sama seperti setiap manusia di ambang neraka, antara kembali dan terjebak.”Wirya terdiam.Matanya menyipit, seolah berusaha memahami makna di balik kata-kata itu.Yama melanjutkan, “Aku akan membuka jalan untukmu, Wirya. Jika kau mundur sekarang, tinggalkan ambisimu, cintamu, semua kebencianmu, aku akan biarkan kau hidup menjadi Pelayan Wirya. Tapi jika kau tetap bertahan...”Ia menunduk sedikit, suaranya berubah menjadi bisikan yang menggigit.Wirya meludah darah. Itu adalah penghinaan untuk pilihan yang Yama tawarkan. Ia tersenyum miring, darah di sudut bibirnya ‘tak menghapus kesombongan di matanya. “Melati istrimu masih menyukaiku. Kau pasti tahu ketika kami hidup,







