Home / Romansa / Pengantin Dewa / Bab 5 - Meminta Restu

Share

Bab 5 - Meminta Restu

last update Last Updated: 2025-06-17 22:02:52

“Karena bagian kecil dari diriku masih ingin tahu.”

Wirya mendekat, menatap Melati begitu dalam. “Kalau aku bunuh Yama... apa kau akan memelukku seperti dulu?”

Melati terbelalak.

“Wirya, dia itu Dewa. Dewa Wirya. Bagaimana bis-”

Wirya menarik wajahnya menjauh. Sembari menahan emosi ia menjawab, “Aku tahu.” Ada rasa putus asa di sana.

Melati menggeleng pelan. Tidak masuk akal. Bagaimana manusia fana sepertinya berniat membunuh dewa kematian? Penguasa ruh manusia setelah mati? Tidak. Sebelum Wirya bertindak lebih jauh lagi. Melati harus menghentikannya. “Ayo kita pulang. Kita bisa pergi ke desa... kita bisa bicara pada Ayah dan tetua. Mungkin-mungkin mereka bisa menolong. Kita bisa lepas dari sini dan kembali seperti dulu.”

Wirya tertawa kecil-pahit dan hambar. “Mel, kau sungguh tidak tahu apa-apa, ya?”

Melati terdiam, matanya melebar.

“Aku mati... karena Ayahmu,” ucapnya perlahan. “Bukan karena takdir. Tapi karena rencana.”

“Apa... maksudmu? Tadi kau bilang-” napas Melati tercekat.

“Ayahmu tahu kau sudah dijanjikan pada Dewa Kematian. Dan aku, calon suami manusia biasa-hanya jadi penghalang.”

“Kau bohong,” Melati menggeleng kuat. “Ayah mencintaimu. Dia memberkatimu. Dia-”

“Kalau dia mencintaiku,” Wirya memotong, nadanya meninggi, gemetar oleh amarah dan luka, “Kenapa dia membunuhku?!”

Air mata membasahi pipi Melati. Ia tahu Wirya sedang kesal, tapi memfitnah Ayahnya adalah tindakan kejam. “TIDAK!” jerit Melati, suaranya menggema di kamar itu.

“Kau bohong! Ayahku ‘tak akan pernah-dia mencintaiku! Dia mencintai kita!”

Wirya memalingkan wajahnya.

Ia ‘tak tahan melihat Melati berpegang pada kebohongan.

“Mungkin,” bisiknya. “Mungkin... dia mencintaimu. Tapi bukan sebagai putri, melainkan tumbal, Melati.”

Dan sebelum Melati sempat meraih tangannya, Wirya memalingkan tubuhnya. Pergi dengan amarah yang belum tuntas. Biarlah, biar amarah ini menjadi luka penggerak untuk membalas dendam pada Yama.  

---

Langit dunia atas selalu tampak biru terang, bahkan ketika hari beranjak senja. Burung-burung langit bernyanyi dari menara kuil megah, mengelilingi taman surgawi yang dipenuhi bunga harum yang ‘tak pernah dikenal manusia. Di tengah taman itu, duduk sepasang dewa utama: Batara Jayasena, penguasa langit dan istrinya Batari Ningrum, penjaga kesuburan dan musim dan satu dewa yang tidak disukai Yama,  Batara Raksa, Dewa Perang yanglebih sering memancing masalah daripada menyelesaikannya.

Di tengah pertemuan itu, muncul sosok berbalut jubah kelam. Kehadirannya seperti tinta tumpah di atas kanvas putih-mengganggu, mencolok, dan ‘tak bisa diabaikan.

“Yama?” tanya Jayasena tanpa berdiri. Ada sedikit kegembiraan di balik suaranya saat dikunjungi oleh anak bungsunya. “Anak bungsuku akhirnya naik ke dunia atas,” sapa Jayasena dengan suara tenang, kemudian melanjutkan, “Apa yang membawamu ke sini, Yama?”

Yama berdiri tegap. Jubahnya menjuntai bagai bayangan yang ‘tak bersuara. “Aku hendak menikah.”

Keheningan turun. Jayasena melipat tangan. “Kau sudah mengambil gadismu? Apa kau mengundang kami?”

“Tidak,” jawab Yama. “Jika kau ingin datang, silakan.”

Jayasena ‘tak menanggapi, hanya menatap cawan di tangannya seolah di dalamnya lebih menarik daripada berita besar yang anak bungsunya bawa.

Yama meneruskan, “Pernikahannya akan diadakan di dunia bawah.”

Raksa mengernyit, ini adalah momen yang pas untuk satu langkah lebih dekat dengan Yama walaupun ia sudah menempatkan seseorang di sana sebagai mata-mata. “Ah, tentu. Apa lagi yang lebih cocok untuk pernikahan Dewa Kematian selain... kubangan busuk penuh tulang dan lendir? Sangat... romantis.”

“Kau tidak diundang,” balas Yama tanpa menoleh.

“Aku tetap akan datang.” ucap Raksa enteng, sembari menyilangkan kaki.

Dewi Ningrum dengan sikap anggun namun tajam seperti kelopak mawar yang menyembunyikan duri, menghentikan perdebatan kecil itu dengan tangannya, “Kalau begitu... selamat atas pernikahannya, Yama. Kapan pernikahannya?”

“Segera,” jawab Yama cepat.

“Tepatnya kapan?”

“Besok malam.”

Ningrum tertawa kecil. “Besok pagi ayah dan ibumu akan ke desa. Warga sedang mengadakan ritual kesuburan. Kami harus hadir.”

“Tidak apa, pestanya berlangsung tujuh hari. Kau bisa datang lusa.”

“Lusa juga tidak bisa,” sahut Ningrum cepat.

Yama mulai ‘tak sabar. “Hari ke lima. Atau keenam. Atau ketujuh.”

“Maaf, Yama. Tujuh hari ke depan kami akan terus berpindah dari desa ke desa.” Jawaban Ningrum seperti alasan, bahwa ia memang tidak mau pergi ke dunia bawah.

Lalu Yama bertanya, pelan namun tajam:

“Kalian setiap hari mengunjungi desa?”

“Ya,” jawab Jayasena ringan.

“Lalu kenapa... masih banyak warga yang mati kelaparan?”

Untuk sesaat, dunia atas menjadi sunyi. Pertanyaan itu menusuk seperti pisau--bukan hanya karena artinya, tapi karena datang dari darah daging sendiri.

‘Tak ada jawaban. Jayasena hanya menatap tehnya yang sudah mendingin. Ningrum menunduk sejenak, lalu tersenyum, mengakhiri pembicaraan yang ‘tak akan membawa kemana-mana. “Aku akan memberikan hadiah. Apa yang kau mau?”

“Beri aku tiga anak.”

Ningrum menoleh cepat, nyaris menjatuhkan cawannya. Jayasena menegang. Bahkam Raksa menyipitkan mata, kini benar-benar memperhatikan.

“Tiga... anak?” ulang Ningrum, nadanya berubah.

“Ya. Aku ingin pernikahan kamu dikaruniai tiga anak. Dari darah keturunan para dewa. Lelaki atau perempuan, tidak masalah. Yang kuat. Yang murni.” Yama menatap ibunya. “Biarkan mereka tumbuh di bawah langitku. Dalam kegelapanku.”

Jayasena membuka mulutnya, tapi ‘tak ada suara keluar. Raksa tertawa pendek-tak percaya apa yang baru ia dengar, kemudian menyipitkan mata.

“Lucu sekali. Seorang Dewa Kematian meminta tiga anak seolah dunia ini kekurangan penderitaan.”

Yama menoleh pelan. “Aku tidak meminta pendapatmu, Raksa.”

Raksa tertawa pendek. “Tentu saja tidak. Tapi sayangnya, aku ‘tak dibentuk untuk diam. Lagipula makhluk dari dunia bawah bicara langsung pada Batara Jayasena, pemimpin para Dewa.”

Yama mendekat, suaranya tetap datar. “Aku putra Jayasena. Kau hanya senjatanya. Ketahuilah posisimu.”

Raksa menyeringai. “Ah, tapi senjata yang membuat semua lawan tunduk. Termasuk mereka yang mati... dan masuk ke wilayahmu.”

Yama mengangkat dagu sedikit, suaranya tenang namun dalam. “Tanpa kematian, perangmu ‘tak punya makna. Tanpa aku, kau hanya laki-laki yang bermain darah.”

Perdebatan mereka semakin memanas. Aura hitam pekat dari tubuh Yama beradu dengan kilatan merah dari senjata Raksa. Langit dunia atas yang tadinya cerah tampak sedikit meredup. Suara burung-burung kuil perlahan menghilang, seperti enggan terlibat.

Tapi sebelum ketegangan berubah menjadi ledakan. Batari Ningrum mengangkat tangannya. Sebuah gerakan lembut-namun cukup untuk membuat dua dewa berhenti bersuara. Bahkan langit kembali terang, dan burung-burung kembali berkicau.

“Aku sudah cukup mendengar,” ucap Ningrum dengan suara tenang, matanya menyapu kedua lelaki di hadapannya. “Kalian berdua, cukupkan kebodohan ini.”

Raksa mengatupkan mulutnya, masih menahan amarah, tapi ia tahu-Batari Ningrum bukan sosok yang bisa diganggu gugat.

Ningrum kemudian menoleh pada Yama, suaranya berubah lembut namun mengandung kejelasan seorang ibu dewa. “Permintaanmu... akan aku kabulkan, Yama.”

Yama hanya diam. Tatapannya ‘tak berubah, namun pundaknya yang menegang sejak tadi mulai mengendur sedikit.

“Aku akan memberikan restu kesuburan untuk istrimu. Mungkin akan sulit di awal-karena Melati adalah manusia. Tubuhnya belum terbiasa dengan darah keturunan langit. Tapi jika ia kuat... tubuhnya akan menyesuaikan. Ia akan hamil. Dan kau akan mendapatkan anak-anak yang kau inginkan.”

Yama mengangguk, perlahan. Untuk pertama kalinya hari itu, matanya melembut.

“Terima kasih, Ibu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Dewa   Chapter 15-Godaan Batara Yama

    Melati tersentak. Matanya langsung terbuka lebar. Yama berdiri di tepi kolam. Tanpa sehelai kain pun. Tubuhnya tegap, bahunya lebar dan berotot, setiap gerakan memancarkan kekuatan yang alami tapi tenang, seolah dunia ini tunduk pada langkahnya sendiri. Ia melihat Melati dengan seulas senyum tipis.“Batara Yama...” Melati tercekat. Wajahnya seketika memerah. Ia segera menunduk, menenggelamkan setengah wajahnya ke dalam air, hanya menyisakan mata yang melirik gugup, lalu beringsut menjauh ke sudut kolam. Tubuhnya ditutupi air hingga dagu, seolah itu bisa menyembunyikannya dari pandangan Yama.Yama melangkah masuk ke air tanpa ragu. Gelombang hangat menyebar, dan seketika jarak mereka terasa terlalu dekat. Ia duduk santai di dalam air, menatap Melati yang wajahnya merah seperti bunga yang baru mekar.Seulas senyum tipis terbaentuk di bibirnya. “Kau malu?” tanyanya ringan, namun nadanya jelas mengejek.Wajah Melati semakin panas. Ia tidak tahu apakah air kolam yang membuatnya terasa demik

  • Pengantin Dewa   Chapter 14-Apa Aku Berdosa?

    “Kau tidak menjawab salam pagi dariku, dan malah menangis.” Suara Yama terdengar dalam, hangat, namun tersirat kekecewaan. Ia masih bersandar di sisi ranjang, mata hitamnya memandangi Melati dengan kepuasan yang dingin sekaligus hangat.“Kenapa menangis?” Yama bertanya lembut, namun ada nada yang tajam, seperti ingin menembus isi kepalanya.Melati tidak menjawab. Lidahnya kelu. Ia bahkan tidak tahu apakah ia harus merasa bahagia, takut, atau marah kepada dirinya sendiri. Yang ada hanya perasaan hampa bercampur hangat.Yama bergerak mendekat, jarinya menyentuh pipi Melati, mengusap air matanya tanpa berkata apa-apa lagi. Sentuhan itu membuat tubuh Melati merinding, antara ingin menjauh dan ingin tenggelam lebih dalam.Seorang pelayan wanita cantik berwujud setengah ular muncul di ambang pintu, menunduk tanpa menatap langsung wajah Yama. Ia dipanggil hanya dengan satu gerakan jari dari tuannya.“Antarkan dia untuk mandi,” perintahnya singkat, namun tajam.Melati menoleh, jantungnya berd

  • Pengantin Dewa   Chapter 13-Mulai Luluh

    Melati membuka matanya perlahan. Cahaya biru redup dari api lilin yang menggantung di langit-langit memantul lembut di dinding kamar, pandangannya terasa kabur, seperti dunia enggan benar-benar kembali padanya. Tubuhnya terasa lelah, namun anehnya ada rasa hangat yang menjalar di seluruh kulitnya. Malam pertama dengan Yama, suaminya, masih meninggalkan sensasi yang sulit ia jelaskan.Yama duduk di tepi ranjang, memperhatikannya dengan tatapan yang tidak pernah berubah. Tubuhnya tegap, rambut hitam panjang tergerai, dan aura kematian yang melekat membuat setiap gerakannya tampak menakutkan sekaligus menggoda. Ia menatap Melati dengan tenang, hampir hangat.“Selamat pagi, takdirku,” bisik Yama.Melati menelan ludah. Ada bagian dalam dirinya yang meleleh, yang mulai menerima atau setidaknya ingin menerima Yama. Ia menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan perasaan campur aduk yang bergelora di dalam dada.Dadanya masih terasa berat. Bekas luka dari ritual pernikahan tidak hanya menyay

  • Pengantin Dewa   Chapter 12-Pusaka Arsadikara

    Tidak ada pusaka yang ditakuti di tiga dunia kecuali Arsadikara. Sebuah pedang hitam keperakan yang seolah menyimpan cahaya bintang di dalam bilahnya. Pedang itu bukan sekadar senjata, melainkan simbol kekuasaan, darah dan kekuatan.Pusaka Arsadikara adalah satu-satunya senjata yang dapat membunuh para Dewa, bahkan Yama, Sang Penguasa Kematian. Sebuah ironi, bahwa di dunia di mana dewa-dewa bisa mengatur matahari dan musim bisa dikalahkan oleh hanya satu pedang.Arsadikara lahir bukan dalam satu malam, bukan pula dalam satu kehidupan. Ratusan tahun Raksa, Dewa Perang, mencurahkan dirinya demi menciptakan pedang itu.Pedang itu sendiri dibuat menggunakan pecahan batu yang jatuh dan terbakar saat menembus langit bumi menjadi bahan dasar dari bilahnya. Batu itu tidak bisa disentuh oleh manusia, bahkan dewa biasa pun terbakar ketika mendekatinya. Hanya Raksa, dengan tubuh yang ditempa ribuan pertempuran, yang bisa menahan panasnya.Tetapi, bahan itu saja tidak cukup. Untuk menambah kekuata

  • Pengantin Dewa   Chapter 11-Pengganggu

    Dewa Perang menelusuri istana Yama. Yama bahkan tidak repot-repot menyambut tamu dan langsung membawa Istrinya ke kamar. “Dasar Dewa mesum.” Pikir Dewa Perang. “Sangat tidak sabaran.” kepalanya geleng-geleng.Ia mencari Wirya, mata-matanya sekaligus mantan kekasih Melati, tapi tidak menemukannya. Jadi ia menyusuri istana sendiri, mencari apa yang tujuannya sendiri, kalau tidak ada pusaka itu, untuk apa juga dia turun ke istana yang menjijikan yang terletak jauh di dasar ini? Sedangkan batara Jayasena dan batari Ningrum saja selaku ayah dan ibu kandung Yama tidak mau menghadiri pesta pernikahan anak ajaibnya. Sampailah Raksa di pintu paling besar yang ia temui di Istana ini. Sungguh ia hanya mencari pusaka miliknya yang dirampas Yama, tidak berniat mengintip aktivitas intim yang dilakukan Dewa Kematian bersama istrinya. Kalau ia salah kamar, ia hanya perlu minta maaf, yang harus ia lakukan sekarang hanya mengeceknya saja. “Uhhh aku sebenarnya tidak ingin melakukan ini, tapi apa boleh b

  • Pengantin Dewa   Bab 10-Berkah Dewa Kematian

    “Kau ‘tak tahu apa yang kau lakukan padaku, Melati...” Yama berbisik lirih, suaranya berat, seperti gemuruh yang menggema di dalam dada bumi.Kemudian ciuman itu turun ke leher, dada hingga ke bagian paling intim milik Melati. “Aku ‘tak ingin kau sakit saat memelukku,” lidahnya menyusup perlahan, seperti embun dingin yang merayap di pagi buta, mengusik setiap lapisan kesadaran Melati.Tubuh Melati bergetar, seolah dua dunia saling bertabrakan di dalamnya, antara ingin mundur dan tertarik tanpa daya.Kakinya rapat, mencoba menciptakan benteng, namun sentuhan Yama ‘tak mengizinkan itu bertahan lama.Ia menahan, bukan dengan paksaan kasar, tapi dengan genggaman lembut yang ‘tak tergoyahkan, menegaskan siapa penguasa malam itu.Gelombang perasaaan bergulung, melanda tanpa ampun, memaksa Melati mengejang dalam diam, tubuhnya menuntut hal yang belum ia mengerti. Sekali lagi, nalurinya ingin menutup diri, namun kekuatan Yama membelenggu, merangkul setiap kepanikan dan keraguan yang ia coba se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status