“Karena bagian kecil dari diriku masih ingin tahu.”
Wirya mendekat, menatap Melati begitu dalam. “Kalau aku bunuh Yama... apa kau akan memelukku seperti dulu?”
Melati terbelalak.
“Wirya, dia itu Dewa. Dewa Wirya. Bagaimana bis-”
Wirya menarik wajahnya menjauh. Sembari menahan emosi ia menjawab, “Aku tahu.” Ada rasa putus asa di sana.
Melati menggeleng pelan. Tidak masuk akal. Bagaimana manusia fana sepertinya berniat membunuh dewa kematian? Penguasa ruh manusia setelah mati? Tidak. Sebelum Wirya bertindak lebih jauh lagi. Melati harus menghentikannya. “Ayo kita pulang. Kita bisa pergi ke desa... kita bisa bicara pada Ayah dan tetua. Mungkin-mungkin mereka bisa menolong. Kita bisa lepas dari sini dan kembali seperti dulu.”
Wirya tertawa kecil-pahit dan hambar. “Mel, kau sungguh tidak tahu apa-apa, ya?”
Melati terdiam, matanya melebar.
“Aku mati... karena Ayahmu,” ucapnya perlahan. “Bukan karena takdir. Tapi karena rencana.”
“Apa... maksudmu? Tadi kau bilang-” napas Melati tercekat.
“Ayahmu tahu kau sudah dijanjikan pada Dewa Kematian. Dan aku, calon suami manusia biasa-hanya jadi penghalang.”
“Kau bohong,” Melati menggeleng kuat. “Ayah mencintaimu. Dia memberkatimu. Dia-”
“Kalau dia mencintaiku,” Wirya memotong, nadanya meninggi, gemetar oleh amarah dan luka, “Kenapa dia membunuhku?!”
Air mata membasahi pipi Melati. Ia tahu Wirya sedang kesal, tapi memfitnah Ayahnya adalah tindakan kejam. “TIDAK!” jerit Melati, suaranya menggema di kamar itu.
“Kau bohong! Ayahku ‘tak akan pernah-dia mencintaiku! Dia mencintai kita!”
Wirya memalingkan wajahnya.
Ia ‘tak tahan melihat Melati berpegang pada kebohongan.
“Mungkin,” bisiknya. “Mungkin... dia mencintaimu. Tapi bukan sebagai putri, melainkan tumbal, Melati.”
Dan sebelum Melati sempat meraih tangannya, Wirya memalingkan tubuhnya. Pergi dengan amarah yang belum tuntas. Biarlah, biar amarah ini menjadi luka penggerak untuk membalas dendam pada Yama.
---
Langit dunia atas selalu tampak biru terang, bahkan ketika hari beranjak senja. Burung-burung langit bernyanyi dari menara kuil megah, mengelilingi taman surgawi yang dipenuhi bunga harum yang ‘tak pernah dikenal manusia. Di tengah taman itu, duduk sepasang dewa utama: Batara Jayasena, penguasa langit dan istrinya Batari Ningrum, penjaga kesuburan dan musim dan satu dewa yang tidak disukai Yama, Batara Raksa, Dewa Perang yanglebih sering memancing masalah daripada menyelesaikannya.
Di tengah pertemuan itu, muncul sosok berbalut jubah kelam. Kehadirannya seperti tinta tumpah di atas kanvas putih-mengganggu, mencolok, dan ‘tak bisa diabaikan.
“Yama?” tanya Jayasena tanpa berdiri. Ada sedikit kegembiraan di balik suaranya saat dikunjungi oleh anak bungsunya. “Anak bungsuku akhirnya naik ke dunia atas,” sapa Jayasena dengan suara tenang, kemudian melanjutkan, “Apa yang membawamu ke sini, Yama?”
Yama berdiri tegap. Jubahnya menjuntai bagai bayangan yang ‘tak bersuara. “Aku hendak menikah.”
Keheningan turun. Jayasena melipat tangan. “Kau sudah mengambil gadismu? Apa kau mengundang kami?”
“Tidak,” jawab Yama. “Jika kau ingin datang, silakan.”
Jayasena ‘tak menanggapi, hanya menatap cawan di tangannya seolah di dalamnya lebih menarik daripada berita besar yang anak bungsunya bawa.
Yama meneruskan, “Pernikahannya akan diadakan di dunia bawah.”
Raksa mengernyit, ini adalah momen yang pas untuk satu langkah lebih dekat dengan Yama walaupun ia sudah menempatkan seseorang di sana sebagai mata-mata. “Ah, tentu. Apa lagi yang lebih cocok untuk pernikahan Dewa Kematian selain... kubangan busuk penuh tulang dan lendir? Sangat... romantis.”
“Kau tidak diundang,” balas Yama tanpa menoleh.
“Aku tetap akan datang.” ucap Raksa enteng, sembari menyilangkan kaki.
Dewi Ningrum dengan sikap anggun namun tajam seperti kelopak mawar yang menyembunyikan duri, menghentikan perdebatan kecil itu dengan tangannya, “Kalau begitu... selamat atas pernikahannya, Yama. Kapan pernikahannya?”
“Segera,” jawab Yama cepat.
“Tepatnya kapan?”
“Besok malam.”
Ningrum tertawa kecil. “Besok pagi ayah dan ibumu akan ke desa. Warga sedang mengadakan ritual kesuburan. Kami harus hadir.”
“Tidak apa, pestanya berlangsung tujuh hari. Kau bisa datang lusa.”
“Lusa juga tidak bisa,” sahut Ningrum cepat.
Yama mulai ‘tak sabar. “Hari ke lima. Atau keenam. Atau ketujuh.”
“Maaf, Yama. Tujuh hari ke depan kami akan terus berpindah dari desa ke desa.” Jawaban Ningrum seperti alasan, bahwa ia memang tidak mau pergi ke dunia bawah.
Lalu Yama bertanya, pelan namun tajam:
“Kalian setiap hari mengunjungi desa?”
“Ya,” jawab Jayasena ringan.
“Lalu kenapa... masih banyak warga yang mati kelaparan?”
Untuk sesaat, dunia atas menjadi sunyi. Pertanyaan itu menusuk seperti pisau--bukan hanya karena artinya, tapi karena datang dari darah daging sendiri.
‘Tak ada jawaban. Jayasena hanya menatap tehnya yang sudah mendingin. Ningrum menunduk sejenak, lalu tersenyum, mengakhiri pembicaraan yang ‘tak akan membawa kemana-mana. “Aku akan memberikan hadiah. Apa yang kau mau?”
“Beri aku tiga anak.”
Ningrum menoleh cepat, nyaris menjatuhkan cawannya. Jayasena menegang. Bahkam Raksa menyipitkan mata, kini benar-benar memperhatikan.
“Tiga... anak?” ulang Ningrum, nadanya berubah.
“Ya. Aku ingin pernikahan kamu dikaruniai tiga anak. Dari darah keturunan para dewa. Lelaki atau perempuan, tidak masalah. Yang kuat. Yang murni.” Yama menatap ibunya. “Biarkan mereka tumbuh di bawah langitku. Dalam kegelapanku.”
Jayasena membuka mulutnya, tapi ‘tak ada suara keluar. Raksa tertawa pendek-tak percaya apa yang baru ia dengar, kemudian menyipitkan mata.
“Lucu sekali. Seorang Dewa Kematian meminta tiga anak seolah dunia ini kekurangan penderitaan.”
Yama menoleh pelan. “Aku tidak meminta pendapatmu, Raksa.”
Raksa tertawa pendek. “Tentu saja tidak. Tapi sayangnya, aku ‘tak dibentuk untuk diam. Lagipula makhluk dari dunia bawah bicara langsung pada Batara Jayasena, pemimpin para Dewa.”
Yama mendekat, suaranya tetap datar. “Aku putra Jayasena. Kau hanya senjatanya. Ketahuilah posisimu.”
Raksa menyeringai. “Ah, tapi senjata yang membuat semua lawan tunduk. Termasuk mereka yang mati... dan masuk ke wilayahmu.”
Yama mengangkat dagu sedikit, suaranya tenang namun dalam. “Tanpa kematian, perangmu ‘tak punya makna. Tanpa aku, kau hanya laki-laki yang bermain darah.”
Perdebatan mereka semakin memanas. Aura hitam pekat dari tubuh Yama beradu dengan kilatan merah dari senjata Raksa. Langit dunia atas yang tadinya cerah tampak sedikit meredup. Suara burung-burung kuil perlahan menghilang, seperti enggan terlibat.
Tapi sebelum ketegangan berubah menjadi ledakan. Batari Ningrum mengangkat tangannya. Sebuah gerakan lembut-namun cukup untuk membuat dua dewa berhenti bersuara. Bahkan langit kembali terang, dan burung-burung kembali berkicau.
“Aku sudah cukup mendengar,” ucap Ningrum dengan suara tenang, matanya menyapu kedua lelaki di hadapannya. “Kalian berdua, cukupkan kebodohan ini.”
Raksa mengatupkan mulutnya, masih menahan amarah, tapi ia tahu-Batari Ningrum bukan sosok yang bisa diganggu gugat.
Ningrum kemudian menoleh pada Yama, suaranya berubah lembut namun mengandung kejelasan seorang ibu dewa. “Permintaanmu... akan aku kabulkan, Yama.”
Yama hanya diam. Tatapannya ‘tak berubah, namun pundaknya yang menegang sejak tadi mulai mengendur sedikit.
“Aku akan memberikan restu kesuburan untuk istrimu. Mungkin akan sulit di awal-karena Melati adalah manusia. Tubuhnya belum terbiasa dengan darah keturunan langit. Tapi jika ia kuat... tubuhnya akan menyesuaikan. Ia akan hamil. Dan kau akan mendapatkan anak-anak yang kau inginkan.”
Yama mengangguk, perlahan. Untuk pertama kalinya hari itu, matanya melembut.
“Terima kasih, Ibu.”
“Karena bagian kecil dari diriku masih ingin tahu.”Wirya mendekat, menatap Melati begitu dalam. “Kalau aku bunuh Yama... apa kau akan memelukku seperti dulu?”Melati terbelalak.“Wirya, dia itu Dewa. Dewa Wirya. Bagaimana bis-”Wirya menarik wajahnya menjauh. Sembari menahan emosi ia menjawab, “Aku tahu.” Ada rasa putus asa di sana.Melati menggeleng pelan. Tidak masuk akal. Bagaimana manusia fana sepertinya berniat membunuh dewa kematian? Penguasa ruh manusia setelah mati? Tidak. Sebelum Wirya bertindak lebih jauh lagi. Melati harus menghentikannya. “Ayo kita pulang. Kita bisa pergi ke desa... kita bisa bicara pada Ayah dan tetua. Mungkin-mungkin mereka bisa menolong. Kita bisa lepas dari sini dan kembali seperti dulu.”Wirya tertawa kecil-pahit dan hambar. “Mel, kau sungguh tidak tahu apa-apa, ya?”Melati terdiam, matanya melebar.“Aku mati... karena Ayahmu,” ucapnya perlahan. “Bukan karena takdir. Tapi karena rencana.”“Apa... maksudmu? Tadi kau bilang-” napas Melati tercekat.“Ay
Melati tidak tau apakah saat ini siang atau malam, sebab hanya ada kegelapan ‘tak berujung yang melingkupi kerajaan Batara Yama. Melalui jendela, Melati merindukan sinar matahari pagi tapi yang ia temui hanya cahaya bulan yang menerangi.Setelah merengek berlama-lama pada Batara Yama bahwa ia ingin pulang, Melati hanya diizinkan berkeliling istana untuk membunuh kebosanan.Tentu tidak sendiri, Melati ditemani makhluk yang pertama kali ia lihat selain Yama selama di kerajaan ini.Berbadan besar, tegap, dan menggunakan zirah, penampilannya seperti manusia kebanyakan, tapi matanya...terus mengeluarkan darah dari ujungnya. Melati menahan teriakan kecilnya. Takut, mengapa penampilannya sangat mengerikan?Sepertinya, lelaki berpenampilan seram yang terus menguarkan aura peperangan itu adalah kepercayaan Yama.“Di mana Batara Yama?” tanya Melati penasaran.“Baginda sedang menghadap para Dewa Tertinggi.” Jawab Raksaya sekenanya.Melati menelusuri lorong panjang yang sepi, menapaki lantai batu
Istana itu berdiri dalam kegelapan, terbuat dari batu hitam yang sebagian besar dimakan lumut, menjulang ‘tak berujung seperti waktu yang membeku. Langit di atasnya ‘tak pernah berubah-selalu kelam, menggantungkan cahaya pucat yang ‘tak pernah menghangatkan kulit. Mendung, diselimuti awan kelabu yang ‘tak menurunkan hujan. Di sinilah Melati, dikurung sejak Batara Yama membawanya dari altar pengorbanan.Sejak saat itu, ia ‘tak pernah melihat matahari.Setiap pagi, jika waktu itu masih bisa disebut “pagi”, seorang pelayan laki-laki yang hanya sekali memperkenalkan dirinya sebagai Raksaya. Sisanya Ia hanya bertugas membawakan makanan dan keperluan Melati lainnya. Tanpa suara, tanpa menatap wajahnya. Diam, seakan manusia juga telah mati di tempat ini. Karenanya Melati ‘tak pernah melihat wajahnya.Melati memandang pintu besar yang ‘tak pernah bisa ia buka. Jari-jarinya memainkan gaun putih yang selaras dengan warna kulit tubuhnya. Ia tahu ‘tak ada yang bisa ia lakukan untuk melarikan diri
Kesadaran Melati perlahan kembali.Hal pertama yang ia rasakan adalah dingin. Dingin yang ‘tak biasa, tidak pernah ia rasakan sebelumnya dan aneh. Dingin ini menjalari tulang, menusuk perlahan dari ujung jari hingga tepat ke jantungnya.Aroma dupa yang menyengat menusuk hidung, memaksanya untuk segera bangun dari tidurnya yang lelap.Bulu mata lentik itu terbuka perlahan. Matanya membelalak, pupilnya membesar seketika mencoba mencerna kenyataan. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar asing-langit-langit terbuat dari batu hitam yang berkilau, memantulkan bayangan dirinya yang berada di atas tempat tidur asing, terbaring di atas sesuatu yang empuk-kain halus yang mungkin terbuat dari sutra.Dinding-dinding sekelilingnya tampak sunyi, namun penuh wibawa kelam. Warnanya kelabu gelap, nyaris hitam, seolah menyerap cahaya yang berani mendekat. Urat-urat samar berwarna ungu terang menjalar di permukaannya, membentuk pola ‘tak beraturan yang menyeramkan.Namun yang paling membuat Melati
Kau Telah Disumpah Menjadi Milikku-Dengan Darah, Bukan Cinta[Ia dikorbankan untuk menyelamatkan desanya. Tapi yang menantinya bukan surga, melainkan Dewa Kematian yang menginginkan anak darinya.]Jauh di pedalaman hutan berkabut, tersembunyi sebuah desa bernama Yamanira- desa yang tidak tercatat dalam peta, tidak disebut dalam sejarah, dan tidak dikunjungi oleh cahaya matahari secara utuh. Tanahnya sunyi, udaranya dingin, dan malam di sana tidak pernah benar-benar berakhir.Penduduk Desa Yamanira hidup dalam ketundukan dan ketakutan yang diwariskan turun-temurun. Seumur hidup warga Desa Yamanira mendedikasikan diri mereka untuk menyembah Dewa Yama-sang Dewa Kematian. Penguasa alam setelah manusia mati yang tidak pernah puas meski telah menelan banyak nyawa manusia.Setiap sepuluh tahun sekali, desa itu mengadakan upacara Garbha, upacara persembahan, di mana desa harus menyerahkan anak perempuan berusia dua belas tahun untuk diserahkan kepada hutan, kepada Yama, sebagai tumbal untuk m