“Al, jadi siapa yang akan mendatangi orang tua angkat Senja? Papa atau kamu?” tanya Arshaka Dewangga Romanov yang tak lain adalah ayah dari pria muda yang bernama Alarich. Pria muda nan tampan itu, menatap ke tiga pria paruh baya yang ada di hadapannya. Lantas ia menghela nafas lelah. “Apakah harus sampai menemui mereka, Pa? Kita baru saja kenal gadis itu, bagaimana jika dia hanya bermain peran? Dan semua itu hanya karangannya belaka?” Arshaka menaikkan alisnya, matanya menyipit menatap sang putra. Lantas kepalanya menggeleng tidak percaya. “Nak, meskipun kita baru mengenal gadis itu. Tapi Papa, Ayah dan Daddy langsung mencari informasi, semua data-data tentangnya. Tidak ada salahnya jika kita ingin menolong seseorang, Nak. Toh kami pun tidak mungkin akan sembarangan dalam mengambil tindakan,” ucap Arshaka bijak. “Apa yang di katakan Papa-mu benar, Nak. Melihat Senja, Ayah seolah melihat Ibu-mu dulu. Bagaimana hidupnya yang susah dan menjadi pelamp
Bab 82 - S2 - Murka Saat ini, Senja bersama dengan Namilea dan juga Alarich tengah berada di perjalanan untuk menemui orang tua angkat Senja. Kedua wanita berbeda usia itu kini duduk di kursi belakang sementara Alarich bertugas menjadi supir mereka berdua. Nandini ingin ikut menemani, tetapi Xavier memaksanya untuk ikut. Menemaninya ke acara pertemuan antar kolega di perusahaannya. Meskipun sedikit merengut, dan tidak rela, Nandini tetap mengikuti suaminya. Alarich melirik ekspresi wajah Senja, ekspresi gadis itu terlihat begitu tegang dan keringat sudah membasahi keningnya. Jujur Senja enggan menginjakkan kakinya kembali di rumah itu, terlalu banyak luka yang ia dapat. Namilea merasakan ketegangan Senja, lalu wanita paruh baya itu segera mengenggam tangan gadis itu mencoba menyalurkan ketenangan padanya. “Semua akan baik-baik saja, hmm. Jangan terlalu khawatir, ada Mama dan juga Al di sini,” ujar Namilea lembut. Akhirnya setelah menempuh perjalan
“Kami tahu siapa kalian! Dan kami sama sekali tidak takut,” ucapnya pongah. “Dia … anak sial itu silahkan pergi dari sini, tetapi serahkan dulu sertifikat rumah ini. Dia silahkan angkat kaki dari rumahku,” lanjutnya dengan sangat percaya diri. Senja terdiam, menatap nanar ibu yang sudah membersamainya selama tujuh belas tahun lamanya. Dulu, ia begitu baik dan lembut. Namun, seiring berjalannya waktu, sikap dan perilakunya berubah. Apalagi setelah kematian sang suami, semakin menjadi ulahnya. Perempuan paruh baya itu tidak segan memukul dan mencaci Senja jika pekerjaan gadis itu kurang memuaskan. Namilea pun geram, ah andai saja yang berhadapan dengan mereka adalah Melati. Tentu perempuan setengah baya itu pasti akan langsung memarahi kedua perempuan tak tahu diri itu. “Silahkan kalian ambil, aku … aku tidak memerlukan rumah ini, meski ayah menghadiahkan untukku tetapi kalian lebih berhak,” ujar Senja seraya menatap sendu pada perempuan yang sudah ia angg
Senja menatap nanar mobil yang membawa ibu dan saudara angkatnya itu. Entah apa yang akan di lakukan oleh lelaki yang bernama Alarich Dewangga Romanov itu. “Ayok, Nak. Mari kita pulang, biarkan Al menyelesaikan semuanya,” ajak Namilea. “Tapi Ma, Al tidak akan melakukan hal yang tidak-tidak, ‘kan?” tanya Senja penuh harap. Namilea meringis, ia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Sang supir menahan senyumnya kala melihat majikannya tidak bisa menjawab pertanyaan polos dari gadis di hadapannya. Pria itu tentu tahu, bagaimana sadis dan kejamnya keturunan Romanov ketika melibas habis para musuhnya. Ia salah satu saksi bagaimana Xavier ketika menghabisi nyawa musuh-musuhnya. Arshaka dia lebih suka memilih lewat jalur hukum, sedangkan Xavier ia setidaknya akan membuat musuhnya kehilangan salah satu anggota tubuhnya sebelum ia di masukkan ke dalam penjara. “Tidak, Nak. InsyaAllah Al tidak akan melakukan hal yang tidak-tidak.” Senja mengangguk meskipun ia ti
“Argh!” Satu teriakan yang melonglong itu memecah keheningan di ruang tempat penyiksaan tersebut. Alarich menatap puas lidah yang tengah ia pegang, darah bercucuran membasahi lantai. Bak lukisan yang tiada berujung, bau anyir seketika menyeruak memenuhi rongga hidung. Air mata membasahi kedua mata Anjani, ia ingin berteriak, mengumpat dan mencaci pria kejam yang tengah menatapnya dengan seringai di bibirnya. Entah apa yang tengah ia pikirkan yang pasti Anjani tidak dapat mengartikan tatàpan mata lelaki itu. “Ummh, ummh,” ujar Anjani seraya menggelengkan kepalanya. Perempuan paruh baya itu hanya bisa terdiam sambil menangis terisak, menatap nasib putrinya. Ia tidak menyangka akan terlibat dengan orang-orang kejam akibat perlakuannya pada Senja. “Maafkan kami, tolong maafkan kami. Aku akan melakukan apapun asalkan kalian memaafkan kami,” ucapnya mengiba pada Alarich. Alarich tersenyum menyeringai, “Sayangnya permintaan maaf kalian sudah tidak
Hari itu, Senja tengah melamun di depan jendela kamarnya. Rintik hujan membasahi bumi, seolah mendukung dirinya yang tengah bersedih saat ini. Senja tengah memikirkan nasib kedepannya, tidak mungkin ia masih tinggal di mansion itu meskipun kenyataannya keluarga Romanov begitu terbuka dalam menyambutnya. Para orang tua sama sekali tidak membedakan perlakuan mereka, ia pun sama diperlakukan layaknya anak kandung. Namun, tetap saja ada rasa sungkan, canggung yang dirasakan oleh Senja. “Sebaiknya aku pergi dari sini, rasanya tidak enak jika aku terus menumpang tinggal di mansion mewah ini. Aku akan mencoba keluar dan mencari tempat tinggal yang nyaman dan aman. Aku tidak enak jika harus selalu tinggal di sini,” gumam Senja. Lalu ia pun membereskan beberapa baju yang memang tidak seberapa itu. Baju lusuh bekas Anjani dulu, selalu menjadi pakaian sehari-harinya. Walaupun ada rasa sakit ketika diperlakukan berbeda, tetapi Senja mencoba menerimanya denga
Saat ini, Senja tengah berjalan tanpa arah tujuan. Ia hanya mengikuti langkah kakinya saja, entah kemana takdir dan nasib akan membawanya. Yang pasti, Senja hanya mengikuti nalurinya saja. Entah sudah berapa jam dia berjalan, peluh sudah membasahi keningnya. Sesekali ia mengelap keringat yang jatuh, Senja benar-benar pasrah. Uang yang di pegangnya pun tidak seberapa. “Semangat, Senja kamu pasti bisa. Semoga saja ada tempat yang bisa menampungku. Sakit sekali rasanya, hidup sendirian dan tiada tujuan,” lirihnya. Akhirnya setelah lama berjalan, Senja menemukan sebuah panti asuhan. Sederhana dan tidak terlalu besar. Senja menatap beberapa anak kecil yang tengah berlarian kesana kemari. Senja pun mencoba masuk, kebetulan ada seorang perempuan paruh baya yang tengah mengawasi. Senja pun membuka pagar dan masuk. “Assalamualaikum, Ibu,” ucap Senja pelan. “Waalaikumsalam, Nak. Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah
PPTX - BAB 1 Seorang pria tampan nan gagah terlihat sedang mematut diri di depan cermin. Sesekali tersungging senyum tipis di bibirnya yang seksi, senyum tak lepas dari bibirnya. Jas hitam berpadu dengan kemeja putih sangat pas di tubuhnya yang tinggi menambah ketampanan pria itu berkali-kali lipat. Laki-laki yang bernama Xavier Romanov, hari ini akan melangsungkan pernikahan. Pernikahan impiannya bersama sang kekasih hati. Sudah lama sekali ia merencanakan semua, tapi baru kali ini terlaksana. "Aku benar-benar tidak sabar," Xavier tersenyum dan mencoba untuk membuang nafasnya secara perlahan untuk menghilangkan rasa gugup yang menyerang dirinya. Pernikahan impian yang akan terjadi, meski harus melangkahi sang kakak. Pria itu tidak ingin lagi menunda, dia ingin menjadikan sang kekasih hati sebagai RATU di dalam hidupnya. Sambil menunggu yang lain siap, dia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja, mencoba untuk menghubungi sang calon is