Pengantin Kecil Tuan Xavier - Bab 8 Xavier menggila, ia membantingkan barang-barang yang ada di kamarnya. Kamar yang tadinya rapi dan bersih kini berantakan. Pecahan kaca berhamburan di mana-mana, bahkan ranjang pun tak luput dari kemarahannya. Xavier menggeram. Sungguh ia marah, bukan karena Jordhan membawa Nandini. Tapi, ia marah pada diri sendiri apalagi perkataan Nandini terngiang di telinganya. Para maid yang ada di Mansion mewah itu tidak berani menghentikan kegilaan majikannya. "Sial! Mengapa perkataan gadis itu selalu terngiang di kepalaku! Enyah kau dari kepalaku sialan!" Maki Xavier dan melemparkan sebuah vas bunga yang ada di dekat sofa meja ke arah kaca meja rias yang ada di kamarnya. Prangg Hancur sudah, semuanya tak luput dari kemarahan seorang Xavier. Sementara itu, Jordhan kini sudah berada di pelataran rumah sakit. Pria paruh baya itu langsung pergi menuju ruang gawat darurat. Ia bahkan berteriak pada perawat yang berada di sa
Pengantin Kecil Tuan Xavier - BAB 9 Jordhan masih dengan setia menunggu Nandini di periksa. Ia berjalan mondar mandir di depan pintu ruang UGD. Khawatir yang ia rasakan saat ini, sama dengan ketika ia harus kehilangan sang putri. Tentu dirinya tidak mau jika sampai itu kembali terjadi untuk yang kedua kalinya. Kematian sang putri bagaikan cambuk di dalam hidupnya. Membuat hidup pria itu menjadi sebatang kara, tapi semua itu terasa berbeda semenjak kedatangan Nandini. "Tolong bertahanlah, Nak! Pria tua ini memintamu untuk berjuang, Nak!" Lirihnya. Laki-laki itu berdoa, memohon keselamatan pada yang Maha Kuasa. Semoga ia berkenan untuk memberikan kehidupan untuk Nandini. Lama ia menunggu, hingga akhirnya dokter pun keluar. "Bagaimana dok, keadaan putri saya!" Tanyanya khawatir. Sang dokter tersenyum lembut, "Alhamdulillah keadaannya tidak semengkhawatirkan seperti tadi. Keadaan putri bapak sudah membaik, dia hanya kelelahan dan juga perutnya kos
Pengantin Kecil Tuan Xavier -Bab 10 "Ahhhh, terus lebih dalam lagi!" Suara desahan dan erangan seorang perempuan menggema di sebuah kamar temaram. Seorang pria memacu tubuhnya, di atas tubuh perempuan itu. Peluh mereka sudah bercampur, nafas mereka pun memburu. Saling mengejar kepuasan nafsu semata. "Ahh yess, seperti itu! Lebih kencang dan lebih dalam sayang," racau wanita itu. Sungguh tidak tahu malu. Mereka berdua sudah jauh dari norma yang ada. Bagi mereka berdua, sex bebas adalah hal biasa. Itu sudah lumrah terjadi. Sang pria terus memompa jagoan kecilnya di lembah sang wanita. Kepuasan terlihat dari raut muka mereka berdua. Tak seberapa lama, keduanya mengerang panjang. "Arghh!" Erang si pria. "Nikmat dan puas!" Ucapnya kemudian. Si wanita pun tersenyum dan mengangguk. Hal seperti ini lah yang ia inginkan. Tapi sayang, sang kekasih enggan memberikannya kepuasan. Hanya sebatas ciuman mana puas. Pikir wanita itu. "Ya sayang, aku pun sangat puas! Sesuatu yang tidak p
"Brengsek!" Arshaka begitu geram kala mendengar penjelasan dari salah satu bodyguard Xavier. Ia tidak menyangka jika adiknya akan berlaku seperti itu, pada perempuan yang sudah dengan rela menolongnya menggantikan posisi Meylan. Lalu Arshaka pun melangkah lebar, menghampiri Xavier yang sedang meracau. Kini pria tampan itu berdiri di hadapan adiknya. Xavier tersenyum, ia mengira jika yang berdiri di hadapannya itu adalah Nandini. "Nandini, it's that you?" Tanya Xavier sambil berdiri sempoyongan. Arshaka menahan lengan adiknya itu. Tinggi mereka hampir sama, hanya saja tubuh Xavier sedikit lebih berisi di banding Arshaka. Xavier tersenyum dan hendak mencium kakaknya sendiri. Arshaka merasa geli. Ia pun mendorong kepala Xavier dengan salah satu tangannya yang bebas. Sedang tangan sebelahnya ia gunakan untuk menahan tubuh sang adik agar tidak terjatuh. "Sialan! Ini gue Vier! Sadar woyy!" Teriak Arshaka di depan wajah Xavier. "Kenapa kamu
Seorang gadis yang terbaring di ranjang pasien baru saja siuman. Pria paruh baya yang menunggunya sejak tadi, begitu senang kala gadis cantik nan ayu itu sudah tersadar. Gadis itu tersenyum pada pria paruh baya tersebut. "Apa yang kamu rasakan, Nak? Aku akan memanggilkan dokter untuk memeriksamu!" Ujar Jordhan lalu memencet tombol yang ada di dekat brankar yang di tempati oleh Nandini. Nandini tersenyum. Ia bersyukur karena di tempatnya yang baru, masih ada orang yang baik kepadanya. Dia merasa mempunyai seorang ayah ketika Jordhan memperhatikannya. Jordhan pun merasa bersyukur dengan kedatangan Nandini di rumah majikannya. Setidaknya rasa rindu terhadap putrinya bisa sedikit terobati. Hanya saja, nasib Nandini tidak beruntung karena mendapatkan suami yang seperti Xavier. "Aku tidak apa-apa paman, jangan terlalu khawatir!" Ucap Nandini tersenyum, tak lama ia melanjutkan ucapannya. "Bagaimana aku bisa berada di sini paman? Siapa yang membawaku kemari?"
Xavier beranjak dari duduknya, berjalan dengan sedikit sempoyongan akibat minuman yang ie tenggak. Perkataan kakaknya terus terngiang di dalam otak Xavier. Ada rasa yang menelusup dalam dada ketika Arshaka berbicara seperti itu. Rasa tidak rela membiarkan Nandini bersama pria lain, meskipun pria itu adalah kakaknya sendiri. Namun, Xavier tidak bisa menjabarkan perasaannya saat ini. Dia merasa tenang kala melihat mata hazel itu menatapnya. Tapi ada rasa marah juga kala teringat dia adik dari Meylan. Perempuan yang sudah menorehkan luka yang begitu dalam di hatinya. Pria itu melangkah tegap menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu taman. Para bodyguard mengangguk kala bos mereka menghampiri. "Siapa yang sudah memberitahukan keberadaanku di sini!" Ucap Xavier dingin. Para bodyguard itu hanya terdiam dan menunduk. Mereka tidak berani walau hanya sekedar menatap bos mereka. Xavier menjelma bak seekor singa ketika ia sedang marah. Sama seperti saat ini, ia se
Pintu di buka dengan sangat kasar dan keras. Membuat orang yang di dalam ruangan berjingkat kaget. Seorang pria yang berwajah dingin tampak memasuki ruangan tempat Nandini di rawat. Jordhan langsung berdiri dari duduknya. Xavier menatap tajam pada Jordhan. Ya pria yang memasuki ruangan Nandini itu adalah Xavier. Ia mendapatkan kabar jika istrinya di rawat di rumah sakit x dan berada di ruangan VVIP. Tentu bukan hal sulit bagi seorang Xavier masuk ke dalam rumah sakit itu meski waktu besuk sudah habis. "Beraninya kau paman! Membawa gadis sialan itu ke mari!" Desis Xavier. Lalu pria itu melangkah mendekati brangkar yang di mana Nandini sedang tertidur tenang. Xavier memindai wajah itu dan berusaha menyimpannya di dalam memori otaknya. Nandini yang masih tertidur akibat pengaruh obat tidur pun tidak terganggu kala pintu di dorong dengan keras oleh Xavier. Pria itu dengan tidak berperasaan mencabut jarum yang menancap di tangan Nandini. "Tuan!" Teriak Jordhan. Ia
Tak berselang lama, Jordhan pun sampai di rumah mewah majikannya. Ia langsung berlari masuk tanpa memperdulikan para bodyguard sang Tuan. Lalu ia langsung menuju ke gudang, yang menjadi tempat tinggal Nandini. Padahal ini malam pertamanya tinggal di rumah suaminya. Tapi, ia sudah mendapatkan berbagai siksaan. Baik fisik maupun psikisnya. Jordhan khawatir, jika keadaan Nandini semakin parah. Sesampainya di sana, tampak pintu gudang itu tertutup. Tok tok tok "Nak, kamu di sana? Nak jawab paman!" Ucap Jordhan khawatir. Pria itu terus menggedor pintu gudang itu. Tidak terbuka karena memang Xavier menguncinya dari luar. Jordhan terus memanggilnya, tak ada suara. Hanya ada isak tangis yang begitu memilukan. "Nak, kamu baik-baik sajakan? Tuan muda tidak melakukan apapun padamu! Paman mohon, jawab paman, Nak!" Ucap Jordhan lemah. "A-aku b-baik-baik s-saja p-paman! J-jangan k-khawatirkan a-aku," jawab Nandini terbata dengan isak tangis yang masih terdengar. Jordhan terlihat meng