Merasa begitu nyamannya tubuh dengan aroma maskulin. Aku semakin mengeratkan pelukan yang semakin membuatku merasa nyaman dan mata seakan enggan terbuka. Suara adzan berkumandang begitu merdu ditelinga sambil menikmati kehangatan yang menyerebak di jiwa.Kicauan burung terdengar di jendela geser yang terhubung di balkon. Seperti sedang bercengkrama, bersahutan mengisi pagi dengan harmoni alam, menciptakan simfoni yang membangunkan semangat.Saat pelukan tangan seseorang semakin erat dada berdentam-dentam. Siapa yang memelukku? Seketika mataku membola saat mendapati tubuh kekar dan berurat.Tubuhku berusaha menggeliat untuk melepaskan pelukan pria ini yang cukup kencang. Oh, tidak! Apakah semaleman kami berpelukan? "Pak, sudah subuh," lirihku ditelinganya. Namun usahaku sia-sia. Ia semakin mengeratkan pelukan. Emangnya aku guling apa?"Emm ... guling kali ini kok beda. Rasanya nyaman sekali." Perkataannya membuat panas dingin, juga merinding. Aku tak kuasa berada dalam dekapannya dan
Lama-lama sikapnya kayak anak kecil saja. Memang apa sulit untuk membuka kancing bajunya sendiri? Dengan segala keterpaksaan yang ada dalam hati. Menuruti perintahnya. Membuka satu persatu kancing dengan tangan gemetar serta hati berguncang.Kemudian kegugupan yang membuncah. Pelan-pelan memasangkan ke lengan kanan dan kemudian lengan kirinya serta tanpa berani melihat sorot mata tajamnya. Hati deg-degan saat mulai mengaitkan kancing satu persatu bagian depan teratas. Aku harus mendongak dulu sebab pria ini lebih tinggi dariku. Tak sengaja mata beradu dengan sorot mata yang indah. Dengan rasa canggung yang membebat hati. Memberanikan diri memandang manik matanya serta mengaitkan tiap kancing terus menerus walau dengan tangan yang gemetar."Kamu takut pada saya? Kenapa menunduk terus?""Emmm ... tidak Pak! Saya sama sekali tidak takut pada Bapak, buat apa saya takut sama Bapak? Bapak bukan hantu," jawabku mantap.Untuk apa takut dengan suami sendiri? Walaupun aku tidak dianggap. Hanya
Seseorang pria yang telah berstatus sah jadi suamiku kini mengirim tubuhku menjauh dari hadapan Candra. Terlihat raut wajah Candra yang kebingungan karena mungkin dia curiga kenapa dosen ini menarik tanganku.Pak Kunang menarik lengan seorang tuan putri tidak berdosa sepertiku hingga rasanya mau patah. Puluhan pasang mata pun menatap tajam ke arah kami, bisikan-bisikan dari mereka yang tak bisa kudengar. Fix sudah dua kali aku dijadikan tontonan.Ya Allah ... Bening salah apa? Sampai suami sendiri berbuat kasar? Beginikah cara dia memperlakukan istri? Padahal di awal pernikahan sama sekali tidak terbesit dalam anganku untuk mencintai dia, untuk berbakti dengannya, untuk jadi istrinya. Tapi, bagaimana seharusnya istri sholehah memang harus patuh pada suami, walau suami tersebut sama sekali tidak menganggap istri. Sungguh tragis dan malangnya nasibku.Kuteteskan air mata mengucur deras seperti derasnya hujan. Terkadang, rasa takut dan keraguan bisa menjadi belenggu yang sulit dilepaskan
Akhir-akhir ini kepalaku sering kali pusing. Apakah anemiaku kambuh? Aku mengambil air didapur dan hendak memasak.Bahan-bahan yang ada di kulkas sudah kukeluarkan. Kalau bikin bubur pasti enak.Datang bibik menghampiriku. "Aduh Non kenapa masak sendiri? Sudah sini biar Bibik saja yang masakin Non. Non duduk saja.""Sudah Bik. Biar Bening saja yang masak. Bening malam ini pengen bubur," kataku."Tidak Non. Biar Bibik saja yang masakin buat, Non." Bibik merebut pisau yang aku gunakan untuk memotong wortel."Bibik aku pengen masak sendiri please." Aku berusaha meyakinkan Bibik"Yakin? Bagaimana kalau Tuan marah sama Bibik?"Nampak Bibik terlihat begitu cemas kalau dia akan dimarahi sama Pak Kunang.Aku mengangguk pelan. "Yakin Bik. Bibik gak perlu takut dimarahin ya, karena ini kemauan Bening sendiri. ""Baiklah kalau begitu Non. Tapi, kalau Non butuh apa-apa, Non tinggal bilang saja sama Bibik, yah. Bibik siap membantu.""Oke Bibik tinggal dulu ya. Nanti kalau butuh apa-apa, Non Bening
Mataku mengerjap dan kaget melihat tubuhku ada di atas ranjang. Siapa yang memindahkan aku semalam?Suara derit pintu berbunyi, Pak Kunang masuk membawa nampan yang berisi susu dan bubur."Untuk siapa bubur dan susu Pak?" tanyaku."Pake nanya lagi. Ya buat orang yang nyusahin tadi malem."Siapa yang dia maksud nyusahin? Dosen kutub ini emang suka ngadi-ngadi kalau bicara. "Siapa Pak?" Sialan pertanyaan aku yang kedua tidak digubris sama Pak Kunang. Sungguh menyebalkan."Semalem yang nyusahin kan kamu! Ngapain pulak kamu tidur dibawah lantai? Kata dokter kamu punya penyakit anemia ya."Tega sekali Pak Kunang mengatakan aku ini nyusahin. Aku gak berniat menyusahkan siapapun, aku hanya tidak sanggup tidur seranjang dengannya."Iya Pak aku punya penyakit anemia.""Beruntung Dion mendonorkan darahnya padamu ...."Ungkapan dosen kutub membuatku mengkaget. Tumbenan Dion sebaik itu padaku? Kesambet dimana itu bocah."Ayo makan bubur ini." Pak Kunang duduk di samping ranjang. Kalau disuapi se
Mobil kencangnya. kulihat wajah Pak Kunang sangat gelisah, entah apa yang dia pikirkan sekarang dan siapa yang celaka? Tunggu dulu sebelum keluar dari rumah aku tidak melihat tante Jessie Apakah Tante Jessie yang celaka titik Aku harap bukan Tante Jessi yang celaka. Aku sangat takut Pak Kunang mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi membuat jantung berdetak tak gangguan. Bisakah dia pelan-pelan menyetirnya? Ini sama saja dia membayar membahayakan dirinya dan orang lain."Pak tolong nyetirnya pelan-pelan, ini sama saja Bapak membahayakan orang lain, dan juga membahayakan diri bapak!" Aku mencoba memperingati Pak Kunang. Namun, dia seperti tidak mendengar apa yang aku katakan pikirannya seakan tidak ada disini. Aku tambah penasaran Siapa yang celaka.Apakah sekarang waktu yang tepat untuk menanyakan siapa yang celaka, kepada Pak Kunang?"Pak ada apa Bapak nampak gelisah begitu? Apakah ada yang celaka?" sekali lagi aku bertanya kepadanya. Namun, Pak Kunang tidak menggubris apa ya
Kubuka mata perlahan sambil kupegangi kepala yang masih sakit. Kucoba mengumpulkan sel otak dan mengingat mengapa sampai mendadak pusing dan pingsan? Ah kenapa aku selalu saja pingsan sih? Puing-puing secercah ingatan mulai kembali dan mengingat dimana ada sesosok gadis yang memberiku sebotol air putih. Entah siapa gadis itu yang menyebutkan dirinya adalah Tiara. Belum pernah melihat gadis cantik seperti dia."Kau sudah bangun, Tuan putri?" Suara seseorang membuatku terpingkal kaget. Tampak dihadapanku sekarang seorang perempuan berambut pirang memakai baju bewarna putih, dan di lehernya dia pakai dasi warna hitam. Gadis ini fix mirip artis korea. Tapi kalau semuanya serba putih bisa jadi mirip Mbak kunti, hihi.Aku akui perempuan itu terlihat sangat elegan, dan memukau. Bahkan aku saja menganga dibuatnya. Ada keperluan apa dia denganku? Apakah aku akan diajak menjadi model dengannya. Ah rasanya tidak mungkin! Mikir apa sih aku!"Si-siapa Kau? Dan kenapa aku berada di tempat tertutu
Gadis itu menarik paksa tanganku dengan kuat sampai aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh beringsut digedung tanpa keramik. Lutut berdarah berceceran dimana-mana. Sedangkan ia menyeretku tanpa ampun.Tiara juga menamparku berkali-kali. Bunyi tamparan Tiara memekakan ruangan. Sungguh tega sekali dia melakukan ini padaku. Inginku jambak rambutnya.Mata nanar Tiara seakan menyembul penuh amarah. Seakan kepalanya benar mengeluarkan asap bak kerbau, hehe. Padahal aku baik kan? Memberi tahu bahwa hidungnnya terdapat upil yang hampir jatuh. Mungkin perempuan ini pasti mempunyai gangguan mental. Kalau tidak untuk apa dia berubah ganas dan menyeramkan?Tidak ada jalan lain selain berteriak meminta pertolongan. Mau melawan pun percuma. Kakiku diikat dengan tali yang membuat kakiku sakit."STOP! Apa yang Kau lakukan ini sama sekali tidak berguna Tiara!"Ingatan kembali pada Pak Kunang. Bisa-bisanya memiliki kekasih seperti Tiara. Aku juga sebenarnya takut kalau dia bisa meluluhkan hati Pak Kun