Sore itu, langit Paris tampak berwarna kelabu. Dari balik kaca rumah sakit, Daniella Victory menatap kosong ke luar jendela ruang IGD. Pelipisnya masih berbalut perban putih, sesekali terasa nyeri akibat lemparan batu yang tadi siang menghantam kepalanya.Namun, bukan luka fisik yang membuatnya gelisah, melainkan kabar yang baru saja masuk melalui telepon rahasia dari anak buahnya."Madame, kami gagal. Vioneta sudah dibawa kabur oleh seseorang. Kami tidak bisa mencegahnya."Daniella menghela napas panjang, matanya memerah. Bibirnya bergerak pelan, mengeluarkan makian tertahan.“Bodoh! Kalian memang tidak berguna!”Ia cepat-cepat menutup panggilan, melirik sekeliling. Ada dua perawat yang sedang sibuk mencatat di meja jaga. Daniella langsung menegakkan tubuhnya, merapikan gaun krem elegannya, dan pura-pura tenang. Namun, di dalam dadanya, badai amarah bergemuruh.Setelah perbannya diperiksa sebentar, Daniella menandatangani formulir pulang. Ia menolak tawaran perawat untuk menunggu sop
Daniella menunduk cepat, berusaha meraih belanjaannya yang jatuh. Namun, tubuhnya gemetar ketika melihat sorot mata lusuh yang menatapnya tajam penuh dendam. "Vi-Vioneta …?" Bibir Daniella sukses bergetar, seakan-akan melihat hantu dari masa lalu.Seketika ia berbalik hendak lari ke mobil mewahnya yang terparkir tak jauh. Tumit stiletto-nya berdetak panik di trotoar. Akan tetapi, suara serak penuh dendam itu mengejarnya.“Nyonya Daniella! Wanita biadab! Kamu tidak bisa kabur dariku!”Suara itu membuat beberapa orang menoleh. Daniella berlari semakin cepat, membuka pintu mobilnya dengan panik. Ia berhasil duduk di kursi pengemudi, dan langsung melajukan kendaraan mewahnya itu. Akan tetapi, sebelum ia mengemudi terlalu jauh, sebuah batu besar yang dilempar Vioneta dengan segenap tenaga, segera menghantam kaca samping mobil. Kaca itu pun pecah berserakan. Batu itu melesat tepat menghantam pelipis Daniella. Darah segar langsung merembes, membuat wajah cantik tak dimakan usia karena selal
Suasana rumah sakit dekat Grand Palais siang itu terasa berbeda dari biasanya. Udara dingin dari mesin pendingin bercampur dengan aroma disinfektan membuat setiap orang yang melangkah di lorongnya seolah-olah membawa beban rahasia. Di salah satu ruangan laboratorium yang terkunci rapat, tiga orang berdiri di depan sebuah meja kerja.Aaron, dengan jas hitam rapi dan sorot mata penuh api, duduk di kursi utama. Di kursi sampingnya ada Ivana, dengan gaun pastel elegan sebetis, dan menggenggam tas branded kecilnya erat-erat. Jacob berdiri sedikit ke belakang, tubuhnya tegap, wajahnya menegang. Tak beda jauh dengan tuan besarnya.Dua buah amplop putih sudah diletakkan di atas meja oleh perawat penjaga laboratorium. Logo rumah sakit tercetak di sudut kiri atasnya.Aaron menatap Ivana sejenak. “Kamu siap, Sayang?”Ivana mengangguk meski tangannya bergetar. “Rasanya saya sudah menunggu terlalu lama untuk kebenaran ini, Sayang,” balasnya. “Oke, mari kita lihat hasilnya,” timpal Aaron kemudian.
Keesokan paginya, Joana baru saja bangun dari tidur yang tidak nyenyak. Wajahnya masih pucat, rambutnya yang panjang tergerai acak-acakan, tetapi pancaran matanya sedikit lebih lega dibanding malam sebelumnya.Ketukan lembut terdengar di pintu. Seorang dokter kandungan wanita, berusia sekitar empat puluh tahun dengan kacamata tipis, masuk bersama dua perawat. Tangannya membawa map berisi catatan medis terbaru.“Bonjour, Madame Darriston,” sapanya lembut sambil tersenyum. “Bagaimana tidur Anda semalam?”Joana menoleh sekilas ke arah Kennard yang mendampinginya di kursi samping ranjang, lalu tersenyum sebelum menjawab lirih, “Cukup baik, Dok. Meski masih ada sedikit rasa nyeri.”Dokter itu pun mendekat, memeriksa perut Joana dengan stetoskop, lalu menuliskan sesuatu di kertas. “Kabar baik, kondisi tubuh Anda stabil. Hasil laboratorium juga menunjukkan tekanan darah, gula, dan fungsi hati semua normal.” Ia lalu menghela napas singkat sebelum menatap serius. “Namun, kandungan Anda harus t
Suara ketukan pintu itu sempat membuat jantung Joana melonjak. Namun, begitu daun pintu terbuka, yang muncul hanyalah seorang perawat wanita berpostur ramping dengan masker rapi menutupi wajahnya.“Bonsoir, Mademoiselle Joana,” sapanya ramah dengan logat Prancis yang kental. “Saya datang untuk pemeriksaan rutin, memastikan keadaan Anda stabil sebelum boleh dipulangkan besok.”Joana tersenyum tipis meski tubuhnya masih lemah. “Baik, Sus, silakan.”Perawat itu bergerak sigap, menyiapkan tensimeter, dan alat cek lain dari troli kecil yang dibawanya. Ia berbicara dengan nada tenang, menanyakan rasa nyeri, pola tidur, bahkan apakah Joana merasa mual. Kennard yang duduk di kursi sisi ranjang hanya menatap dalam diam, masih menahan emosi yang tadi hampir meledak pada Vernon.Sementara Vernon berdiri bersedekap, matanya tak lepas dari gerak-gerik perawat itu. Ada sesuatu yang terasa janggal, tetapi ia tak mengeluarkan suara.“Bagus sekali, tekanan darah normal, detak jantung stabil,” ujar san
Kini, lampu sorot besar kembali diarahkan ke tubuh Alexa. Suasana ruang operasi semakin tegang, seakan-akan udara pun ikut menahan napas. Monitor jantung berbunyi teratur, meski nadanya masih lemah.Dokter Albert sudah kembali mengenakan masker penuh, menyiapkan timnya. “Kita mulai persiapan amputasi bilateral. Sterilkan area lutut kanan dan kiri. Segera!”“Baik, Dok!” jawab salah satu perawat bedah dengan cepat.Alat-alat bedah berderet di atas meja stainless. Ada pisau bedah, gergaji medis listrik, klem, jarum, benang jahit, dan cairan antiseptik. Bunyi dari gergaji listrik yang dites sejenak membuat bulu kuduk semua orang berdiri.Alexa terbaring tak berdaya, wajahnya pucat pasi di bawah anastesi. Seakan-akan tidak menyadari bahwa hidupnya akan berubah drastis dalam hitungan menit.Perawat mulai membersihkan kulit paha atas dengan larutan betadine, menggosok dalam gerakan melingkar. Bau antiseptik bercampur aroma logam dari alat-alat bedah membuat suasana ruangan semakin mencekam.