“A-aku minta m-maaf."
Lyenette semakin merasa napas yang dia ambil tidak mampu mengisi rongga paru-parunya dengan benar. Cengkraman pada dagunya membuat matanya tetap bersitatap dengan kilau biru gelap yang mencekiknya. Permintaan maaf itu sama sekali tidak Lucian dengarkan. Lucian perlahan melepaskan cengkramannya. Namun, dia sama sekali tidak melonggarkan kedua lengannya yang melilit pinggang Lynette. “Katakan kepadaku, apa yang sebenarnya keluarga Morreti inginkan dariku?” “Aku tidak tahu maksud Anda.” Bisa Lynette rasakan, Lucian semakin menatap marah dirinya. Seolah ada sesuatu yang sengaja dia sembunyikan dan Lucian mencoba mendapatkan jawaban darinya. “Aku mohon, jangan katakan apapun pada Ayahku!" “Kau benar anaknya? Kau anak perempuan bungsunya, kan?” tanya Lucian sekali lagi. Pertanyaan itu Lynette jawab dengan gelengan kepala. Sebab yang dia tahu ada satu gadis lain yang di bawahnya. Maka sudah pasti dia adalah adik tirinya. Lucian menghempaskan tubuh Lynette hingga terduduk di lantai. Dia raup wajahnya dengan kasar hingga terlihat gurat amarah menghiasi wajahnya. Alisnya yang tebal menyatu, mata biru gelapnya terpejam dengan dengusan kasar. “Berani-beraninya Benjamin sialan itu membohongiku!” Suaranya keras dan menggema di dalam ruangan berukuran 3x4. Lynette mengesot memundurkan dirinya hingga terpojok antara lemari kaca sepatu dengan Lucian yang kini berjongkok di hadapannya. “Katakan kepadaku! Apa motif Benjamin sialan itu mengganti barang perdamaiannya? Belum cukup aku mengenyahkan anaknya ke neraka, kini dia kembali mencoba mempermainkan aku lagi." Lynette tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh Lucian. Tapi yang jelas hal tersebut membuatnya takut. Seolah Lucian benar-benar akan melahapnya tanpa segan. Mata kuning keemasan itu berpendar waspada, bibir merah kecil, padat tergigit seolah menggodanya. Lucian mencoba mengendalikan diri, pada akhirnya dengan suara datar dia berkata, “Jika kau memiliki andil dalam hal ini, aku akan membunuhmu sebelum Benjamin sialan itu sempat menyelamatkanmu. Ingat itu!" Dengan langkah besar penuh aura pekat, Lucian meninggalkan walking closet dan membanting pintu kamar dengan sangat keras. Lynette terperanjat dengan posisi meringkuk di tempat yang sama. Kali ini dia dijual dan ayahnya tidak akan pernah kembali menjemputnya Sedangkan Lucian, dia jelas bukan mafia biasa seperti ayahnya. Bisa jadi, Lucian adalah mafia garis atas yang pernah dia dengar dari Benjamin. Jika hal itu benar, lalu bagaimana dengan kehidupan Lynette selanjutnya? “Apa aku akan mati di sini sebelum ayah datang menjemputku?” Pertanyaan itu terngiang di kepalanya. Sedikit tidak nyaman dengan pakaian seperti itu, tapi itu lebih baik daripada yang lainnya. Lynette perlahan keluar dari dalam kamar tempat dia bermalam, yang mungkin juga telah menjadi miliknya. Ketika Lynette membuka pintu, dia bisa melihat ada satu lantai lagi di atas sana. 3 tingkat atau lebih, mungkin. Anak tangga menuju lantai bawah ada tepat di samping pintu kamar Lyenette, sedangkan anak tangga menuju lantai 3 ada di depan kamar Lynette. Ada dua kamar lagi di belakang tangga dan balkon kecil yang kosong tanpa furnitur apapun. Lynette membawa langkahnya turun. Sesaat Lynette di sana, dia bisa menyaksikan suasana rumah yang sepi namun mencekam. Beberapa pelayan yang terlihat olehnya bergerak cepat dalam diam. “Permisi,” kata Lynette mendekati salah satu dari mereka. Pelayan yang didekati oleh Lynette langsung membungkukkan badan berulang kali dengan wajah yang terlihat takut. “Eh? Tidak perlu membungkuk terus, nanti punggungmu sakit.” Pelayan tersebut mengangguk dan kembali menjaga jarak dengan Lynette. “Maaf, Nyonya Muda saya tidak bermaksud membuat Anda tidak nyaman. Maafkan saya.” Lynette menggigit bibirnya mendapatkan reaksi seperti itu. “Tidak perlu meminta maaf, saya hanya ingin bertanya, di mana dapur berada.” Setelah mendapatkan arahan di mana dapur berada, Lynette langsung pergi. Ketika dia berjalan menyusuri lorong koridor Lynette merasa terasing dalam dunia baru yang tidak dikenalnya ini. Lorong koridor terdapat beberapa jendela besar dengan ukiran kayu, Lynette menghentikan langkahnya ketika sesuatu menarik perhatiannya. Di sana, Lynette melihat seseorang memegang pistol dan mengarahkannya pada seorang lain yang diikat di tiang gantung. Secara spontan dia berlari dan menemukan pintu samping koridor, kemudian menghampiri seseorang itu dengan cepat. Namun, sebelum dia mendekat, seseorang yang lain telah menarik lengannya dengan kasar.Semuanya berjalan lancar, Telah mengetuk pintu kamar Tiara yang sebenarnya juga merupakan kamarnya, dengan pelan. Sang istri keluar dengan wajah malas, Rekash langsung mengatakan apa yang diinginkan oleh tuannya."Tuan Issac bilang, dia ingin plaster penurun panas. Aku tidak bisa menemukannya."Melewati Rekash, Tiara melenggang pergi ke dapur. Membungkukkan badan sebentar pada Lucian dan mengambilkan apa yang diinginkan tuannya.Plaster penurun panas itu ada di dalam sebuah kotak P3k yang tersimpan di dalam laci atas dapur. Lucian melirik pada Rekash yang tidak menyangka kotak itu ada di dalam sana, pria itu juga melirik balik Lucian dengan mengangkat dua jarinya."Ini," ucap Tiara sembari menyodorkan plaster penurun panas milik orang dewasa pada Lucian."Sebenarnya, tadi saya ingin mengabari Anda tentang kondisi nyonya Issac, tapi Anda sudah terlebih dahulu kemari.""Ya, semuanya mendadak." Lucian menjawab dengan nada kecil, sekali lagi dia melirik pada Rekash yang terlihat menghinda
Tiara keluar dari kamar Lynette, menutup pintu dengan pelan kemudian berjalan ke arah dapur. Duduk di sana dengan pikiran yang menaruh curiga dengan gelagat Lynette yang tidak seperti biasanya. "Apa aku melewatkan sesuatu? Seperti ada yang mengganggu Lynette, badannya panas, dan kemungkinan demam juga. Wajahnya pucat dan keringat deras, aku cukup yakin dia ada yang tengah dipikirkan olehnya."Tiara meminum kopi miliknya dengan kerutan khawatir. "Apa aku juga harus membicarakan hal ini dengan tuan Issac? Aku takut, jika ini ada berdampak serius. Dia tentu saja belum pernah melakukan olahraga berat seperti yang aku berikan, itu sebabnya tubuh Lynette belum sepenuhnya menerima? Aku tidak tahu harus bagaimana."Kebingungan melanda Tiara, wanita itu tidak pernah bimbang dengan berbagai keputusan yang dia ambil dalam bisnis dan persenjataan, tapi hanya tentang hal sekecil ini di bahkan meragukan intuisinya. Tiara menyelesaikan makanannya dan membersihkan dapur. Dalam ketenangan malam, sua
"Ini Taylor Frence, saya menulis surat ini setelah mendapatkan lokasi di mana Anda di buang oleh tuan Issac. Saya menyayangkan hal tersebut, karena kita tidak bisa secara langsung membicarakan dan mendiskusikan sesuatu yang harus kita lakukan. Pada surat ini, saya ingin bertanya, apakab Anda masih berminat untuk keluar dari keluarga Issac dan pergi sejauh mungkin dari tuan Issac. Jika Anda masih menginginkannya, Anda harus membalas surat saya ini dan menempatkannya di tempat Anda menemukan surat ini.Salam hormat, Taylor France."Surat itu tidak terlalu panjang, tapi sangat detail dan merujuk langsung pada tujuannya. Lynette bisa merasakan jika kedua tangannya bergetar samar, rasa takut menghantuinya setelah membaca dengan oleh kehati-hatian dan penuh konsentrasi surat ini. Meninggalkan Lucian dan pergi sejauh mungkin dari dunia hitam yang sama sekali tidak dia ketahui, itu adalah tujuannya atas semua kerja kerasnya. "Aku pikir, setelah aku meninggalkan mansion, Taylor tidak akan
"Jaga posisi stancemu, buka lebar kedua kakimu sama dengan lebar bahu. Pegang busurmu dengan kokoh, jaga anak panah tetap lurus.""Kali ini kita akan fokus latihan blank bale shooting, tujuan latihan ini adalah memperbaiki teknikmu, bulan hanya untuk tepat sasaran." Tiara menunjuk pada bale jerami besar yang beberapa langkah di hadapan mereka. Bale jerami itu ada di bawah pohon beringin besar yang biasanya digunakan Lynette untuk duduk beristirahat. Sekarang di sana terdapat satu bale untuk latihannya. Angin pagi berhembus lembut, membawa rasa dingin yang menusuk hampir meremukkan tulang-tulang rapuh Lynette. Hari ini dia memakai jaket biru beraksen garis putih dengan celana biru yang senada juga. Pagi tadi, Lynette bangun dengan perasaan yang sangat bahagia. Sebab, saat dia membuka lemari dia menemukan banyak sekali baju-baju baru yang kata Tiara dia boleh memakai semuanya. Lynette nanti akan berterima kasih pada Tiara karena menyediakan banyak baju untuknya. "Posisimu sangat bag
Lynette hanya bisa berdiri dengan kaku di ujung pintu, matanya melirik ke kanan dan kiri sesuai dengan pergerakan Tiara. Ide yang tiba-tiba diajukan oleh Tiara membuat Lynette tidak mengerti. "Kak, belajar di kamar juga tidak masalah.""Tidak masalah olehmu, tapi tidak dengan aku. Jika kau terus-menerus merasa ngantuk saat belajar, itu akan jadi masalah untukku."Lynette menundukkan kepala merasa tidak enak, salahkan saja kantuk yang mudah sekali menyerangnya. Ketiduran adalah sesuatu yang tidak bisa dia prediksi dan dia sendiri tidak menyadarinya, tentu saja itu hanya alasan Lynette yang tersimpan di hati. Sebuah kamar kecil yang ada tepat di samping kamar Lynette sebelumnya adalah sebuah gudang kecil yang penuh dengan barang bekas. Seperti tumpukan baju-baju di dalam kardus, buku-buku usang yang sobek dan rusak, dan beberapa perabotan rumah tangga. "Kakak, aku akan membantu.""Tidak perlu, kau kembali saja ke dalam dan selesaikan tugas yang aku berikan tadi.""Oke, aku pergi du
Kelenggangan terjadi antara Tiara dan Rekash. Kedua memiliki ekspresi yang berbeda. Tiara dengan wajah kebingungan menatap sang suami yang tidak tampak seperti biasanya, aneh. Sedangkan Rekash malah sibuk dengan kegugupan yang hampir membuat dia menyerah, tapi dia tidak boleh berhenti begitu saja. Jika dia gagal, konsekuensi akan dia dapatkan. Di dalam mobil, ada Lucian yang duduk di kursi belakang dengan memandang dua pasangan suami istri itu dengan penasaran. Rekash yang tidak kunjung melakukan apa yang dia suruh tadi membuat Lucian geram dan merasa tidak sabar. Beralih pada Rekash, pria itu sekali lagi melirik istrinya yang sudah mulai geram. "Aku bersumpah akan memukul pantatmu, jika kau tidak segera mengatakan apa maksudmu.""Tidak!" Rekash bersumpah dia tidak sengaja meninggikan suaranya. "Aku hanya ingin mengatakan sesuatu, sebentar.""Ya, baiklah, apa?" Tiara mencoba bersabar. "Apa kau .... ""Kenapa? Aku? Aku apa?" Rekash tanpa sadar melirik kembali pada mobil yang te