“A-aku minta m-maaf."
Lyenette semakin merasa napas yang dia ambil tidak mampu mengisi rongga paru-parunya dengan benar. Cengkraman pada dagunya membuat matanya tetap bersitatap dengan kilau biru gelap yang mencekiknya. Permintaan maaf itu sama sekali tidak Lucian dengarkan. Lucian perlahan melepaskan cengkramannya. Namun, dia sama sekali tidak melonggarkan kedua lengannya yang melilit pinggang Lynette. “Katakan kepadaku, apa yang sebenarnya keluarga Morreti inginkan dariku?” “Aku tidak tahu maksud Anda.” Bisa Lynette rasakan, Lucian semakin menatap marah dirinya. Seolah ada sesuatu yang sengaja dia sembunyikan dan Lucian mencoba mendapatkan jawaban darinya. “Aku mohon, jangan katakan apapun pada Ayahku!" “Kau benar anaknya? Kau anak perempuan bungsunya, kan?” tanya Lucian sekali lagi. Pertanyaan itu Lynette jawab dengan gelengan kepala. Sebab yang dia tahu ada satu gadis lain yang di bawahnya. Maka sudah pasti dia adalah adik tirinya. Lucian menghempaskan tubuh Lynette hingga terduduk di lantai. Dia raup wajahnya dengan kasar hingga terlihat gurat amarah menghiasi wajahnya. Alisnya yang tebal menyatu, mata biru gelapnya terpejam dengan dengusan kasar. “Berani-beraninya Benjamin sialan itu membohongiku!” Suaranya keras dan menggema di dalam ruangan berukuran 3x4. Lynette mengesot memundurkan dirinya hingga terpojok antara lemari kaca sepatu dengan Lucian yang kini berjongkok di hadapannya. “Katakan kepadaku! Apa motif Benjamin sialan itu mengganti barang perdamaiannya? Belum cukup aku mengenyahkan anaknya ke neraka, kini dia kembali mencoba mempermainkan aku lagi." Lynette tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh Lucian. Tapi yang jelas hal tersebut membuatnya takut. Seolah Lucian benar-benar akan melahapnya tanpa segan. Mata kuning keemasan itu berpendar waspada, bibir merah kecil, padat tergigit seolah menggodanya. Lucian mencoba mengendalikan diri, pada akhirnya dengan suara datar dia berkata, “Jika kau memiliki andil dalam hal ini, aku akan membunuhmu sebelum Benjamin sialan itu sempat menyelamatkanmu. Ingat itu!" Dengan langkah besar penuh aura pekat, Lucian meninggalkan walking closet dan membanting pintu kamar dengan sangat keras. Lynette terperanjat dengan posisi meringkuk di tempat yang sama. Kali ini dia dijual dan ayahnya tidak akan pernah kembali menjemputnya Sedangkan Lucian, dia jelas bukan mafia biasa seperti ayahnya. Bisa jadi, Lucian adalah mafia garis atas yang pernah dia dengar dari Benjamin. Jika hal itu benar, lalu bagaimana dengan kehidupan Lynette selanjutnya? “Apa aku akan mati di sini sebelum ayah datang menjemputku?” Pertanyaan itu terngiang di kepalanya. Sedikit tidak nyaman dengan pakaian seperti itu, tapi itu lebih baik daripada yang lainnya. Lynette perlahan keluar dari dalam kamar tempat dia bermalam, yang mungkin juga telah menjadi miliknya. Ketika Lynette membuka pintu, dia bisa melihat ada satu lantai lagi di atas sana. 3 tingkat atau lebih, mungkin. Anak tangga menuju lantai bawah ada tepat di samping pintu kamar Lyenette, sedangkan anak tangga menuju lantai 3 ada di depan kamar Lynette. Ada dua kamar lagi di belakang tangga dan balkon kecil yang kosong tanpa furnitur apapun. Lynette membawa langkahnya turun. Sesaat Lynette di sana, dia bisa menyaksikan suasana rumah yang sepi namun mencekam. Beberapa pelayan yang terlihat olehnya bergerak cepat dalam diam. “Permisi,” kata Lynette mendekati salah satu dari mereka. Pelayan yang didekati oleh Lynette langsung membungkukkan badan berulang kali dengan wajah yang terlihat takut. “Eh? Tidak perlu membungkuk terus, nanti punggungmu sakit.” Pelayan tersebut mengangguk dan kembali menjaga jarak dengan Lynette. “Maaf, Nyonya Muda saya tidak bermaksud membuat Anda tidak nyaman. Maafkan saya.” Lynette menggigit bibirnya mendapatkan reaksi seperti itu. “Tidak perlu meminta maaf, saya hanya ingin bertanya, di mana dapur berada.” Setelah mendapatkan arahan di mana dapur berada, Lynette langsung pergi. Ketika dia berjalan menyusuri lorong koridor Lynette merasa terasing dalam dunia baru yang tidak dikenalnya ini. Lorong koridor terdapat beberapa jendela besar dengan ukiran kayu, Lynette menghentikan langkahnya ketika sesuatu menarik perhatiannya. Di sana, Lynette melihat seseorang memegang pistol dan mengarahkannya pada seorang lain yang diikat di tiang gantung. Secara spontan dia berlari dan menemukan pintu samping koridor, kemudian menghampiri seseorang itu dengan cepat. Namun, sebelum dia mendekat, seseorang yang lain telah menarik lengannya dengan kasar.“Kalau mau mati, setidaknya kau harus mati di tanganku bukan anak buahku.”Yang menarik tangan Lynette adalah Lucian. Lynette melotot melihat laki-laki tersebut dan segera mencoba melepaskan diri. Namun, Lucian tidak membiarkannya. Dari arah belakang, Lynette bisa merasakan pundaknya menjadi tempat dagu Lucian, serta pinggangnya yang dililit oleh lengan keras. Mengunci Lynette yang mencoba memberontak dan melepaskan diri.Lynette tetap mencoba untuk melepaskan diri. Tapi Lucian malah memegang kepalanya dan menunjuk ke arah di mana dua orang tengah berdiri dengan posisi yang berbeda. Satu orang berdiri terikat di tiang, sedangkan yang satunya menodongkan pistol pada yang terikat. “Lihat ke depan!" perintah Lucian. “Tembak sekarang, Il Falco!” Kemudian, suara tembakan mengudara. Lynette terpaku di tempatnya. Wajahnya pucat pasi melihat banyaknya darah yang keluar dari kepala pria tersebut. Ludahnya tercekat. Dia ingin mengalihkan pandangannya, tapi Lucian mencegahnya. Il Flaco mel
"Jangan lakukan ini, aku mohon!" "Il Falco, siapkan Sig Sauer P320 untuk kali ini." Mengabaikan Lynette yang memegang lengannya memohon kepadanya, Lucian malah semakin memerintah para anak buahnya untuk mengikat kepala pelayan di tiang yang sama seperti Lynette lihat tadi pagi. Lynette kelabakan. Dia melirik berulang kali pada kepala pelayan yang menangis tersedu-sedu, juga pada para pelayan muda yang ikut masak dengannya tadi. "Tuan Issac! Aku mohon! Jangan bunuh dia! Ini semua keinginaku, bukan karena mereka yang menyuruhku. Dia sama sekali tidak bersalah. Jangan hukum dia! Aku mohon!" jerit Lynette dengan air mata yang mulai membasahi pipinya. Kedua tangannya masih memegang erat lengan kanan Lucian, mencoba meminta belas kasih. Dia menangis begitu keras, ketika melihat Il Falco yang tadi dipanggil oleh Lucian datang membawa senjata yang diinginkan Lucian. "Demi Tuhan! Jangan bunuh dia!"Lucian menatap lurus pada Il Falco yang berdiri sejajar, mengangkat pistol. Mengarahkan an
Di sinilah mereka sekarang, di sebuah taman yang ada di belakang rumah kecil dan cukup jauh dari rumah utama.“Sekarang jelaskan, apa yang kau mau?”“Tentu saja, saya juga tidak bisa lama-lama,” kata pelayan laki-laki tersebut.“Saya tahu, Anda ingin segera pergi dari sini,`kan? Saya bisa membantu Anda.”Lynette berdeham kecil. “Benarkah? Lalu, apa yang harus aku lakukan?”Di dalam pikirannya, hanya ingin pergi dari mansion terkutuk ini. Tawaran tersebut seolah memberikan dia kesempatan untuk pergi. Kejadian yang tidak begitu mengenakkan dan tidak mungkin dia lupakan begitu saja. Pelayan laki-laki itu tersenyum tipis. Kemudian menunjuk ke arah gerbang depan yang jauh dari tempat mereka. “Sebelum kita pergi melewati gerbang kebebasan itu, Anda harus melakukan suatu hal yang akan menjadi kunci utama misi ini.”“Aku? Apa yang harus aku lakukan?”Lynette tidak bisa berdiam diri di sini. Bagaimana pun caranya, dia harus segera keluar dan bertemu dengan ayahnya.“Namaku Taylor Frecne, ak
Pertanyaan yang datang dari bibir suaminya, membuat rasa kantuk dan lelah yang Lynette rasakan tiba-tiba luruh seketika. Tidak mendapatkan jawaban dari sang istri, Lucian memajukan tubuhnya, menumpu dagu runcingnya di atas lengan kurus Lynette.“Kenapa kau tidak menjawabnya? Bagaimana perasaanmu setelah melihat hal tersebut? Apa kau senang?”Senang? Lynette menoleh dan matanya langsung terkunci dengan iris biru kelam milik Lucian. Keduanya bertatapan dengan cukup lama, sebelum Lucian menegakkan punggung dan kembali ke tempat semula. “Aku melihatmu berlari melewati lorong bawah tanah yang panggalnya berada sangat jauh dari rumah utama, kira-kira apa yang sedang kau lakukan di sana?”“Aku-aku hanya ingin melihat-lihat sebentar,” cicitnya dengan suara yang bergetar.“Benarkah? Lalu, apa yang kau lakukan dengan pelayan Taylor di sana?”Lynette tidah merasakan rasa takut yang seperti ini. Napasnya tercekat dan pikirannya kosong seketika. Bagaimana bisa Lucian tahu, dia telah melihat oran
Pembicaraan mengenai proyek 170DH itu terus berlanjut, Lynette hanya bisa mendengarkan dan menunggu jeda dari pembicaraan seru keduanya. Tangannya masih aktif mencuci banyaknya sayuran dan beberapa buah, menggantinya ke wadah bersih. “Tapi, kenapa juga mereka melakukannya lagi, ya? Apa ada sesuatu yang terjadi?” Pertanyaan dari Glea dengan suara pelan membuat Brich menundukkan kepala dan mendekat ke tengah-tengah. Secara spontan, Lynette juga ikut mendekat dan memasang telinga dengan baik-baik. Ketiganya saling pandang, sebelum tiba-tiba Brich membuat gerakan tangan mencakar dan memasang wajah mengerikan. “Ada banyak penghianat di dalam sini dan Tuan issac ingin menghanguskan mereka semua. Menjadi abu dan mengumpulkan darah mereka untuk di minum.”Tepukan kuat Brich dapatkan dari Glea. “Kau mengatakan hal mengerikan di depan istrinya.”Lynette melirik keduanya dengan wajah polos, dia menarik diri dari sana dan menumpukkan sayuran yang telah dia bersihkan. Mengambilnya satu helai da
Gelap, sunyi, dan sendiri. Lynette membuka matanya selebar yang dia bisa, namun tetap dia tidak mendapatkan pandangan apa pun. “Tu-tuan Issac? Tuan, Anda di mana?”“Aku mohon! Jangan bunuh aku!”Lynette terkesiap dengan dada yang berdebar dengan kencang. Suara itu terdengar begitu nyaring, serak, dan penuh keputusasaan.Namun, siapa dia? “Tuan! Tu-tuan Issac!” teriaknya sekali lagi. Kedua tangannya menyentuh permukaan tanah kasar yang dia genggam dan remat dengan erat. Lynette bingung, saat ini dia ada di mana? Yang dia ingat, hanya dapur, suara aneh, dan darah. Wanita itu berdiri dari duduknya, memutar tubuh ke kanan dan kiri, berharap mendapatkan secercah cahaya untuk menemukan jawaban, di manakah dia sekarang? “Tuan Issac,” panggil Lynette dengan pelan. Entah kenapa hanya nama itu yang terbesit dalam hatinya. “Tidak! Jangan bawa Lynette! Dia cintaku yang tersisa, aku mohon, Nyonya Anya! Jangan bawa Lynette!”Teriakan itu datang lagi dan kini namanya pun ikut disebut. Hati L
Rasa pusing menghantam kesadarannya dengan telak. Matanya menyipit merasakan tusukan cahaya lampu yang terang, dia melengguh memegangi kepalanya. “Kau sudah menelpon Dokter Haydee?”“Tentu saja! Kau ingin kita beneran mati di tangan Tuan Issac?”“Aku hanya bertanya!”“Jangan berteriak! Nyonye Lynette telah sadar!”Pertengkaran itu terhenti, ketika Lyentte menggerang dan bangkit dari tidurannya. Glea dan Brich segera membantu dan memberikan segelas air pada Lynette. “Nyonya?”“Ya, Brich. Aku mendengarmu. Apa aku pingsan?”Brich menganggukkan kepala, gadis itu memperbaiki letak kaca matanya dan bergegas bangkit saat mendengar suara pintu diketuk. Yang datang adalah dokter keluarga Issac.“Silahkan masuk, Dokter!” Brich mempersilahkan.Dokter Haydee masuk dengan pakaiannya yang modis. Sebuah dress ketat berwarna merah menyala, rambutnya digulung ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Kakinya melangkah dengan anggun, selaras dengan ketukan sepatu hak tinggi yang berdenting berir
"Tuan?" Lucian menarik pinggang sempit Lynette mendekat kepadanya, kepala wanita itu dia angkat dan menempatkan lengan kanannya di bawah kepala sang istri. Deru napas hangat Lynette menabrak leher Lucian, seolah mengatakan secara tak tersirat jika demamnya lumayan tinggi. Tidak ada yang bisa Lynette lakukan selain pasrah dengan dentuman jantung yang berirama tidak santai. "Jika malam tiba, tidak ada kah yang mengatakan kepadamu, tidak boleh keluar dari kawasan rumah selain dengan pengawal?" "Tidak." "Baik, aku akan menghukum mereka yang telah lalai dalam pekerjaan." Telinga Lynette menjadi lebih sensitif mendengar kata 'hukum', wanita itu sontak mengangkat kepalanya dengan cepat. Akibatnya kepalanya secara tidak sengaja berbenturan dengan dagu Lucian. Suaranya cukup menyakitkan, Lynette bangkit dari tidurann dan mengusap dagu Lucian dengan ringisan di wajahnya. Namun, tidak ada reaksi yang berlebihan dari Lucian. Tidak ada wajah kesakitan atau wajah galak yang b
Ruangan itu penuh dengan decak basah dengan geraman rendah Lucian. Lynette merasakan perih di bibirnya, ketika Lucian menariknya dengan gigi. Kemudian menyesap bibir merahnya dengan buas. Seolah ingin menghapuskan jejak yang tertinggal oleh bajiangan kurang ajar yang dengan berani menyentuh Lynette. Kedua kaki Lynette semakin di lebarkan, Lucian masuk di antara paha kurus itu dan menarik pinggang Lynette untuk naik ke pangkuannya. Ciuman itu terlepas setelah Lynette menjambak kasar belakang rambut Lucian. Napas mereka memburu dengan begitu hebat, untaian saliva mengalir dari sudut bibir dan turun membasahi dagu. Lucian menyekanya dengan ibu jari. “Ingatkan aku tentang si bajingan itu juga, aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Akan aku robek mulutnya, menarik lidahnya dan memberikan kepalanya untuk makan anjing kesayanganku!”Mulut Lynette masih terbuka, dadanya naik turun dengan hebat. Pancaran mata yang dikeluarkan oleh Lucian, menarik dirinya ikut tenggelam dalam emosi
Ruangan yang tadinya sepi dan seperti tak berpenghuni, kini tiba-tiba saja menjadi ramai. Lynette menoleh ke belakang melihat banyaknya orang yang muncul dari balik gelepan, dari balik tingginya rak-rak perpustakaan lama. Orang-orang itu memakai pakaian serba hitam dengan kepala yang tertutup dengan topi serta masker. Di tangan mereka juga terdapat senjata tajam yang mana membuat Lynette terkejut setengah mati. Dia ke sini karena ingin bertemu dengan Taylor, tapi apa ini? Siapa orang-orang ini? Dan, Lucian?Belum sempat Lynette mencerna ketegangan yang mulai menyebar, pergelangan tangannya ditarik paksa. Dia disergap oleh sebuah pisau yang ada di depan lehernya tepat.“Rekash!”Rekash yang tadinya berdiri tidak jauh dari perpustakaan, tiba-tiba berlari dengan sangat kencang mendengar nada tinggi sang tuan. Sesampainya di belakang Lucian, asisten pribadi itu terkejut luar biasa.Ternyata benar, di sini adalah tempat para penghianat berkumpul. Tapi, “Nyonya Issac! Kenapa bisa ada d
Lynette tidak berhenti menggerang selama sisa siang itu. Dia tidak punya energi yang tersisa. Tubuhnya belum sembuh sempurna, tapi Lucian melakukannya dengan cukup kasar. Lucian mengancing kemejanya dengan mata yang tidak lepas dari Lynette yang tertidur. Punggung polos yang penuh bercak cinta miliknya terpampang dengan cantik, secantik wanita yang bahunya dia cium berulang kali sebelum pergi dari sana. Rekash yang masih setia di depan pintu, langsung menegakkan badannya ketika tuannya keluar dari sana. Wajah yang segar dengan aura yang lebih tenang dari sebelumnya, membuat Rekash tidak tahu harus bersyukur atau tidak. “Maaf, kan saya Tuan. Tapi, Tuan Elias membatalkan pertemuannya dan ingin menggantinya lain waktu. Sedangkan Nona Emma membatalkan kerja samanya.”“Atur kembali pertemuan dengan Tuan Elias, untuk Nona Emma tidak masalah. Kita tidak membutuhkan bahan dasar dari dia.”“Baik, Tuan. Setelah ini, Anda ingin kembali ke kantor atau yang lain?”Pertanyaan Rekash menghentikan
"Tuan?" Lucian menarik pinggang sempit Lynette mendekat kepadanya, kepala wanita itu dia angkat dan menempatkan lengan kanannya di bawah kepala sang istri. Deru napas hangat Lynette menabrak leher Lucian, seolah mengatakan secara tak tersirat jika demamnya lumayan tinggi. Tidak ada yang bisa Lynette lakukan selain pasrah dengan dentuman jantung yang berirama tidak santai. "Jika malam tiba, tidak ada kah yang mengatakan kepadamu, tidak boleh keluar dari kawasan rumah selain dengan pengawal?" "Tidak." "Baik, aku akan menghukum mereka yang telah lalai dalam pekerjaan." Telinga Lynette menjadi lebih sensitif mendengar kata 'hukum', wanita itu sontak mengangkat kepalanya dengan cepat. Akibatnya kepalanya secara tidak sengaja berbenturan dengan dagu Lucian. Suaranya cukup menyakitkan, Lynette bangkit dari tidurann dan mengusap dagu Lucian dengan ringisan di wajahnya. Namun, tidak ada reaksi yang berlebihan dari Lucian. Tidak ada wajah kesakitan atau wajah galak yang b
Rasa pusing menghantam kesadarannya dengan telak. Matanya menyipit merasakan tusukan cahaya lampu yang terang, dia melengguh memegangi kepalanya. “Kau sudah menelpon Dokter Haydee?”“Tentu saja! Kau ingin kita beneran mati di tangan Tuan Issac?”“Aku hanya bertanya!”“Jangan berteriak! Nyonye Lynette telah sadar!”Pertengkaran itu terhenti, ketika Lyentte menggerang dan bangkit dari tidurannya. Glea dan Brich segera membantu dan memberikan segelas air pada Lynette. “Nyonya?”“Ya, Brich. Aku mendengarmu. Apa aku pingsan?”Brich menganggukkan kepala, gadis itu memperbaiki letak kaca matanya dan bergegas bangkit saat mendengar suara pintu diketuk. Yang datang adalah dokter keluarga Issac.“Silahkan masuk, Dokter!” Brich mempersilahkan.Dokter Haydee masuk dengan pakaiannya yang modis. Sebuah dress ketat berwarna merah menyala, rambutnya digulung ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Kakinya melangkah dengan anggun, selaras dengan ketukan sepatu hak tinggi yang berdenting berir
Gelap, sunyi, dan sendiri. Lynette membuka matanya selebar yang dia bisa, namun tetap dia tidak mendapatkan pandangan apa pun. “Tu-tuan Issac? Tuan, Anda di mana?”“Aku mohon! Jangan bunuh aku!”Lynette terkesiap dengan dada yang berdebar dengan kencang. Suara itu terdengar begitu nyaring, serak, dan penuh keputusasaan.Namun, siapa dia? “Tuan! Tu-tuan Issac!” teriaknya sekali lagi. Kedua tangannya menyentuh permukaan tanah kasar yang dia genggam dan remat dengan erat. Lynette bingung, saat ini dia ada di mana? Yang dia ingat, hanya dapur, suara aneh, dan darah. Wanita itu berdiri dari duduknya, memutar tubuh ke kanan dan kiri, berharap mendapatkan secercah cahaya untuk menemukan jawaban, di manakah dia sekarang? “Tuan Issac,” panggil Lynette dengan pelan. Entah kenapa hanya nama itu yang terbesit dalam hatinya. “Tidak! Jangan bawa Lynette! Dia cintaku yang tersisa, aku mohon, Nyonya Anya! Jangan bawa Lynette!”Teriakan itu datang lagi dan kini namanya pun ikut disebut. Hati L
Pembicaraan mengenai proyek 170DH itu terus berlanjut, Lynette hanya bisa mendengarkan dan menunggu jeda dari pembicaraan seru keduanya. Tangannya masih aktif mencuci banyaknya sayuran dan beberapa buah, menggantinya ke wadah bersih. “Tapi, kenapa juga mereka melakukannya lagi, ya? Apa ada sesuatu yang terjadi?” Pertanyaan dari Glea dengan suara pelan membuat Brich menundukkan kepala dan mendekat ke tengah-tengah. Secara spontan, Lynette juga ikut mendekat dan memasang telinga dengan baik-baik. Ketiganya saling pandang, sebelum tiba-tiba Brich membuat gerakan tangan mencakar dan memasang wajah mengerikan. “Ada banyak penghianat di dalam sini dan Tuan issac ingin menghanguskan mereka semua. Menjadi abu dan mengumpulkan darah mereka untuk di minum.”Tepukan kuat Brich dapatkan dari Glea. “Kau mengatakan hal mengerikan di depan istrinya.”Lynette melirik keduanya dengan wajah polos, dia menarik diri dari sana dan menumpukkan sayuran yang telah dia bersihkan. Mengambilnya satu helai da
Pertanyaan yang datang dari bibir suaminya, membuat rasa kantuk dan lelah yang Lynette rasakan tiba-tiba luruh seketika. Tidak mendapatkan jawaban dari sang istri, Lucian memajukan tubuhnya, menumpu dagu runcingnya di atas lengan kurus Lynette.“Kenapa kau tidak menjawabnya? Bagaimana perasaanmu setelah melihat hal tersebut? Apa kau senang?”Senang? Lynette menoleh dan matanya langsung terkunci dengan iris biru kelam milik Lucian. Keduanya bertatapan dengan cukup lama, sebelum Lucian menegakkan punggung dan kembali ke tempat semula. “Aku melihatmu berlari melewati lorong bawah tanah yang panggalnya berada sangat jauh dari rumah utama, kira-kira apa yang sedang kau lakukan di sana?”“Aku-aku hanya ingin melihat-lihat sebentar,” cicitnya dengan suara yang bergetar.“Benarkah? Lalu, apa yang kau lakukan dengan pelayan Taylor di sana?”Lynette tidah merasakan rasa takut yang seperti ini. Napasnya tercekat dan pikirannya kosong seketika. Bagaimana bisa Lucian tahu, dia telah melihat oran
Di sinilah mereka sekarang, di sebuah taman yang ada di belakang rumah kecil dan cukup jauh dari rumah utama.“Sekarang jelaskan, apa yang kau mau?”“Tentu saja, saya juga tidak bisa lama-lama,” kata pelayan laki-laki tersebut.“Saya tahu, Anda ingin segera pergi dari sini,`kan? Saya bisa membantu Anda.”Lynette berdeham kecil. “Benarkah? Lalu, apa yang harus aku lakukan?”Di dalam pikirannya, hanya ingin pergi dari mansion terkutuk ini. Tawaran tersebut seolah memberikan dia kesempatan untuk pergi. Kejadian yang tidak begitu mengenakkan dan tidak mungkin dia lupakan begitu saja. Pelayan laki-laki itu tersenyum tipis. Kemudian menunjuk ke arah gerbang depan yang jauh dari tempat mereka. “Sebelum kita pergi melewati gerbang kebebasan itu, Anda harus melakukan suatu hal yang akan menjadi kunci utama misi ini.”“Aku? Apa yang harus aku lakukan?”Lynette tidak bisa berdiam diri di sini. Bagaimana pun caranya, dia harus segera keluar dan bertemu dengan ayahnya.“Namaku Taylor Frecne, ak