Kevan turun dengan wajahnya nan dingin. Ia menatap Reygan yang tengah duduk di sofa ruang keluarga. Sahabatnya itu terkadang menyebalkan memang , ia sama sekali tidak melihat jika dirinya tengah sibuk mengejar surga dunia yang sudah lama tertunda. "Ada apa?" tanya Kevan datar begitu ia duduk di sofa hadapan Reygan. Reygan yang merasakan pergerakan di sampingnya pun menoleh. Lalu ia memutar bola matanya malas kala melihat wajah dingin nan datar milik Kevan. Rupanya lelaki itu sudah tidak memakai topengnya lagi. Baguslah! Sayang juga jika wajah tampan selalu di tutupi oleh sebuah topeng. Pikir Reygan. "Heh, kau lupa atau bagaimana hmm! Jika hari ini kita ada meeting dan kau!" tunjuk Reygan pada wajah Kevan. "Kau dengan seenaknya tidak datang ke perusahaan sehingga gue harus kembali mereschedule jadwalmu. Mana di telepon dan di pesan tidak sama sekali kau balas, menyebalkan!" gerutu Reygan. Kevan mendengus kesal. "Ck, kau tinggal ulang kembali jadwalku,
Kevan mematung di pintu yang tidak tertutup rapat itu. Istrinya tengah menangis, Kevan masih bertahan. Ia tidak masuk, karena ingin mendengar curahan hati sang istri . Tangis Arancia begitu lirih dan pilu. Lelaki yang tengah memegang nampan itu tampak mengepalkan tangannya. Kevan memutuskan untuk masuk, Arancia masih belum menyadari keberadaan Kevan. "Ternyata dia tidak sadar jika aku sudah berada di kamar," ucap Kevan pelan. Kevan pun memutuskan menghampiri Arancia yang tengah berdiri membelakangi dirinya. Kevan menelusupkan tangannya di antara perut sang istri. Arancia sempat kaget, tetapi ketika ia merasakan harum tubuh Kevan, Arancia pun diam. "Sedang apa?" tanya Kevan pura-pura tidak tahu jika Arancia menangis. Arancia tidak langsung menjawab. Ia mencoba menetralkan perasaannya. Jangan sampai Kevan tahu jika ia tengah menangis. Kevan pun menyandarkan dagunya di bahu Arancia, dan mengeratkan pelukannya. Merasai harum tubuh Arancia ya
Brakk "Astagfirullah! Ibu, ada apa?" tanya seorang gadis yang tengah mengaji itu. Seorang wanita paruh baya dan juga wanita muda mendatangi kamarnya. Wajah mereka berdua begitu menyeramkan, menatap tajam pada gadis yang masih terduduk menggunakan mukenanya. "Ibu, ada apa? Bukankah seharusnya kalian bersiap-siap?" tanyanya heran. "Lepaskan mukenamu! Dan ikut bersama kami, saat ini juga!" Gadis cantik bermata sendu itu tampak menatap heran pada ibu tirinya itu. Sementara itu, gadis muda yang berdiri di samping ibunya, hanya tersenyum menyeringai. Entah apa yang tengah mereka rencanakan. "Ikut aku!" ucapnya tegas seraya menarik tangan sang gadis dengan kasarnya. "Ya Tuhan, Ibu tunggu! Ada apa ini?" tanyanya panik. Sementara itu, wanita paruh baya itu menutup mulutnya tidak menjawab pertanyaan anak tirinya.Ia terus menarik tubuh kurus sang anak tiri. Ketika tiba di luar kamar, sang ayah yang tengah
"Tuan, persiapan sudah 95%, dan sekitar jam tujuh pagi kita akan berangkat ke rumah nona Zahra," ujar pria muda yang tak lain adalah asisten kepercayaan Kevan Aktamanov. Lelaki yang tengah memandang ke luar jendela itu hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Baiklah, jika begitu saya permisi. Ah ya ponsel Anda tadi saya lihat berkedip. Sepertinya ada pesan masuk." Lagi dan lagi Kevan hanya diam dan menjawab dengan anggukan kepalanya. Pria yang sudah memakai baju pengantinnya itu hanya menatap hamparan bunga-bunga yang tumbuh di halaman rumah belakangnya. ****** Kevan Aktamanov seorang pria tampan berusia 27 tahun itu, tampak gagah dengan pakaian pengantinnya. Pria yang berstatus seorang CEO di perusahaan Aktamanov Corp itu tampak memasang wajah dinginnya. Semenjak kecelakaan yang menyebabkan wajahnya hampir 50 persen terbakar. Membuat sikap Kevan berubah 180° . Lelaki yang tadinya bersikap hangat kini begitu dingin tak tersentuh.
"Saya terima nikah dan kawinnya, Arancia Alfatunisa dengan mas kawin tersebut tunai." Kevan membaca ijab kabul dengan sekali tarikan nafas. Penghulu dan para saksi terdiam, mendengar suara tegas nan berwibawa milik Kevan. Penghulu menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu para saksi pun mengangguk. "Bagaimana, para saksi? Sah?" "Sah." Satu kalimat itu terdengar membahana, ketika para saksi berkata pernikahan Kevan dan Arancia sah. Arancia menunduk, memilin gaun pengantinnya. "Baiklah, kalian berdua sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan sang suami boleh mencium kening sang istri. Dan sebaliknya sang istri mencium tangan suami dengan takdzim. Dan untuk buku nikah, maaf mungkin esok atau lusa baru bisa kalian tanda tangan. Sebab buku nikah yang berada di tangan saya atas nama Kevan dan Zahra. Jadi mohon di maklumi jika kalian berdua belum bisa langsung mendapatkannya." Kevan terdiam. Kemarahan terlihat sekali di raut wajahnya. Meskipu
"Rumah sebesar ini, tetapi tidak ada penghuninya," lirih Arancia begitu masuk ke dalam kamarnya yang luas dan mewah. Gadis cantik itu mengedarkan pandangannya. Menyapu setiap detail ruangan kamar itu. Dan Arancia akui, jika kamar yang ia tempati begitu besar dan juga indah. "Indah sekali, kamarnya lebih besar dari kamar punyaku," lirih Arancia tersenyum kecut. Bagaimana ia tidak membandingkan. Karena kenyataannya memang seperti itu, kamarnya begitu kecil berbeda dengan saudara tirinya. Luas dan nyaman. "Ya Tuhan, akan seperti apa pernikahan ini. Sedangkan di hari pertama aku menikah, lelaki itu sudah tidak ada di sini. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus bertahan atau memilih untuk menyerah?" Arancia duduk di tepi ranjang. Pakaian pengantin masih melekat di tubuhnya. Air mata tampak menetes di ujung matanya. Mengapa nasibnya tidak pernah beruntung seperti orang lain? Dirinya yang selalu tersisihkan, bahkan di saat ketika
"Haruskah aku membersihkan tempat ini sendiri? Jika aku membersihkannya, pasti tidak akan cukup waktu satu hari. Ya Tuhan," lirih Arancia seraya meraup wajahnya kasar. Gadis itu tampak menghembuskan napasnya lelah. Tapi ia tidak bisa mengelak dari takdir. Arancia harus menghadapinya. Dan ia yakin, dirinya pasti bisa. "Bismillah. Semoga saja tidak sampai seharian aku membersihkan Mansion luas ini." Gadis itu mulai membersihkan ruangan yang bahkan luasnya bisa sampai tiga rumah di satukan. Arancia sesekali terlihat menghela napasnya lelah. Padahal baru separuh jalan ia membersihkan lantai bawah. Belum lantai atas, halaman depan dan belakang. Yang paling Arancia benci, ia harus membersihkan kolam renang yang berada tepat di halaman belakang Mansion itu. "Kenapa ia tidak membawaku ke rumah yang sederhana saja, aku lebih suka tinggal di rumah sederhana daripada tinggal di tempat mewah tetapi sendiri," lirih Arancia. Hampir tiga jam g
Arancia menatap sekeliling. Ruangan luas namun kosong dan dingin. Hanya ia yang tinggal di Mansion yang begitu besar nan luas. Gadis cantik itu tampak menghela nafasnya sedih, "Sampai kapan aku akan seperti ini? Aku tidak bisa bekerja, tidak bisa pula menengok ayah. Bagaimana kabarnya saat ini, apakah ia baik-baik saja? Ayah maafkan Ara, karena Ara belum bisa menengok ayah, Ara rindu," lirihnya. Tidak terasa air mata jatuh membasahi kedua pipi mulusnya. Ia terduduk di lantai yang dingin itu seraya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Hidupnya terasa kosong, padahal baru beberapa hari ia menikah. Namun, Arancia tidak pernah bertemu kembali dengan pria yang menjadi suaminya. "Kamu dimana? Akan bagaimana nasib pernikahan ini? Sedangkan nahkoda kapalnya tidak ada." Sementara itu, di lain sisi Kevan melihat aktivitas Arancia di tablet yang tengah ia pegang. Rencananya beberapa hari ke depan ia akan melakukan operasi wajah