“Jangan—!”
Kiara mendorong tubuh tambun pria di hadapannya saat tangan kasar milik pria itu itu menelusuri lengannya yang tidak tertutup baju dengan napas berat.
Suara napas itu terlalu dekat, membuatnya mual.
Kenapa keluarganya menyuruhnya datang ke sini?
“Apa salahnya aku menyentuhmu, Sayang? Toh kita akan segera menikah.”
Sepasang mata Kiara membelalak.
Apa maksudnya itu? Menikah? Bagaimana bisa!?
“Ayo mendekatlah.” Pria itu menyeringai, lalu kembali menarik Kiara ke arahnya. “Kamu tidak perlu malu–”
“Tidak!”
“Argh!”
Kiara mengumpulkan sisa tenaganya untuk mendorong pria menjijikkan itu–bahkan kemudian menendang area intim sosok tersebut. Akan tetapi, akibatnya, baju bagian depannya rusak akibat ditarik oleh tangan nakal itu.
“Kamu! Berani-beraninya!”
Tangan Kiara gemetar menutup bagian depan tubuhnya yang terbuka. Matanya sudah basah dan wajah pucat. Tanpa berpikir ulang, ia berbalik dan berlari ke luar ruangan.
Namun, malang nasibnya. Rupanya sang ayah dan anggota keluarganya sedang berdiri di luar ruangan.
***
“AKU TIDAK MAU MENIKAH!”
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipi kiri Kiara membuat gadis itu langsung memegang pipinya. Kiara kini menatap nanar ke arah Guntur, sang ayah yang menatapnya dengan penuh amarah. Untuk pertama kalinya dia berani meninggikan suaranya di depan orang tuanya. Selama ini Kiara tidak berani melakukan itu.
“Sesusah itukah kamu berguna bagi keluarga?!”
“Ayah… dia seumuran dengan Ayah, pria tua itu pantasnya menjadi ayahku bukan suamiku,” tutur Kiara dengan mata yang berkaca-kaca.
“Ayah tidak mengajak kamu diskusi, Kiara! Ini perintah dari Ayah.”
“Jika Kak Veera membutuhkan uang kenapa tidak dia saja yang menikah dengan pria tua yang mesum itu, kenapa harus aku?”
“Kakakmu berpendidikan, tidak sepertimu. Dia juga seorang model, tidak pantas bersanding dengan Pak Tomi,” cecar Widia, ibu Kiara.
“Tapi–”
“Tidak ada kata tapi, kamu harus segera bersiap!” perintah Guntur. “Veera jaga Kiara jangan sampai dia kabur!” sambung Guntur yang kini menatap Veera, putri sulungnya.
Veera langsung mengangkat ibu jarinya dengan senyum yang merekah. “Ayah tenang saja,” ucap Veera.
Guntur dan Widia pun keluar dari kamar Kiara meninggalkan Kiara bersama dengan Veera. Tak lama setelah Guntur keluar maka dua MUA pun masuk.
Kiara, dengan mata memerah dan napas tersengal, dipaksa duduk di kursi oleh kakaknya, yang dengan kasar mengatur posisi adiknya agar wajahnya bisa dirias oleh Makeup Artist yang telah siap.
“Kak, jangan begini. Aku–”
Plak!
"Berhentilah melawan, Kiara!" ucap Veera, suaranya tegas dan dingin. Tangan Kiara yang mencoba mendorong Veera justru disambut dengan tamparan keras yang membuat pipinya memerah.
"Tidak ada gunanya kamu berontak," lanjut Veera, matanya menatap tajam ke arah Kiara yang kini menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan air matanya. "Tidak ada yang akan menolongmu di sini. Ayah dan Bunda juga tidak akan berpihak padamu. Jadi, lebih baik kamu menyerah saja."
Kiara menggigit bibirnya, rasa sakit di pipinya mengingatkannya pada kenyataan pahit yang harus dia hadapi. Makeup Artist dengan ragu mulai menyentuh wajah Kiara, menyapukan bedak dengan lembut, mencoba menghilangkan bekas merah tamparan itu. Kiara, meski hatinya hancur, membiarkan sentuhan itu merubah penampilannya, tubuhnya lemas tanpa daya, seakan sudah menerima takdir yang harus dia jalani.
“Aku akan keluar, pastikan dia cantik hari ini,” ucap Veera sebelum melangkah keluar dari kamar Kiara.
Setelah satu jam kemudian MUA itu pun membantu Kiara mengganti pakaiannya dengan gaun pengantin.
“Dimana mahkotanya?” tanya salah satu MUA.
“Di tas tidak ada?”
“Sepertinya ketinggalan di mobil, aku ambil dulu ya.”
Setelah mengatakan itu salah satu MUA pun keluar dari kamar Kiara.
“Dia lupa membawa kunci mobil,” gumam MUA berambut pendek yang melihat sebuah kunci mobil di atas meja.
“Kakak antar saja kuncinya,” ucap Kiara tiba-tiba membuat MUA itu menatap Kiara. Terlihat jelas jika MUA itu menatap ragu ke arah Kiara.
“Saya akan mengantar kunci dulu, Nona jangan kemana-mana ya.”
Kiara menganggukan kepalanya dengan tersenyum kecil. Saat MUA itu keluar terdengar suara pintu yang dikunci.
Beberapa saat kemudian Kiara langsung menuju ke arah jendela. Dia menatap ke bawah jendela, kamarnya ada di lantai dua membuat Kiara ragu.
“Mau kemana kamu, Kiara!”
Suara teriakan kakaknya, menggema di telinga Kiara, namun gadis itu tak menggubris. Jantungnya berdegup kencang, dan tanpa ragu, ia melompat dari jendela lantai dua rumahnya. Kakinya terasa nyeri, tapi rasa sakit itu tak ada artinya dibandingkan dengan ketakutan yang menyelimuti hatinya saat dia berlari menjauh.
Di tengah keramaian kota besar, suara klakson mobil dan deru langkah kaki berpadu dalam simfoni kehidupan yang tak pernah berhenti. Langit biru cerah menggantung di atas, seolah tak peduli dengan kekacauan di bawah. Kiara melintasi trotoar, gaun putihnya yang seharusnya menjadi lambang kebahagiaan kini terasa seperti belenggu yang mengikat.
“Tidak, tidak, tidak!” Kiara membisikkan pada dirinya sendiri, berusaha menyingkirkan bayang-bayang kakaknya yang terus mengejarnya.
Hatinya berdebar, langkahnya semakin cepat. Dia tak menyadari betapa banyak orang yang melintas di sekelilingnya.
Bruk!
Tubuh Kiara tiba-tiba menabrak sesuatu yang keras, dan dia hampir terjatuh.
Dia mendongak, bertemu dengan tatapan tajam seorang pria.
Anya!Wanita itu berdiri angkuh dengan setelan branded dari ujung kepala hingga kaki. Rambutnya ditata sempurna, riasan wajahnya tanpa cela, dan tas di tangannya—yang harganya bisa membeli satu mobil—dijinjing seolah itu barang murah. Senyumnya tipis, namun sarat dengan kesombongan.Kiara terpaku. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Anya di tempat ini—terlebih dalam kondisi seperti sekarang, saat ia tengah berusaha berdamai dengan ketidaknyamanan dirinya sendiri.“Aku mau semua yang ada di gantungan ini,” ucap Anya dengan nada tinggi, sengaja memastikan suaranya terdengar oleh siapa pun di sekitar. Tangannya menunjuk sederet gaun dari koleksi terbaru yang baru saja dipajang.“Baik, Nona Anya,” jawab pegawai butik dengan senyum profesional, segera bergerak untuk menindaklanjuti permintaan berlebihan itu.Anya menoleh pada Kiara dan menyunggingkan senyum sinis. Tatapannya menyapu dari kepala hingga kaki Kiara, lalu berhenti di tangan gad
Widia membeku sejenak. Keterkejutan jelas terpancar di wajahnya, meskipun ia buru-buru menutupinya dengan tawa sinis yang terdengar lebih seperti upaya menyelamatkan muka. “Luc—Lucas... ibunya?” gumamnya, nyaris tak percaya. Sorot matanya bergetar saat menatap sosok anggun di hadapannya—wanita elegan yang kini berdiri dengan tenang namun penuh wibawa. Helen berdiri perlahan dari kursinya. Bahunya tegap, tatapannya tajam dan dingin, nyaris sejajar dengan tinggi Widia. Namun aura yang terpancar dari tubuhnya membuat Widia terlihat kecil. “Kalau kamu mau bicara buruk tentang Kiara, pastikan kamu siap berhadapan langsung dengan saya,” ucap Helen dingin, setiap katanya seperti pisau yang meluncur mulus namun menusuk dalam. “Saya tidak akan membiarkan satu orang pun menyentuh menantu saya—apalagi menghina harga dirinya di depan umum.” Widia terdiam. Nafasnya tersendat. Ia mundur satu langkah, mencoba menyelamatkan dirinya dari sorotan tajam yang kin
Kiara keluar dari kamar ketika jarum jam menunjuk pukul dua belas siang. Suasana hatinya kini jauh lebih tenang dibanding beberapa jam sebelumnya. Dia menuruni tangga dengan langkah pelan, matanya menelusuri sekeliling mencari sosok Bunda Helen. Saat kakinya menjejak lantai satu, pintu kamar di ujung lorong terbuka—dan tepat saat itu, Bunda Helen melangkah keluar. Wajah wanita paruh baya itu langsung tersenyum hangat saat melihat Kiara. “Pas sekali kamu sudah bangun,” ucap Bunda Helen lembut. “Ayo kita makan siang di luar, ya?” Kiara tertegun sejenak. Ada keraguan di matanya. Entah karena masih belum sepenuhnya pulih dari badai emosi yang ia alami, atau karena belum pernah keluar rumah berdua dengan Helen sebelumnya. Melihat keraguan itu, Bunda Helen melangkah lebih dekat dan menatap Kiara dengan penuh kasih. “Jangan ditolak, ya? Kita belum pernah punya waktu berdua seperti ini, Kiara. Anggap saja sebagai quality time i
Mobil Andra melaju dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan yang mulai lengang. Di dalam kabin, suasana hening. Kiara hanya menatap ke luar jendela, pikirannya penuh oleh kejadian di kampus yang masih membekas. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti mendadak tepat di depan mereka, memblokir jalan sepenuhnya. Andra spontan menginjak rem. “Apa-apaan ini?” gumam Andra kesal. Ia segera membuka pintu dan turun dari mobil, ekspresinya menunjukkan kekesalan dan kewaspadaan. Sementara itu, Kiara yang berada di dalam, memandangi mobil hitam itu dengan dada berdebar. Matanya membesar saat mengenali plat nomornya. Tak lama kemudian, pintu mobil hitam terbuka. Lucas keluar—tanpa tongkat, tanpa bantuan siapa pun. Posturnya tegap, matanya tajam menatap lurus ke arah mobil Andra. Sorot mata itu dingin… namun menyala oleh amarah yang ditahan di ambang batas. Langkah Lucas terhenti ketika Andra maju untuk menghadangnya. “Apa yang Anda lakukan?!” se
“Jangan gila deh!” seru Kiara dengan wajah merah padam, lalu bergegas melangkah keluar dari kamar, menahan rasa malu dan kesal yang bercampur menjadi satu.“Sayang, mau ke mana?” tanya Lucas dari balik punggungnya, tapi Kiara tak menggubris. Ia terus berjalan, seolah ingin menjauh secepat mungkin dari pria yang baru saja menggoda habis-habisan dirinya. Lucas hanya menghela nafas pelan, namun tak lama kemudian senyum puas tersungging di wajahnya. Sorot matanya memancarkan rasa puas karena berhasil membuat istrinya salah tingkah.Sementara itu, Kiara menuruni tangga dengan langkah cepat. Ia mencari keberadaan Bunda Helen. Ia bertanya pada salah satu maid yang sedang membersihkan vas bunga.“Nyonya Besar ada di ruang keluarga, Nyonya,” jawab sang maid sopan.Tanpa membuang waktu, Kiara segera menuju ke ruang keluarga. Di sana, ia menemukan Helen yang tengah duduk santai sambil menikmati secangkir teh hangat, ditemani suara musik klasik lembut yang mengalun dari pengeras
Sejak pulang dari kampus, pikiran Kiara terus dipenuhi oleh ucapan Anya. Ia berdiri di balkon kamarnya, memandang kosong ke langit senja yang mulai meredup. Cahaya jingga perlahan memudar di balik awan, menyisakan semburat kelabu yang mencerminkan kegelisahan hatinya. Angin sore menyapu rambutnya yang terurai, tapi tak mampu menyingkirkan beban di kepalanya. “Anya berselingkuh saat Lucas buta... Kalau dia tahu Lucas sudah bisa melihat, pasti dia ingin kembali ke sisi Lucas,” batin Kiara, napasnya berat tertahan di dada. Ia menggenggam erat pagar balkon, seolah mencoba meredam gemuruh di hatinya. “Tapi... memangnya aku pantas bersaing sama dia?” gumamnya lirih. Ada keraguan, ada ketakutan. Tanpa sadar, ia menghentakkan kakinya pelan, menyalurkan kekesalan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Tiba-tiba, sepasang lengan kuat memeluknya dari belakang. Kiara terkejut, tubuhnya sempat menegang. Namun saat suara berat yang familiar me