Khansa tak bergeming. Ditatapnya lurus jendela di hadapannya. Hembusan napas kasarnya membuat Om Pras jengah. Dirasakan lengannya ditarik dengan kasar, hingga wajahnya menatap wajah Om Pras yang marah. "Kenapa Om, mau menghukum aku lagi? Silakan om... aku memang ada untuk dihukum bukan. Karena aku tak pantas bahagia. Aku dilahirkan hanya membuat orang lain susah!" teriaknya menantang tatapan Om Pras yang marah. Sekejap Om Pras terkesiap melihat Khansa yang begitu emosi. Dikendurkannya pegangan pada lengan Khansa yang terlihat memerah. Butir air mata mulai menggenang di sudut matanya. Kemarahan di wajahnya berkurang. "Kenapa Hanny, ada yang menyakitimu?" tanya Om Pras pelan. "Om yang menyakiti aku. Om tak menganggap aku ada, aku hanya pelampiasan kemarahan Om saja bukan?!" tanyanya sedikit berteriak. Om Pras yang awalnya ingin mengerjai Khansa dengan foto di laptopnya merasa bersalah dengan reaksi yang diberikan Khansa. Dihapusnya butiran air yang sudah jatuh, mencoba tersenyum unt
"Bagaimana? masih mau marah? Kalau tidak suka aku hapus sekarang juga," ledek Om Pras pada Khansa. "Jangan om, aku mau foto itu saja di sana. Tapi om harus menjelaskan siapa wanita yang sebelumnya ada di sana," rajuknya sambil melingkarkan tangannya di lengan Om Pras. Disandarkan kepalanya sambil memejamkan mata. Om Pras melanjutkan pekerjaannya untuk memeriksa email yang masuk dibiarkan Khansa yang bermanja di sampingnya. Huft... sepertinya dia harus banyak mengalah dengan istri kecilnya ini. Setelah selesai dan Om Pras menutup laptop serta menaruhnya di atas nakas. Diliriknya Khansa yang ternyata kembali tertidur. Dibaringkan badannya agar tidak menekuk karena tertidur saat duduk bersandar. Direbahkan tubuhnya di samping Khansa, dipeluknya tubuh Khansa hingga terasa kehangatan mengalir dan tak lama diapun ikut terpejam. "Om, bangun! teleponnya dari tadi berbunyi," ujar Khansa kesal. Om Pras mengambil ponsel dan melirik nama yang tertera di layar, Rama. Ada apa? bukannya tadi sud
"Bagaimana kabar bisnis Yudhatama, pa?" tanya Om Pras membuka percakapan."Sepertinya papa tidak bisa bertahan. Papa harus mengalah dengan pebisnis muda," keluhnya menjawab pertanyaan Om Pras. Om Pras mengangguk-angguk. Kemudian meminta maaf. " Maaf telah membuat dua kontrak di batalkan," senyum Om Pras terlihat saat melirik ke arah Khansa kemudian melanjutkan ucapannya."Khansa memintaku untuk membantu di Yudhatama karena dua proyek yang kemarin dibatalkan disebabkan olehnya. Jadi kami bermaksud mengembalikan nilai kontrak yang sama pada perusahaan papa," jelasnya.Papa menatap Khansa seakan memastikan apa yang dikatakan Om Pras adalah benar. Khansa hanya mengangguk setelah menatap Om Pras sesaat. Om Pras melanjutkan ucapannya, "Papa bisa menghubungi Rama untuk memilih dua kontrak yang senilai. Aku sudah menyiapkannya.""Wah, papa senang sekali mendengarnya. Papa jadi bersemangat kembali untuk melanjutkan bisnis ini," ucap papa sambil tersenyum penuh kemenangan. "Oh ya Pa. Kami akan
Khansa menunggu Om Pras menjawab pertanyaannya, dilangkahkan kakinya menuju sofa. Om Pras mengikuti Khansa sedangkan Rama melanjutkan kembali pekerjaannya. Mereka kini duduk di sofa, masih dengan keheningan yang mereka ciptakan. Khansa masih menunggu jawaban. "Jika aku mengatakan yang sebenarnya, apakah akan mempengaruhi hubungn kita. Surat perjanjian sudah ditandatangani tidak ada yang memaksamu saat menandatanganinya bukan?" tegas Om Pras sambil menatap tajam. "Minimal aku tahu dengan siapa aku bertarung untuk mendapatkan Mas Pras. Jika memang dia bukan lawanku aku akan mundur perlahan. Apalagi jika aku tahu mas lebih memilihnya, aku akan mengalah untuk kebahagiaan Om Pras," ucapnya pelan sambil menunduk. Om Pras tersenyum melihat Khansa yang sudah menjadi istrinya tertunduk di sampingnya. Diangkat dagunya pelan agar dia bisa menatap wajahnya, diciumnya pelan bibir yang selalu membuatnya ingin menikmatinya lagi. Awalnya Khansa membalas ciumannya, tak lama ditariknya wajahnya dan m
Om Pras mengangkat tubuh mungil Khansa ke tempat tidur, dihubunginya Rama agar membawa dokter ke apartemennya. Tidak mungkin dia membawa Khansa ke rumah sakit. Dilonggarkannya pakaian yang dikenakan Khansa agar dapat bernapas lega. Sepertinya Khansa kelelahan. Di panggil nama Khansa beberapa kali agar membuka matanya. Namun Khansa seakan tak mendengar suaranya. Saat pintu dibuka dia tahu jika yang datang adalah Rama dan dokter. Bergegas dijemputnya mereka ke depan, memintanya agar lekas memeriksa Khansa. Setelah dokter memeriksa kondisi Khansa yang masih memejamkan matanya, dokter meminta agar Pras mengikutinya. Rama juga keluar dari kamar dan menuju ruang tamu. Dokter dan Pras sudah duduk di sana, belum ada yang memulai pembicaraan hingga Pras akhirnya menanyakan kondisi Khansa. "Dokter, bagaimana kondisinya. Mengapa dari siang tadi muntah-muntah? Jangan bilang dia hamil karena itu tidak mungkin," ucapnya menjelaskan. Dokter tersenyum mendengar pertanyaan. "Sepertinya tekanan yan
Khansa terdiam mendengar ucapan Om Pras. Diurungkan niatnya untuk beranjak meninggalkannya. Dibalikkan badannya sambil bertanya, " Apakah om bisa menjamin kebahagiaanku di masa depan jika nanti Kak Amanda ada di hadapan om nanti?"Ditatapnya mata sendu yang ada di hadapannya. Kenapa jika melihat matanya yang sendu dia menjadi tak tega. Om Pras bangun dan menghampiri Khansa. "Rama membawakan minuman hangat juga obat untukmu. Kita ke depan," ucapnya sambil menarik tangan Khansa untuk mengikutinya. Khansa mengikuti Om Pras dengan enggan. Dia sudah tak peduli dengan kehidupannya kini. Semua masa depannya sudah hancur. Keluarga yang menjadi sandarannya seakan menghilang ditelan bumi, pernikahannya dengan orang yang tidak mencintainya kini tak lagi dimasukkan ke dalam hatinya. Sesampainya di ruang tamu Om Pras membiarkan Khansa duduk, diambilnya segelas air untuk minum obat. Minuman hangat yang dibawakan Rama diminummya separuh. "Minum obatnya dahulu," ucapnya sambil menyerahkan obat da
Khansa berhasil ditarik Om Pras ke dalam apartemen, dikuncinya dari agar tak ada yang bisa keluar tanpa seizinnya. Tak ada yang bisa membuka pintu kecuali dia yang membukakannya. Khansa yang mengetahuinya beranjak meninggalkan Om Pras di ruang tamu. Dihentakkan kakinya dengan kesal dan masuk ke dalam kamar. Om Pras hanya memperhatikan kekesalan Khansa sambil menatap lekat pada amplop coklat yang menyebabkannya. Agak ragu untuk membuka isinya, dia juga kesal karena amplop ini membuat hubungan mereka berdua semakin memburuk. Baru saja melihat Khansa bisa tersenyum saat menuruti keinginannya kini dia harus menghadapi kemarannya kembali. Dilangkahkannya menuju kamar saat didengar dari dalam Khansa muntah-muntah dipercepat langkahnya. Amplop yang dibawanya diletakkan sembarang di atas meja. Diambilnya aroma terapi di atas nakas, dan masuk dalam kamar mandi. Khansa sudah terduduk dipinggir kloset dengan lemas. Sepertinya isi perutnya sudah habis dikeluarkannya, Diangkat tubuh Khansa yang
Khansa kembali duduk dan memperhatikan apa yang dilakukan Om Pras. Kini mereka makan bersama, Khansa melanjutkan menghabiskan makanan yang sudah ada di piringnya, sedangkan Om Pras mengambil sedikit dari makanan yang ada. Om Pras khawatir jika dia memakannya seperti biasa, Khansa akan kekurangan lauk dan membuatnya kembali kesal. Ternyata benar yang ada di berkas hasil penyelidikannya, porsi makan Khansa sangat banyak. Tak disadarinya sebuah senyum terbentuk di bibirnya. Saat Khansa melihatnya, dia kembali dia meradang, "Om mau membuat aku susah apa lagi sekarang? Om selalu jahat pada Khansa, tidak bisakah om punya sedikit perasaan sayang pada Khansa!" Om Pras kaget dengan bentakan Khansa. Piring yang yang sudah kosong namun masih ditangannya diletakkan perlahan di atas meja. Membalas tatapan marah Khansa, sesaat kemudian matanya berkaca-kaca. Sebutir air mulai mengalir dari sudut matanya. Huft... lagi dan lagi. Setiap hari selalu ada drama dari Khansa, Bagaimana mungkin aku har