Share

Bab 4 Sedih atau Bahagia

Hari ini adalah hari yang dinantikan banyak orang, tapi tidak dengan Khansa. Pernikahannya dengan Om Prasetya. Tamu undangan sudah banyak yang datang, itu yang didengarnya dari perias yang sedang melakukan tugasnya. Khansa sudah selesai dirias, baju pengantin yang mama bilang sangat indah dan pas dibadannya tak terlihat keindahannya di mata Khasna.

Kak Yasmine dengan perutnya yang sudah terlihat membesar datang memberi ucapan selamat. Aku hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Jika mengingat Kak Yasmine dulu adalah pacar Om Pras, sepertinya aku ingin lari dari pernikahan ini.

Saat pernikahan Kak Yasmine berlangsung dua bulan yang lalu, papa menerima lamaran dari keluarga Narendra. Khansa tak bisa menolaknya karena sudah menyetujui permintaan Om Pras. Selain itu dia juga tak ingin memiliki hutang budi pada Keluarga Yudhatama yang telah memberikan kasih sayang padanya walau mereka tak pernah mengatakan jika dia bukan anak kandungnya.

“Sayang, mama minta maaf jika hal ini membuatmu sedih. Hanya saja mama tidak memiliki kemampuan untuk melawannya,” ucap mama saat menemaninya menerima lamaran.

Setelah mengetahui jika dirinya bukan bagian dari keluarga besar ini Khansa memang ingin pergi. Meninggalkan semua kebohongan yang ada. Mencoba mencari tahu siapa keluarganya sebenarnya. Dia harus menemukan kembali masa lalunya yang telah hilang.

“Iya ma, Khansa memahaminya. Khansa akan menuruti semua permintaan mama, hanya karena Khansa juga sayang pada mama,” jawabnya pelan.

“Terima kasih, Khansa sayang,” ucap mama sambil memeluknya erat.

Mama menangis. Khansa tidak tahu apakah mama benar-benar bersedih untuknya atau hanya kepura-puraan. Dia sudah belajar dan berusaha untuk menerima apapun bentuk takdir yang akan dijalaninya nanti.

“Pernikahan akan dilangsungkan satu pekan setelah Khansa selesai ujian sekolah. Keluarga Narendra yang akan mengurus dan menyiapkan semuanya. Keluarga Yudhatama hanya menghadirinya, dan memastikan Khansa hadir dipernikahannya,” ucap Om Pras saat papa menerima lamarannya.

Khansa hanya bisa mendengarnya dari belakang punggung papa sambil menunduk. Dia tak berani memandang Om Pras, walau dia tahu saat ini tatapan mata Om Pras tajam tertuju padanya. Dia masih belum menerima dengan Ikhlas semua keputusan ini.

Khansa menghembuskan napas jika mengingat saat lamaran kemarin. Hingga saat ini pun dia tidak pernah membayangkan masa depan yang akan dijalaninya nanti. Kepura-puraannya tidak mengetahui jika dia bukan bagian dari Keluarga Yudhatama juga masih mengganjal di hatinya. Khansa ingin sekali menguak masa lalunya agar semua menjadi jelas dimatanya.

“Sa, jangan bersedih seperti itu, bagaimanapun kondisinya hari ini adalah hari pernikahan kalian. Tersenyumlah, apalagi akan ada banyak tamu nanti,” pesan Kak Yasmine melihat goresan kesedihan di matanya.

Khansa tersadar dari lamunannya, mencoba manjawabnya dengan tersenyum. Sepertinya dia harus menekan jauh ke dalam rasa sakit di hatinya. Juga melupakan latar belakang serta masa lalu Om Prasetya yang akan menjadi suaminya.

“Iya kak, nanti di acara aku akan berusaha untuk selalu terlihat bahagia,” ucapnya memberikan alasan.

Kak Yasmine mengangguk kemudian memeluknya erat. “Maafkan kakak ya Sa,” bisiknya pelan di dekat telinga.

Rasa sakit di hatinya semakin menggores, selama ini aku menganggapnya sebagai kakak yang sangat baik. Semenjak kecil dia hanya memiliki Kak Yasmine seorang. Mama dan papa sangat sibuk di kantor sehingga keseharian mereka hanya berdua. Isaknya mulai terdengar saat mengingat kedekatannya dengan Kak Yasmine.

Ternyata Kak Yasmine bukan kakak kandungnya dan dia yang membawa perubahan besar dalam kehidupan Khansa. Sebenarnya Khansa masih ingin melanjutkan sekolah, namun dia harus menguburnya dalam-dalam. Seandainya saja…

“Khansa, sudah selesai? Keluarga Pras sudah sampai,” suara mama membuat pelukan mereka terurai.

Aku mencoba tersenyum pada mama, walau air mata masih membayang. Mama mendekatinya dan menghapus jejak kesedihan di matanya, menatapnya takjub, “Cantik sekali sayang. Mama kira mama bertemu putri dari negeri dongeng”. Ucapan mama membuat Kansa dan Kak Yasmine tersenyum.

Mereka bertiga berjalan pelan setelah perias mengecek kembali semua penampilan Khansa. Tim perias mengangguk puas dengan hasil pekerjaannya. Mempersilakan Khansa yang didampingi mama dan kakaknya berjalan menuju tempat acara.

Sebuah aula utama sudah didekorasi seperti istana kecil, gemerlapnya lampu tak bisa membuat hati Khansa berwarna. Satu hal yang membuatnya masih di sini adalah dia harus menikah dengan Om Pras agar dia tidak menghancurkan Perusahaan Yudhatama.

Khansa duduk di samping mama dan Kak Yasmine. Papa dan Om Pras sudah duduk di meja tempat berlangsungnya akad nikah mereka. Seorang wanita paruh baya duduk dikursi roda dengan seorang wanita cantik yang selalu bersiap di belakangnya. Apakah dia mama Om Pras, seperti yang dikatakan Kak Yasmine?

“Wanita itu mamanya, Tante Dewi. Dia sudah lama tidak bisa berjalan, dan di belakangnya adalah Nadin, sepupunya yang juga perawat mamanya,” bisik Kak Yasmine seakan mengetahui jalan pikirannya saat menatap ke arah seberang.

Tak lama suara penghulu menanyakan pada saksi apakah sah? Kedua saksi menjawab “sah” yang diikuti ungkapan rasa syukur dari tamu undangan yang hadir. Butiran bening mulai mengalir di pipinya. Selesailah sudah, kini dia harus menjalaninya. Sendiri... Khansa berjanji tak akan menghubungi keluarha Yudhatama lagi mulai detik ini. Semakin dicoba untuk menahan butiran air matanya semakin deras alirannya.

“Sa, selamat. Kini kamu sudah resmi menjadi istri Pras,” lirih suara Kak Yasmine masih bisa kudengar.

Mama membimbing tangan Khansa untuk menghampiri Om Pras. Khansa tak ingin melangkah ke sana, dia tak sanggup berdiri di sana, namun mama dan Kak Yasmine berusaha keras agar Khansa melangkah perlahan. Dia merasakan kepalanya pusing, pandangannya mulai kabur.

Saat ini tangan yang menggenggamnya berganti, kuat dan kokoh. Saat dia mencoba menarik ingin melepaskannya, dirasakan genggamannya semakin kuat. Sebuah cincin dirasakannya memasuki jari manisnya yang diikuti sebuah tangan lain membantunya memasukkan cincin ke jari tangan Om Pras.

Tubuhnya dirasakan semakin ringan, butiran bening telah lama berhenti mengalir. Sesaat dirasakan keningnya dikecup, kekuatan kakinya seakan menghilang. Tak lagi mampu menahan beban badannya. Pandangan matanya menggelap dan didengarnya teriakan yang tetiba semua hening.

Saat Khansa terbangun, dirasakan kepalanya sakit. Gaun pengantin sudah berganti dengan kaos ukuran besar yang menutupi hingga pahanya. Pasti ini kaos Om Pras, mengapa tidak diganti dengan baju yang dibawanya? batinnya.

Khansa melihat sekeliling, bukan kamar tempatnya dirias pagi tadi. Kamar ini lebih luas, nuansa maskulin jelas dirasakannya. Khansa menarik napas dalam, apakah ini kamar Om Pras? Siapa yang mengganti gaunnya?

Saat dia berpikir keras, suara pintu dibuka dibarengi dengan lampu di dekat pintu menyala. Khansa memutuskan untuk berpura-pura tidur kembali. Khansa takut jika Om Pras mengetahui dia sudah bangun akan ada hal yang tak diinginkannya terjadi.

“Bawa saja semua hadiah ke rumah, aku akan di sini beberapa hari bersama istriku. Jangan mengganggu dengan pekerjaan kantor, banyak hal yang harus diselesaikan di sini.”

Suaranya menghilang, keheningan tercipta. Khansa coba menajamkan pendengarannya, namun dia tak mendengar suara apapun. Hingga hembusan napas dirasakan dekat telinganya. Khansa semakin memejamkan matanya sambil berdoa dalam hati. Om Pras sepertinya telah menarik wajahnya, karena tak dirasakan lagi hawa panas yang tadi sempat membuatnya berdebar.

“Jika memang tidak lapar, tidurlah. Jika merasa lapar aku sudah memesan makanan sebentar lagi sampai,” ucapnya diiringi suara lemari yang terbuka. Tak lama terdengar kembali suara pintu kamar mandi yang dibuka dan ditutup kembali.

Khansa tak berani bergerak, didengarnya suara air yang menandakan Om Pras sedang mandi. Tak lama suara air berhenti, beberapa detik berikutnya pintu dibuka, saat aku mengintip aku melihat Om Pras hanya melilitkan handuk di pinggangnya, dada bidangnya terekspos di sana.

Khansa menarik napas perlahan. Om Pras menatap ke arahnya tajam sambil mengernyit, apakah Om Pras tahu jika dia hanya berpura-pura? Suara ketukan di pintu menyelamatkannya. Om Pras menarik jubah mandi sebelum membukakan pintu.

Petugas hotel menata makan malam di meja, harum makanan membuat perutnya berbunyi nyaring. Semenjak pagi belum ada makanan yang dmakannya, hingga akhirnya aku memutuskan untuk pura-pura terbangun dan duduk bersandar di kepala tempat tidur.

Om Pras sudah mengenakan kaos dan celana pendeknya, benar dugaannya kaos yang dipakainya adalah kaos Om Pras, keduanya hampir sama. Khansa mendengus kesal. Om Pras menghentikan langkah kaki dan menoleh ke arahnya.

“Jika mau makan bangunlah, aku tak akan mengantarkan ke tempat tidur,” ucapnya sambil menatap tajam dan berlalu.

Khansa menggelengkan kepalanya sambil menatap pada separuh tubuhnya yang ditutupi selimut. Senyuman terlihat disudut bibir Om Pras. Sepertinya dia tahu apa yang dipikirkan Khansa.

“Tidak perlu malu, aku sudah melihat semuanya lebih dari yang kamu kira. Lagi pula kamu kan istriku, apa yang ada di tubuhmu semua adalah milikku,” ucapnya sambil menyeringai dan melanjutkan langkahnya menuju sofa.

Ucapannya berhasil membuat wajah Khansa memerah. "Melihat semuanya?" Jadi...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status