"Jangan coba sentuh istriku, Viviane!" Teriakan Meix terdengar bergemuruh, suaranya dipenuhi amarah yang membakar.
Elena menajamkan pendengarannya. 'Meix. Apa dia kembali menolongku?' batinnya, secercah harapan muncul dikala genting.
Ia perlahan menurunkan tangan, berharap tamparan Viviane tak sampai ke wajahnya. Bola matanya membulat sempurna saat melihat Meix mencengkeram pergelangan tangan Viviane tepat di depan wajahnya, menghentikan tamparan itu di udara.
Rahang Meix mengeras, matanya memancarkan kemarahan yang membakar. Ia menghempas tangan Viviane dengan kasar, lalu mendorong tubuh mantan tunangannya itu.
Viviane terhuyung, tubuhnya terjerembab ke lantai marmer yang dingin. Alisnya turun, bertaut erat di atas hidung, menciptakan kerutan dalam di dahi. Bibirnya mengerucut, napasnya terdengar berat, keluar dari
Di sebuah saung yang terletak di tepi sungai, Elena dan tim mengumpulkan seluruh warga desa Bergdorf untuk memulai sebuah penelitian.Suara deburan air terjun yang turun dari gunung, menjadi latar pemandangan yang indah hari itu. Seindah suasana hati Elena, saat mendapat kesempatan bertemu lagi dengan para warga desa Bergdorf yang dicintainya."Selamat siang... Nyonya dan Tuan..." teriak Elena menyapa semua warga."Selamat siang, Nona Elena..." jawab seluruh warga serempak.Wajah Elena berseri, matanya berbinar saat mulai menyampaikan tujuannya mengumpulkan seluruh warga di saung itu."Senang sekali... Akhirnya aku bisa bertemu dengan kalian lagi. Bagaimana kabar kalian?""Kami tidak baik, Nona. Sejak Nona tiba-tiba pergi, tidak ada yang membantu kami dalam menangani masalah di ladang," jawab Nyonya Helga."Benar. Pertanian kami selalu gagal. Kami bahkan kehabisan gandum untuk membuat roti," sahut Nyonya lainnya.Elena me
"Sebelum kembali ke Bellavia, boleh aku mengunjungi pemakaman Ibu dan Nenek," tanya Elena. Bibirnya bergetar, suaranya lirih penuh permohonan.Meix memiringkan kepalanya sedikit, keningnya berkerut, seolah mencoba memahami ucapan Elena. "Kenapa kita akan kembali ke Bellavia? Bukankah penelitian belum dikerjakan?"Pandangan Elena tertunduk, tak sanggup menatap Meix. Matanya berkaca-kaca, jemarinya menggenggam ujung bajunya sendiri. "Apa aku bisa mengerjakan itu sendiri? Timku saja masih terbaring di rumah sakit. Mereka tidak mungkin pulih dengan cepat."Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum miris. Senyum yang layu, tak pernah mencapai matanya yang berkaca-kaca. "Aku harus ikhlaskan semuanya, Meix. Mungkin aku harus mengakui kekalahan pada Ayah."Meix seketika bangkit. Ia duduk tegak menatap Elena dalam, merasakan hantaman kata-kata Elena seperti tinju di dadanya. Setelah semua yang ia lakukan untuk melindunginya, Elena justru ingin menyerah. Tangannya
"Nona Elena... Nona Elena..."Suara teriakan anak-anak tiba-tiba terdengar di depan rumah, memanggil namanya.Elena membuka matanya perlahan, lalu beranjak duduk dengan mata yang masih terpejam. "Sejak kapan di mansion Dalton ada anak kecil?" gumamnya, setengah sadar."Nona Elena... Apa kau di dalam?" teriak mereka kembali memanggil namanya.Elena spontan membuka matanya dengan lebar. Ia menguceknya beberapa kali, menyapu sekeliling dengan mata yang masih rabun."Ini... Bukan di Dalton Estate," ujarnya terperangah. "Argh... Aku di rumah Nenek. Aku di desa Bergdorf!" teriaknya histeris.Ia segera turun dari ranjang dengan terburu-buru, menyebabkan derit kayu yang semakin nyaring dan membuat ranjang reyot itu bergoyang hebat.Meix yang masih pulas di samping Elena terperanjat, matanya terbuka lebar secara tiba-tiba. Jantungnya berdebar kencang, ia merasa seperti berada di tengah gempa. "Aahhh... Apa ini? Kenapa ranjangnya bergoyan
Meix menarik selimut, menutupi bahu Elena yang mungil. Ia menunduk, mengecup keningnya yang hangat, lalu mengelus rambutnya lembut."Tidurlah yang tenang, sayang... Aku berjanji akan membantumu mengungkap semuanya," bisiknya, lirih.Detik berikutnya, ia melangkah keluar kamar, menutup pintu tanpa suara, seolah takut mengganggu ketenangan tidur Elena.Di teras, ia menemukan Jack yang sedang duduk di tangga kayu sembari memandang langit Bergdorf di kegelapan malam. "Jack..." panggilnya lirih.Jack segera berdiri, kepalanya tertunduk memberi hormat. "Tuan..." sahutnya.Meix menghela napas panjang. Ia menjatuhkan diri di tangga, bahunya merosot seolah menanggung beban yang tak terlihat."Bagaimana Nona Elena, Tuan?" tanya Jack, suaranya pelan.Meix menatap kosong ke arah deburan air terjun yang mengalir di kegelapan. Pikirannya berputar. Keningnya berkerut dalam, membentuk garis tajam di antara alisnya. "Dia sudah istirahat, Jack."
"Katakan! Kenapa kau tidak makan?" desis Meix. Raut wajahnya tegang, namun matanya memancarkan amarah yang dingin.Elena menunduk, meremas jemarinya. "Aku tidak nafsu makan."Meix melangkah maju, setiap langkahnya terasa berat dan disengaja. Elena semakin menunduk, ketakutan menjalar di hatinya, khawatir Meix akan kembali menjadi sosok yang dingin dan sulit disentuh."Kenapa?" ulang Meix. Suaranya kini lebih rendah dan dekat."Karena... karena kau marah padaku," bisik Elena. Suaranya nyaris tak terdengar.Meix kini berdiri tepat di depannya. Ia mengangkat dagu Elena, jemarinya menangkup wajah Elena dengan hati-hati, memaksa mata mereka bertemu. Di matanya, bukan hanya ada amarah, tapi juga ada kekhawatiran yang tersembunyi. "Kau tahu kenapa aku marah?"Elena mengalihkan pandangan, tangannya meremas erat sisi roknya. "Kau... kau cemburu pada Lucien?""Menurutmu, apa aku tidak boleh cemburu?""Tapi-"Meix melumat bibir Ele
"Meix... Tunggu aku!" teriak Elena, setengah berlari menyusul langkah panjang Meix.Ia berdiri di hadapannya, menghalangi jalan. Tatapannya menelusuri wajah suaminya yang mengeras. "Sayaang... Apa kau marah?" rayunya, senyumnya menggoda.Meix membuang muka. Kerutan dalam muncul di antara alisnya. "Tidak," katanya singkat, lalu melenggang melewati Elena begitu saja."Meix... Kau tak mau menggandengku?!" teriak Elena, menatap punggung Meix yang semakin menjauh.Namun, Meix mengabaikannya. Ia terus berjalan tanpa menoleh."Meix... Kakiku sakit!" dusta Elena, berharap pria jangkung itu akan menoleh.Ia menghentakkan kaki di jalan berkerikil. "Ih... Kau benar-benar merajuk?" gumamnya, merengek.Elena memutar otak untuk menarik perhatian Meix. Saat melihat Jack menyusulnya dari belakang, ia sengaja menjatuhkan diri, penuh sandiwara