“S-sakit …” Amora mengerang kesakitan ketika Aiden mencoba mengobati pergelangan kakinya yang terluka.
“Ini tidak akan selesai jika kau tidak bisa diam.” Aiden menghela napas berat, karena kaki Amora yang tidak bisa diam ketika ia sedang mengoleskan salep.
“A-aku bisa sendiri,” Amora menatap mata Aiden dengan takut, kemudian ia mengulurkan tangannya untuk mengambil obat oles yang berada di tangan Aiden.
Tetapi Aiden tidak mengindahkan perkataan Amora, dan justru tetap mengobati lukanya. Ketika Aiden sudah selesai mengobati pergelangan kaki Amora, Aiden beranjak untuk pergi dari kamar Amora.
“A-aiden … terima kasih—” ucap Amora tergugu, seraya menurunkan kakinya ke lantai.
“Jangan berterima kasih kepadaku.” Aiden menanggapi dengan tenang, lalu melenggang pergi meninggalkan Amora.
***
Aiden menggosok rambutnya dengan handuk, guna mengeringkan rambutnya yang basah akibat menyelamatkan Amora. Tampak pria tampan itu masih dilingkupi perasaan yang masih kesal.
Suara ketukan pintu berbunyi. Aiden yang sedang mengeringkan rambut mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Embusan napas kasar lolos di bibirnya di kala ada yang mengganggunya.
“Masuk!” titah Aiden tegas.
Seorang pelayan muncul dan sedikit masuk ke dalam kamar Aiden. “Tuan, maaf mengganggu Anda.”
Aiden menatap dingin sang pelayan. “Ada apa?”
Sang pelayan menunduk di kala mendapatkan tatapan tajam dari Aiden. “Tujuan saya ke sini hanya ingin memberitahu bahwa Tuan Richard ada di depan.”
Aiden sedikit mengalihkan perhatiannya kepada sang pelayan, karena merasa tidak menyangka, Richard berani datang ke kediamannya.
Sang pelayan mengangguk. “Benar, Tuan. Saat ini Tuan Richard sudah menunggu di ruang tamu.”
Tanpa banyak bicara lagi, Aiden melangkah keluar meninggalkan kamar. Sang pelayan segera berjalan keluar terburu-buru. Langkah kaki Aiden melangkah sedikit cepat dengan raut wajah yang masih kesal.
“Hai, sepupuku!” Pria tampan bernama Richard menatap Aiden yang kini menghampirinya sambil memegang handuk kecil, “Kau baru selesai mandi?”
“Ada perlu apa kau ke sini?” tanya Aiden dingin, tak mengindahkan ucap Richard Reficco, sepupu dari keluarga sang ayah.
Richard menyandarkan punggungnya ke sofa. “Well, aku tahu kau masih pengantin baru. Kedatanganku pasti tidak kau sambut dengan baik karena mengganggu kesenanganmu dengan istrimu. Tapi jika benar ucapanku, maka kau termakan ucapan sendiri. Kau menolak perjodohan, dan sekarang tampaknya menikmati pernikahanmu.”
Aiden berdecih mendengar omong kosong Richard. “Aku tidak suka basa-basi. Kau tahu itu. Cepat kau katakan apa tujuanmu ke sini?!”
Richard tersenyum samar sambil mengetuk-ngetuk jemarinya di pinggir sofa. “Kau parah sekali. Lusa adalah hari perayaan ulang tahunku. Ck. ulang tahun sepupumu sendiri bisa lupa.”
Aiden mengembuskan napas kesal. “Aku memiliki banyak kesibukan. Aku tidak memiliki waktu untuk mengingat hal-hal kurang penting.”
Richard mendengkus kesal. “Terserah kau bilang apa. Besok, kau jangan lupa kau datang ke pesta ulang tahunku, dan bawa istrimu jika memang kau ingin membawanya.”
“Lihat nanti. Aku tidak janji datang.” Aiden menjawab dingin dan seperti enggan datang.
Richard berdecak. “Come on, Aiden. Kau parah sekali tidak mau datang di pesta ulang tahunku.”
Aiden malas berdebat dengan sepupunya itu. Jika dia mengatakan tak datang, pasti akan terus dibujuk-bujuk untuk datang. “Fine, aku akan datang. Sekarang lebih baik kau pulang. Aku sibuk.” Pria itu bangkit berdiri, berlalu pergi meninggalkan Richard yang tak memedulikan ucapannya. Richard tetap duduk di tempatnya seraya menikmati kopi yang baru dibuatkan sang pelayan.
Amora melangkah keluar kamar dengan kaki yang sedikit masih pincang, akibat tergelincir di kolam renang. Sungguh, jika bukan karena Aiden yang menyelamatkannya entah bagaiman dirinya. Mungkin saja dia sudah tidak ada.
Amora melihat ke sekeliling, tidak ada Aiden. Mungkin pria itu berada di ruang kerjanya. Itu yang menjadi dugaan kuat Amora. Dia memilih melangkah menuju ke taman belakang. Dia ingin menghirup udara segar.
Saat Amora hendak menuju taman belakang, dia berpapasan dengan seorang pria asing yang tak dikenalinya. Sontak, Amora terkejut melihat pria asing itu sedang melihat lukisan baru yang terpasang di ruang tengah.
“Kau siapa?” tanya Amora pada pria asing itu.
Richard menoleh, menatap Amora dengan senyuman tipis di wajahnya. “Kau pasti istri Aiden.”
Amora kikuk dan bingung. “I-iya, aku istri Aiden. Kau siapa?”
Richard mengulurkan tangannya ke hadapan Amora. Namun, Amora belum sama sekali menyambut uluran tangan Richard. Tampaknya kehadiran pria asing di mata Amora itu membuatnya takut.
“Richard Reficco, aku sepupu Aiden. Aku melihatmu di hari pernikahan. Tapi aku yakin kau pasti tidak menyadari,” ucap Richard dengan tangan yang masih terulur.
Mendengar pria asing itu sudah memperkenalkan diri sebagai sepupu Aiden, barulah Amora berani berjabat tangan dengannya. “Amora North,” ucapnya memperkenalkan diri pada Richard.
Richard tersenyum dan jabatan tangan itu terlepas. “Ya, aku mengenalmu, Amora. Senang bisa berkenalan seperti ini denganmu.”
Amora mengangguk dan membalas senyuman Richard.
Richard menatap tak sengaja kaki Amora yang sedikit pincang. “Kenapa dengan kakimu, Amora?” tanyanya ingin tahu.
Amora menatap kakinya sekilas. “Ah, ini karena kecerobohanku. Aku tercebur di kolam renang.”
Sebelah alis Richard terangkat. “Astaga! Memangnya kau tidak bisa berenang?”
Amora menggelengkan kepalanya. “Tidak bisa. Kakiku tergelincir dan tercebur ke kolam, tapi untungnya Aiden datang menyelamatkanku.”
Richard terkejut mendengar ucapan Amora. “Aiden menyelamatkanmu?”
Amora mengangguk. “Ya, jika dia tidak menyelamatkanku, entah bagaimana nasibku sekarang.”
Richard terdiam sejenak. Kepingan ingatannya mengingat Aiden yang tadi menggosok rambutnya yang basah. Sepertinya itu bukan karena sepupunya itu mandi, tapi karena sepupunya baru menyelamatkan Amora yang tercebur di kolam renang.
“Aku tidak mengira Aiden secepat ini memiliki kepedulian tinggi padamu,” ucap Richard seraya menatap Amora.
“Hmm, mungkin hanya kebetulan saja, Richard,” jawab Amora pelan.
Richard menggelengkan kepalanya. “Nope. Tidak ada yang kebetulan. Aiden biasanya tidak sepeduli itu pada seseorang yang baru di hidupnya. Bisa saja dia meminta pelayan atau security menyelamatkanmu, tapi tidak dia lakukan, kan? Aiden malah menyelamatkanmu sendiri. Good. Sepertinya hubungan kalian akan baik-baik saja.”
Amora menjadi bingung harus menjawab apa. Dia memilih untuk diam, tidak bersuara. Hanya senyuman canggung yang dia lukiskan di hadapan Richard. Sebab, apa yang dipikirkan Richard sangat jauh berbeda di dalam pikirannya. Di pikiran Amora, sosok Aiden sangat dingin dan juga arogan.
Richard melirik arlojinya sekilas. “Amora, maaf aku harus pergi. Aku sudah cukup lama di sini. Aku ingin ke kantorku sekarang.”
Amora menganggukkan kepalanya. “Hati-hati, Richard.”
“Thanks. Cepat sembuh, Amora. Bye.” Richard berlalu pergi meninggalkan Amora yang masih bergeming di tempatnya.
Kata-kata Richard terngiang di dalam pikiran Amora. Namun buru-buru, Amora menepis pikirannya. “Apa yang kau pikirkan, Amora?” gerutunya pada diri sendiri.
Tatapan Aiden semakin tajam dan dingin, mendengar pertanyaan konyol Amora. Aura wajah pria itu menunjukkan jelas tampak kesal, tapi semua ditahan tak langsung diledakan. “Cemburu? Apa kau sudah tidak waras menanyakan pertanyaan konyol itu?” seru Aiden dengan nada marah. Amora gelagapan melihat kemarahan Aiden. “A-Aiden, a-aku hanya bertanya saja. A-aku menceritakan pada Enola tentang kemarahanmu, dan Enola bilang kau cemburu. Apa itu benar?” Aiden memejamkan mata singkat. “Kenapa kau harus bercerita pada Enola, Amora?!” “Aku hanya meminta penadapat pada Enola saja, Aiden. A-aku bingung tadi kau bilang aku murahan. Jadi, aku meminta pendapat pada Enola,” kata Amora sedikit panik. Aiden mendecakkan lidahnya. “Kau meminta pendapat pada Enola, dan karyawanmu itu sama bodohnya denganmu! Aku mengatakan kau murahan, karena kau terlalu ramah pada pria! Harusnya kau memberikan batasan!” Mata Amora mengerjap beberapa kali. “Apa aku harus melayani pelanggan dengan nada ketus?” Aiden meng
Enola keluar dari dapur, membawakan satu kopi hitam, dan satu kopi susu yang dipesan oleh Amora. Namun, saat dia melangkah keluar tatapannya menatap Amora muram, dan tidak ada Aiden. “Nyonya Amora? Ke mana Tuan Aiden?” tanya Enola sopan, sembari meletakan minuman yang dia buat ke atas meja. Amora menghela napas panjang. “Aiden sudah pergi. Dia marah padaku.” “Marah pada Anda?” ulang Enola memastikan. Amora mengangguk. “Iya, Aiden marah padaku, Enola. Dia bilang aku murahan.” Kening Enola mengerut dalam. “Maaf, jika saya lancang, tapi kenapa Tuan Aiden mengatakan Anda murahan?” Amora duduk di kursi, seraya menopang dagu. “Aku tadi melayani pelanggan. Menurutku, aku hanya tersenyum ramah pada pelanggan. Tapi, Aiden mengatakan aku murahan. Aku memberikan senyuman yang menggoda pelanggan.” Enola semakin bingung. “Tunggu, Nyonya, apa pelanggan yang Anda layani seorang pria?” Amora kembali mengangguk. “Iya, pelanggan pria. Dia mencari bunga untuk orang yang dia cintai. Dia juga bil
Pagi menyapa, Amora bersiap-siap untuk pergi ke toko bunganya. Rasanya sudah lama dia tak mengunjungi toko bunganya. Pun sekarang dia sudah menyiapkan oleh-oleh untuk karyawannya. Hatinya senang, karena bisa kembali menjaga toko. “Aiden, aku berangkat ke toko bungaku dulu, ya?” pamit Amora dengan riang, seraya menatap Aiden. “Aku akan mengantarku,” ucap Aiden dingin, dan sontak membuat Amora terkejut. Mata Amora melebar. “Kau akan mengantarku? Kenapa, Aiden?” “Memangnya kenapa jika aku mengantarmu? Ada yang salah?” balas Aiden tak ramah. Amora menghela napas dalam. “Bukan seperti itu, aku hanya bingung saja. Hari ini kau harus ke kantor, kan?” “Aku tidak ingin kau membuat masalah. Aku akan mengantarmu ke toko bunga, lalu aku akan ke kantorku.” “Kau bisa terlambat, Aiden.” “Aku pemilik perusahaan.” “Aiden, tapi—” “Amora, kenapa kau keras kepala sekali? Sudahku katakan, aku akan mengantarmu, maka artinya aku mengantarmu! Jangan keras kepala!” seru Aiden dengan nada tinggi. A
Aiden menatap dingin Richard yang muncul di hadapannya. Ya, tepat di kala Richard muncul, Colby langsung pamit undur diri. Asisten Aiden itu tak ingin mengganggu percakapan tuannya. “Well, kau masih tidak berubah, Aiden,” ucap Richard, sambil duduk di depan Aiden. “Gengsi mengaku cinta, huh?” ledeknya pada sepupunya itu. “Ada apa kau ke sini?” Aiden tak suka berbasa-basi, dia langsung menanyakan maksud dan tujuan sepupunya mendatanginya. Richard terkekeh. “Aku baru pulang dari luar negeri, dan aku dengar kau juga baru saja kembali dari Hong Kong, begini cara menyambut sepupumu? Ck! Sangat tidak sopan.” Aiden mendecakkan lidahnya. “Cepat katakan, ada apa kau ke sini?” Aiden yakin bahwa pasti ada sesuatu hal yang diinginkan oleh sepupunya itu. Dia sudah sangat mengenal dengan baik sepupunya. Meski bukan saudara kandung, tapi hubungannya dengan Richard terbilang sangat dekat. Aiden menyilangkan kaki kanan, dan bertumpu ke paha kiri. “Kau memang cerdas. Kau mampu membaca tujuanku k
New York, USA. Hiruk pikuk New York menyambut semua orang yang tiba di kota bisnis Amerika itu. Banyak turis asing yang berdatangan, dan tak sedikit pula banyak orang yang ingin tinggal di pusat kota bisnis Amerika. Orang berlalu lalang cepat, dan memakai coat tebal untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin New York City. Amora yang baru saya tiba di New York, sejak tadi tak luput melihat banyak orang yang berlalu lalang. Tinggal di kota bisnis sudah taka sing lagi di matanya menatap pemandangan yang ada. Hanya berbeda nuansa di kala Amora berada di Hong Kong. Ya, Amora menemani Aiden di Hong Kong hanya sebentar saja. Jujur, dia sangat suka berada di Hong Kong. Apalagi sebelum pulang, dia sempat mampir sebentar ke Macau—yang terkenal dengan pusat perjudian di Asia. Nuansa yang tetap memiliki ciri khas berbeda dari Las Vegas. Namun, Amora tidak bisa berlama-lama. Aiden sudah harus kembali ke New York, karena pekerjaan yang padat. Sementara Amora yang ingin sekali berlibur lebih lam
Jadwal Aiden di Hong Kong cukup padat di waktu yang sangat singkat. Hari terakhirnya di Hong Kong, dia memiliki meeting di salah satu restoran ternama. Namun, kali ini dia mengajak Amora. Pria tampan itu tak mau mengambil risiko lagi meminta Amora menunggu di hotel. Tidak ada yang bisa Amora lakukan selain patuh. Selama meeting berlangsung, wanita itu duduk dengan tenang sambil menikmati makanan yang terhidang. Ya, dia menyadari kesalahannya, dan dia juga sudah berjanji tak akan membuat masalah. Saat meeting sudah berakhir, Aiden mengantar rekan bisnisnya keluar restoran. Sementara Amora pergi ke toilet. Wanita itu mengantre, karena di toilet wanita penuh. Akan tetapi, di kala dia sedang mengantre, tiba-tiba saja dia melihat sosok wanita berambut pirang. Amora terkejut melihat sosok wanita yang sangat dia kenali. Dia mendekat, mengejar bayangan wanita itu, tapi arah wanita itu menuju keluar restoran tepatnya ke lorong gelap sebelah kanan. Detik itu juga, tanpa pikir panjang, dia b
Tubuh Amora membeku melihat Aiden menarik tangannya. Dia sama sekali tidak menyangka Aiden berada di hadapannya. Yang dia tahu Aiden memiliki meeting, tapi kenapa sekarang Aiden menyusulnya? Otak Amora berusaha mencerna semua ini. “Siapa kau?!” bentak pria berkulit hitam itu, kesal pada Aiden yang menjadi pengganggu. Aiden menatap tajam pria berkulit hitam itu. Postur tubuhnya sama seperti pria berkulit hitam itu. Dia memiliki tubuh yang tinggi dan tegap, serta otot yang keras. Tak heran jika Amora tak bisa berontak, karena memang tinggi Aiden dan tinggi Amora berbeda cukup jauh. “Enyah kau dari hadapanku, sebelum aku menghabisimu,” desis Aiden tajam, dan tak main-main. Pria tampan itu terlihat tenang, tapi sorot matanya sangat tajam, dan sangat menakutkan. Pria itu tersenyum sinis. “She’s mine. Jangan ganggu kami.” Amarah Aiden semakin menjadi, bagaikan tersulut oleh bara api panas di kala pria hitam itu mengaku-aku bahwa Amora adalah miliknya. Aiden melepaskan tangannya yang me
Sham Shui Po, Kowloon, Hong Kong. Amora tersenyum melihat kepadatan pasar Sham Shui Po. Pasar di Kawasan Kowloon Hong Kong, dengan kondisi pasar benar-benar sederhana. Bibir Amora sampai menganga terkejut melihat harga yang terpampang di toko-toko sangat murah. USD yang Amora bawa jika ditukar HKD maka pasti akan sangat banyak. “Oh, My God! Di New York tidak ada pakaian semurah ini,” seru Amora antusias. Amora memang lahir dari keluarga yang berkecukupan. Meskipun bukan dari hubungan resmi, tapi Amora hidup bisa dikatakan layak walau tidak seperti adik tirinya. Perbedaan Amora dengan Trice adalah Amora menyukai hal-hal sederhana, sedangkan Trice menyukai hal-hal yang mewah. Seperti saat ini Amora lebih menyukai datang ke tempat tradisional di Hong Kong, daripada dia harus datang ke pusat Mall ternama di Hong Kong. Awalnya Amora tak sengaja melihat di internet daftar tempat menjual pakaian murah, dan ternyata hotel yang dipilih Aiden tidak terlalu jauh ke pasar tradisional ini. Hal
Musim dingin di Hong Kong tidak sedingin musim dingin di New York. Langit di Hong Kong sudah gelap. Awan mengumpul menjadi satu sangat indah. Amora mendongak, menatap indahnya awan di Hong Kong. Wanita cantik itu berdiri di balkon kamar sebentar, lalu melangkah menuju ranjang, dan membaringkan tubuhnya ke ranjang. Pikiran Amora sejak tadi memikirkan tentang Aiden. Dia mencari tahu tentang Aiden di internet, tapi dia tidak menemukan jejak digital tentang Aiden yang menjalin hubungan dengan wanita mana pun. Padahal dengan apa yang dimiliki oleh Aiden, pastinya memudahkan Aiden mendapatkan wanita cantik. Amora bergelut dalam pikirannya, ditambah perkataan ibu tirinya membuatnya menjadi tidak tenang serta gelisah. Jika saja dia berada di New York, sudah pasti dia akan bertanya pada ibu tirinya lagi, apa maksud ucapan ibu tirinya yang mengatakan Aiden tidak normal. “Apa yang kau pikirkan?” tanya Aiden sontak membuat Amora terkejut, dan membuyarkan lamunannya. “I-iya, Aiden?” Amora mena