Amora merasa kesialan datang menghampirinya. Dia yang berniat ingin mengunjungi toko bunga miliknya, malah dipaksa harus ikut dengan Aiden ke kantor pria itu. Sungguh, Amora ingin sekali menolak, tapi ada kedua mertuanya yang membuat Amora benar-benar tidak bisa berkutik sama sekali.Saat ini Amora sedang berada di mobil Aiden. Wanita cantik itu menoleh ke luar jendela, menatap cuaca di kota Manhattan yang sangat cerah. Sejak tadi Aiden mengemudikan mobil, tanpa sedikit pun meliriknya. Keheningan di dalam mobil membentang membuat suasana tercipta menjadi canggung dan tak nyaman.“A-Aiden, apa tidak apa-apa kau membawaku ke kantormu? Aku takut menyusahkanmu,” ucap Amora pelan seraya memberanikan diri menatap Aiden yang sedang mengemudikan mobil.Aiden menatap lurus ke depan, fokus melajukan mobil tanpa mau menoleh ke arah Amora. “Kau tidak dengar apa yang dikatakan orang tuaku?”Amora menggigit bibir bawahnya pelan. “I-iya, aku ingat, tapi aku hanya takut menyusahkanmu. Kau bilang hari
Amora melangkahkan kakinya gontai keluar dari ruang kerja Aiden. Dia memijat kepalanya di kala merasa kepalanya berputar-putar. Matanya sayu tidak sanggup untuk membuka mata. Pun Amora tak bisa melihat dengan benar ke sekelilingnya akibat dirinya yang tak bisa mengendalikan diri.“Nyonya?” Colby terkejut melihat istri tuannya, keluar dari ruang kerja dalam keadaan seperti orang yang sedang mabuk. Detik itu juga, buru-buru, Colby menangkap tubuh Amora yang nyaris tumbang. Tampak jelas kepanikan di wajah Colby.“Nyonya, kenapa Anda bisa mabuk?” tanya Colby panik seraya menatap Amora dengan tatapan yang panik. Dia mendapatkan perintah untuk menjaga istri dari tuannya. Namun sekarang sepertinya malapetaka akan datang ke hidupnya. Mata Amora sayu menatap Colby. “Aku tidak mabuk. Di mana Aiden? Aku ingin memberikan perhitungan pada pria berengsek itu.”Alkohol telah menguasai seluruh tubuh Amora sampai-sampai, dia berani mengatakan hal demikian. Jika kesadaran pulih, mana mungkin Amora be
Pelupuk mata Amora mulai bergerak-gerak, menandakan bahwa kesadaran wanita itu akan segera pulih. Perlahan Amora memijat keningnya di kala merasakan kepalanya pusing. Wanita itu merintih di kala merasa kepalanya seperti ingin pecah.Beberapa detik, Amora memejamkan mata sambil memijat keningnya. Tatapannya perlahan mulai mengendar ke sekitar—menatap dirinya berada di kamar hotel. Raut wajahnya menunjukkan jelas keterkejutan.Tiba-tiba sesuatu hal muncul di dalam benak Amora. Sontak mata Amora terbelalak terkejut. Ya, dia mengingat jelas dirinya berada di kantor Aiden. Dia minum sesuatu di lemari minuman Aiden—yang ada di ruang kerja pria itu. Namun, kenapa tiba-tiba dia tidak sadarkan diri dan terbangun di sebuah kamar hotel? Ada apa dengannya? Jutaan pertanyaan muncul di kepala Amora.Napas Amora sedikit memburu akibat rasa paniknya yang mulai menyerang. Pikiran-pikiran buruk bermunculan di otaknya. Buru-buru, dia mengintip tubuhnya yang terbalut selimut tebal—dan ternyata aman. Tubu
Mina menyiapkan banyak sekali makanan untuk putra dan menantunya. Dia sengaja memasak, agar nafsu makan putra dan menantunya bertambah. Pun tentu ada pelayan yang siap sedia membantunya. Namun, dalam mengolah makanan adalah tugas Mina. Pelayan hanya membantu saja.“Sayang, ayo makan yang banyak. Semua menu makanan di sini Mommy yang buat khusus untukmu dan Aiden,” ucap Mina seraya menatap hangat Amora.“Mom, harusnya Mommy tidak usah repot-repot. Nanti Mommy kelelahan,” jawab Amora pelan.“Sayang, tidak repot sama sekali.” Mina meletakan kepiting kupas yang sudah dia olah ke piring Amora. “Ayo kau harus banyak makan.”Amora tersenyum lembut. “Terima kasih, Mom.”“Aiden, malam ini Dad dan Mom akan pergi ke Melbourne. Kami memiliki undangan ke sana,” ucap Drew memberi tahu anaknya.Aiden mengangguk samar. “Jam berapa kau berangkat?”“Jam sebelas nanti.”“Kenapa kau mengatur pesawat di malam hari?” “Tadi siang Dad ada urusan.”Aiden kembali mengangguk. “Take care.”Mina menatap Amora. “
“Nyonya Amora?” Enola, karyawan toko bunga Amora, berlari di kala melihat Amora menjadi korban tabrak lari. Posisi Enola berdiri di depan toko, sedang merapikan bunga-bunga. Tampak seketika dia terkejut melihat Amora yang terjatuh di trotoar. Orang yang menabrak Amora bahkan sudah melarikan diri.“Nyonya, apa Anda ingin saya antar ke rumah sakit?” tanya Enola khawatir seraya membantu Amora bangkit berdiri. Dia memapah Amora, menuju toko bunga.“Tidak usah, Enola. Obati saja kakiku dengan obat P3k yang ada di toko. Luka di kakiku tidak parah,” jawab Amora pelan seraya menahan rintihan sakit di kakinya. Dia beruntung masih bisa selamat. Entah bagaimana nasibnya, jika dia ditabrak hingga mental.Enola membantu Amora untuk duduk di kursi. “Baiklah, tunggu sebentar, Nyonya. Saya akan ambilkan kotak p3k dulu.”Amora mengangguk merespon ucapan Enola. Detik selanjutnya, Enola mengambil kotak p3k, dan mulai mengobati luka di kaki Amora dengan perlahan dan hati-hati.“Aw—” rintih Amora kesakita
Gelegar petir membelah langit gelap. Hujan turun begitu deras di kota Manhattan. Aiden yang masih berada di kantor, tiba-tiba saja memikirkan tentang Amora. Wanita itu sering menggunakan transportasi umum. Pun jika dia meminta sopir untuk menjemput Amora, bisa saja kejadian ban bocor kembali terulang seperti tadi pagi.Suara ketukan pintu terdengar …“Masuk!” titah Aiden tegas.Colby masuk ke dalam ruang kerja Aiden. “Selamat sore, Tuan. Maaf mengganggu Anda. Tapi di luar hujan, meeting sore ini dibatalkan. Apa Anda berniat untuk langsung pulang saja?”“Kau tahu alamat toko bunga Amora?” Aiden tak mengindahkan ucapan Colby, yang dia tanyakan malah alamat toko bunga Amora.“Toko bunga Nyonya Amora, Tuan?” ulang Colby memastikan seraya menggaruk kepalanya tidak gatal.Aiden mengangguk. “Iya! Kau tahu atau tidak?!”“Hm, yang saya dengar dari sopir toko bunga Nyonya Amora terletak di Brooklyn,” jawab Colby sedikit gugup.Aiden bangkit berdiri menyambar kunci mobil dan dompetnya. “Kirimkan
Amora tidak memiliki pilihan lain di kala Aiden mengajaknya untuk ke Hong Kong. Padahal sebenarnya dia ingin menolak ajakan Aiden. Namun, mana mungkin dia bisa menolak. Wanita itu selalu tak memiliki pilihan jika Aiden sudah menentukan apa yang diinginkan oleh pria itu. “Aku akan pulang malam. Ada meeting penting yang harus aku hadiri. Kau tidak usah ke toko bunga. Kakimu masih sakit,” ucap Aiden dingin seraya memakaikan dasi di lehernya.Amora mengerjapkan mata beberapa kali. “Kakiku baik-baik saja, Aiden. Aku tidak terluka parah. Tulangku juga tidak patah. Aku bisa berjalan. Biarkan aku ke toko. Aku bosan di rumah.”Tatapan Aiden terhunus dingin pada Amora, membuat wanita itu menciut ketakutan. “Jadi, kau berharap tulang kakimu patah dulu baru kau tidak datang ke toko bungamu?!” Nada bicara pria itu cukup tinggi—membuat bahu Amora bergetar ketautan.Amora menelan salivanya susah payah. “A-aku hanya bosan saja di rumah, Aiden. Jika aku menjaga toko, aku bisa memiliki aktivitas.”
Pelupuk mata Amora bergerak-gerak, perlahan kedua mata indahnya terbuka—bersamaan dengan sinar matahari yang menembus sela-sela jendela kamarnya dan menyentuh wajah mulus Amora. Kening wanita itu mengerut, melihat dirinya berada di dalam kamarnya. Tatapan Amora mengendar sebentar, merasa ada yang aneh. Kepingan memorinya satu persatu mulai ingat bahwa dirinya sedang berada di ruang tengah, membaca sebuah novel. Namun, kenapa dirinya sekarang berada di kamar? Siapa yang memindahkannya? Rasanya tak mungkin pelayan yang membopongnya memindahkannya ke kamar.Aiden! Secara spontanitas benak Amora langsung yakin bahwa Aiden yang pasti menggendongnya. Dia bahkan tak tahu kapan Aiden pulang ke rumah. Yang dia ingat Aiden mengatakan akan pulang terlambat.Amora menatap ke jam dinding, waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Seketika itu juga, mata Amora melebar terkejut. Dia tak mengira akan bangun siang. Padahal biasanya jam enam atau jam tujuh dirinya sudah bangun.Amora segera menyibak sel