Share

Bab 5 : Dia Tidak Pernah Mencintaimu

Aksen memijat kepalanya yang terasa pening. Untuk menetralkan stressnya, ia memilih duduk di kursi pinggiran kolam renang belakang rumahnya. Merebahkan badan dan menikmati udara yang sejuk mungkin akan sedikit membantu otaknya kembali tenang.

“Lemon tea bagus untuk mengurangi stress berlebih,” ujar Amora seraya menyimpan segelas lemon tea buatannya di atas meja samping Aksen. Pria itu tak merespon sedikit pun. Posisinya masih tetap dengan kedua lengan dilipat dibelakang kepala dan tatapan lurus ke depan.

Amora menghela napas panjang ketika tak menerima respon apapun dari suaminya. “Aku ingin kau mendengar satu kebenaran dariku.” Amora masih setia berdiri disamping suaminya.

“Waktu itu, sehari sebelum hari pernikahan tiba- ”

“Aku tak peduli,” potong Aksen berucap tanpa intonasi.

“Setidaknya kau harus tahu kejadian sebenarnya, jangan menyimpulkan sendiri!”

Aksen menoleh kepada Amora dengan tatapan tak terbaca. Pria itu menampilkan senyum smirk-nya kemudian terkekeh meledek Amora.

“Kebenaran apa? Kebenaran kalau kau sengaja menyekap Aurel, supaya bisa merebut posisinya menjadi pengantinku? Hah, sama sekali tak bisa kubayangkan ada wanita sekeji dirimu, Amora!” ucap Aksen kembali ke posisi sebelumnya.

Tampak kerutan di antara jarak kedua alis Amora. Wanita itu sangat heran dengan apa yang diucapkan suaminya. Kenyataan diperoleh dari mana yang suaminya nyatakan tadi itu.

“Tuan Aksen, opinimu sangat berlebihan. Apa tidak bisa kau mendengar kenyataannya dariku langsung?” geram Amora.

“Untuk apa? Mendengar alibi-alibi bodohmu? Telingaku terlalu suci untuk menangkap kata-kata munafik dari mulutmu itu!”

Amora kembali menghela nafas. Kata-kata kejam yang dilontarkan Aksen masih sama seperti dulu. Kebenciannya terhadap Amora tidak pernah padam, apalagi ditambah sekarang dia dituduh sebagai perebut kebahagiaan Aurelia, kebencian Aksen semakin menggunung terhadap Amora.

“Baiklah. Terserah kau mau menganggap ucapanku ini apa. Yang penting, aku ingin kau mendengarnya. Pernikahan ini terjadi bukan karena aku yang merebutmu darinya, tapi karena wanitamu sendiri yang menyerahkanmu padaku, karena dia tidak mencintaimu sama sekali!”

“CUKUP! AKU BILANG AKU GAK BUTUH SEMUA OMONG KOSONGMU!!”

Amora menutup matanya sejenak. Lagi-lagi bentakan Aksen membuat dadanya berdebar tak beraturan. Ia mencoba mengatur nafasnya untuk lebih rileks agar meminimalisir detak jantung yang semakin kencang.

“Aku tau kau menyadari itu semua. Mau sampai kapan kau pura-pura percaya Aurelia mencintaimu?” ungkap Amora membuat Aksen beranjak dari tempat duduknya kemudian berjalan mendekat menghampiri Amora yang masih berdiri menatapnya.

“Kau pikir aku akan percaya padamu, hm? Kau pikir dengan kau mengatakan itu semua, aku akan melepas Aurel lalu mencintaimu, begitu?!” Aksen berucap seraya menekuk kedua tangan menopang pinggangnya.

“Justru dengan kau mengatakan ini, aku semakin bertekad untuk menceraikanmu dalam waktu dekat!” lanjut Aksen seraya berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Amora yang masih mematung di tempat.

“Kau yakin mau menceraikanku, Aksen? Apa kau tak ingat dengan ucapan ibu ketika merobek map biru yang kau tinggalkan di meja kemarin?”

Aksen menghentikan langkahnya. Ia kembali ingat ancaman ibunya yang begitu mematikan. Kemarin setelah pertengkaran itu terjadi, malamnya Rina kembali mengomel kepada Aksen perihal map biru yang Aksen tinggalkan di atas meja.

Rina segera merobek map itu ketika ia tahu di dalamnya terdapat surat perceraian yang harus ditanda tangani oleh Amora. Rina murka, bahkan ia mengatakan kalau sampai Aksen bercerai dengan Amora, ia tak akan segan-segan mencoret nama Aksen dari daftar pewaris keluarga dan memberikan perusahaan miliknya kepada Amora.

Tangan Aksen mengepal mengingat itu. Rahangnya mengeras hingga memperlihatkan tulang pipi yang kokoh membentuk wajah tampannya. Ia berbalik dan berjalan menuju Amora kembali.

“Kau pikir aku takut?” ucap Aksen geram.

“Aku tak bilang begitu. Aku hanya tak ingin kau memutuskan sesuatu yang akan merugikan dirimu sendiri,” ucap Amora tak habis akal.

“Cih! Kau pintar sekali berbual. Pantas saja banyak perusahaan yang mau bergabung dengan perusahaanmu, itu semua pasti karena ucapanmu yang pintar berbual ini.” Aksen tersenyum miring mengejek Amora.

“Kau salah, Aksen. Mereka mau bergabung denganku bukan karena ucapanku yang menjanjikan. Tapi karena mereka pintar memilih, siapa partner terbaik untuk dijadikan tim agar menghasilkan sesuatu yang terbaik.” Amora masih berusaha bersikap tenang di depan Aksen. Jika saja emosinya terpancing, ia akan disebut kalah.

Aksen terkekeh pelan. “Pintar memilih? Atau jangan-jangan kau menjanjikan sesuatu diluar bisnis, nona Amora? Berapa malam yang kau habiskan untuk melayani mereka supaya mau bergabung dengan perusahaanmu?”

Amora kembali mengatur nafasnya perlahan. Ia harus tetap tenang meskipun Aksen terus memancing emosinya.

“Kau sangat berlebihan, tuan Aksen. Aku bahkan tidak kerpikiran untuk melakukan hal itu,” jawab Amora masih terlihat tenang.

“Tak usah mengelak. Aku bahkan tidak peduli kau berbuat itu atau tidak sekalipun!” cuek Aksen

“Aku peduli, karena kau suamiku,” ucap Amora kembali mempertegas statusnya sebagai istri dari Aksen.

“Tapi aku tidak pernah menganggap kau sebagai istriku! Jika saja bukan karena ancaman ibu, aku akan menceraikanmu hari ini juga!” tegas Aksen.

“Karena itulah aku tak mau bercerai denganmu. Aku ingin membantumu mendapatkan perusahaan itu,” ucap Amora lagi.

“Terserah kau saja! Tapi satu hal yang perlu kau ketahui, aku tidak akan menganggapmu istriku sampai kapanpun!” Aksen tetap dengan pendiriannya. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa Amora adalah musuhnya dan berbalas dendam kepadanya adalah hal yang wajib ia lakukan.

“Syukurlah. Aku senang jika kau tak mengungkit kata-kata cerai lagi.”

Aksen kembali tersenyum miring. “Kau pikir kau akan hidup tenang di rumah ini? Aku akan membuat hidupmu menderita, lebih dari apa yang kau bayangkan sebelumnya!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status