Hari sudah siang, Amora masih setia duduk di sofa ruang tengahnya. Awalnya ia sangat ingin pergi ke rumah sakit hari ini meskipun pihak rumah sakit sudah memberikannya izin cuti selama seminggu. Menurutnya, terlalu banyak diam dirumah membuat otaknya sedikit stres, apalagi dengan sikap suaminya yang toxic, Amora harus menambah kadar rasa sabarnya sebanyak mungkin.
Tapi siang ini, ibu mertuanya akan datang, terpaksa Amora harus diam dirumah dan menahan diri untuk tidak pergi ke rumah sakit. Amora tidak begitu khawatir dengan mertuanya yang sudah ia kenali sejak lama. Tidak se-khawatir para wanita diluar sana yang baru saja menikah dan takut tak bisa diterima dengan baik oleh mertua mereka. Pemikiran itu sama sekali tak mengganggu jalan pikiran Amora, karena ibu Aksen sangat menyukainya.Setelah menyiapkan beberapa jamuan, Amora segera menyiapkan diri agar terlihat lebih menarik di depan mertuanya. Rambutnya sengaja ia biarkan terurai, dengan jepitan simpel diatasnya. Amora tampak lebih elegan memakai balutan dress hitam selutut dengan make up naturalnya.Tak perlu menunggu lama, Rina kini sudah sampai ke rumah Amora dengan membawa beberapa bingkisan penuh di tangan kiri kanannya.“Apa kabar, menantu ibu?” Rina meletakkan semua bingkisan di tangannya ke atas meja ruang tamu. Ia bergegas memeluk sang menantu dengan penuh kasih sayang. Dari awal, ia memang setuju jika Aksen menikah dengan Amora. Hanya saja, Aksen yang terlalu terobsesi ingin menikah dengan Aurelia.“Sehat, Bu,” jawab Amora disertai pula dengan senyumannya. Kedua wanita itu duduk di sofa ruang tamu yang sudah disediakan beberapa makanan enak buatan Amora di atas meja. Sambil meletakkan bokongnya diatas sofa, Rina mengedarkan pandangannya memastikan ada tidaknya Aksen di rumah tersebut.“Aksen pergi bekerja?” tanya Rina dibalas anggukan pelan oleh Amora. Dilihat dari tatapan Rina, wanita itu seperti tidak setuju dengan tindakan Aksen yang harus memaksakan masuk kerja di waktu yang seharusnya ia habiskan dirumah sebagai pengantin baru. Apalagi ia seorang pimpinan yang padahal kapan saja bisa mengambil cuti jika tidak dalam keadaan mendesak.“Aksen tidak akan pernah mendengarkan ucapan Amora, Bu.” Amora tersenyum getir. Rina menghela nafas pasrah. Ekspektasi Rina terlalu tinggi, mengharapkan Aksen akan berubah menjadi baik kepada Amora jika mereka menikah. Tapi nyatanya, Amora malah terlihat lebih tersiksa karena sikap Aksen yang justru tambah membencinya.“Tidak apa. Pernikahan kalian baru kemarin, wajar saja. Ibu percaya lama kelamaan sikap dia akan berubah.”Amora terpaksa tersenyum dengan manis. Sepertinya, membuat Aksen merubah sikap terhadapnya hanya bisa didapatkan dengan jalur langit. Karena Aksen sudah sangat membencinya sedari lama. Bodohnya, Amora malah tambah lebih suka kepada Aksen seiring Aksen membencinya.“Bu, mau coba bolu kukus buatan Amora?” Amora menyodorkan satu bolu kukus dengan warna cerah kepada ibu mertuanya. Tentu saja Rina menerimanya dengan senang hati. Ia mulai menyuapkan bolu itu dan mengunyahnya perlahan.“Wah, bolu kukus yang enak. Persis seperti buatan ibumu dulu,” ucap Rina seraya mengunyah kembali makanan dalam mulutnya tanpa henti. Amora menghela nafas lega ketika mendapat pujian dari mertuanya. Resep bolu kukus yang ia pelajari dari almarhum ibunya dulu, ternyata sangat berguna untuk ia sekarang.“Resep ibu gak pernah gagal ya, Bu?” tanya Amora membuat Rina mengangguk antusias.“Ya, andai saja dia masih ada. Dia pasti sangat senang karena kita sekarang besanan,” ucap Rina membuat Amora hanya tersenyum tipis.“Apa ibu masih akan bahagia jika melihat anaknya menikah dengan lelaki yang tidak mencintainya?” Amora terus bertanya-tanya dalam hati.Sedari kecil Rina dan Dini - ibunya Amora, adalah sahabat dekat. Bahkan alasan lain Amora menyetujui menikah dengan Aksen adalah keinginan terakhir mendiang ibunya.Dini pasti sangat senang jika mengetahui keinginan terakhirnya itu terwujud. Tapi apakah ia akan tetap merasa senang jika mengetahui anaknya menikahi lelaki yang sama sekali tidak mencintainya?Cklek..Kedua pasang mata langsung menoleh ke arah pintu yang terbuka. Aksen berdiri mematung di depan pintu dengan tangan kanan menggenggam map berwarna biru. Kemudian ia melangkah menghampiri ibunya dan menyalaminya dengan sopan.“Kenapa tidak memberitahu Aksen, kalau ibu mau datang?” tanya Aksen kepada ibunya. Lelaki itu kemudian duduk di sofa saling berhadapan dengan Rina.“Kenapa ibu harus memberitahumu lebih dulu? Ini kan rumah anak dan menantu ibu!” jawab Rina membuat anaknya hanya mengangguk mengiyakan.“Aksen tadi ada urusan sebentar.”“Ibu juga kesini hanya sebentar,” ucap Rina seraya mengeluarkan satu map dari tasnya dan meletakkan map itu di depan Aksen. Aksen menoleh sebentar kepada ibunya kemudian mengarahkan pandangannya ke map misteri itu.“Apa ini?” heran Aksen.“File serah terima pemilik perusahaan.” Rina melipat kedua tangannya di bawah dada.Mendengar ucapan Rina, mata Aksen melebar. Itu adalah yang selama ini Aksen inginkan. Sebentar lagi dia akan menjadi pemilik perusahaan besar milik orang tuanya.Sedari dulu ia selalu menanyakan hal ini kepada ibunya, tapi Rina akan memberikan perusahaan itu dengan syarat, Aksen harus menikah. Dan sekarang adalah situasi yang pas.Aksen segera membuka map itu untuk memeriksanya. Namun seketika dahinya mengkerut setelah mengetahui apa yang ada di dalamnya. Ia kembali menoleh kepada ibunya yang masih dalam posisi yang sama.“Apa-apaan ini, Bu? Bukannya Aksen sudah memenuhi keinginan ibu untuk menikah, kenapa sekarang persyaratannya beda lagi?” Aksen terlihat begitu marah kepada ibunya. Amora tidak tahu mengapa Aksen bisa semarah itu setelah membaca mapnya. Apakah peryaratannya benar-benar tak bisa Aksen lakukan hingga ia terlihat begitu marah.“Kenapa dengan syarat itu, Aksen?”“Aksen tidak setuju!” ucap Aksen tegas.“Ibu tidak minta persetujuanmu! Mudah saja, jika kamu tidak mau, ibu akan memberikan perusahaannya pada Amora.”Aksen langsung menoleh pada Amora dengan tatapan mematikan. Bisa-bisanya wanita itu yang bukan siapa-siapa di keluarganya, mendapat perusahaan dengan sangat mudah. Bahkan dia sebagai anaknya pun harus melalui beberapa syarat telebih dahulu.“Ibu tak usah berlebihan. Itu hak-nya Aksen,” sangkal Amora kemudian.Mendengar itu, Aksen menampilkan senyum mengejek kepada Amora. “Cih! Bilang saja kau menyukainya! Kau menikahiku hanya untuk menguasai harta orang tuaku, bukan? Tidak usah munafik!”“AKSEN!!!”Amora menahan tangan Rina yang hendak menampar Aksen. Rina melotot tajam kepada anaknya itu. Aksen benar-benar sudah melewati batas berprasangka buruk terhadap istrinya. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat merasa bersalah, meskipun ibunya sudah melotot tajam ke arahnya.“Apa yang salah dengan ucapan Aksen?” ucap Aksen memasang wajah tanpa dosa.Rina menahan diri untuk tidak menampar wajah anaknya yang terlihat tak berdosa itu. padahal tangannya sudah mengepal dengan kuat.“Ibu hanya ingin mempunyai cucu dari Amora, apa yang salah? Sekarang kalian sudah menjadi suami istri, bukan?” ucap Rina tak kalah tegas dari ucapan anaknya.Kali ini Amora yang melebarkan matanya. Ia menatap ibu mertuanya dengan tatapan tak percaya. Pantas saja Aksen terlihat sangat marah saat ini. Ternyata syarat yang diberikan Rina itu adalah Aksen dan Amora harus memiliki seorang anak. Amora tersenyum getir memikirkannya, bagaimana mereka bisa mempunyai anak sedangkan suaminya pun tak ingin disentuh sama sekali. Bahkan Aksen terlihat sangat jijik jika sudah berdekatan dengan Amora.“Aku akan mempunyai anak, tapi bukan dengan Amora!” ucap Aksen seraya beranjak dari tempat duduknya dan melangkah pergi meninggalakan kedua wanita yang masih duduk di depannya itu. ia bahkan meninggalkan map biru yang tadi ia bawa dari luar.“Ibu tidak akan memberikan perusahaan ini sampai kapan pun, sebelum kamu bisa menghargai Amora sebagai istrimu, Aksen!” teriak Rina tak mampu menahan amarah lagi.Menyaksikan itu, Amora hanya diam memperhatikan keduanya. Itu adalah masalah keluarga suaminya, ia tidak akan banyak ikut campur. Setidaknya sekarang ia sudah tahu alasan Aksen tetap menjalani pernikahannya meskipun pengantin wanitanya bukan Aurelia, yaitu sekedar untuk mendapatkan perusahaan yang selama ini menjadi prioritasnya.Aksen memijat kepalanya yang terasa pening. Untuk menetralkan stressnya, ia memilih duduk di kursi pinggiran kolam renang belakang rumahnya. Merebahkan badan dan menikmati udara yang sejuk mungkin akan sedikit membantu otaknya kembali tenang.“Lemon tea bagus untuk mengurangi stress berlebih,” ujar Amora seraya menyimpan segelas lemon tea buatannya di atas meja samping Aksen. Pria itu tak merespon sedikit pun. Posisinya masih tetap dengan kedua lengan dilipat dibelakang kepala dan tatapan lurus ke depan.Amora menghela napas panjang ketika tak menerima respon apapun dari suaminya. “Aku ingin kau mendengar satu kebenaran dariku.” Amora masih setia berdiri disamping suaminya.“Waktu itu, sehari sebelum hari pernikahan tiba- ”“Aku tak peduli,” potong Aksen berucap tanpa intonasi. “Setidaknya kau harus tahu kejadian sebenarnya, jangan menyimpulkan sendiri!” Aksen menoleh kepada Amora dengan tatapan tak terbaca. Pria itu menampilka
Amora melirik jam tangannya sejenak. Nampaknya hari ini ia bekerja sangat keras, sampai tak menyadari ternyata malam sudah sangat larut. Amora menghela nafas panjang seraya menutup pintu ruangan pasien terakhir yang ia kunjungi. Setelah memastikan semua pasiennya dalam keadaan baik-baik saja, Amora berniat pergi menuju ruang inap kakeknya yang masih dalam keadaan kritis.Keadaan rumah sakit sangat sunyi. Lorong-lorong ber-AC yang biasa menyejukkan di siang hari, akan terasa menusuk kulit jika di malam hari. Amora memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas putihnya untuk meminimalisir dinginnya malam.Amora berhenti di depan pintu sebelah kanan lorong rumah sakit. Kemudian ia masuk dan menghampiri kakeknya yang masih terbaring lemas diatas ranjang pasien. Amora tersenyum seraya merapihkan selimut kakeknya kemudian duduk di atas kursi yang sudah tersedia.Perempuan itu tersenyum lembut. Tangannya terulur untuk mengusap pelan tangan keriput s
“Saya sudah memeriksa laporan dari semua divisi perhubungan, sepertinya Tuan Narendra belum melakukan tindakan yang mencurigakan akhir-akhir ini.”Amora mengangkat kedua alis setelah mendengar kabar baru dari sekretarisnya. Beberapa hari yang lalu Amora ditunjuk sebagai pimpinan sementara perusahaan kakeknya semenjak Artawijaya masuk rumah sakit. Para pemegang saham setuju menunjuk Amora untuk mengganti kakeknya, karena dari awal ia menjabat sebagai wakil pimpinan, Amora sudah terlihat bertanggung jawab terhadap perusahaan. Terpaksa ia harus bisa membagi waktu antara rumah sakit dan perusahaan.“Aku dengar, di hari pernikahanku dengan Aksen dia mengirim sesuatu ke kantor?” tanya Amora menoleh kepada Riri. Riri mengangguk kemudian merogoh sakunya untuk mengambil sesuatu.“Benar Bu. Tapi, kiriman selain ini, sudah saya buang di hari dia mengirimkannya untuk anda,” ucap Riri seraya memberikan secarik kertas yang dilipat kepada Amora. “Kena
Sepulang dari seminar, Amora langsung pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri dan mengganti baju. Sebelumnya ia mengedarkan pandangannya ke lantai atas, untuk memastikan suaminya sudah tidur atau belum. Tapi sepertinya Aksen sudah tidur.Merasa tubuhnya sangat lengket, Amora menanggalkan kardigan panjangnya hingga menyisakan celana bahan dan tangktop putih di tubuhnya. Dengan pakaian seperti itu Amora terlihat sangat seksi, apalagi rambutnya sengaja ia ikat sehingga menampilkan leher jenjangnya yang mulus.Amora menyentuh tenggorokannya yang terasa kering. Terpaksa sebelum melanjutkan ke kamar mandi, ia pergi ke dapur untuk meminum sesuatu yang membuat tenggorokannya lebih lega. Setelah menghabiskan segelas air dingin, kini giliran perutnya yang minta jatah. Akhirnya Amora memasak nasi goreng sebagai pengganjal rasa laparnya.Wanita itu kini tengah menikmati masakannya yang sudah terhidang di meja makan. Air liurnya sudah hampir menetes karena terkesima
“Kenapa kau belum juga menceraikannya?”Aksen menutup matanya sejenak. Kantornya lagi di masa-masa kritis saat ini, ditambah Aurelia yang terus menanyakan kenapa ia belum juga menceraikan Amora. Padahal saat ini ia tengah berusaha merebut perusahaan dari ibunya, supaya ia segera bisa menceraikan Amora.“Aku pasti akan menceraikannya, tapi tidak sekarang,” ucap Aksen kembali memeriksa berkas-berkas yang berseliweran di atas meja kerjanya.“Apa kau tidak peduli denganku lagi, Aksen?” Aurelia berbicara dengan sendu. Aksen tak bisa melihat Aurelia berekspresi seperti itu, dengan cepat ia berdiri dan menghampiri Aurelia untuk segera memeluk gadis itu dengan lembut.“Apa yang kau katakan?” tanya Aksen dengan lembut.“Akhir-akhir ini kau selalu mengabaikan permintaanku, apa aku sudah tak berharga lagi di hidupmu?” ucap Aurelia bernada sedih. Wanita itu benar-benar pintar dalam ber-akting.“Hei, jangan berpikir begitu. Kau adalah wanita paling berharga dalam hidupku. Kau yang telah menyelamat
“Kau akan terlihat anggun jika menggunakan dress merah, Am,” Anna sibuk memilih-milih baju yang akan digunakan Amora nanti malam. Mereka pergi ke salah satu pusat perbelanjaan setelah pulang bekerja. Amora tidak terlalu membingungkan pemilihan baju untuknya malam nanti. Baginya, memakai baju apapun akan terlihat sama saja. Yang membedakan terlihat bagus atau tidak itu tergantung siapa yang memakai baju tersebut.Anna menghela napas pelan melihat Amora yang masih sibuk dengan ponselnya sedari tadi. Perempuan itu nampak tidak tertarik sama sekali untuk tampil mempesona di depan orang banyak di perjamuan nanti malam.“Am! Ayolah, sekarang bukan waktunya bekerja,” jengkel Anna berkacak pinggang.Amora menoleh seraya menaikkan sebelah alisnya. “Aku harus apa?” herannya.“Simpan ponselnya, cobain bajunya!” titah Anna, memberikan baju berwarna merah dengan mutiara-mutiara kecil di sekitar pinggangnya. “Baiklah,” pasrah Amora menerima
Dunia bisnis tak pernah lepas dari perkumpulan tahunan untuk menjalin kekeluargaan yang biasanya sedikit renggang karena persaingan ketat antar perusahaan. Seperti biasa, Amora dan Aksen akan menghadiri acara Andanagra yang diadakan setiap tahunnya. Sangat aneh jika mereka berdua tak hadir dalam acara tersebut. Hal itu karena mereka berdua adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan penting dalam dunia bisnis.Meskipun Amora hanya menjalankan perusahaan kakeknya dan Aksen menjadi CEO di perusahaan ibunya, mereka berdua sangat terkenal sebagai pembawa perubahan bagi perusahaannya masing-masing. Hal itu terjadi karena pada komperensi tahun lalu, mereka meraih penghargaan sebagai pengusaha terbaik. “Masuklah,” kata Aksen, membukakan pintu kendaraan beroda empatnya untuk mempersilahkan kekasihnya masuk. Aurelia tersenyum bangga seraya berjalan berlenggak-lenggok dan langsung masuk ke mobil Aksen.Aksen mengitari mobilnya kemudian masuk dan duduk di kurs
Amora menghela nafas panjang setelah membuka pintu ruang inap kakeknya. Setelah acara perjamuan selesai, Frans tiba-tiba menelponnya, mengabari kalau kakeknya sudah siuman. Rencana awalnya yang ingin pulang bersama Aksen, harus Amora batalkan. Ia memilih pergi sendiri ke rumah sakit untuk menemui kakeknya.Frans yang sedari tadi mengobrol dengan Arta, kini pandangannya teralihkan oleh suara pintu yang dibuka oleh Amora. Begitupun Arta yang langsung menyuguhkan senyum manis kepada cucu kesayangannya.“Bagaimana keadaan kakek, Frans? Dia sudah baik-baik aja, kan?” tanyanya sedikit khawatir meskipun kakeknya terlihat tenang berbaring di ranjang.“Seperti yang kau lihat sekarang, Am. Kakekmu melewati masa kritisnya dengan sangat baik,” jawab Frans kemudian. “Kamu berlebihan sekali, cucuku.” Arta terkekeh pelan.“Apanya yang berlebihan, Kek? Aku mengkhawatirkanmu, apa aku salah?” sebal Amora menatap kakeknya.“Kamu selalu seperti itu