Semua orang berbisik-bisik. Antara merasa kasihan dan miris melihat seorang pria yang hanya berdiri di altar pernikahannya seorang diri. Sudah cukup lama dan sang mempelai wanita tidak kunjung datang.
Tamu undangan yang awalnya datang untuk menyaksikan pernikahan paling bahagia, tiba-tiba merasa bahwa mereka hanya datang untuk menyaksikan kemalangan seorang pria yang ditinggalkan pengantin wanitanya. Sudah hampir satu jam berlalu sejak acara janji suci pernikahan seharusnya dilangsungkan, tapi semuanya terhenti di sana. Pernikahan tentu tidak bisa dilanjutkan kalau hanya ada satu pengantin, 'kan? Rasa malu, kecewa, dan dendam yang muncul dengan cepat membuat si pengantin pria mengepalkan kedua tangannya. Dia melirik tajam ke arah seorang pria yang mengenakan jas berwarna hitam. Pria itu seakan mengerti dan langsung berjalan menghampirinya. "Apa aku sedang dipermalukan sekarang?" Si pengantin pria bertanya kepada asisten pribadinya. "Maaf, Pak. Saya sudah berusaha menghubungi Nona Olivia, tapi ponselnya mati." "Bagaimana dengan pihak keluarganya?" "Saya juga tidak bisa menghubungi mereka. Bahkan saya sudah mengirim orang untuk menjemput ke rumah mereka langsung, tapi Nona Olivia tidak berada di kediamannya. Rumah itu kosong, Pak." Gabriel, CEO muda dengan wajah rupawan yang disegani banyak orang, akhirnya menyadari bahwa dirinya ditinggalkan oleh pengantin wanitanya di hari pernikahannya. Wanita sialan itu, bisa-bisanya membiarkannya untuk berada di altar pernikahan seorang diri. Dendam itu menyelubungi dada Gabriel. Sebuah janji terucap. Apa pun yang terjadi, dirinya akan membalas rasa malu dan kecewa yang diterimanya kepada gadis itu. Berkali lipat lebih parah. "Bubarkan pernikahan ini. Cari tahu tentang wanita sialan itu. Kejar dia ke ujung dunia sekalipun. Bawa dia untuk berlutut di hadapanku. Kalau kau tidak bisa membawanya dengan cara baik-baik, ikat kakinya dan seret dia. Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri." Gabriel berbicara dingin. Berikutnya, dirinya melonggarkan dasi yang melingkari lehernya dan berlalu pergi begitu saja meninggalkan altar pernikahannya. Melangkah di sebuah karpet putih dengan tatapan semua orang yang menembus kepalanya. Seorang Gabriel dicampakkan sehebat itu, tentu dia tidak akan tinggal diam. Kalau ada satu yang memberinya luka, maka dirinya akan menancapkan pisau berulang kali kepada orang itu sebagai balasannya. Tapi kalau rasa malu yang diterima olehnya sampai membuat harga dirinya hancur, bukankah hanya kematian yang pantas didapatkan oleh orang itu? Atau setidaknya dia harus menderita sampai merasa ingin mati. *** Mansion yang berdiri megah di tengah hutan itu mencekam. Bukan karena posisinya yang berada di tengah-tengah hutan, tapi karena pemiliknya sedang sibuk melemparkan barang ke sana sini. Menghadirkan nuansa mengerikan bagi siapa pun yang berada di sana. Semua orang yang bekerja di sana cemas gugup. Takut bahwa mereka akhirnya akan mendapatkan imbas dari kemarahan Tuan mereka itu. "Dasar jalang kurang ajar! Berani-beraninya kau mempermalukan diriku sampai seperti ini?!" Gabriel berteriak. Tangannya menyambar vas bunga lain yang berada di dekat tangga lantai dua. Gabriel langsung melemparkannya begitu saja ke arah tangga. Membuat semua orang terkesiap dan langsung menutup telinga sambil memalingkan wajah. Berikutnya, yang terdengar adalah suara pintu yang dibanting sangat keras. Gabriel memasuki kamarnya dengan napas terengah-engah karena emosi yang tidak bisa dikendalikan olehnya. Rugi uang bukanlah masalah. Rugi perihal waktu juga bisa ditangani olehnya. Tapi seseorang baru saja menghancurkan harga dirinya, jadi bagaimana bisa dirinya meredakan kemarahan itu? "Aku benar-benar akan mencekikmu sampai mati!" Gabriel mengucapkannya tanpa sadar. Tapi seakan semua hal yang terjadi belum cukup untuk menghancurkannya, tiba-tiba dirinya malah mendapatkan sebuah pesan dari ponselnya. Gabriel merogoh saku bagian dalam jasnya yang sudah terlepas dari tubuhnya itu. Dirinya mengambil ponselnya dan langsung melemparkan jasnya begitu saja ke arah ranjang. Ada pesan masuk dan matanya membelalak. Giginya saling beradu dengan urat-urat leher menonjol. Maafkan aku, Gabriel. Setelah semuanya selesai, aku berjanji akan menjelaskannya padamu. Aku akan berlutut di hadapanmu. Tapi untuk sekarang, aku harus pergi. Aku berharap kamu mau menungguku. Kumohon. -Olivia "Wah, setelah menginjak-injak harga diriku, sekarang dia memintaku untuk menunggunya?" Gabriel tertawa terbahak-bahak. "Apakah dia anak raja?" Tangannya langsung bergerak ke bagian atas layar dan menunjuk satu icon di pojok atas. Gabriel langsung menghubungi nomor asing itu dan menempelkan ponselnya ke telinga, tapi nomor itu langsung tidak bisa dihubungi. Kemarahannya memuncak dan Gabriel langsung melemparkan ponselnya ke lantai. Napasnya naik turun dan dirinya mengusap wajahnya frustrasi. Bersamaan dengan itulah pintu kamarnya terbuka. Memperlihatkan asisten pribadinya yang baru datang. "Pak," panggil William. "Saya tidak bisa menemukannya. Apakah saya harus mencari tahu apa Nona Olivia mungkin melakukan penerbangan atau tidak?" "Tidak perlu!" Gabriel berseru. "Jangan habiskan banyak sumber daya dan tenaga untuk wanita jalang itu! Aku tidak rela." "Tapi tadi Anda bilang—" "Tidak!" Gabriel memotong ucapan William. "Kau tidak perlu mencari wanita sialan itu. Biarkan saja dia pergi ke mana pun dia mau. Karena aku tahu dia pasti akan kembali." Setidaknya Gabriel bisa menyimpulkan hal itu dari pesan yang didapatkannya. Pasti ada sesuatu yang terjadi dan entah kapan, Gabriel yakin wanita itu pasti akan kembali kepadanya. "Baiklah, Pak." William menganggukan kepalanya mengerti. "Seharusnya dia membicarakannya kepadaku kalau ada sesuatu, tapi dia memilih lari dan memperlakukanku seperti ini. Demi Tuhan, aku tidak akan pernah memaafkannya." William hanya diam mendengar gerutuan dari atasannya itu. Sadar betul bahwa kemarahan itu tidak akan bisa dikendalikan. Siapa pun pasti akan merasa kecewa kalau ada di posisi atasannya. Tidak akan ada yang bisa menerima hal itu. "Kalau begitu, apa ada yang bisa saya lakukan untuk Anda?" "Ya, kau harus melakukan sesuatu untukku setelah membereskan semua kekacauan ini." "Baik." William mendengarkan dengan seksama dan jauh di hadapannya, atasannya itu berdiri tegak dengan kedua tangan tenggelam di saku. "Cari pengantin baru untukku yang seusia atau lebih muda dari perempuan sialan itu." Gabriel mengucapkannya dan hal itu langsung membuat William sedikit tersentak. "Dia harus lebih cantik, harus lebih baik dalam segala hal, harus lebih bermartabat sebagai seorang perempuan. Aku butuh yang bisa bersikap patuh, jadi jangan cari seorang pembangkang." "Tapi, Pak—" "Aku tidak menerima tapi darimu, William!" Gabriel berteriak dan William pun langsung menundukkan kepalanya patuh. "Kau hanya perlu melakukannya. Cari pengantin pengganti untukku secepat mungkin." "Baik, Pak." Kali ini William langsung menyahutinya dengan patuh. "Cari tau asal-usulnya dengan baik. Tidak perlu dari keluarga berada yang setara denganku." "Bagaimana dengan karirnya?" "Oh, ayolah, Will. Kalau ingin memaksa seorang untuk menjadi pengantin pengganti, untuk menikah denganku, tentu kau tidak bisa mencari dari mereka yang bisa melakukan semua hal sendiri. Mereka harus butuh sesuatu dariku, baru semuanya akan berjalan lancar." William langsung mengerti apa maksud dari atasannya itu. Pria itu berencana untuk mencari seseorang yang bisa digunakannya sebagai alat balas dendam. Tapi sebagai bawahannya, William tidak bisa berkomentar banyak. Apa yang diinginkan oleh atasannya itu, maka itulah yang akan diberikan olehnya."Cepat buka pintunya!" Gabriel berteriak pada sopir pribadinya yang saat itu sedang menunggu di samping mobil. Pintu mobil bagian belakang langsung dibuka dengan cepat dan Gabriel berjalan ke arahnya dengan langkah lebar. Dia membawa Evelyn masuk terlebih dahulu, baru kemudian dirinya memutari mobil untuk masuk lewat pintu satunya. Dalam langkahnya itu, Gabriel menyempatkan menarik ponselnya keluar dari dalam jas kemudian membuka jasnya sebelum kembali masuk ke dalam mobil. Dia menggunakan jasnya itu untuk dipakaikan kepada Evelyn. Yang hanya diterima oleh Evelyn. "Apa kita perlu pergi ke rumah sakit?" Gabriel bertanya kepada Evelyn saat mobil sudah mulai melaju pergi meninggalkan parkiran utama hotel. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan. "Aku hanya ingin pulang," katanya masih ketakutan dan Gabriel hanya merapatkan jas miliknya yang terpasang di tubuh Evelyn. "Baiklah, kita akan pulang," kata Gabriel menjanjikan hal itu. Dia langsung mengangkat ponsel untuk menghubungi
"Tunggulah di sini, aku akan pergi sebentar." Gabriel berbisik di samping telinga Evelyn ketika salah seorang kenalan melambaikan tangan padanya memintanya untuk mendekat dan bergabung di mejanya. Sontak saja hal itu membuat Evelyn langsung menatap Gabriel kebingungan. "Tidak bisakah aku ikut denganmu saja?" Dirinya menatap tiga orang yang berada di seberangnya. Menduduki meja yang sama juga dengannya dan Gabriel. "Kenapa? Aku hanya akan menyapa seseorang sebentar. Setelah itu aku akan berpamitan kepada pemilik pesta dan kita bisa pulang ke rumah." "Tapi aku tidak nyaman berada di sini sendirian. Lagi pula aku tidak mengenal siapa pun di pesta ini. Aku hanya tahu dirimu." Ah, benar juga. Pasti rasanya sangat canggung dan tidak nyaman saat berada di satu ruangan dengan penuh orang asing. Hal itu jadi membuat Gabriel ikut bingung. Di satu sisi dirinya merasa kasihan kalau harus meninggalkan Evelyn sendirian di sana, tapi di sisi lain itu adalah hal yang buruk untuk membawa E
Seumur hidupnya Evelyn tidak pernah mendatangi acara-acara seperti itu. Jangankan pergi untuk merayakan acara ulang tahun orang lain, atau semacam acara untuk merayakan anniversary, bahkan dirinya tidak merayakan ulang tahunnya sendiri. Terlalu membuang waktu dan membuang dana. Daripada untuk membeli kue, lebih baik uangnya disimpan untuk keperluan yang lain.Untuknya yang selalu menghargai uang dan berusaha untuk tidak membuangnya terlalu banyak, menurut Evelyn acara itu benar-benar berlebihan dan pasti menghabiskan banyak sekali uang. Itu adalah acara anniversary dari teman Gabriel. Acara itu di langsungkan di sebuah hotel berbintang. Sangat mewah dan elegan. Evelyn hanya tahu bahwa hotel itu biasanya hanya didatangi oleh orang-orang berduit, atau untuk sebuah acara dari mereka yang berasal dari kaum atas.Tapi di sanalah dirinya berada. Menghadiri acara mewah itu sebagai istri dari Gabriel.Evelyn tidak perlu bertanya. Hanya perlu sedikit memperhatikan dan dirinya akan tahu bahwa s
Gabriel 11Malam ketika Gabriel kembali, dia tidak menemukan Evelyn di mana pun di lantai dasar. Matanya langsung melirik ke arah salah satu asisten rumah tangga yang sedang menyiapkan makan malam. Dia sedang mengisi meja makan."Apa Evelyn sudah kembali?" Gabriel bertanya dan wanita itu langsung bergerak menghampirinya."Maaf, Tuan Muda?" Dia meminta Gabriel untuk mengulang pertanyaannya karena dirinya tidak terlalu mendengar hal itu.Gabriel langsung mengembuskan napas. "Kutanya, apa Evelyn sudah kembali?""Oh, itu." Wanita itu mengganggukan kepalanya. "Ya, Nona sudah kembali. Sore ini. Sekarang dia berada di kamarnya. Perlu saya panggilkan?""Tidak perlu. Aku sendiri yang akan mendatanginya. Apa dia melakukan sesuatu yang aneh setelah kembali?" Gabriel bertanya lagi dengan mata sedikit menyipit. Penasaran.Wanita itu mengerutkan dahinya bingung. Tidak mengerti aneh bagaimana yang dimaksud oleh tuannya itu. "Sepertinya tidak ada." Dia berkata."Setelah kembali, Nona hanya membuat mi
Tidak ada bulan madu. Seluruh staf perusahaan dibuat terkaget-kaget ketika menyadari kehadiran atasan mereka–Gabriel– melewati pintu perusahaan dengan setelan rapinya seperti biasa. Beberapa dari mereka bertanya-tanya kenapa pria itu muncul di sana? Baru hari kemarin dia melangsungkan pernikahannya dan sekarang dia memilih tetap bekerja seperti biasa? Apa kebetulan malam bulan madunya tidak berjalan sempurna? Atau ada sesuatu yang lebih parah. Tapi tentu, tidak ada siapa pun yang berani mengatakan apa-apa kepada Gabriel. Pria itu berjalan dengan langkah santai. Kedua tangannya tenggelam di saku. Dia menuju lift. Ada dua orang perempuan sedang berbicara di depan lift. Menunggu pintu lift terbuka. Mereka sama sekali tidak sadar bahwa ada atasan mereka tepat di belakang mereka. "Bukankah wanita itu terlihat terlalu biasa untuk Pak Harrison?" Salah satunya berbicara dan Gabriel hanya mendengarkan tanpa menyela. "Lihatlah atasan kita. Dia muda, memiliki tubuh yang sangat bagus, rupan
Pagi pertama sebagai pengantin baru. Tidak ada yang terlalu spesial. Baik Gabriel ataupun Evelyn menjalani pagi mereka seperti biasanya. Tidak ada malam panas, tidak ada pelukan hangat, atau ciuman penuh hasrat.Mereka berdua bangun di kamar masing-masing dan langsung mempersiapkan seluruh kesibukan mereka sendiri. Sebelum akhirnya keduanya sama-sama keluar melewati pintu di waktu yang bersamaan. Sungguh suatu kebetulan.Pada jarak yang cukup jauh itu, Evelyn langsung menundukkan kepalanya ketika melihat Gabriel menatapnya dari posisi pria itu. Dirinya kemudian mulai mengambil langkah, begitu juga dengan pria itu.Gabriel yang paling pertama tiba di bagian ujung anak tangga dan dia menunggu sampai Evelyn menghampirinya."Bagaimana tidurmu malam ini, Nona?" Pria itu bertanya. Sedikit menggoda Evelyn.Hal itu langsung membuat Evelyn menundukkan kepalanya. "Ah, cukup nyenyak." Dirinya menjawabnya jujur."Ya, tentu saja. Karena kamar di rumahmu tidak sebesar kamar di rumahku, 'kan? Kasurn