Mala menandatangani berkas itu dengan tangannya yang gemetar, ia tak lagi peduli dengan ancaman yang baru pagi tadi diingatkan oleh Tuan Besar, ditangannya kini ada sejumlah uang yang akan digunakan untuk menyelamatkan panti asuhan dan anak-anak panti dari ancaman itu.
Mala menyerahkan berkas yang sudah ditanda tanganinya kepada Adris. Kemudian, senyum sinis mengembang pada wajah pria itu.
Matanya menatap jijik pada Mala setelah dia menyimpan berkas itu ke dalam laci meja kerjanya.
Mala merapatkan bagian depan seragamnya yang tak lagi memiliki kancing untuk ditutup. Dia mengantongi selembar cek yang sudah diberikan ke dalam saku celananya.
“Saya akan pergi malam ini, Tuan.” ucap Mala dengan suaranya yang lirih.
“Bagus. Jangan pernah kembali lagi. Kamu membuatku muak.” Adris mengibaskan tangannya mengusir Mala seperti mengusir seekor kucing jalanan.
Tanpa mengucapkan satu patah kata pun lagi, Mala meninggalkan kamar Adris dengan langkahnya yang tertatih-tatih, menahan semua rasa nyeri pada setiap inci tubuhnya dan hatinya.
Mala melanjutkan langkahnya hingga keluar dari ruangan itu, Kelon masih ada disana, pria itu berdiri seperti seorang penjaga istana yang kaku, Kelon hanya menampilkan ekspresi wajahnya yang datar.
Apakah tidak ada satu orang pun di rumah ini yang memiliki hati seperti manusia?
Mala berhasil kembali ke kamarnya yang berada di bagian belakang mansion setelah berhasil mengendap-endap menghindari para pelayan.
Ia langsung beranjak masuk ke dalam kamar mandi, memandang nanar pantulan dirinya sendiri pada cermin.
Nahas sekali nasibnya.
Tak hanya sebatang kara, kini dia juga kehilangan kesuciannya.
Dia gosok kuat-kuat setiap permukaan kulitnya dengan sabun memastikan tidak ada aroma maskulin milik Adris yang tertinggal di sana, dia merasa jijik dengan tubuhnya yang dijamah dengan paksa.
Rasa nyeri akibat gosokan itu dia abaikan dan terus dia lakukan sampai rasa nyeri itu berpadu dengan iritasi kulitnya yang digosok dengan sabun secara berlebihan.
Langit sudah berganti gelap, para pelayan mulai kembali bekerja untuk menyiapkan makan malam untuk tiga orang majikan yang ada di sana.
Tuan besar Rasnad duduk pada kursi paling ujung, di sisi kanannya ditempati oleh Sela yang melihat Mala dengan pandangan mual, padahal yang dilakukan Mala yang meletakkan peralatan makan untuk majikan-majikannya.
“Aku gak mau makan dengan alat makan yang kamu siapkan. Panggil pelayan lain untuk menggantikanmu.” ucap Sela dengan nadanya yang sombong dan angkuh, dengan ujung kukunya dia mendorong piring yang diletakkan Mala.
Mala hanya bisa menahan napasnya, menahan kesabarannya.
Dia harus ingat, ada cek di dalam ransel yang sudah dia siapkan dengan jumlah ratusan juta yang akan membawanya lepas dari lingkaran orang-orang mengerikan ini.
Tanpa banyak berkata, Mala menuruti apa yang dititahkan Sela.
“Kapan dia akan bercerai dengan Adris?” tanya Sela, seolah orang yang dibicarakan tidak ada di sana.
“Kenapa memangnya?” Rasnad bertanya. Saat pertanyaan itu terlontar, Adris datang dengan penampilannya yang lebih segar.
Melihat Adris mengingatkan Mala pada apa yang dilakukan pria itu terhadapnya, seketika perut Mala mual.
Tapi Adris terlihat seperti tidak pernah terjadi apapun. Dia tetap duduk dengan sikapnya yang acuh dan ekspresi wajahnya yang datar sedatar permukaan kayu yang baru selesai diamplas.
“Aku akan mengenalkan Adris pada anak dari kenalan arisanku.” jawab Sela dengan suara yang tentu saja sengaja dibuat untuk menyinggung Mala.
“Dia gadis yang berpendidikan, bibit, bobot, bebetnya jelas. Dan yang pasti gadis dari kenalanku ini bukan parasit miskin yang gak tau malu.”
Sabar Mala, sabar. Ucap Mala dalam hatinya yang mendidih.
“Gadis dari anak kenalanku ini jauh lebih cocok bersanding dengan Adris, mereka sama-sama orang yang bermartabat.”
Seandainya Sela tahu apa yang dilakukan anaknya yang bermartabat itu terhadap Mala, apakah Nyonya besar itu masih bisa menyombongkan diri?
“Kamu mau, kan, Ad, Mama kenalkan dengan anak dari kenalan Mama? Kamu gak mungkin menjadikan pelayan miskin itu sebagai istri sungguhan, kan?”
“Terserah.” jawab Adris singkat tanpa sedikitpun melihat Mala yang baru siang tadi dia renggut kesuciannya.
“Dengar, Mala akan tetap menjadi istri Adris sampai waktu yang aku tentukan.” jawab Rasnad dengan tegas. “Dan selama itu terjadi, Mala tetap tinggal di sini.”
“Memangnya kenapa kalau Adris secepatnya cerai dari dia, Pah? Sama saja kan, sekarang atau nanti.”
Rasnad menatap tajam putrinya itu. “Aku sedang menyelamatkan citra keluarga kita dari pengkhianatan yang dilakukan oleh mantan calon pengantin pilihanmu dulu.”
Sela langsung merapatkan bibirnya.
“Apa kamu lupa, gara-gara calon pilihanmu itu, anakmu hampir saja menjadi ayah dari anak yang bukan dari darahnya? Memalukan!”
Bibir Sela semakin maju.
Tapi Adris, si korban dari pengkhianatan calon pengantinnya terlihat biasa-biasa saja, dia tetap tenang menunggu para pelayan menyelesaikan tugas mereka meletakan lauk-pauk di atas meja.
Lain halnya dengan Adris yang tidak menunjukkan bentuk emosi apa-apa, Mala malah baru tahu alasan kenapa dirinya dipaksa untuk menggantikan posisi calon pengantin yang seharusnya menikah dengan Adris.
Alih-alih merasa iba dengan Adris, Mala malah memaklumi pengkhiatan yang terjadi.
Siapa juga akan akan tahan dengan satu keluarga yang suka memaksa, mengancam, sombong, dan semena-mena pada orang lain?
Setelah semua lauk dan pauk siap di atas meja, Mala bersama dengan pelayan yang lainnya melangkah pergi dari ruang makan utama itu.
Sampai suara Rasnad memanggil nama Mala dan membuat Mala terpaksa kembali menghadap tiga orang yang ada di ruang makan itu.
“Duduk, ikut makan di sini.” titah Rasnad yang tentu saja membuat Sela melayangkan protes dengan sangat keras. Adris pun juga menghentikan gerakan tangannya yang memegang sendok.
“Papa mau buat aku muntah?” Sela sampai memelototkan matanya yang berhiaskan dengan eyeshadow kuning kunyit.
“Maaf, Tuan Besar, saya akan makan bersama dengan pelayan yang lain di belakang.” ucap Mala dengan sesopan mungkin. Walaupun hatinya begitu gondok.
“Makan di sini.” Rasnad memberikan perintah dengan nada pengulangan yang penuh dengan tekanan pada setiap kata.
Semua orang tahu, ketika nada seperti itu sudah lolos dari bibir Tuan Besar, maka tidak ada yang boleh membantah.
Mala akhirnya mengalah, dia harus mengalah demi kelancaran rencananya untuk meninggalkan neraka ini.
Mala menarik kursi paling jauh dari ketiga majikannya. Dia hanya duduk, tidak berniat untuk mengambil piring dan menuangkan makanan ke atas piringnya.
“Lusa adalah acara ulang tahun perusahaan, dan kalian harus datang, terutama Adris dan Mala. Sebagai pengantin baru, akan janggal jika Adris hanya datang sendiri tanpa istrinya.” kata Rasnad.
Sela tentu saja ingin mengajukan protes lagi, tapi tatapan tajam Rasnad kembali membungkam aksi protesnya.
“Aku tidak bisa, Kek.” ujar Adris tiba-tiba.
Rasnad menaikkan sebelah alis matanya. “Kenapa?”
“Aku harus keluar kota untuk mengurus cabang baru dari bisnisku.”
BRAK!
Gebrakan di atas meja yang dilakukan Rasnad bukan hanya membuat Sela terkejut, Mala juga sama terkejutnya. Tapi tidak dengan Adris.
Mala melihat bagaimana ekspresi Adris, tapi anehnya pria itu tetap dengan ekspresinya yang datar.
Bagaimana mungkin Adris bisa sedatar itu sejak tadi? Padahal saat di kamar tadi siang, pria itu menunjukkan berbagai macam bentuk ekspresi kebencian pada wajahnya.
Ketika Rasnad sibuk mencela bisnis milik Adris yang tidak akan sukses, Mala malah sibuk memikirkan cara untuk kabur malam ini.
“Kamu dengar Mala?” Suara Rasnad yang memanggilnya menyentak Mala.
“Iya Tuan?”
“Kamu harus mendampingi Adris lusa nanti. Mengerti?”
Empat hari setelah pengakuan yang membuat semua karyawan di perusahaan merasa syok dan terkejut, Adris malah tidak ada kabarnya. Dia tidak datang, tidak pula menghubungi Mala untuk menjelaskan apa maksud dari pengakuan yang dia lakukan di depan banyak orang.Keabsenan Adris selama empat hari ini membuat perasaan Mala tak karuan. Dia merasa seperti dipermainkan. Tapi juga merasa tersanjung. Namun disisi lain Mala juga merasa takut bahwa semua itu lagi-lagi hanya sementara karena kondisi Mala yang hamil.“Nona mau makan apa hari ini?” Sumi bertanya begitu Mala keluar kamar pagi ini, sembari memberikan segelas susu hamil dengan tambahan beberapa kotak es batu di dalamnya.“Ga ada kabar dari Adris atau dari Kelon, Bu?” Alih-alih menjawab pertanyaan Sumi, Mala malah balik bertanya.“Belum ada Nona. Apa mau saya hubungi Tuan Muda atau Tuan Kelon?”Mala buru-buru menggeleng.Selalu begitu selama empat hari ini. Mala akan bertanya, dan Sumi akan menawarkan untuk menghubungi, dan pada akhirnya
“Katakan, kenapa Tuan tiba-tiba menjadi baik seperti ini?” Pertanyaan Mala membuat Adris tidak langsung menjawab. Pria itu hanya menatap dalam ke mata Mala tanpa mengucapkan sepatah kata.“Apa karena saya sedang hamil anak Tuan? Makanya Tuan jadi baik begini? Kalau nanti saya sudah melahirkan, apa Tuan akan kembali membuang saya? Semena-mena lagi sama saya?”Adris masih tidak memberikan jawaban. Tapi ekspresinya sungguh sulit untuk dijelaskan oleh Mala. Karena terus diperhatikan secara intens seperti itu, Mala memilih untuk bangkit saja, dia tidak mau malah tertangkap salah tingkah ditatap dalam seperti itu oleh Adris. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia jadi lebih sering berdebar saat bersama Adris.Mungkin kah karena hormon? Apa itu berarti sikap baik Adris juga karena hormon?“Istirahat lah, Tuan, saya akan-”Grep! Lengan Mala kembali ditarik hingga ia kembali duduk di atas tempat tidurnya berhadapan dengan Adris.“Aku akan menjawab pertanyaanmu setelah kamu memberikan keputusanmu a
Untuk kali pertama setelah bertahun-tahun lamanya, Adris dapat kembali melihat pantulan dirinya yang tersenyum di depan cermin. Wajah itu sudah terlalu lama kaku, bahkan ia nyaris melupakan bagaimana rupa wajahnya jika otot-otot pada wajahnya itu digunakan untuk menggerakkan wajahnya membentuk senyuman kebahagiaan.Bahagia? Entah apa makna dari kata itu, Adris hampir tidak tahu seperti apa rasanya bahagia yang sesungguhnya. Belasan tahun terakhir yang dia jalani rasanya kosong begitu saja. Ia hanya terus bergerak agar bertahan dan tidak tenggelam.Dan kini begitu tubuhnya sudah terlalu lelah untuk bergerak, ia justru menemukan sebuah tempat yang begitu sederhana. Tempat yang membuatnya begitu nyaman. Tempat yang membuat semua rasa lelahnya sirna. Tempat yang bisa dia sebut sebagai rumah.
Adris tidak membual ketika dia bilang akan mengantarkan Mala pulang, pria itu sungguh-sungguh mengendarai mobilnya tanpa Kelon. Mala duduk tepat di sebelahnya. Atmosfer canggung sungguh terasa untuk kali pertamanya. Adris pun tidak banyak bicara, hanya sesekali bertanya apakah Mala lapar. Atau apakah ada makanan yang diinginkan Mala. Atau ada sesuatu lain yang ingin dibeli oleh Mala. Dan semua pertanyaan itu hanya dijawab oleh gelengan kepala oleh Mala.Bukan karena gengsi, tapi karena memang dia sedang tidak menginginkan apa-apa saat ini. Entah kenapa, Mala merasa saat ini dia tidak ingin makan apa pun, tapi hanya ingin dekat dengan pria dingin itu.Dingin…Mala baru menyadari, sejak di dalam ruangan tadi, tatapan Adris kepadanya jauh lebih lembut, meski ekspresinya tetap datar.“Sebentar.” Mobil tiba-tiba menepi tak jauh dari pedagang kaki lima yang menjual rujak buah. Mala melihat Adris memborong dagangan penjual rujak itu. Begitu kembali, Adris langsung meletakkan beberapa bungk
Tiga hari berlalu, Mala benar-benar ditemani oleh Sumi, dia tidak memungkiri, keberadaan Sumi cukup membantu masa pemulihannya setelah kejadian perundungan yang mengharuskannya untuk bedrest. Tapi, Mala cukup bosan hanya berdiam diri di rumah, apalagi dia merasa dirinya sudah pulih.Alhasil pagi ini dia berhasil pergi ke kantor dengan ojek online sebelum kedatangan Sumi. Karena kalau Sumi sudah datang, dia pasti akan menghalangi Mala atas perintah Adris.“Lho Mala?” Mala menengok begitu dia baru saja memasuki lobi, dimana Nia ada di sana. “Kok lo udah masuk aja? Bukannya masih harus bedrest?”“Aku udah pulih, kok.”“Yakin? Tapi muka lo masih kelihatan pucat gitu.”“Oh aku belum sempat pakai lip cream aja jadi kelihatan pucat.”Nia terlihat tidak percaya dan khawatir melihat Mala ada di sana. Bukan hanya mengkhawatirkan kesehatan Mala setelah kejadian itu, tapi juga karena ada…“Mala?” Suara dingin milik pria yang sejak pagi ini sudah membuat heboh kantor dengan kehadirannya yang sanga
Setelah Ayu pergi untuk bekerja pagi ini, Mala kembali ke kamar. Lagi-lagi pikirannya penuh dengan berbagai macam hal. Tentang Aning dan kroninya yang sudah merundungnya. Tentang kehamilannya. Tentang pernikahannya. Tentang Adris. Dan tentang perasaannya.Hal terakhir lah yang membuat isi kepalanya terasa begitu mumet. Ia begitu tidak mengerti dengan apa yang dia rasakan saat ini. Ada rasa yang baru dan asing yang menyelinap masuk. Perasaan yang membuatnya merasakan rindu pada seseorang yang seharusnya dia benci seumur hidupnya. Ada perasaan tidak terima jika dia harus hamil disaat dirinya baru saja ingin memulai karir yang selama ini dia impikan sebagai anak yatim piatu. Tapi juga ada perasaan sayang pada janin yang ada di dalam rahimnya kini.Lamunan Mala pun harus berakhir ketika ia mendengar suara ketukan pintu.“Selamat pagi, Nyonya muda.” Sapa seorang wanita yang terlihat rapi dengan senyum ramah khas seorang ibu-ibu yang mungkin berusia sama dengan ibu panti.Mala mengerutkan k
Ketika Adris sudah melepaskan ikatan dasinya di dalam mobil seraya membuang napas kasar dan memejamkan matanya, Kelon tahu Tuannya sedang tidak baik-baik saja. Sampai kedua matanya kembali terbuka dan menyorot Kelon melalui kaca spion tengah.“Apa ada yang bisa saya lakukan, Tuan?” tanya Kelon tanpa harus dipanggil.“Apa kamu pernah berurusan dengan wanita hamil sebelumnya?”Pertanyaan Adris tentu saja membuat kening Kelon mengerut samar.“Maaf Tuan?”Lagi, Adris menghela napas.“Apa wanita hamil memang begitu? Tidak jelas maunya apa.” Nada Adris antara gemas, sebal tapi juga khawatir.Ini adalah hal baru untuk Kelon dengar selama dia menjabat sebagai asisten Adris. Pria itu biasanya selalu terlihat dingin, tenang, bisa menyembunyikan keresahannya. Tapi kali ini, Adris mematahkan semua imej karakternya.“Apa Tuan mau saya cari tahu tentang bagaimana karakter wanita hamil secara umum?” tanya Kelon. Meski pun dia sendiri juga tidak yakin akan bisa menyimpulkan hasil risetnya tentang wan
“Aku akan bertanggung jawab atas anak ini.” Adris mengulangi dengan penuh kepastian. Tapi tidak dengan ekspresi pada wajah Mala.“Tuan akan bertanggung jawab atas anak ini?” Nada penuh keraguan dan tidak percaya terdengar jelas di udara.“Iya. Kenapa kamu terdengar tidak percaya?”“Tentu saja.” sahut Mala. “Atas dasar apa Tuan mau bertanggung jawab? Kenapa? Apa yang Tuan rencanakan lagi? Apa selamanya saya akan terus hidup bersama Tuan?”Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kening Adris berkerut. “Apa aku terlihat sepicik itu di matamu?”Mala tidak menjawab, hanya menatap Adris dengan tatapan tidak rela.“Memangnya kenapa kalau kamu hidup bersamaku? Memangnya kamu tidak mau aku bertanggung jawab? Memangnya ada pria lain yang mau bertanggung jawab atas anak itu? Kalau ada, siapa orangnya? Faji?”“Ini ga ada hubungannya sama Mas Faji. Hanya saja, saya ga mencintai Tuan. Bagaimana mungkin saya harus hidup selamanya berdampingan dengan orang yang ga saya cintai. Begitu pun dengan Tuan.”“Mem
“Jawab!” Atmosfer di dalam rumah kontrakan Mala berubah menjadi tegang. Meski pun Adris terlihat pucat, namun aura dingin dan ketegasan dalam suaranya tidak hilang, bahkan Mala masih bisa merasakan betapa tajam tatapan mata pria itu.Dalam keadaan yang tegang dan penuh dengan tekanan seperti itu, Mala malah ingin menghambur ke dalam dekapan pria itu, dan menangis di sana, menumpahkan isi hatinya, dan melepaskan rasa takutnya.Padahal, rasa takut itu justru disebabkan oleh pria yang kini masih menunggu jawaban Mala.“Kalau kamu masih tidak menjawab, aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang!”“Tunggu dulu!” Ayu melepaskan diri dari Kelon dan langsung berdiri di antara Mala dan Adris, melepaskan tangan pria itu dari lengan Mala. “Bapak ga bisa seenaknya begitu, dong!”“Minggir, jangan ikut campur!” ujar Adris dengan nada suaranya yang rendah.“Maaf, Pak, bukannya saya mau ikut campur atau apa, tapi, kondisi Mala memang ga boleh kemana-mana.Itu ga baik untuk jan…eh, kesehatan Mala!” Hu