Mala terpaksa menjadi pengantin untuk cucu dari Tuan Besar jika ingin menyelamatkan masa depan anak-anak panti asuhan. Masalahnya, cucu dari Tuan Besar yang bernama Adris itu malah menekan Mala untuk menandatangani surat perceraian setelah mahkota Mala direnggut paksa olehnya. Dimata suami kontraknya itu, Mala hanya seorang wanita bayaran simpanan kakeknya. Tapi bagaimana jika setelah kepergian Mala, kebenaran yang sesungguhnya justru membuka mata Adris? Apakah Adris bisa mendapatkan maaf dan kesempatan untuk menebus dosanya? Atau Mala memilih untuk menutup hati dan tidak memberikan Adris kesempatan lagi?
View More“Tuan Muda memanggilmu.”
Suara berat dengan nadanya yang rendah tiba-tiba saja berbunyi di balik punggungnya. Mala terkejut dan menoleh dan melihat ada asisten pribadi Adris, Kelon, di sana.
Di bawah guyuran hujan yang sama, pria dengan ekspresi datar dan tatapan tanpa emosi itu kini berdiri di belakangnya dengan sebuah payung, tapi tidak memayungi Mala, tidak pula membawakan payung.
“Tuan Muda sudah kembali dari perjalanan dinas?” tanya Mala seraya mengusap wajahnya dari air hujan.
“Menurutmu?” Suara Kelon yang datar cukup menjawab pertanyaan retoris Mala.
Mala mengangguk. “Saya ganti pakaian dulu.”
“Lima menit.” kata Kelon sebelum pria itu memutar tubuhnya dan meninggalkan Mala.
Huh, memangnya apa yang Mala harapkan dari orang-orang yang ada di mansion besar ini? Selain cacian, makian dan kekerasan hingga lebam-lebam menghiasi tubuhnya, Mala tidak mampu berharap lebih.
Tepat lima menit kemudian, Mala sudah tiba di depan pintu kamar Adris, suaminya, yang juga merupakan tuan muda di keluarga itu.
Rambutnya yang panjang sebahu dan masih setengah basah dibiarkan tergerai karena dia tidak punya waktu yang cukup untuk mengeringkan rambut. Kaos basahnya sudah berganti dengan seragam pelayan.
Adris sudah menunggu Mala di dalam sana, duduk pada kursi kerjanya yang berada di sudut kamar tidur yang besar itu. Matanya dingin menatap Mala yang melangkah masuk ke dalam kamarnya.
“Tuan memanggil saya?” Mala bertanya dengan hati-hati.
“Berapa yang kamu minta dari kakekku hari ini?” Pertanyaan Adris langsung mengundang kerutan pada kening Mala.
“Maaf, Tuan?”
“Jangan berpura-pura polos.” ujar Adris dengan nada datarnya. “Kamu baru saja keluar dari ruang kerjanya kan?” Adris melemparkan tablet di atas meja kerja.
Pada layar benda pipih itu, terlihat rekaman dari CCTV dimana Mala yang masuk ke dalam ruangan Tuan Besar dengan membawa sebuah amplop coklat, dan keluar dari ruangan itu lima menit kemudian tanpa membawa apa-apa.
“Kamu pikir aku tidak tau kalau kamu dibayar oleh Kakekku untuk menggantikan posisi Patricia sebagai pengantinku? Dan kali ini kamu pasti meminta tambahan bayaran.” tuduh Adris.
“Dibayar?” Mala semakin bingung.
Karena yang otaknya ingat adalah saat itu dia dipaksa dan diancam hingga dirinya tidak mempunyai pilihan lain selain menerima paksaan Tuan Besar untuk menjadi pengantin pengganti..
“Kamu jangan berpura-pura bodoh.”
Adris berdiri, tubuhnya yang tinggi itu bergerak mendekati Mala dengan sorot matanya yang tajam mengintimidasi.
Mala secara insting melindungi diri, kakinya bergerak mundur selangkah demi selangkah hingga punggungnya menyentuh dinding yang dingin.
Adris memang tampan dan membuat perempuan mana pun bisa langsung jatuh hati hanya dari parasnya, tapi Mala justru sebaliknya, dia merasa takut pada suami kontraknya itu.
Tubuh Mala yang kecil bisa langsung remuk jika Adris melakukan tindakan kekerasan seperti yang dilakukan para pelayan yang ada di mansion itu.
“Kamu pasti tidak begitu saja menerima permintaan Kakek untuk menjadi pengantinku. Jawab!” Adris berdiri tiga langkah di depan Mala.
Atmosfer disekitarnya mendadak berat hingga rasanya sesak..
“Sa-saya memang menerima persyaratan itu, tapi bu-bukan karena saya dibayar.”
“Oh ya?” Tatapan dingin itu pun berubah jadi tatapan dengan sorot yang penuh dengan kebencian.
“Lantas, apa karena kamu mempunyai hubungan dengan Kakekku?”
“Apa?!” Kedua mata Mala sampai membelalak tak percaya.
“Apa aku salah? Kamu menolak menandatangani surat cerai yang kuberikan, karena jika kita bercerai, maka kamu tidak lagi bisa menutupi hubungan terlarangmu dengan Kakekku. Dan kamu tidak akan bisa memeras kakekku lagi.” Tatapan mencela dilemparkannya kepada Mala.
Mala menggigit bibir bagian dalamnya, menahan sekuat tenaga segala emosi yang berkecamuk dalam dadanya.
Dihina dan dicaci sebagai yatim piatu yang hidup miskin bisa dia terima. Tapi dituduh sebagai perempuan yang tidak mempunyai harga diri, itu sudah sangat keterlaluan!
“Apakah karena saya seorang pelayan dan seorang yatim piatu jadi Tuan Muda menilai saya serendah itu?” Nada terluka begitu terasa dalam setiap kata yang terucap.
Tapi sepertinya hati Adris terlalu beku untuk menarik kembali tuduhannya.
Alih-alih menyesali tuduhannya, Adris malah semakin menusuk Mala dengan tatapannya yang seruncing anak panah yang panas.
“Kamu menerima kartu dari Kakek dengan limitnya yang tidak terbatas. Kamu pikir aku tidak tahu?” Nada tuduhan itu semakin membuat dada Mala sesak dan sakit luar biasa.
Mala mengatupkan bibirnya. Mala tentu ingat, satu hari setelah resepsi, selain melemparkan surat kontrak yang berisi aturan dan ancaman untuk Mala patuhi selama menjalani perannya sebagai istri kontrak untuk cucu Tuan Besar, dia juga diberikan black card dengan limitnya yang tak terbatas sebagai fasilitas menjalani perannya untuk meyakinkan media.
Kartu yang sampai detik ini tidak pernah Mala gunakan.
“Perlu bukti apa lagi untuk membuktikan kalau kamu memang serendah itu?”
Empat hari setelah pengakuan yang membuat semua karyawan di perusahaan merasa syok dan terkejut, Adris malah tidak ada kabarnya. Dia tidak datang, tidak pula menghubungi Mala untuk menjelaskan apa maksud dari pengakuan yang dia lakukan di depan banyak orang.Keabsenan Adris selama empat hari ini membuat perasaan Mala tak karuan. Dia merasa seperti dipermainkan. Tapi juga merasa tersanjung. Namun disisi lain Mala juga merasa takut bahwa semua itu lagi-lagi hanya sementara karena kondisi Mala yang hamil.“Nona mau makan apa hari ini?” Sumi bertanya begitu Mala keluar kamar pagi ini, sembari memberikan segelas susu hamil dengan tambahan beberapa kotak es batu di dalamnya.“Ga ada kabar dari Adris atau dari Kelon, Bu?” Alih-alih menjawab pertanyaan Sumi, Mala malah balik bertanya.“Belum ada Nona. Apa mau saya hubungi Tuan Muda atau Tuan Kelon?”Mala buru-buru menggeleng.Selalu begitu selama empat hari ini. Mala akan bertanya, dan Sumi akan menawarkan untuk menghubungi, dan pada akhirnya
“Katakan, kenapa Tuan tiba-tiba menjadi baik seperti ini?” Pertanyaan Mala membuat Adris tidak langsung menjawab. Pria itu hanya menatap dalam ke mata Mala tanpa mengucapkan sepatah kata.“Apa karena saya sedang hamil anak Tuan? Makanya Tuan jadi baik begini? Kalau nanti saya sudah melahirkan, apa Tuan akan kembali membuang saya? Semena-mena lagi sama saya?”Adris masih tidak memberikan jawaban. Tapi ekspresinya sungguh sulit untuk dijelaskan oleh Mala. Karena terus diperhatikan secara intens seperti itu, Mala memilih untuk bangkit saja, dia tidak mau malah tertangkap salah tingkah ditatap dalam seperti itu oleh Adris. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia jadi lebih sering berdebar saat bersama Adris.Mungkin kah karena hormon? Apa itu berarti sikap baik Adris juga karena hormon?“Istirahat lah, Tuan, saya akan-”Grep! Lengan Mala kembali ditarik hingga ia kembali duduk di atas tempat tidurnya berhadapan dengan Adris.“Aku akan menjawab pertanyaanmu setelah kamu memberikan keputusanmu a
Untuk kali pertama setelah bertahun-tahun lamanya, Adris dapat kembali melihat pantulan dirinya yang tersenyum di depan cermin. Wajah itu sudah terlalu lama kaku, bahkan ia nyaris melupakan bagaimana rupa wajahnya jika otot-otot pada wajahnya itu digunakan untuk menggerakkan wajahnya membentuk senyuman kebahagiaan.Bahagia? Entah apa makna dari kata itu, Adris hampir tidak tahu seperti apa rasanya bahagia yang sesungguhnya. Belasan tahun terakhir yang dia jalani rasanya kosong begitu saja. Ia hanya terus bergerak agar bertahan dan tidak tenggelam.Dan kini begitu tubuhnya sudah terlalu lelah untuk bergerak, ia justru menemukan sebuah tempat yang begitu sederhana. Tempat yang membuatnya begitu nyaman. Tempat yang membuat semua rasa lelahnya sirna. Tempat yang bisa dia sebut sebagai rumah.
Adris tidak membual ketika dia bilang akan mengantarkan Mala pulang, pria itu sungguh-sungguh mengendarai mobilnya tanpa Kelon. Mala duduk tepat di sebelahnya. Atmosfer canggung sungguh terasa untuk kali pertamanya. Adris pun tidak banyak bicara, hanya sesekali bertanya apakah Mala lapar. Atau apakah ada makanan yang diinginkan Mala. Atau ada sesuatu lain yang ingin dibeli oleh Mala. Dan semua pertanyaan itu hanya dijawab oleh gelengan kepala oleh Mala.Bukan karena gengsi, tapi karena memang dia sedang tidak menginginkan apa-apa saat ini. Entah kenapa, Mala merasa saat ini dia tidak ingin makan apa pun, tapi hanya ingin dekat dengan pria dingin itu.Dingin…Mala baru menyadari, sejak di dalam ruangan tadi, tatapan Adris kepadanya jauh lebih lembut, meski ekspresinya tetap datar.“Sebentar.” Mobil tiba-tiba menepi tak jauh dari pedagang kaki lima yang menjual rujak buah. Mala melihat Adris memborong dagangan penjual rujak itu. Begitu kembali, Adris langsung meletakkan beberapa bungk
Tiga hari berlalu, Mala benar-benar ditemani oleh Sumi, dia tidak memungkiri, keberadaan Sumi cukup membantu masa pemulihannya setelah kejadian perundungan yang mengharuskannya untuk bedrest. Tapi, Mala cukup bosan hanya berdiam diri di rumah, apalagi dia merasa dirinya sudah pulih.Alhasil pagi ini dia berhasil pergi ke kantor dengan ojek online sebelum kedatangan Sumi. Karena kalau Sumi sudah datang, dia pasti akan menghalangi Mala atas perintah Adris.“Lho Mala?” Mala menengok begitu dia baru saja memasuki lobi, dimana Nia ada di sana. “Kok lo udah masuk aja? Bukannya masih harus bedrest?”“Aku udah pulih, kok.”“Yakin? Tapi muka lo masih kelihatan pucat gitu.”“Oh aku belum sempat pakai lip cream aja jadi kelihatan pucat.”Nia terlihat tidak percaya dan khawatir melihat Mala ada di sana. Bukan hanya mengkhawatirkan kesehatan Mala setelah kejadian itu, tapi juga karena ada…“Mala?” Suara dingin milik pria yang sejak pagi ini sudah membuat heboh kantor dengan kehadirannya yang sanga
Setelah Ayu pergi untuk bekerja pagi ini, Mala kembali ke kamar. Lagi-lagi pikirannya penuh dengan berbagai macam hal. Tentang Aning dan kroninya yang sudah merundungnya. Tentang kehamilannya. Tentang pernikahannya. Tentang Adris. Dan tentang perasaannya.Hal terakhir lah yang membuat isi kepalanya terasa begitu mumet. Ia begitu tidak mengerti dengan apa yang dia rasakan saat ini. Ada rasa yang baru dan asing yang menyelinap masuk. Perasaan yang membuatnya merasakan rindu pada seseorang yang seharusnya dia benci seumur hidupnya. Ada perasaan tidak terima jika dia harus hamil disaat dirinya baru saja ingin memulai karir yang selama ini dia impikan sebagai anak yatim piatu. Tapi juga ada perasaan sayang pada janin yang ada di dalam rahimnya kini.Lamunan Mala pun harus berakhir ketika ia mendengar suara ketukan pintu.“Selamat pagi, Nyonya muda.” Sapa seorang wanita yang terlihat rapi dengan senyum ramah khas seorang ibu-ibu yang mungkin berusia sama dengan ibu panti.Mala mengerutkan k
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments