Arletta segera menghindari selatan saat mereka mulai membahas tentang 'keseksian' di sana. Daripada merespon pertanyaan Davian soal melepaskan gaun tersebut, Arletta kini lebih memilih untuk melangkahkan kakinya menjauh dati pria itu. Gadis itu lebih memilih untuk memasuki kamar mandi yang ada di sana. Berniat untuk mandi dan berganti pakaian.
Setidaknya, sampai Arletta menyadari sesuatu. Tentang dia yang bahkan tidak bisa meraih resleting gaunnya di belakang sana dengan tangannya sendiri. Membuat Arletta yang berkali-kali mencoba meraihnya pun hanya mendapat kelelahannya saja. Hingga akhirnya dia terduduk di toilet yang tertutup dengan helaan nafas panjang yang telah dia lakukan.
"Tidak! Tidak mungkin aku minta bantuan dari pria itu!" tegas Arletta pada dirinya sendiri.
Saat dia sempat berpikir jika dia harus meminta bantuan pada Selatan di luar sana. Rasanya yang ada pria itu akan menggodanya lagi dengan ucapan-ucapan yang sebelumnya pria itu katakan. Arletta juga tidak mau kalau akhirnya pipinya itu bersemu merah lagi karena membahas soal hal seperti itu di malam pertamanya ini.
"Tapi, aku harus bagaimana sekarang?! Tidak mungkin aku merobek gaun mahal ini," keluh Arletta pada akhirnya.
Dia tengah bimbang sekarang. Dia benar-benar tidak tahu dengan apa yang harus dia lakukan saat ini juga. Hingga tidak sadar kalau dia telah berada di dalam kamar mandi tersebut selama tiga puluh menit. Sampai satu ketukan pada pintu kamar mandi itu membuat Arletta nyaris terlonjak kaget dari tempatnya.
"Hey, anak kecil. Kau tidak tidur di sana kan?"
Terdengar suara Davian di luar sana.
Arletta hanya mendengus kesal. Anak kecil katanya?! Benar-benar menyebalkan. Siapa juga yang dianggap anak kecil saat Arletta sendiri sudah berusia dua puluh tahun! Hal itu membuat Arletta sama sekali tidak berniat untuk menjawab panggilan pria itu.
"Arletta? Kau masih di dalam bukan? Kenapa berganti pakaian saja lama sekali," tanya Davian sekali lagi dengan beberapa ketukan yang telah dia lakukan pada pintu tersebut.
Davian juga berkali-kali menoleh ke arah Sena yang sudah dia pindahkan pada box bayi. Memastikan jika bayi itu tidak terganggu dengan ketukan pintu yang dia lakukan.
"Arletta Divkara?!"
Masih tidak ada jawaban.
Sebab Arletta di dalam sana hanya melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatap pintu dengan kesal. Dia benar-benar tidak berniat membuka pintu atau bahkan menjawab panggilan pria itu. Biar saja! Biar pria itu juga merasakan bagaimana kesalnya Arletta saat ini.
"Shit! Biar aku dobrak pintunya kalau kau tidak membukanya, sialan!"
Mendengar hal itu, Arletta menjadi panik sendiri. Selatan terdengar begitu serius saat mengatakannya. Membuat Arletta pada akhirnya dengan terpaksa membuka pintu tersebut. Meskipun dia juga merasa malu saat kenyataannya dia belum bisa melepaskan gaun yang melekat pada tubuhnya.
"Kenap—"
Davian tidak melanjutkan kalimatnya saat dia berhasil menatap Arletta yang berdiri di depan pintu. Ya, dia cukup terkejut saat melihat wanita itu masih memakai gaun pernikahannya saat dis sudah menghabiskan waktu selama itu di dalam kamar mandi.
"Are you serious, Arletta? Kau masih memakai gaun itu saat kau sudah menghabiskan waktu lama di dalam kamar mandi?"
Arletta kini hanya bisa menundukkan kepalanya. Dia berusaha menghindari sorot mata Selatan di sana. Ya, jelas dia juga merasa malu.
"Sebenarnya apa saja yang ka—"
"Aku tidak bisa melepasnya!" Potong Arletta dengan cepat. Mau tidak mau dia harus mengatakannya pada Davian. Karena tidak ada selain Davian yang bisa membantunya melepaskan resleting gaun tersebut. "Aku sudah berusaha melepaskannya, tapi resleting gaunnya tidak bisa aku raih. Jadi, aku tidak bisa melepaskannya," jelas Arletta lebih rinci.
Jujur saja, rasanya Davian ingin tertawa saat mendengar hal itu. Dia ingin menertawakan tentang betapa lucunya Arletta sekarang. Hanya saja, dia berusaha menahan tawanya. Saat dia menyadari kalau dia tidak seharusnya melakukan hal itu di depan Arletta.
"Kemari," ucap Davian pada akhirnya.
Dia lebih memilih untuk mempercepat situasi ini dan membantu Arletta. Dia tidak mungkin juga membiarkan Arletta kembali berjuang sendiri hanya untuk melepaskan gaun itu dari tubuhnya.
"Ya?"
"Mau dibantu tidak?"
"Mau!" Seru Arletta dengan mata yang berbinar.
Seperti baru saja mendapatkan bantuan air di padang pasir, Arletta terlihat begitu antusias pada akhirnya saat mendapat tawaran bantuan dari Selatan. Dia juga cukup senang saat Davian tidak lagi menertawakannya seperti sebelumnya atau bahkan memarahinya.
Seperti yang Arletta katakan sebelumnya, pria itu seolah memiliki beberapa sisi yang berbeda. Di mana sikap dingin dan Arogannya itu yang paling tidak dia sukai. Arletta lebih menyukai Davian yang berbaik hati dan perduli seperti ini tanpa banyak bicara.
"Berbalik," perintah Davian saat Arletta sudah berada di hadapannya.
Tanpa membantah, Arletta segera menurut pada pria itu. Dia segera berbalik dan membiarkan Davian Berhadapan dengan punggungnya dan juga resleting gaunnya.
Melihat punggung Arletta di depannya, Davian malah terdiam sejenak. Saat pikirannya telah melayang membayangkan apa yang pernah dia bicarakan dengan Tiara. Tentang dia dan Tiara yang sempat membahas hal ini terjadi saat melakukan fitting gaun pernikahan mereka.
Kata Tiara, "Nanti kalau kita menikah, kau yang bantu aku lepaskan gaunnya, ya? Perutku sudah sebesar ini, pasti sulit membukanya."
Membayangkan kembali hal itu membuat Davian malah menunduk. Saat dia kembali tersadar kalau itu hanyalah salah satu kenangannya. Saat Tiara kini tidak ada di sampingnya lagi. Saat wanita yang berada di hadapannya dengan gaun pernikahan itu bukan lagi Tiara melainkan gadis lain yang dia jadikan sebagai istri pengganti.
"Tuan Davian?!" Panggil Arletta yang kini sudah kembali berbalik menghadap Davian.
Dia berusaha menyadarkan pria itu dari lamunannya. Sampai Davian cukup terkejut saat Arletta kini sudah menghadapnya. Membuat keduanya saling berhadapan dengan jarak yang cukup dekat satu sama lain.
"Kenapa malah melamun? Cepat bantu turunkan resletingnya!" ujar Arletta pada pria itu.
Davian nampak menyibak rambutnya sendiri ke belakang saat Arletta berkata demikian. Dia juga berusaha menarik diri ke dalam kesadarannya.
"Kemari," ucap Davian sekali lagi pada Arletta di sana.
Namun, bukannya membuat Arletta kembali berbalik memunggunginya, dia malah membuat Arletta mendekat dengan posisi yang sama. Saling berhadapan satu sama lain bersamaan dengan tangannya yang terulur ke belakang tubuh Arletta untuk meraih resletingnya.
Posisi itu membuat Davian terlihat seperti memeluk tubuh Arletta. Membuat Arletta juga hanya terdiam di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun. Dia terlihat cukup terkejut saat Davian malah membantunya dengan posisi seperti ini.
"Kau wangi," ucap Davian begitu dia telah mencium aroma tubuh Arletta saat menurunkan resleting gaun gadis itu.
Tidak hanya Davian, pada kenyataannya Arletta juga dapat mencium aroma tubuh pria yang berada tepat di hadapannya. Apalagi, dengan wajahnya yang kini berhadapan langsung dengan leher Davian yang kepalanya tengah menunduk demi meraih resleting gaunnya di belakang sana. Membuat Arletta tertegun sendiri.
Aroma maskulin yang benar-benar nyaris memabukkan dalam jarak yang sedekat ini. Membuat Arletta mendongak dan malah mendapati Davian juga menunduk menatap wajahnya saat resleting itu sudah berhasil dia turunkan. Sampai keduanya kini hanya diam dan saling menatap tanpa mengubah posisi mereka saat ini.
"S–sudah selesai?" tanya Arletta tanpa bergerak sedikit pun.
Sementara Davian juga telah mengangguk tanpa mengubah posisinya sama sekali.
"Vanilla?" tanya Davian.
"Hah?" respon Arletta dengan kebingungan saat pria itu bertanya demikian.
"Parfum yang kamu pakai. Vanilla kan?" tanya Davian sekali lagi.
"Ah, itu. I–iya, Vanilla," jawab Arletta dengan gugup.
Bagaimana tidak gugup saat posisi mereka sedekat ini. Apalagi, saat Arletta dengan jelas bisa melihat jakun pria di hadapannya. Salah satu bagian dati pria yang dia sukai. Jakun yang cukup menonjol dengan tegas. Membuat Arletta menelan ludahnya sendiri saat melihat hal itu sebelum kembali menatap Davian yang masih menatapnya.
"Wangi."
"Terima kasih," jawab Arletta dengan kikuk. "Eum, bisakah kau mund—"
"Boleh aku menciummu?"
Pikiran Arletta mendadak kosong saat bibir Davian terus saja bergerak memberikan pagutan yang semakin dalam. Bibir pria itu terus saja menyesap bibir Arletta seolah tak puas jika hanya menyesapnya sebentar saja. Menjadikan bibir milik Arletta sebagai permen manis yang akan selalu disesapnya.Ciuman itu berubah menjadi lebih menuntut. Bahkan, tangan Davian telah merengkuh pinggang gadis itu dengan cukup erat, membuat jarak di antara mereka semakin tipis lagi. Membuat Arletta memejamkan matanya dengan rapat. Bersamaan dengan tangannya yang sudah dia letakan pada bahu Davian. Menahan pria itu untuk bergerak lebih dekat lagi padanya.Sampai pada akhirnya, Davian melepas tautan mereka berdua. Di mana dia juga sudah menatap Arletta yang mulai membuka matanya dengan gugup."T–tuan Davian," ucap Arletta dengan suara yang terdengar lirih dan gugup secara bersamaan. Dia bahkan menelan ludahnya sendiri di sana dengan susah payah."Maaf," ucap Davian beberapa detik kemudian.Ya, pria itu sadar ak
"Bagaimana kalau kita tetap tidur bersama? Dan bagaimana kalau memintamu juga melayaniku? Benar-benar sebagai istri yang harus melayani suaminya. Menjalankan peranmu sebagai Istri pengganti yang semestinya," ucap Davian tanpa ragu sama sekali. "Kau mau melakukannya, Arletta?"Duduk saling berhadapan dengan Davian, Arletta hanya mampu menundukkan kepalanya. Menghindari sorot mata Davian di sana.Bukannya fokus pada makanan yang sudah disiapkan di atas meja di antara mereka berdua, Davian dan Arletta malah saling terdiam dengan Davian yang menatap Arletta dengan lekat. Tanpa berniat untuk menikmati makanannya sebelum wanita itu juga menjawab pertanyaannya yang telah dia berikan padanya beberapa waktu lalu. Sebelum dia selesai mandi tadi dan kembali duduk berdua dengan Arletta.Sementara Sena sendiri sudah kembali ditidurkan di kamarnya."Bagaimana? Apa jawabanmu?" tanya Davian pada akhirnya.Pertanyaan itu kembali membuat Arletta semakin gugup. Bahkan kedua tangannya sudah saling bertau
Davian sudah segera beranjak dari posisinya saat gadis di bawah kungkungannya sudah mengingatkan dirinya akan Sena yang memang berada di samping mereka.Mungkin memang bayi itu tidak mengetahui apa pun. Akan tetapi, Davian juga tidak mungkin segila itu untuk melakukan acara bercintanya dengan Arletta dengan bayi itu di sisinya. Terlebih saat Davian mulai berpikir, haruskah dia benar-benar melakukan ini? Saat Tiara belum lama ini meninggalkannya.Apa Davian terlalu kejam kalau melakukannya?"Ehmm," ujar Davian yang kemudian berdeham setelah melihat Arletta juga telah kembali terduduk dan menghindari sorot matanya.Sementara gadis itu juga telah kembali memfokuskan pandangannya pada Sena. Bayi yang kini menatapnya dalam diam dan tangan yang bergerak-gerak.Meskipun isi kepala Arletta kini telah melalang buana. Dia membayangkan bagaimana jadinya kalau dia memang benar-benar melakukannya dengan Davian. Akankah dia memang akan mengakhiri kegadisannya? Apakah pada akhirnya Arletta harus men
"Haruskah kita melakukannya sekarang? Aku membutuhkanmu, Arletta. Aku ingin kau memuaskan aku," bisik Davian tepat pada telinga gadis itu.Sebuah bisikan yang mampu membuat Arletta mengeratkan rematan tangannya pada pakaian yang saat ini dia kenakan.Hingga entah bagaimana, pada akhirnya bibir pria itu sudah berhasil mendarat tepat pada bibir Arletta. Untuk kali kedua, pria itu kembali menikmati bibir yang membuatnya merasa mabuk. Melupakan sejenak kepenatan yang saat ini dia rasakan atau bahkan kembali mengenang Tiara yang begitu dia rindukan.Dia tahu Arletta berbeda dengan Tiara. Baik itu dari segi fisik atau pun sikap, bahkan keahlian mereka berbeda dalam berciuman.Jelas Tiara lebih unggul. Wanita itu selalu mampu mengimbangi ciumannya yang diberikan oleh Davian. Sangat berbeda dengan Arletta yang masih terasa kaku. Membuat Selanjutnya lebin mendominasi pagutan tersebut.Meski begitu, Davian tak masalah. Dia yang bisa memimpin. Akan lebih baik juga jika dia bisa membuat Arletta m
Pagi kembali menyapa, dan Arletta sama sekali tidak tahu kalau keluarga Davian masih berada di rumah itu. Mereka menginap, dan Arletta sekarang baru saja melangkahkan kakinya keluar setelah dibangunkan oleh Davian saat jam sudah menunjukan pukul delapan pagi.Davian membangunkan Arletta untuk mengajaknya sarapan bersama. Dan begitu Arletta melangkahkan kakinya menuju dapur, dia sudah mendapatkan beberapa tatapan yang tajam. Tatapan yang diberikan seolah tengah menghakimi Arletta.Totalnya ada sepuluh orang di sana. Termasuk Davian dan juga Dayanti. Serta enam orang di sana yang telah memberikan tatapan tak ramah pada Arletta. Menatap Arletta yang seolah telah melakukan kesalahan besar karena baru saja bangun terlambat di antara yang lainnya. Padahal, Davian sendiri yang membuat Arletta kelelahan semalam sampai tak sadar tertidur selama itu katena tubuhnya benar-benar terasa lemas.Bahkan, Arletta saja masih merasakan ngilu di bawah sana sampai saat ini."Selamat pagi. Maaf aku terlamb
Terdiam dengan segelas air hangat yang berada di tangannya, kepala Arletta terus menunduk dengan sisa air mata yang sudah mengering di pipinya. Dia mencoba terus terdiam dengan beberapa perasaan yang saat ini tengah dia rasakan. Di mana perasaan kacau adalah yang paling mendominasi sekarang.Jemarinya terus bergerak mengetuk sisi gelas yang saat ini ada di tangannya. Dia Terus membiarkan keheningan menyelimutinya bersama dengan pria yang saat ini duduk di hadapannya. Peia yang beberapa saat lalu telah menjadi saksi segala keluh kesah yang dia keluarkan. Keluh kesah yang berusaha dia tahan."Jadi, apa yang kamu inginkan sekarang? Bercerai?" tanya Davian begitu saja.Dia sudah mendengarkan semuanya dari Arletta. Dia mendengar jelas jika gadis itu juga memang menyesal telah melakukan pernikahan ini. Davian sadar betul kalau gadis itu memang tersiksa dengan keputusan yang dia buat ini. Maka dari itu Davian sudah memberikan penawaran untuk bercerai padanya.Ini bukan seperti Davian memang
"Arletta, ya?" tanya orang itu dengan senyuman yang sudah dia lukiskan.Sementara yang disebutkan namanya itu tetap bergeming. Dia masih terkejut hingga tak dapat berkata apa pun. "A—apa yang kau lakukan di sini?" tanya Arletta saat dia sudah mulai berusaha berbicara di antara kekakuan yang dia rasakan.Hingga pertanyaan itu membuat pria di depannya menganggukkan kepalanya. "Mau bertemu dengan Kak Davian. Tapi, ngomong-ngomong senang bertemu dengan mu di sini," ucapnya.Sementara Arletta kembali terdiam di tempatnya tanpa mengatakan apa pun lagi. Karena pada faktanya, pria yang saat ini berdiri di hadapannya adalah orang yang dia kenal.Sangat Arletta kenal dengan baik."Jadi boleh ak—""Siapa, Arletta?!"Suara Davian terdengar semakin mendekat pada tempat di mana Arletta berada sekarang. Karena nyatanya, pria itu memang tengah melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arahnya. Davian yang kembali keluar dari kamarnya setelah dia memeriksa ponselnya dan mendengar bel rumahnya yang berbu
Entah hanya firasat Arletta atau memang benar jika Ghava mengarahkan sorot matanya itu padanya. Seolah apa yang dia katakan memang ditujukan untuk Arletta. Apa yang dimaksud pria itu mencoba mengarah pada Arletta, meski Arletta sendiri tidak tahu apa maksud pria itu mengarah ke arahnya."Sayang sekali, harusnya kalau memang itu adalah sesuatu yang kau inginkan, kejar sampai dapat!" Tegas Davian pada Ghava.Dia memecah keheningan yang sempat terjadi. Hingga akhirnya Arletta menghela nafasnya tak ketara dengan Ghava yang langsung terkekeh pelan untuk merespon apa yang dikatakan oleh pria itu di sana."Ya, harusnya begitu. Tapi, tak masalah. Mungkin memang harusnya seperti ini," ucap Ghava yang nampaknya berusaha bersikap tenang. "Ah, kak Davian. Sepertinya aku tidak bisa lebih lama berada di sini. Aku harus segera pulang karena aku juga belum bertemu mereka sama sekali," ucap Ghava yang pada akhirnya bangkit dari duduknya.Davian mengernyit menatap Ghava di