Malam itu, Javier duduk di ruang kerja kecil apartemennya. Lampu meja menyala redup, sementara di hadapannya berserakan kertas berisi catatan, alamat, serta peta yang ia coret-coret sejak beberapa hari terakhir. Matanya merah, wajahnya kusut, tetapi tekadnya masih tetap menyala.
Email dari Jenn terus terngiang-ngiang di kepalanya, bukti nyata bahwa istrinya masih hidup dan dalam keadaan baik-baik saja. Namun itu juga seperti pisau bermata dua, karena ia tidak tahu di mana Jenn berada sekarang. Dia sangat merindukan wanita itu. Ken masuk membawa secangkir kopi, meletakkannya di meja kerja. “Sepertinya, anda memang harus terus tenang, Tuan Javier. Saya sudah minta beberapa orang melacak lokasi email itu, tapi hasilnya nihil. Mereka sangat pintar menyembunyikan jejak.” Javier mengepalkan tangannya. “Selalu begitu. Setiap kali ada petunjuk, selalu buntu. Seolah ada tembok yang membatasi aku dengan Jenn. Aku bisa gila kalau begini terus.”Malam itu, Javier duduk di ruang kerja kecil apartemennya. Lampu meja menyala redup, sementara di hadapannya berserakan kertas berisi catatan, alamat, serta peta yang ia coret-coret sejak beberapa hari terakhir. Matanya merah, wajahnya kusut, tetapi tekadnya masih tetap menyala. Email dari Jenn terus terngiang-ngiang di kepalanya, bukti nyata bahwa istrinya masih hidup dan dalam keadaan baik-baik saja. Namun itu juga seperti pisau bermata dua, karena ia tidak tahu di mana Jenn berada sekarang. Dia sangat merindukan wanita itu. Ken masuk membawa secangkir kopi, meletakkannya di meja kerja. “Sepertinya, anda memang harus terus tenang, Tuan Javier. Saya sudah minta beberapa orang melacak lokasi email itu, tapi hasilnya nihil. Mereka sangat pintar menyembunyikan jejak.” Javier mengepalkan tangannya. “Selalu begitu. Setiap kali ada petunjuk, selalu buntu. Seolah ada tembok yang membatasi aku dengan Jenn. Aku bisa gila kalau begini terus.”
Thomas nampak memaksakan senyumnya. Pertanyaan Jenn barusan bisa dia jawab dengan tegas dan jujur, tapi dia sendiri tidak yakin apakah Jenn akan mempercayainya. Kembali menatap Jenn, Thomas pun menanyakan sesuatu sebelum menjawab pertanyaan dari Jenn. “Apa kau akan percaya jawaban Ayah nanti, Jenn?” Tanpa berpikir lama, Jenn langsung menganggukkan kepalanya. “Aku percaya Ayah tidak akan membohongiku. Jadi, katakan saja alasannya, aku akan mencoba untuk mempercayainya meskipun nantinya aku juga akan tetap merasa ragu.” Thomas diam sejenak sebelum dia mulai berbicara, “Ayah juga tidak memiliki keinginan untuk menikah lagi setelah Valerie menghilang. Hanya saja, menguatkan posisi Ayah dalam keluarga membutuhkan pendamping yang resmi. Orang tua Ayah, Nenek dan Kakekmu, mereka berdua meminta Ayah untuk kembali menikahi Sofia daripada harus menjalin hubungan baru dengan wanita lain.” Jawaban itu membuat Jenn terdiam. Entah serumit apa kehidup
Sore itu, setelah pulang kantor, Thomas berjalan cepat menuju kamar Jenn. Segera ia mengetuk pintu kamar itu. Tok tok!Jenn yang sedang melamun itu pun segera membuka pintu. Ia mematung sejenak, menatap Thomas yang masih berdiri di ambang pintu dengan senyum hangat yang begitu tulus. Ia sedikit bingung harus bereaksi bagaimana. Hatinya campur aduk antara canggung, tersentuh, dan ragu untuk bereaksi lebih.Thomas mengangkat boks berukuran sedang di tangannya. “Ayah bawakan plum cake untukmu.”Jenn memaksakan senyumnya. Ia langsung menerima cake itu. “Terima kasih, Ayah.”Jenn sudah akan menutup pintu, tapi Thomas tidak kunjung menyingkir membuat Jenn bingung. “Apa ada lagi yang ingin Ayah katakan?” tanya Jenn. Thomas tersenyum. “Ayah ingin masuk. Menyuapi kue itu sendiri untukmu.”Jenn pun mengernyitkan keningnya. “Hah...?”“Boleh kan?” tanya Thomas lembut, seakan sedang menunggu restu dari seorang pu
Malam itu, apartemen Javier terasa sunyi. Lampu redup di ruang tamu hanya menambah rasa hampa yang sudah menjerat hatinya. Ia duduk di sofa, tubuhnya lemah karena beberapa hari terakhir hampir tidak pernah tidur. Pagi tadi saja, ia sempat pingsan membuat Ken memaksa Javier pulang agar setidaknya bisa beristirahat walaupun cuma sebentar. Namun, istirahat itu terasa mustahil. Setiap kali memejamkan mata, Javier selalu saja teringat wajah Jenn… caranya tersenyum, suara lembutnya, bahkan aroma tubuhnya saat tidur di pelukannya. Semua itu membuatnya semakin tidak bisa lelap. Ia mendesah berat, lalu memandang ke arah meja kerja. Entah mengapa, hatinya mendesak untuk mengambil laptop yang tergeletak di meja. Dengan gerakan yang terasa malas tapi gelisah, ia membuka laptop itu. Begitu layar menyala, pandangannya menangkap notifikasi email baru di inbox. Seketika napasnya tercekat. Jari-jarinya bergetar saat mengklik pesan itu. Layar menampilk
“Di kediaman Ludrent. Maaf karena ayah tidak bisa mengatakan alamat lengkapnya untuk berjaga-jaga. Yang pasti, kau sedang tidak berada di negara yang sebelumnya kau tinggali,” jawab Thomas.Setelah mendengar jawaban itu, Jenn segera masuk ke kamar dan menutup pintu perlahan. Langkahnya terasa berat, seakan ada beban yang menekan dadanya. Ia berjalan menuju jendela besar yang menghadap taman luas, lalu berhenti di sana. Tangannya mengepal kuat-kuat, rahangnya mengeras. Baru sekarang ia benar-benar menyadari kenyataan pahit itu, ia bahkan sudah tidak berada di negaranya sendiri. Thomas diam-diam telah membawanya jauh ke luar negeri, jauh dari segala yang familiar, termasuk dengan Javier. Perasaan kecewa dan dikhianati merambati hatinya. Bagaimana dia akan memulai rencananya? Ia menunduk, menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gejolak emosi. Tapi setelah beberapa saat, Jenn memejamkan mata dan berkata lirih pada dirinya sendiri, “Kecewa sep
Pagi itu suasana ruang makan keluarga Ludrent terasa begitu kaku. Jenn baru saja menuruni anak tangga ketika matanya langsung menangkap sosok Thomas yang berdiri di bawah tangga, menatapnya sambil tersenyum dengan sorot yang hangat. “Selamat pagi, Jenn,” sapanya lembut, nada suaranya penuh perhatian yang jelas-jelas tulus dari hati seorang ayah. “Ayah baru saja ingin memanggilmu. Mari, bergabunglah bersama kami di meja makan. Sarapan sudah siap.” Jenn sedikit tertegun, tidak terbiasa dengan sapaan yang begitu ramah darinya. Ia hanya bisa mengangguk kecil, melangkah perlahan ke arah meja makan yang besar dan mewah itu. Namun sebelum ia bisa duduk, Sofia yang duduk anggun di kursi ujung meja menghela napas keras, suaranya sengaja dibuat terdengar saat bergumam. “Thomas,” ucap Sofia sambil menegakkan punggungnya. “Kau tidak perlu berlebihan memperlakukan Jennifer. Masih banyak pelayan di rumah ini yang bisa membangunkannya. Kau tidak harus menunggu di b