“Dasar anak bodoh!”
Cacian beserta tamparan tepat di pipi Ruby membuat wanita yang baru saja kehilangan kesadarannya itu membuka mata.
Ruby mengelus pipinya yang pedih, dan serta merta pandangan kaburnya menjadi jernih. Ia tersadar bahwa dirinya kini berada di ranjang besar setelah tubuhnya terkulai lemas karena melihat wajah buruk rupa suaminya.
“Kau ingin membuat kita semua mati atau bagaimana? Kau hanya perlu menciumnya! Dasar tidak becus!” ucap Esli—ayah Liz. Ia tampak murka sembari sesekali menoleh ke arah pintu, tampak khawatir ada yang mendengar.
Ruby terlalu terkejut untuk bisa menanggapi hinaan dari ayah seorang wanita yang seharusnya berada di posisinya. Ia tidak menyangka akan mendapat amarah seburuk itu. Lagipula, bukan keinginannya untuk pingsan. Siapa yang akan menyangka bahwa pria yang menjadi pasangannya justru akan terlihat seperti monster?
“Kau berteriak di depan wajahnya? Dan pingsan? Kau baru saja menghinanya, Bodoh! Kenapa kau tidak sekalian saja melempar wajahnya dengan kotoran?!” Esli mengusap wajah dengan panik.
Ruby yang pingsan setelah melihat wajah Eduardo Rosas itu tentu bisa dianggap hinaan. Ruby juga tahu kalau teriakan dan pingsannya tadi sangatlah tidak sopan. Terkesan Ruby tidak tahan melihat wajahnya yang seram.
“Anda tidak mengatakan kalau wajahnya akan seperti itu.” Ruby tidak bisa marah padanya, tapi membela diri. Meski perut mual dan kepalanya pusing, Ruby merasa kalau tidak terlalu terkejut, mungkin ia tidak akan pingsan.
“Kau akan lari bahkan sebelum menginjak tempat ini kalau aku menyebut wajahnya!” desis Esli.
Ruby terdiam. Tidak bisa menjadi terlalu munafik. Sepuluh persen keinginannya menerima pekerjaan aneh bin ajaib ini berasal dari wajah itu. Eduardo yang ada di foto itu sangat tampan.
Tapi sembilan puluh persen alasan Ruby adalah ibunya. Uang dan perawatan untuk ibunya yang sedang sakit. Ruby mungkin akan mempersiapkan hatinya dengan lebih baik.
“Kau seharusnya memakai kesempatan ini agar bisa hidup dengan lebih enak! Tidak terus hidup di selokan itu bersama ibumu!”
Wajah dan telinga Ruby memerah seketika, begitu mendengar hinaan Esli yang berikut.
Area tempatnya hidup memang kumuh, tapi Ruby dan ibunya bahagia di sana—sebelum ibunya sakit. Esli adalah orang asing. Ia tidak tahu bagaimana mereka bekerja keras untuk mempertahankan kehidupan itu. Ia tidak berhak untuk menghinanya.
“Anda keterla…”
Ruby terdiam karena Esli membungkam mulutnya. Pintu kamar yang ditempatinya terbuka.
Tangan Esli yang tadi membungkam erat, berubah arah dan mengelus wajah Ruby.
“Kau masih tampak pucat, Liz. Apa aku perlu meminta teh panas atau minuman lain?” Esli bertanya dengan lembut, seolah seluruh hardikan dan hinaan tadi hanya mimpi. Ia mengusap pipi Ruby dengan wajah kebapakan yang tentu menipu dengan mudah.
Ruby kemarin lusa tertipu, karena sikap seperti ini yang diperlihatkan Esli. Bapak patah hati yang ingin pernikahan anaknya tidak batal. Ruby kasihan, dan lebih mudah masuk ke dalam jebakan.
“Ia tidak tampak sakit lagi.”
Ruby berpaling untuk melihat siapa yang datang, tapi kemudian menunduk. Pria yang masuk itu ternyata Eduardo—suami Liz.
“Maafkan Liz, Tuan Rosas. Dia pingsan hanya karena tegang dan lelah. Hampir dua hari ini ia tidak tidur karena mempersiapkan pernikahan. Saya harap Anda mengerti.”
Esli menghampiri dan bersikap sangat tunduk. Ia membujuk dengan sikap menjilat. Hierarki yang tentu tidak lepas dari pengamatan Ruby. Ayah palsunya itu takut pada Eduardo. Esli terlihat menghamba.
“Kau yakin ia tidak tidur karena tegang? Bukan sedang menangisi kesialannya karena menikah denganku yang menjijikkan ini?”
Eduardo menghampiri ranjang. Ruby yang menunduk, memberanikan diri untuk melirik. Mata Eduardo sangat hijau. Seperti foto yang dilihatnya.
Foto yang diperlihatkan Esli tidak palsu, hanya wajahnya berubah. Terluka oleh entah apa, tapi sangat merusak.
Wajahnya seolah terbagi dua. Sisi kanannya masih mulus, tapi yang satu tampak bergelombang tidak rata—dengan tiga galur besar memanjang dari kening ke leher. Mengerut dan tertarik paksa sampai sisi bibir kirinya miring ke atas. Seperti membentuk seringai ejekan permanen.
Ruby kembali menyesal karena berteriak tadi. Luka itu pasti menyakitkan, dan Ruby menambahkan rasa sakit dengan berteriak saat melihatnya.
“Tidak pingsan lagi? Sudah waras?” Pertanyaan itu tidak datang dengan lembut. Nadanya dingin dan wajah yang menyeramkan itu sama sekali tidak menampakkan kasih sayang.
Esli menghampiri, mencoba untuk membujuk.
“Maafkan Liz. Ia…”
“Tutup mulutmu yang beraroma bangkai itu!”
Makian kasar yang mengagetkan. Ruby biasanya hanya mendengar makian semacam itu saat melewati area klub malam yang ada di dekat apartemennya.
“Aku tidak peduli alasamu! Yang jelas—sekali lagi kau membuatku malu, maka aku anggap kesepakatan kita batal. Kau boleh mengucapkan…”
“Tidak akan terjadi lagi, Don Rosas! Sungguh! Tidak akan lagi. Liz sudah sehat dan akan menghadiri pesta bersama Anda!” Esli meraih tangan Eduardo untuk memohon. Tapi tangan itu ditepis dengan cepat.
“Jangan menyentuhku!” desis Eduardo.
“Maaf…maaf.” Esli dengan gugup menunduk lalu menghampiri ranjang.
“Liz—Morrita.” (Anak perempuanku sayang)
Esli memanggil dengan lembut dan membantu Ruby berdiri dari ranjang.
“Coba kau pingsan lagi, aku akan membuatmu tidak bisa membuka mata selamanya.”
Ancaman lain dari Eduardo, yang membuat Ruby ingin menangis. Ia baru membuka mata beberapa menit lalu, tidak mengerti apapun, tapi harus mendapat ancaman mengerikan seperti itu. Ruby mulai merasa kalau ia melakukan kesalahan karena menerima tawaran Esli.
“Menggelikan! Istri yang pingsan melihat wajah suaminya.”
Terdengar dengusan, begitu Ruby menunduk untuk menyembunyikan air mata. Lalu ada tangan menyambar dagu—memaksanya mendongak. Mata cokelat Ruby bertemu dengan mata hijau yang menatap tajam. Bekas luka juga menutupi salah satu kelopak mata Eduardo. Membuatnya tidak bisa mengedip dengan normal. Luka itu berat dan buruk.
“Kau lihat wajah ini? Kau akan melihatnya untuk seumur hidup! Jangan harap kau bisa lari atau mencoba menghindar. Wajah ini akan selalu menjadi mimpi burukmu!”
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters