Selina duduk di ruang tunggu Klinik dengan mata sembab. Dia menunduk, menatap ujung sepatunya yang bergoyang pelan. Madam yang berada di sampingnya mendesah pelan. Dia hanya keluar sebentar untuk menenangkan pikiran setelah bertemu CEO Castellvain tadi. Namun teleponnya berdering mengabarkan kegaduhan yang terjadi di klinik. Madam buru-buru kembali ke Klinik tanpa bertanya detail tentang kegaduhan itu. Ternyata… murid kesayangannya lah yang membuat kericuhan. “Selina…,” panggil Madam dengan suara lembut. Yang dipanggil tak langsung mendongak. Dia malu bukan kepalang karena telah menciptakan kekacauan di sana. “Maafkan aku, Madam… aku- aku telah bertindak agresif di klinik ini. Aku membuat semua orang takut.” Madam menghela napas panjang. Dia meraih pundak Selina, menatap wajah gadis itu dengan mata lembut namun bergetar. “Bodoh… aku bukan khawatir pada pasien lain atau perawatku. Aku khawatir padamu, Selina,” ucap Madam, suaranya sedikit gemetar menahan emosi. “Bagaimana jika m
Zander baru saja akan bersandar saat terdengar keributan dari luar. Dia mengambil topengnya berniat keluar memeriksa keadaan. Namun pergerakan Zander berhenti saat mendengar percakapan dua perawat yang lewat di depan ruangan itu. “Kenapa Selina tiba-tiba menyerang? Apa punya masalah dengan Asisten Tuan CEO itu?” “Nggak tahu. Kak Selina nggak mungkin nyerang tanpa alasan. Kita nggak usah ikut campur. Nanti malah repot sama Castellvain itu.” ‘Selina menyerang?’ Zander merasa ada yang tidak beres. Dia langsung keluar ruangan tanpa mengenakan topeng terlebih dahulu. Orang-orang di lorong menatapnya dengan ekspresi terkejut. Lantaran baru sekarang mereka melihat wajah Zander tanpa topeng. Pria itu tak terlalu memperdulikan tatapan orang di sekitarnya karena Selina tadi sudah menutupi lukanya dengan perban. Yang terpenting sekarang, dia harus mencari keberadaan istrinya. “Permisi…, di mana Selina?” tanya Zander dengan mencegat salah satu perawat yang nampak tergesa. “D-di sana!”
Klinik Madam mendadak heboh ketika Selina dan suaminya masuk. Sebagian besar dari mereka sudah mengenali sosok pria bertopeng itu. Biasanya bukan hal baik jika CEO Castellvain muncul di tempat kecil yang jauh dari sorotan. Suasana ruang tunggu yang semula ramai langsung hening. Beberapa perawat saling berbisik di sudut ruangan, sementara pasien menatap dengan campuran rasa penasaran dan takut. Selina mengguncang pelan tubuh Zander, mengisyaratkan bahwa Aswin telah pergi. Zander segera membuka mata, mengakhiri akting pingsannya. “Ayo temui Madam dulu. Dia akan memeriksa wajahmu,” ajak Selina. Zander hanya menatap datar, matanya yang dingin mengitari ruangan seperti menilai apa bagusnya klinik kecil itu. Selina terakhir kali juga ke sana untuk memeriksa salepnya, kan? Hati kecil Zander masih menolak percaya bahwa klinik kecil itu lebih baik daripada rumah sakit besar yang biasa dia kunjungi. Salah satu perawat memberanikan diri mendekat, menunduk hormat. “Selamat datang, Tuan
Jam makan siang sudah lewat. Namun pintu ruangan Zander masih tertutup rapat. Aswin melirik jam tangannya, lalu menatap pintu itu lagi dengan kening berkerut. Seharusnya, sekarang dia sedang duduk bersama Zander mempersiapkan materi rapat internal yang akan digelar sebentar lagi. Zander akan memanggilnya untuk memastikan semua berkas dan data investor tersusun rapi sesuai urutan presentasi. Namun kali ini… tidak ada panggilan. Tidak ada suara interkom. Tidak ada instruksi apa pun. ‘Apa mereka memang sudah berbaikan? Atau malah terjadi konflik yang lebih besar sehingga tak ingin orang lain ikut campur?’ Aswin menggenggam jemarinya sendiri erat-erat. Rasanya ada sesuatu yang salah…, sesuatu yang tidak dia ketahui. Di saat pria itu tengah bergelut dengan pikirannya, pintu ruangan CEO terbuka. Aswin menegakkan tubuhnya, sudah siap menjalankan apapun perintah dari atasannya. Zander keluar beriringan bersama Selina. Mereka menghampiri meja Aswin. “Apa tempat untuk rapat sudah diatu
Suasana kantor pagi itu mendadak heboh. Beberapa karyawan yang sedang duduk di meja kerja langsung menegakkan punggung ketika melihat lift utama terbuka dan menampilkan sosok sang CEO bersama istrinya.“Eh, itu bukan Bu Selina?” bisik seorang staf wanita pada temannya.“Iya! Astaga, mereka berangkat bareng hari ini?”“Berarti mereka sudah baikan dong? Kemarin-kemarin katanya perang dingin-”“Shh… jangan gosip keras-keras. Nanti kena tegur Pak Aswin,” balas temannya dengan menunjuk ke arah Aswin yang telah memperhatikan mereka dengan tatapan tajam.Kedua wanita itu langsung menutup mulutnya. Posisi Aswin di kantor itu sangat tinggi. Dia tangan kanan Zander. Sehingga jika Aswin sudah bertindak, maka habislah sudah karir mereka di sana.Beberapa staf lainnya saling bertukar pandang dengan tatapan lega. Hubungan CEO mereka selalu jadi topik hangat setiap hari. Apalagi sejak Selina menjadi sekretaris pribadi Zander, gosip tentang keduanya seolah tak ada habisnya.Namun Selina tak peduli de
Pagi hari, saat jam sarapan tiba, Sabrina berdiri di depan pintu kamar Zander. Dia ingin memastikan sendiri, apakah putra dan menantunya sudah berbaikan? Semalam, dia memaksa mereka untuk kembali tidur sekamar. Baginya, masalah dalam rumah tangga harus diselesaikan dengan komunikasi, bukan saling menghindar. Pernikahan mereka baru seumur jagung. Tak mungkin dibiarkan retak karena emosi sesaat. “Tidak,” gumamnya sambil menggeleng pelan. Sabrina menatap pintu kamar itu dengan tekad bulat. Dia harus menjaga pernikahan Zander tetap utuh. Apalagi dia sudah tak sabar ingin menimang cucu. Jika harus mencari menantu lain, dia tak yakin akan mendapatkan yang sebaik Selina. “Zan… Selina… kalian masih tidur? Sudah waktunya sarapan,” panggil Sabrina lembut, mengetuk pintu beberapa kali. Tak ada jawaban. Sabrina mengetuk lagi, kali ini suaranya terdengar lebih tegas. “Apa kalian tidak ke kantor hari ini? Ini sudah jam setengah delapan, loh.” Masih hening. Alis Sabrina berkerut. Keres