Ternyata kepanikan dan kericuhan Luna tidak hanya berakhir pada pesan makan siang dari Aiden. Gadis itu harus segera bergegas mengemasi barang-barangnya dan meluncur ke rumah sakit kala jam pulang telah tiba. Apa setiap hari Luna akan merasakan ketidak tenangan ini? Pergi bolak balik dari rumah sakit ke kantornya karena Aiden yang menawarkan untuk mengantar dan menjemput.
Selena sudah menunggu di lobi rumah sakit. Begitu Luna datang turun dari taksi, gadis itu terlihat berantakan. Pasti karena panik dan terburu-buru.
"Kau harus belajar berbohong dengan beribu alasan," kata Selena kala Luna telah berdiri di hadapannya.
"Ya, sepertinya sekarang aku harus membiasakan diri dengan berbohong." Luna menerima cermin yang Selena ulurkan. Gadis itu paham mungkin penampilannya sedang tidak karu-karuan sampai Selena memberikan cermin.
Dapat Luna lihat riasan wajah yang sudah menghilang, rambut curly badainya tadi sudah tercepol tak rapi.
"Apa kau harus memindahkan box ke satu tempat ke tempat yang lain?" tanya Selena tidak menyangka bahwa penampilan Luna sore ini begitu terbanting dengan penampilan pagi tadi.
Luna tidak mengindahkan dia sibuk berbenah, karena tak lama pasti Aiden akan tiba.
"Itu dia, aku pergi dulu. Ah iya makanan tadi sangat enak. Dagingnya empuk, dan buah stroberinya manis tapi ada satu yang masam. Berikan komentar ini agar Aiden yakin kau yang memakannya," kata Selena sebelum akhirnya melangkah pergi setelah mendapat anggukkan dari Luna.
Sekarang Luna telah rapi, rambutnya ia ikat jadi satu membentuk pony tail. Sudah touch up tipis lipstick, dan sudah menyemprot parfum mahal yang Selena belikan untuknya.
Begitu ponsel berdenting, pemberitahuan bahwa Aiden telah di luar lobi Luna segera berbalik dan mendekat pada mobil hitam laki-laki itu.
"Sudah menunggu lama?" tanya Aiden ketika Luna masuk ke mobil.
"Tidak begitu," jawab Luna dengan nafas yang belum stabil akibat mempersiapkan diri dengan cepat.
Aiden tersenyum kecil melihat nafas Luna yang tersenggal. "Kau tidak perlu sepanik itu, aku akan menunggumu meski kau belum selesai bekerja."
"Ah, aku terlihat sekali yang buru-burunya?" Luna terkekeh kecil menepis rasa gugupnya. Ingat ia harus terbiasa dengan kebohongan ini. "Aku bekerja dengan keras, jadi harus merapikan penampilanku kembali."
"Aku senang mendengarnya, kau ingin terlihat baik di depanku." Aiden merentangkan tangan mengisyaratkan Luna untuk mendekat.
Luna berhambur ke pelukan Aiden. Selain harus terbiasa berbohong ia juga harus terbiasa dengan perilaku romantis laki-laki tampan ini.
"Harum sekali." Aiden mencium parfum Luna yang menguar. Semakin mendekatkan hidungnya pada lekukkan leher gadis itu.
Luna merasa geli, tapi entah kenapa ia juga merasa berbunga-bunga. Astaga.. jantung siapa yang tidak akan berdetak ketika laki-laki tampan sedang menciumi lehermu seperti ini?
Sepertinya Aiden terlalu dimabuk cinta pada Luna, melakukan apapun yang laki-laki itu mau mengabaikan atensi supir pribadinya.
"Hahaha stop Aiden!" Luna menghentikkan pelukan Aiden yang tak mau dilepas. Gadis itu memundurkan diri terlebih dulu.
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Luna menangkup satu pipi Aiden dan menatapnya lembut.
Aiden tidak menjawab langsung. Ia justru terlena oleh wajah lelah Luna. Entah mengapa meski tidak secantik tadi pagi, tapi menurut Aiden ini yang tercantik. Ia jadi penasaran bagaimana wajah Luna ketika baru bangun tidur.
"Tidak bisakah kita melaksanakan pernikahan kita besok?"
******
Luna telah membersihkan diri, sudah mengganti pakaiannya menjadi piyama tidur. Semenjak menandatangani kontrak menjadi pengantin pengganti, Luna harus menetap di kediaman Wilson. Tetapi Selena berencana membeli unit Apartemen untuk Luna. Selena menyadari bahwa mungkin Luna tidak merasa nyaman untuk satu atap dengan keluarganya. Hal ini juga untuk menghindari rahasia keluarga Wilson yang tidak banyak publik ketahui.
Pikiran gadis itu kembali pada momen pertemuan hari ini dengan Aiden. Meski hanya sebentar, tapi begitu membekas di ingatannya. Tunggu, disaat bersamaan senyum merekah Luna berganti dengan garis datar di bibirnya.
Tangan Luna bergerak mengambil ponsel di atas nakas. Memastikan kembali bahwa mungkin ia melewatkan pesan dari seseorang. Tapi nyatanya tidak, semua pesan telah terbaca dan terbalas.
Hidupnya berubah cepat akhir-akhir ini. Ia meninggalkan jati dirinya pada nama Laluna Devaux. Meninggalkan unit Apartemen jeleknya. Dan juga meninggalkan kebiasaannya menonton film sepulang kerja dengan Darren.
Ia hampir lupa dengan laki-laki itu. Tapi ternyata tidak semudah itu menghilangkan memori manis dengan mantan kekasih. Tiga tahun memang bukan waktu yang singkat. Dan sepanjang hari Luna selalu menghabiskan waktunya dengan Darren.
Sungguh laki-laki itu tidak menghubunginya kembali? Setelah mengakhiri hubungan sepihak di kafe sore itu.
Yang mana hati kecil Luna masih merasa yakin bahwa ada yang tidak beres dengan mantan kekasihnya itu. Masih merasa yakin Darren mencintainya. Mereka tidak sedang menghadapi masalah besar. Tapi yaa mungkin bagi Darren dirinya terlalu egois. Luna hanya tidak bisa mengungkapkan perasaannya dengan baik.
Atau.. ya mungkin masih ada luka yang belum kering akibat kelakuan ayahnya dulu.
Hanya saja, sialan!
Rasanya menyakitkan dan menyesakkan mengetahui kenyataan mereka telah berakhir dan tidak bertukar kabar lagi.
Entah sejak kapan pipi Luna terasa basah. Matanya terus memburam akibat genangan air yang belum mengalir. Dan perlahan isakkan pun keluar dari mulutnya.
Tidak mau munafik Luna merindukkan Darren.
Luna masih menginginkan pertemuan itu, pesan manis dari laki-laki itu. Sosok laki-laki itu, peluk hangat laki-laki itu. Luna masih sangat menginginkannya.
Jadi dengan kesadaran yang telah hilang akibat rasa rindu. Jari Luna menekan icon berbentuk telepon pada kontak Darren.
Disaat bersamaan telepon dari Aiden masuk.
Seketika Luna langsung tersadar, posisi tubuhnya sudah terduduk di kasur. Ia sadar telah menghubungi Darren kembali ketika mereka telah berakhir. Dan telepon masuk dari Aiden juga membuatnya sadar jika dirinya telah bertunangan kemarin.
Ini memusingkan, dan perasaan Luna tak tenang. Jadi dirinya membiarkan ponselnya berdering tanpa ada niatan menjawab.
Otak Luna masih mencerna kesadarannya. Apa yang telah berlalu, apa yang telah terjadi dan apa yang seharusnya ia hadapi.
Ponsel Luna berhenti berdering. Dua detik kemudian panggilan telepon dari Aiden kembali masuk. Kali ini panggilan video.
Luna kembali merebahkan diri dan menjawab telepon Aiden.
"Hai!! apa aku mengganggumu?" tanya Aiden di sebrang sana. Wajahnya cukup riang kala Luna menjawab teleponnya. Namun tak lama Aiden menyadari sesuatu. "Kau habis menangis ?"
Aishh sialan. Luna lupa menghapus bekas air matanya. Pasti matanya juga sedikit memerah sekarang. Gadis itu lantas beranjak dari kasur dan mencari tisu. Setelah dirasa bersih ia kembali pada kasur dan menghadapkan diri pada ponsel.
"Yaa, aku hanya merasa sedikit pusing saja." Mau mengatakan tidak juga percuma, wajahnya tadi sudah menunjukkan kalau ia sehabis menangis.
Kalimat Luna itu justru mengundang kekhawatiran pada Aiden. "Kau mau ke rumah sakit? Atau kau perlu sesuatu? Aku akan sampai sebentar lagi."
Luna terkekeh dengan sikap siaga Aiden. "Tidak perlu Aiden, kau tidak perlu kemari. Kau lupa aku seorang dokter?"
Aiden tersenyum merasa lega Luna sudah bisa tertawa. "Benar juga, kau pasti bisa mengatasi dirimu sendiri. Tapi menemuimu malam ini aku rasa itu juga tidak buruk."
Luna tersenyum sambil menggeleng. Aiden ini lucu sekali. Kenapa bisa selama ini tidak pernah berpacaran? Luna yakin pasti sebelumnya ada banyak perempuan yang mengantre untuk mendekati.
"Aku hanya perlu istirahat. Maafkan aku, mungkin besok kita bisa bertemu lagi."
Aiden tampak sedang mengganti posisinya menjadi merebahkan diri di kasur seperti Luna. "Itu harus. Aku akan menjemputmu lagi besok pagi."
******
Luna melepas pelukannya, ia menatap Aiden dalam diam lalu membawanya keluar ruangan. "Mau ke mana?" tanya Aiden dengan langkah yang terus mengikuti Luna. Setelah berada di taman belakang, barulah Luna berhenti. "Aku punya ide." Luna lalu duduk dan menarik tangan Aiden untuk duduk juga. "Apa itu?""Bagaimana jika aku meninggalkanmu?" Aiden langsung berdecak tidak suka dengan pertanyaan itu. "Mau ke mana lagi? jangan coba-coba untuk meninggalkanku Luna.""Ini hanya sebuah ide. Jika aku selalu dijadikan tawanan untuk Robert atau entah nanti siapapun itu karena mereka tahu aku adalah kelemahanmu. Bagaimana jika kita berpura-pura berpisah saja. Jadi ada atau tidaknya aku di hidupmu itu tidak akan membuatmu lemah." Luna menjelaskan. Tapi melihat raut tidak suka Aiden membuatnya harus meyakinkan laki-laki itu. Luna mengambil tangan Aiden dan menggenggamnya. "Kita harus menyelesaikan ini. Dan kita harus menang."Aiden hanya diam sembari menatap pada kedua mata Luna. Semua yang dikatakan
Luna sedang menyusui Aaron begitu Aiden datang. Wajahnya langsung berseri melihat putra mereka yang sedang minum. Sebelum melepas jasnya, Aiden mendekat untuk mencium puncak kepala Aaron lalu berganti mencium pipi Luna. Ia sangat adil untuk hal ini. Luna tidak banyak berkomentar, ia hanya tersenyum dan ekor matanya melihat ke arah Aiden yang masuk ke kamar mandi. Dalam hati banyak menyesali kenapa dirinya mudah diperdaya hingga menyakiti banyak orang. Mungkin saja jika sedari awal tidak menerima tawaran Selena hidupnya akan damai, walau hidup tanpa kekasih akibat diputuskan waktu itu. Tidak masalah, laki-laki bukanlah satu-satunya tujuan hidup bukan?Tapi tidak boleh berpikir begitu, sekarang sudah ada Aiden yang rela melakukan apapun untuknya. Ia akan aman.Bertepatan dengan Aaron yang sudah memejamkan mata, Aiden keluar dari kamar mandi dengan aroma sabun yang menguar. "Sudah tidur?" tanya Aiden dengan suara pelan. Luna mengangguk. Aiden membuka lemari dengan perlahan takut j
Tidak ada yang menduga bahwa kegiatan panas mereka ternyata menjadi sebuah ancaman untuk Aiden. Entah mendapat dari mana namun kini Luna telah menodong pistol yang sontak membuat Aiden langsung mundur ke belakang.Kedua alisnya menyatu menjauh dari tubuh Luna.Istrinya itu dengan wajah yang masih memerah akibat gairah, juga deru napas yang belum teratur memegang pistol dengan erat."What happen Luna?" Tanya Aiden terbata dengan kebingungan.Itu bukan pistol bohongan. Aiden mengenali nomor seri pada emboss pada bagian sampingnya. Dimana Luna mendapatkan itu?Aiden sudah memastikannya sendiri bahwa nama Luna bersih. Benar-benar bersih bukan merupakan agen intel, seorang tangan kanan mafia, atau sebagainya itu. Lagipula yang kini Aiden bingungkan hanyalah, apa yang sedang terjadi sekarang.Tapi melihat mata Luna berkaca dengan wajah yang sok dikuatkan itu membuat Aiden mengerti sesuatu."Siapa yang menyuruhmu?" Tanya Aiden lembut ia bergerak ke samping kasur dan duduk dengan tenang meski
Luna kembali bersama Aiden. Ia pulang ke Seoul duduk di samping suaminya. Jong Min masih di Jeju. Sengaja menambah masa liburannya dan Giselle telah membantu Jong Min untuk membawa Krystal ke sana melancarkan lamaran yang Jong Min rencanakan. Tidak butuh waktu lama mereka sudah mendarat di Incheon Airport. Giselle sangat senang mendorong troli bayi dimana Baby A tertidur disana.Luna dan Aiden saling bertaut tangan menyembuhkan rasa rindu. Ngomong-ngomong Aiden sudah menyiapkan nama untuk anaknya. Aaron Santana Ellworth. Kata Luna anak mereka lahir sebelum natal tepat ketika salju turun. Entah kenapa nama itu yang terpikirkan dalam kepala Aiden. Tapi jika melihat bayinya, kulit seputih salju itu cocok dengan nama tersebut. Luna tersenyum kala kedua pandangan Aiden terus memandangi troli yang Giselle dorong. Mertuanya itu langkahnya lebih dulu ada di depan mereka. "Terima kasih," kata Aiden sedikit mendekatkan dirinya pada Luna agar terdengar. "Terima kasih untuk apa?" tanya Luna
"Maaf aku terlambat, sesuatu yang hectic terjadi tadi haha.." Aiden terkejut. Ia diam memandang Luna dengan balutan gaun putih berbahan tipis itu. Begitu juga Giselle yang tidak mampu berkata apapun. Memastikan lagi apakah ia salah lihat atau bagaimana. "Luna?" Aiden mencoba menyebutkan nama itu. Barangkali ia salah orang akibat terlalu lama memikirkan istrinya. Tapi perempuan yang ia sebut Luna itu juga terkejut. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat dan Jong Min menebak apa yang sedang terjadi. "Kalian saling mengenal?" tanya Jong Min dengan raut cerianya. Kebetulan yang membahagiakan bukan? orang yang kau kenal mengenal teman barumu. Aiden beranjak dari duduknya mengabaikan pertanyaan Jong Min. Ia menatap Luna untuk beberapa saat. Bagaimana mata itu kembali menatapnya. "I found you," lirih Aiden langsung menarik tangan Luna membawanya pergi dari meja. Ada banyak yang harus mereka obrolkan secara empat mata. Giselle yang melihat kepergian mereka hanya dapat berdoa semog
Senyum Jong Min merekah melihat Aiden berjalan ke arahnya. Tamu yang ia tunggu tunggu datang juga. "Sudah lama menunggu?" tanya Aiden juga tersenyum. "Tidak begitu, aku baru datang juga. Ibumu?" Jong Min beralih pada wanita di samping Aiden. Aiden mengangguk memperkenalkan Ibunya pada Jong Min. "Bu ini Jong Min dia sempat menolongku waktu itu."Senyum Giselle merekah. Entah bantuan apa yang Jong Min lakukan pada Aiden, tapi itu sudah menjadi hal baik baginya. Tidak semua orang saling membantu ketika belum mengenal bukan?"Giselle," ucap Giselle memperkenalkan namanya. "Aku Jong Min. Sangat disayangkan, kau lebih cocok menjadi kakak Aiden daripada Ibu." Jong Min memuji wajah Giselle yang tampak awet muda. Mendengar itu Giselle jadi tertawa renyah. Ia suka sebuah pujian. Mereka pun segera duduk pada kursi yang telah disediakan. Di atas meja telah terhidang beberapa makanan yang baru saja tiba ketika mereka sedang asik berkenalan tadi. Pada sela makan malam, Giselle bertanya-tanya