“Kurasa ada kesalahpahaman di sini, Mrs. Cavendish,” ujar Henry dengan senyum tipis, tapi tatapannya dingin. “Tanah itu bukanlah milik keluarga Cavendish secara hukum. Tidak ada bukti otentik kepemilikan—dan karenanya, negara terpaksa mengambil alih.” Juliete tidak menjawab langsung. Ia menatap pria itu tanpa berkedip. Terus mempelajari kerutan kecil di antara alis Henry saat ia berbohong. Joane yang kini maju, suaranya tenang namun menusuk. “Tapi Anda tahu, bukan? Nyonya Madeline—pewaris terakhir—baru saja meninggal dua hari lalu. Dan… kematiannya cukup mencurigakan.” Untuk pertama kalinya, kilatan kegelisahan tampak di wajah Henry. Ia mengangguk pelan. “Ya… saya mendengar kabar itu. Tapi tetap saja, hal itu tak mengubah apapun. Selagi keluarga Cavendish tidak memiliki dokumen sah terkait tanah itu, maka menurut undang-undang, tanah tersebut sepenuhnya milik negara.” Juliete kini menyandarkan tubuhnya, kedua tangannya bertaut di pangkuan. “Semudah itu?” tanyanya dengan suara p
Ketiganya—Juliete, Joane, dan Daniel—tiba di kantor walikota Nottingham menjelang tengah hari. Gedung tua itu berdiri anggun di bawah langit musim panas yang cerah, dengan arsitektur klasik yang tetap memancarkan wibawa. Joane melangkah lebih dulu, menyambut resepsionis muda di meja depan dengan senyum profesional yang nyaris menggoda. Dengan mudah ia memperkenalkan mereka sebagai perwakilan hukum dari firma yang bekerja sama dengan pemerintah kota. Luwes dan persuasif, Joane berbicara dengan nada percaya diri dan sopan santun khas pengacara papan atas. Juliete hanya berdiri di samping, menyaksikan semua itu dengan tenang, membiarkan rekannya memainkan perannya. Tak butuh waktu lama hingga izin diberikan. Resepsionis itu menekan tombol interkom dan mengabari lantai atas bahwa tamu dari firma hukum telah datang. Mereka dipersilakan naik. Sementara Joane masih berbasa-basi dengan resepsionis, pandangan Juliete menyapu seisi lobi utama. Kantor walikota ini berhiaskan warna putih ga
Juliete mendengus kesal, matanya terus menatap layar ponsel yang tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan dari Joane. Berkali-kali ia menekan ulang panggilan, tapi tak satu pun dijawab. Saat tiba di depan lift, panggilan ke-20 pun tak juga berhasil menghubungkan mereka. Jam sudah lewat pukul sepuluh, dan matahari menggantung tinggi di langit, namun Joane tetap tak bisa dilacak. Sejak malam tadi, gadis itu menghilang seolah ditelan bumi. Semua ini tentu tak lepas dari kejadian semalam. Ketika Jaiden menemukannya di pesta, pria itu langsung menarik semua kendali. Ia tak memberi ruang sedikit pun untuk Juliete melanjutkan pengawasannya pada Henry Walter. Alih-alih, Jaiden memboyongnya ke kamar hotel tanpa kompromi, tak membiarkan Juliete pergi bahkan sedetik. Semua upaya untuk mengawasi Henry berakhir sia-sia. Dan kini, Joane pun menghilang—meninggalkan Juliete dalam cengkeraman rasa frustrasi dan pertanyaan yang belum terjawab. Juliete menggertakkan giginya kesal ketika berdiri di dep
“Aku sungguh merindukanmu, sayang… kau tak suka aku di sini?” bisik Jaiden, suaranya nyaris menelusup ke pori-pori kulit Juliete, tepat di dekat telinganya. Nada suaranya jelas, godaannya lebih jelas lagi. Juliete menarik napas pendek. Sialnya, ia tak pernah benar-benar kebal pada pesona pria gila ini. Ada panas yang selalu menjalar, menggerayangi tiap sarafnya, tiap Jaiden mendekat atau sekadar merusaknya dengan rayuan licik. Tapi Juliete menolak memberi Jaiden kemenangan itu terlalu cepat. Ia hanya mencebik, melempar tatapan malas. “Aku sedang bekerja, dan kau malah menggangguku.” ujarnya tajam, matanya membulat memaki Jaiden, meski tangannya yang gemetar di pangkuan tak bisa sepenuhnya berbohong. Jaiden terkekeh, memutar bola matanya malas sebelum akhirnya bersandar santai di jok kursi. Pandangannya terarah ke depan—di sana supirnya masih duduk patuh, menanti instruksi. Satu anggukan kecil, dan pria itu langsung turun menutup pintu, membiarkan Jaiden sendiri bersama sang is
Juliete dan Joane akhirnya diantar oleh Daniel, sang pengawal, menuju kediaman Henry Walter di sudut kota Nottingham. Di dalam mobil, Juliete sempat mengambil foto selfie dirinya. Ia melirik layar ponsel, memastikan gambar cukup jelas, lalu mengirimkannya pada suaminya, Jaiden. Joane yang duduk di sampingnya sempat melirik heran. “Untuk dokumentasi pribadi, Nona Joane. Mr. Cavendish bisa mengamuk kalau aku tak memberi laporan,” kata Juliete sambil tertawa kecil. Joane ikut terkekeh. “Ah, ya… apakah Tuan Jaiden memang sebegitu posesifnya pada istrinya?” tanya Joane penasaran. Juliete hanya mengangguk, memasang senyum lebar. Ia tak berniat menjelaskan lebih jauh, apalagi menceritakan betapa posesifnya Jaiden sebenarnya. Kalau ada satu tangan pria lain berani menyentuhnya, bisa dipastikan tangan itu tak akan ada lagi keesokan harinya. Begitu mobil berhenti, Juliete dan Joane pun melangkah turun. Suasana di sana tampak gemerlap—lampu-lampu terang memancar dari halaman luas, meny
Hari kedua di Nottingham, Juliete dan Joane bersiap di kamar hotel mereka. Malam ini berbeda, mereka tak hanya meneliti tumpukan dokumen, tapi mendekat lebih jauh pada sosok Henry Walter. Penyelidikan tersembunyi dalam kumpulan pesta para pejabat dan juga aristokrat. Joane berjalan mondar-mandir sambil membuka koper dan lemari, wajahnya masam. Usianya memang pertengahan 30, tapi sikapnya malam ini sama gelisahnya seperti asisten muda yang baru belajar terjun ke pesta elite. “Sial, aku benar-benar tidak memperkirakan ini. Gaunku ketinggalan di London!” gumam Joane kesal, tangannya menepis-nepis lipatan baju kerja yang jelas tak pantas untuk pesta ulang tahun pernikahan walikota Henry Walter—apalagi pesta topeng dengan tamu bangsawan dan politisi. Juliete hanya duduk di sofa, kaki bersilang, laptop di pangkuannya. Ia menatap Joane tanpa ekspresi, hanya jemarinya sibuk mengetik catatan file kasus di layar. “Haruskah kita benar-benar datang ke pesta itu?” tanyanya datar, tak terde