Tubuhnya masih menempel padaku ketika pistol itu jatuh, menghantam lantai dengan suara berat yang menandai satu hal—bahwa Juliete telah menyerah, atau mungkin… memutuskan untuk ikut tenggelam bersamaku. Aku menariknya lebih erat. Tanpa berkata sepatah kata pun, kuangkat tubuhnya dalam pelukanku. Dia memukul dadaku pelan, tapi tidak benar-benar berniat melawan. Tangan-tangannya mencengkram kerah kemejaku bagai menyimpan kebencian yang berubah menjadi ketergantungan brutal. Kami memasuki kamar dengan langkah besar. Pintunya tak sempat kututup sempurna, hanya terbanting setengah. Aku menjatuhkannya ke tempat tidur. Matanya masih terbuka, menantangku, tapi napasnya sudah tercekat. Aku berdiri di ujung ranjang, menatap tubuhnya yang terengah dengan bibir merah dan rambut acak-acakan. Kancing bajuku kulepas perlahan, satu per satu, sementara matanya mengikutiku… tak berkedip. “Masih ingin membunuhku, Mrs. Cavendish?” suaraku rendah, nyaris seperti geraman. Juliete menatapku dala
“Bisakah aku mempercayai ucapanmu itu?” Juliete menyemburkan kalimatnya seperti racun. “Setahuku, kau selalu menganggap semua orang hanyalah pion. Siapa yang menjamin kalau aku bukan bagian dari permainanmu juga?” Tatapannya masih menyala. Belum ada sedikit pun tanda bahwa penjelasanku menyentuh hatinya. Dan itu menyulut api di dalam dadaku. “Sampai detik ini pun kau masih tak percaya padaku?” suaraku meninggi, tak bisa lagi kucegah. “Aku suamimu, Juliete! Aku melakukan semuanya untukmu! Apa kau buta melihat itu?!” Dia tidak mundur. Bahkan mendekat. “Bagaimana aku bisa mempercayai seorang iblis sepertimu, hah?” katanya tajam. “Mulai dari Isabella… dan entah siapa lagi!” Nama itu—Isabella—menusuk tepat di titik yang paling dalam. Kupikir masalah itu sudah selesai, tapi nyatanya tidak. Begitulah wanita, selalu mengingat satu kesalahan hingga seumur hidup. Nafasku langsung berubah. Dan sebelum aku bisa berpikir panjang, tanganku sudah mencengkeram lengannya. Kuat. Kasar. Tapi
Juliete duduk di tepi ranjang, tangannya menggenggam erat sehelai pakaian dalam yang masih ia pegang. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, meskipun amarahnya masih mendidih di balik dada. Pikirannya berputar cepat. Ini bukan saatnya tenggelam dalam emosi. Dia harus bertindak—sekarang. Dengan sigap, ia mengambil ponselnya, memotret pakaian dalam itu tanpa ragu, lalu mengirimkannya pada Jaiden. Hanya satu kalimat menyertainya. “Apa ini juga bagian dari ‘meeting’-mu?” Tak sampai lima menit, ponselnya berdering. Nama Jaiden muncul di layar. Juliete mengangkatnya tanpa basa-basi. “Apa kau menuduhku, baby?” suara Jaiden terdengar tajam, sedikit lebih tinggi dari biasanya. Terdengar jelas ketidaksenangan dalam nada suaranya. Bukan karena pesan itu semata, tapi karena datang dari istrinya sendiri. “Aku hanya ingin tahu kebenaran. Di mana kau? Kita perlu bicara. Sekarang,” ujar Juliete dengan suara dingin dan tegas, tanpa memberi ruang untuk alasan. “Aku sedang m
Juliete menghentakkan tumit sepatunya ke lantai dengan keras saat melangkah keluar dari ruang walikota. Dentumannya menggema samar di koridor, jelas ada yang mengganggu pikirannya. Wajahnya tegang, matanya lurus menatap ke depan. Kedatangan asisten Jaiden lebih dulu darinya—itulah jawabannya. Itu yang membuatnya gelisah sejak awal. Jika Jaiden memang sudah mengirim seseorang ke Henry, lalu untuk apa dirinya juga harus datang ke sini? Dan yang lebih mengganggu, mengapa tanpa sepengetahuannya? Ada sesuatu yang pria itu sembunyikan. Sesuatu yang tidak ingin ia ketahui. Dan Juliete benci merasa dibodohi. “Julie… sebaiknya kita makan siang di mana?” tanya Joane, memecah lamunannya. Mereka kini telah sampai di halaman gedung kantor walikota, berjalan beriringan menuju area parkir yang panas dan berdebu. Alih-alih menjawab pertanyaan Joane, Juliete justru mengalihkan pandangannya ke arah Daniel, sang pengawal. “Terserah Joane… tapi kurasa ada hal yang harus kuselesaikan,” ujarnya s
“Kurasa ada kesalahpahaman di sini, Mrs. Cavendish,” ujar Henry dengan senyum tipis, tapi tatapannya dingin. “Tanah itu bukanlah milik keluarga Cavendish secara hukum. Tidak ada bukti otentik kepemilikan—dan karenanya, negara terpaksa mengambil alih.” Juliete tidak menjawab langsung. Ia menatap pria itu tanpa berkedip. Terus mempelajari kerutan kecil di antara alis Henry saat ia berbohong. Joane yang kini maju, suaranya tenang namun menusuk. “Tapi Anda tahu, bukan? Nyonya Madeline—pewaris terakhir—baru saja meninggal dua hari lalu. Dan… kematiannya cukup mencurigakan.” Untuk pertama kalinya, kilatan kegelisahan tampak di wajah Henry. Ia mengangguk pelan. “Ya… saya mendengar kabar itu. Tapi tetap saja, hal itu tak mengubah apapun. Selagi keluarga Cavendish tidak memiliki dokumen sah terkait tanah itu, maka menurut undang-undang, tanah tersebut sepenuhnya milik negara.” Juliete kini menyandarkan tubuhnya, kedua tangannya bertaut di pangkuan. “Semudah itu?” tanyanya dengan suara p
Ketiganya—Juliete, Joane, dan Daniel—tiba di kantor walikota Nottingham menjelang tengah hari. Gedung tua itu berdiri anggun di bawah langit musim panas yang cerah, dengan arsitektur klasik yang tetap memancarkan wibawa. Joane melangkah lebih dulu, menyambut resepsionis muda di meja depan dengan senyum profesional yang nyaris menggoda. Dengan mudah ia memperkenalkan mereka sebagai perwakilan hukum dari firma yang bekerja sama dengan pemerintah kota. Luwes dan persuasif, Joane berbicara dengan nada percaya diri dan sopan santun khas pengacara papan atas. Juliete hanya berdiri di samping, menyaksikan semua itu dengan tenang, membiarkan rekannya memainkan perannya. Tak butuh waktu lama hingga izin diberikan. Resepsionis itu menekan tombol interkom dan mengabari lantai atas bahwa tamu dari firma hukum telah datang. Mereka dipersilakan naik. Sementara Joane masih berbasa-basi dengan resepsionis, pandangan Juliete menyapu seisi lobi utama. Kantor walikota ini berhiaskan warna putih ga