“Ayah!” Sena berlari segera memeluk ayahnya yang masih mengenakan handuk. Pelukan tangan kecil itu terasa begitu kencang di pahanya. Ada air hangat yang mulai membasahi pahanya.
“Ada apa? Kenapa kamu menangis?” “Kenapa sekarang banyak hantu yang suka jahil sama aku Yah?” tanya Sena sambil terisak. “Dia sudah seperti itu sejak beberapa hari lalu,” jawab Irawati yang sudah terbangun saat putranya Sena berteriak memanggil ‘Ayah!’“Apa sudah di periksakan ke dokter? Biasanya anak menjadi sensitif saat mereka sakit.” “Bidan Desa sudah sempat datang dan memberinya infus,” terang Irawati singkat. Suaminya baru saja pulang setelah sebulan penuh dinas di laut. Ia akan menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya setelah mendapatkan waktu yang pas. Sena tenang dalam dekapan kedua orang tua di sisi kanan dan kiri tidurnya. Bocah itu tertidur pSena sudah melewati beberapa kali proses konseling dengan psikiater, tapi semua itu tak menunjukkan perubahan yang signifikan. Ia terus ketakutan, Sena sering melihat penampakan yang membuat dirinya menggigil ketakutan.Sejak Indera ke enam Sena terbuka, banyak makhluk gaib yang terus berdatangan. Sena sudah seperti magnet tersendiri bagi mereka. Irawati dan Ekawira merasa tertekan, mereka juga kelelahan dan kurang tidur karena Sena yang terus saja terbangun ketakutan.“Sudah kubilang, kita pergi saja dari sini ya?” rengek Irawati setelah merasa begitu putus asa dengan keadaan Sena.Ekawira masih diam membisu, ia hanya memijat keningnya yang terasa sakit.“Baiklah, kita coba membawa Sena ke Mbah Bahar di desa seberang seperti saran Pak RT.” Ekawira akhirnya menerima saran Pak RT agar membawa ke tempat Mbah Bahar, salah satu tetua di pulau ini yang juga di sebut sebagai ‘orang pintar’. Para tetangga
Beberapa hari sepulang dari rumah Mbah Bahar, Sena sudah kembali ceria seperti anak yang berumur 10 tahun lainnya. Ia bahkan mulai masuk sekolah setelah hampir dua minggu absen. Meski kini Sena sudah hidup normal seperti sedia kala, tapi tidak bagi Irawati. Sering kali bekas sayatan keris yang melintang di tangannya terasa begitu sakit meski luka itu sudah mengering. Ia seolah merasakan lagi bagaimana perihnya luka itu ketika ia menaruh telapak tangannya pada air laut saat melakukan perjanjian di malam itu.Semakin ia memikirkan cara keluar dari perjanjian itu, semakin menyiksa pula rasa sakit yang ia rasakan di telapak tangannya.Tok.. tok.. tok..Terdengar suara ketukan pintu, dan suara salam dari Ibu Diah yang tak lain adalah tetangga Irawati.“Ada apa Bu Diah?” tanya Irawati setelah membuka pintu rumahnya.“Apa kamu masih mencari dukun hebat untuk memutuskan perjanjian gaib yang sudah terlanjur dibuat oleh
Irawati pulang ke rumah saat hari sudah malam, ia mengemudikan mobilnya melewati jalan sekitar pantai. Pandangan matanya teralihkan dengan sosok tak asing yang tengah berada di bibir pantai, ia adalah Lek Harso. Pria yang sedari tadi menatap lautan kini menoleh ke belakang sedang menatapnya, seolah mengetahui siapa di dalam pengemudi mobil yang berjarak 300 meter darinya.Irawati ingin memacu pedal gasnya, tapi anehnya di malah menekan rem dan turun menemui Lek Harso. Entah apa yang di pikiran wanita ini, tapi tatapan pria tua itu mengisyaratkan bahwa ia ingin berbicara dengan Irawati.“Dari pulau seberang Nak?” tanya Lek Harso dengan suara yang lembut.Dheg!Irawati terkesiap, bagaimana pria tua ini bisa mengetahui dari mana ia baru saja pergi. Jantungnya kini berdebar kencang seperti seorang yang baru saja tertangkap basah sudah menusuk dari belakang.“Dia akan mati!” lanjut Lek Harso.
Ekawira menarik nafas panjang, ia begitu lelah setelah perjalanan panjang dari kantor pusat yang jauh di kota. Ketika ia sampai di rumah, ia hanya ingin di sambut dengan hangat dan bercengkerama dengan keluarganya. Irawati sudah menyulut api amarah di hati Ekawira yang sudah lelah secara fisik.“Omong kosong apa lagi ini! Apakah Indera ke enam Sena terbuka lagi?”“Tidak,” jawab Irawati“Lalu masalah apa lagi sekarang yang membuatmu ingin pindah? Sudah kubilang kita tidak bisa pindah dalam waktu dekat. Ada pekerjaan besar yang harus aku lakukan di laut kepulauan ini.” Ekawira semakin meninggikan suaranya.“Jika kamu tidak mau kita pindah maka jangan ambil proyek pengeboran minyak di dekat laut pulau ini!” lanjut Irawati.Ekawira merasa istrinya semakin tidak terkendali, ia menggertakkan rahangnya. Jika saja ia tidak ingat bahwa istrinya pernah menderita babyblues maka sudah pasti ia membanting apa saja di hadapannya untuk membuat istrinya
Sepuluh Tahun KemudianSena tumbuh Dewasa menjadi pria tampan yang menggoda. Di kampus ia menjadi idola banyak perempuan, hanya saja Sena terkenal memiliki sifat yang dingin dan terlalu pemilih pada wanita yang boleh berada di dekatnya.“Kak, maukah kamu menjadi pacarku?” tanya seorang mahasiswi semester satu yang begitu bernyali mengungkapkan perasaan setelah dua kali bertemu dengan Sena.Sena tersenyum dingin, ia membelai pipi gadis bertubuh mini yang menghentikan langkahnya di lorong kelas, “Enyah kau!” kata Sena sambil mendorong tubuh kecil yang menghalangi langkahnya.Gadis itu menangis dalam diam, kemudian berlari dengan derai air mata di sepanjang jalan.“Wanita 101 di tahun ini yang sudah kamu tolak!” ejek Dimas sahabat baik Sena yang dikenal playboy. Ia sering kali memanfaatkan kesedihan para gadis yang di tolak Sena, menawarkan diri sebagai dokter cinta lalu mengencani dan membuang gadis i
Tatapan Sena dan Dimas tak teralihkan dari kertas yang berada di atas lantai. Mereka masih belum mengerti apa yang dimaksud oleh Catra sehingga melemparkan gambaran dua prajurit jaman kerajaan ke arah Sena.“Orang gila!” gumam Dimas, ia menendang kertas itu dan menarik Sena yang tidak bisa mengalihkan pandangan dari gambar itu.“Ayo pergi, hari ada pesta di club milik Steave,” Dimas masih menarik lengan Sena untuk segera berjalan mengikuti Dimas.“Gambar tadi tampak tak asing bagiku,” gumam Sena.“Semua orang di Indonesia juga pernah melihat gambar itu. Di buku sejarah bertebaran gambar prajurit kerajaan jaman dulu!”Sena akhirnya tidak terganggu lagi dengan dua gambar prajurit yang di lemparkan oleh Catra Si Mahasiswa aneh yang penyendiri.Pukul tujuh malam mereka memasuki Club malam milik keluarga Steave. Anak blesteran teman mereka SMA dulu sedang mengadakan pesta ula
Sena Menuju kantor polisi bersama Dimas, ia dimintai keterangan sebagai saksi atas kematian Eli yang diduga meninggal karena over dosis seperti hasil pemeriksaan dokter. Meski begitu pihak forensik baru akan mengeluarkan hasil pastinya seminggu ke depan, karena ada dugaan Eli meninggal di racuni.Ia meninggal setelah berteriak kepanasan di sekujur tubuhnya, hal itu berbeda dari kasus kematian akibat over dosis seperti kebanyakan kasus lain.Tes urine Sena dinyatakan negatif dari zat terlarang, itu juga yang membuat dirinya masih berstatus sebagai saksi. Di alat reproduksi Eli juga tidak ditemukan sisa sperma yang menunjukkan bahwa ada kemungkinan mereka sudah melakukan hubungan intim.Sena harus melewati lima jam interogasi sebelum polisi akhirnya memberi izin dirinya untuk pulang. Ia mabuk berat dan tak mengingat detail kejadian. Tak banyak yang bisa polisi dapatkan dari kesaksian Sena sebagai petunjuk untuk kasus ini, meski begitu selama proses pen
Sena berusaha untuk tidak terpengaruh perkataan Catra, tapi nyatanya itu benar-benar mengganggu dirinya. Sena merasa Catra tidak asal bicara, dua pengawal yang pernah di gambar Catra sebenarnya Sena pernah memimpikan mereka. Perkataan Catra bahwa Sena seharusnya sudah mati juga begitu mengganggu pikirannya.“Jangan terlalu dipikirkan perkataan Catra, dia memang setengah gila!” nasehat Dimas saat melihat Sena hanya melamun sepanjang perkuliahan.“Semoga saja memang karena dia setengah gila!” balas Sena.“Aaa...!!! “Suara teriakan banyak mahasiswa terdengar dari luar. Suara itu di dominasi oleh suara wanita yang berteriak histeris karena ketakutan.Sena dan Dimas segera berlari ke luar halaman gedung. Di sana ia melihat Tito tengah menggelepar di atas tanah. Sepuluh jarinya di tancapkan di lantai, tatapan matanya tajam, menoleh ke sana kemari dengan wajah yang mengintimidasi.‘